Putu Wijaya, whose real name is I Gusti Ngurah Putu Wijaya, is an Indonesian author who was born in Bali on 11 April 1944. He was the youngest of eight siblings (three of them from a different father). He lived in a large housing complex with around 200 people who were all members of the same extended family, and were accustomed to reading. His father, I Gusti Ngurah Raka, was hoping for Putu to become a doctor, but Puti was weak in the natural sciences. He liked history, language and geography.
Putu Wijaya has already written around 30 novels, 40 dramas, about a hundred short stories, and thousands of essays, free articles and drama criticisms. He has also produced film and soap-opera scripts. He led the Teater Mandiri theatre since 1971, and has received numerous prices for literary works and soap-opera scripts.
He's short stories often appear in the columns of the daily newspapers Kompas and Sinar Harapan. His novels are often published in the magazines Kartini, Femina and Horison. As a script writer, he has two times won the Citra prize at the Indonesian Film Festival, for the movies Perawan Desa (1980) and Kembang Kertas (1985).
membaca kumpulan aforisma ini adalah usaha saya untuk mengenal Putu Wijaya lebih jauh...
sebagian besar yang dituliskannya dalam buku ini sudah beliau tuangkan dalam cerpen-cerpen yang tersebar diberbagai surat kabar dan buku kumpulan cerpen beliau...
kalau anda sering atau pun pernah membaca beberapa cerpen karya Putu Wijaya pasti anda akan menemukan benang merah atau sebuah gaya yang khas dari beliau.
Ciri khas seorang Putu Wijaya adalah dialog-dialog cerdas antar tokoh yang isinya kebanyakan memperdebatkan tentang ideologi, keyakinan, atau hal-hal mendasar lainnya. Kadang setiap saya selesai membaca sering timbul efek "O" besar atau angguk-anggukan (dalam bahasa jawanya "nggumun")
Ya... Putu memang seorang pemikir yang tidak pernah berhenti bertanya. Mungkin perdebatan tentangg hal-hal mendasar itulah yang sering menimbulkan teror mental pada penikmat karya-karyanya