Ketika jalan-jalan ke Gramedia Bintaro Plaza, si Sulung ingin membelikan bundanya buku "Ken Arok" yang sudah sejak lama ada dalam daftar keinginan. Tapi berhubung enggak tega untuk menguras uang sakunya karena harganya yang cukup mahal, sementara si Sulung tetap memaksa untuk membelikan bundanya buku, akhirnya agar tidak mengecewakannya -- setelah pilah pilih -- akhirnya pilihan jatuh pada buku "Incest" ini.
Ketertarikan membeli buku ini pertama karena judul dan sampul bukunya. Terlebih ketika membaca sinopsis di belakang buku menyatakan bahwa cerita ini telah memenangkan lomba penulisan novel tahun 2003 tetapi terpaksa dihentikan publikasinya di Bali Post karena dianggap membawa aib bagi masyarakat Bali. Dan keberanian menulis cerita ini telah memicu terjadinya "pengadilan" adat kepada penulisnya, I Wayan Artika sehingga beliau mendapatkan vonis dikeluarkan dari desa adat selama 5 tahun dan beliau menerima putusan itu demi menghormati kultur-historis-religius adat desanya... maka rasanya tidak salah kalau pilihan akhirnya jatuh pada novel ini.
Incest diawali dengan kepulangan Putu Geo Antara ke kampung halamanya di desa Jelungkap, Bali untuk mengabdikan ilmunya dengan meninggalkan Jakarta dan karirnya pada sebuah perusahaan. Dengan idealismenya Geo Antara menyatakan bahwa desanya adalah rumah yang harus dibangun dan dari sana ia akan membangun masa depan, sementara banyak teman-temannya yang mempertanyakan apakah di desa kecil itu intelektualitas bisa mendapatkan rumahnya. Kepulangan Geo Antara tersebut tanpa ia sadari merupakan jalan hidup yang dibaliknya sendiri.
Geo Antara terlahir sebagai kembar buncing (kembar berlainan jenis kelamin, saudarinya bernama Gek Bulan). Adat lama Bali menganggap kelahiran semacam ini adalah aib dan pembawa bencana sehingga orang tua mereka Nyoman Sika dan Ketut Artini beserta kedua bayi kembar mereka harus diasingkan selama 42 hari di sebuah gubuk di luar desa dekat dengan areal pemakaman. Setelah masa pembuangan usai, Nyoman Sika dan Ketut Artini masih harus menyelenggarakan upacara untuk membersihkan aib dari kelahiran anak mereka. Selanjutnya seluruh warga desa oleh adat diminta untuk merahasiakan kelahiran tersebut dan orang tua mereka harus rela memisahkan kedua anak mereka sebelum mereka saling mengenal. Tujuannya adalah: kelak mereka akan dikawinkan dengan rahasia besar dibaliknya -- menutupi kenyataan bahwa mereka adalah sepasang anak kembar.
Hukum adat yang membuat kehormatan mereka tercampakkan ini terpaksa mereka jalani hanya karena kekuasaan adat yang sangat kuat yang oleh orang-orang Jelungkap dimaknai sebagai keadilan. Keadilan yang bagi Nyoman Sika dan Ketut Artini merupakan keadilan tanpa pengadilan. Hukum yang mereka sendiri tidak paham mengapa harus mereka jalani hanya karena melahirkan bayi kembar buncing, yang sama sekali bukan kesalahan mereka. Namun walaupun dianggap sebagai aib, Nyoman Sika dan Ketut Artini tetap mensyukuri kelahiran bayi kembar mereka dan tetap tabah menjalani hukum adat tersebut, karena bagi mereka ketabahan adalah bekal tanggung jawab agar mereka sanggup berdo'a dengan tulus untuk keselamatan anak-anak mereka.
Apakah yang kemudian dialami Geo Antara dan Gek Bulan setelah mereka menikah dan menemukan rahasia besar di antara mereka ??? Rasanya tidak etis untuk dibocorkan disini.
Mengutip kata pengantar yang disampaikan Raudal Tanjung Banoa bahwa dalam niatnya yang paling "luhur", novel ini ingin bercerita saja, apa adanya. Perkara di dalam cerita terdapat sejumlah referensi, fakta atau "cerita bayangan" tentang nasib pengarangnya, anggap saja nilai tambah untuk mengkoreksi mainstream eksotisme Bali, atau menggugat pemasungan kreativitas, yang kali ini, dilakukan atas nama adat.
Well Temans, pada akhirnya novel ini memang layak untuk dibaca, entah sekedar sebagai bacaan pengisi waktu di kala iseng ataupun sebagai penambah wawasan kita tentang kultur yang berlaku di tanah air kita. Saran saya: segera masukan novel ini dalam "to read" shelves...
Mengapa bisa terjadi? Apa dan siapa penyebabnya? Siapa yang harus bertanggung jawab bila incest terjadi? Siapa orang tuanya?
Novel karya I Wayan Artika, yang menceritakan bagaimana adat istiadat dan kebudayaan memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh di Tanah Dewata, Bali.
Cerita terjadi di sebuah desa yang bernama Jelungkap. Sepasang suami-istri sedang berbahagia. Nama Sang Suami adalah Nyoman Sika dan istrinya, Ketut Artini. Mereka berbahagia karena dikaruniai sepasang bayi kembar yang manis. Namun Nyoman Sika tidak lama tersenyum, karena hal itu adalah aib bagi desanya, Jelungkap. Orang-orang Desa Jelungkap berbisik dan menyampaikan dan sekaligus menyimpan kabar buruk itu. Mengapa? Bayi kembar itu adalah bayi kembar berlainan jenis kelamin dan jika (pada zaman dahuku, hingga akhir kekuasaan raja-raja di Bali) kelahiran ini terjadi di kalangan masyarakat kebanyakan maka hal itu adalah aib desa. Keluarga bersangkutan menerima sanksi adat seperti upacara penyucian, pembuangan, dan pemisahan si kembar dari pasangannya (Hlm 47).
Nyoman Sika dan Ketut Artini menerima sanksi dari keputusan adat tersebut. Ia membesarkan hati istrinya dengan mengatakan bahwa mereka tidak bersalah karena tidak pernah meminta kelahiran bayi kembar itu. Lagi, bayi itu sehat dan tidak bersalah.
Sanksi adat pertama, mereka harus dikucilkan selama 42 hari di Langking Langkau, yaitu sebuah gubuk bambu sederhana yang dibuat oleh masyarakat setempat bagi mereka selama pengucilan itu. Hari-hari selama di Langking Langkau sangat membuat sedih Ketut Artini, ia menangisi anaknya. Di kala dingin menusuk tulang dan kala ia menyusui anaknya, ia bercita-cita untuk membesarkannya dengan kasih sayang dan menyekolahkannya ke tempat yang bagus. Impian-impian itu yang menyertai ia dan suaminya selama masa pengucilan. Empat puluh dua hari berlalu. Mereka kembali. Masih ada lagi yang harus ditebus dari 'dosa' mereka itu.
Sanksi adat kedua, mereka harus melakukan upacara malik sumpah, yaitu suatu ritual upacara yang harus dilakukan oleh keluarga yang melahirkan kembar buncing (berbeda jenis kelamin-satu lakilaki satu perempuan). Upacara malik sumpah dilaksanakan dengan satu pernyataan yang mengejutkan oleh Nyoman Sika di tengah-tengah upacara, "...Di Jelungkap, adat hanyalah cara untuk mencampur antara air dan minyak, persalinan dan aib. Masa lalu yang konyol dan malik sumpah ini saya pilih untuk mengajukan satu yang lain, yaitu masa depan."
Sanksi adat yang ketiga, yaitu memisahkan bayi buncing. Inilah hal yang sangat berat. Namun dengan patuh Nyoman Sika menjalankannya. Mereka akhirnya memberi nama bagi anak mereka, yaitu Geo Antara bagi si bayi laki-laki, dan Gek Bulan bagi bayi perempuan. Gek Antara diserahkan kepada Gus Eka, sahabat Nyoman Sika untuk diangkat sebagai anak, sedangkan Gek Bulan tetap dalam asuhan Nyoman Sika dan Ketut Artini.
Waktupun berjalan. Geo Antara menempuh pendidikan di Kota Denpasar, sementara Gek Bulan menempuh sekolahnya di kampung halaman. Keduanya walau tak kenal, melanjutkan pendidikan tingginya di Gajah Mada. Geo Antara melanjutkan ke Antropolgi, sementara Gek Bulan melanjutkan ke Hubungan Internasional.
Jelngkap pun terkena arus modernisasi. Industri dan permodalan besar pun masuk kesana. Sebuah perusahaan agropolitan masuk ke wilayah Jelungkap. Akibat keserakahan, tanah-tanah adat dijual untuk perusahaan baru tersebut. Pemuda Jelungkap direkrut sebagai pekerja disana, walau kebanyakan sebagai buruh kasar. Terjadi gap antara pemuda di sana, golongan pekerja dan pengangguran. Selain itu, perusahaan mengambil hati penduduk dengan memberi sumbangan dan bantuan kala ada acara adat dan ritual upacara.
Saatnya kembali ke kampung halaman dan memberi karya. Geo Antara pulang kembali ke desanya. Ia membuka perpustakaan buat anak-anak desa dan memberi pelajaran tambahan gratis. Ia juga berkenalan dengan Cok Dodi, manajer Humas perusahaan agropolitan tersebut seraya mengingatkan pada Cok Dodi agar berhati-hati memberi sumbangan pada orang yang mengatasnamakan desa. Bagaimana dengan Gek Bulan? Ia kembali ke desa Jelungkap bersama Komang Wiarsa untuk membuat pertanian organik. Sebuah konsep baru yang tidak menggunakan pupuk kimia dalam mengolah lahan pertanian.
Orang-orang Jelungkap masih menyimpan rahasia bayi buncing. Dan orang semakin resah ketika mengetahui kedekatan antara Geo Antara dan Gek Bulan di desa Jelungkap. Salahkan mereka saling mencintai? Salahkah mereka saling mengasihi karena pernah bertemu dalam satu rahim?
......
Novel ini adalah novel yang ditulis dengan teknik etnografi yang menceritakan secara detil tentang kehidupan budaya di Bali, walau dalam novel ini diceritakan hanya di desa Jelungkap. Novel ini telah ditulis dalam cerita bersambung pada Harian Bali Post, namun, cerita bersambung itu harus berhenti di tengah jalan, I Wayan Artika mengalami pengadilan adat karena cerita ini awalnya menggunakan nama desa yang menjadi desa I Wayan Artika. Novel ini menjadi 'bernilai tambah ' karena pengarangnya sendiri mengalami pahitnya keputusan adat yang menyebabkan ia harus diusir dari desanya selama tiga tahun (dari sejak 2003). Tak heran, Raudal Tanjung Banua, penyunting novel ini menyatakan bahwa "Bali adalah paradoks globalisasi dan tradisi, antara membuka diri seluas-luasnya di satu sisi, tapi juga menutupnya rapat-rapat di sisi yag lain."
Mungkin Incest adalah salah satu novel terberat yang pernah saya baca selama ini. Maka dari itu, menulis review ini pun cukup sulit bagi saya. Ironisnya, ini buku yang sangat tipis, mungkin lebih pantas disebut novella dibanding novel. Namun tetap saja bobotnya terasa berdasarkan beberapa pertimbangan:
Pertama karena temanya sendiri yang terkesan tabu, namun sebenarnya apa yang ingin dikisahkan oleh I Wayan Artika bukanlah terfokus pada aspek imoralitas yang tampak di permukaan, tapi justru pada cinta luhur yang muncul dari sepasang kakak-beradik kembar identik, Geo dan Bulan.
Kedua, karena pertarungan besar antara adat Bali dan modernisme yang semakin mengikis habis akar-akar tradisional yang terjadi apabila masa lalu bertemu dengan masa depan. Pertarungan ini tidak hanya terjadi dalam kisah ini, namun juga di dunia nyata ketika penulisnya terpaksa harus menjalani hukuman adat pada 2005 silam ketika ia diusir dari desa tempat ia lahir dan tumbuh besar selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Masyarakat adat menganggap penerbitan kisah ini adalah bentuk penghinaan terhadap kesakralan budaya Bali. Namun tentu saja, kontroversi membuat kisah ini justru dikenal bahkan di luar Pulau Dewata, menimbulkan efek bumerang yang justru tidak diinginkan masyarakat adat yang mengasingkan si penulis.
Terakhir, konflik yang menarik tercipta di dalam kisah ini ketika terdapat pertentangan antara masyarakat adat melawan sebuah proyek perusahaan yang dengan modernismenya akan mencerabut akar-akar budaya masyarakat sehingga mereka pun sepakat untuk menolak kapitalisme yang menggurita di desa mereka.
Ketiga hal yang saling tumpang-tindih dalam kisah ini membuat saya banyak berpikir bukan hanya mengenai Bali dan tradisi pemisahan kembar buncing untuk kemudian dinikahkan kembali, namun juga melihat bagaimana adat istiadat sering kali menjadi belenggu kuat yang mampu membuat siapapun yang berlindung di dalamnya merasa tercekik, tidak mampu bebas memilih sendiri jalan hidup masing-masing atas nama kesakralan adat. Saya pun jadi banyak berpikir mengenai laju industrialisasi yang mengancam sendi-sendi kehidupan tradisional di tempat-tempat yang cenderung masih jauh dari hiruk-pikuk dunia posmodern. Pariwisata Bali yang tumbuh sangat cepat semakin mengancam keadaan lahan sawah yang teralih fungsikan sebagai tempat berbagai sarana dan prasarana khas pendukung pariwisata seperti resor, restoran, lapangan golf dan lain sebagainya. Isu reklamasi yang baru-baru ini santer dibicarakan di kawasan Tanjung Benoa pun alhasil akan semakin menambah panjang daftar tempat di Bali yang semakin erat dijerat oleh eksploitasi alam untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Entahlah, saya juga bingung memikirkannya. Mustahil untuk mengetahui dengan jelas siapa pihak yang bersalah, atau jalan mana yang seharusnya ditempuh demi kebaikan bersama. Terlalu banyak argumen meyakinkan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak bak jurus-jurus dalam kisah silat.
Bagaimanapun, Incest sejatinya adalah roman kisah Geo dan Bulan, sepasang kembar buncing yang diharuskan untuk pisah sejak mereka lahir karena dianggap aib bagi desa, untuk kemudian dinikahkan kembali tanpa mereka mengetahui kebenaran tali persaudaraan yang mengikat mereka sejak lahir. Disini adat berlaku absolut, tanpa kompromi dan tanpa diskusi. Di balik dinginnya desa Jelungkap, desa fiktif tempat setting novel ini, tersibak pula pertentangan lain antara desa melawan kapitalisme khas kota. Mungkin ini bukan benar-benar fiksi, mungkin ini adalah realitas yang diramu sedemikian rupa hingga tampak seperti fiksi. Bukankah sudah banyak kasus-kasus demikian terjadi? Namun karena kurangnya ekspos, maka terkesan tidak pernah terjadi? Atau, semua orang justru mengetahui namun tetap berpura-pura tidak tahu? Entahlah, pertanyaan ini pun saya tidak mampu menjawab.
Saya pikir belum ada tulisan yang mampu mengungkap dengan lugas isu-isu yang disajikan oleh I Wayan Artika dalam novel ini. Terlalu kompleks, terlalu tumpang-tindih satu dengan yang lain dan yang pasti terlalu tabu untuk dibicarakan karena - sadar ataupun tidak- masih menganggap bahwa hukum adat adalah jeruji yang bertujuan melindungi kita dari bahaya luar yang mengancam. Padahal, bahaya tersebut berasal dari dalam diri sendiri yang menolak kebenaran.
Sebagai sebuah novel, Incest hanya saya beri tiga bintang karena masih banyak kekurangan dari segi karakter, plot maupun gaya bahasa. Tapi dari wacana, saya pikir lima bintang tidak cukup untuk menyatakan betapa krusial isu sensitif ini untuk diberikan ruang diskursus.
Ps: Buat mbak Tan matur suksma nggih sudah meminjamkan :)
Beneran, ini buku seperti labirin waktu berjalan! I'm a Balinese, and reading this book felt like reading a piece of history put into modern life. And for those of you who would love to get intimate with the exotic & mystical culture, reading this book is a must.
Satu pesan: tolong jangan menjadi pre-hudgemental terhadap budaya Bali setelah memabca buku ini. See it from a different view. Kisah dalam buku ini fiktif, namun diangkat dari kejadian nyata dari budaya Bali
Konon, ada daerah di Jawa yang masih mempercayai bahwa kembar buncing adalah jodoh yang telah digariskan sejak lahir. Biasanya, setelah dewasa mereka akan dinikahkan.
Dengar-dengar tradisi pengasingan kembar buncing ini awalnya cuma manuver pihak kerajaan untuk melanggengkan pengkultusan raja dan para familinya. Jadi ditetapkanlah oleh raja kalau kembar buncing muncul di kalangan istana maka dianggap berkah, sedangkan kalau muncul di masyarakat dianggap sial. Jadi sebenarnya cuma biar nggak nyama2in keluarga raja gitu. Tapi karena masyarakatnya sangat fanatik terhadap junjungan jadinya titah raja ini diterima mentah2 bahkan dilestarikan sampai berabad-abad. Tahun 80an pemda Bali sudah mengeluarkan undang-undang larangan pengasingan ini dan sejak itu prakteknya sudah sangat jarang terjadi. Tapi konon masih ada saja penduduk konservatif yang masih menjalankannya, biasanya sih inisiatif dari keluarga yang memiliki kembar buncing itu sendiri. Yah mau bagaimana lagi? Yang namanya tradisi memang sulit didobrak. Tapi dengan berkurang drastisnya praktek pengasingan ini paling tidak sudah menandakan perubahan ke arah yang lebih baik. Btw, di Jawa aku juga pernah dengar konsep menikahkan kembar buncing seperti ini. Katanya kembar seperti ii berarti jodoh yang sudah dipersatukan sejak dalam rahim, jadi sewaktu lahir ke dunia harus kembali dipersatukan. Konsep yang aneh ya? Tapi tradisi ini tampaknya juga sudah sangat luntur, karena aku belum pernah menyaksikan sendiri pasangan suami istri yang kembar buncing.
Buku ini salah satu buku kontroversial dalam sejarah sastra Indonesia, baik dari tema yg diangkat buku ini sendiri maupun apa yg terjadi pada pengarangnya (prembule-nya sudah bikin gw terpancang membacanya).
Tapiii...gw gak suka gaya penceritaannya. Gw masih bisa mengikuti dengan nikmat kisah Nyoman Sika dan Ketut Artini saat peristiwa kelahiran kembar buncing hingga kembali dari pengasingan. Menurut gw, adat kuno Jelungkap tergambar jelas di situ. Namun, begitu memasuki kisah Geo dan Bulan, gw bosen setengah mati (mungkin karena gw suka "merinding" pada gaya bahasa berbunga-bunga romansa percintaan).
Terlebih lagi, saat Geo dan Bulan mulai menjalin hubungan, entah kenapa, gaya penceritaannya mulai mengganggu. Gw merasa terganggu dengan kalimat-kalimat "sisipan" Belum lagi gw dapet pinjeman buku yg halaman terakhirnya blank tepat setelah tulisan satu tahun kemudian ~____~"
Atau mungkin dramatisasi buku ini kelewat nggak masuk akal buat gw :p
Sejak awal saya suka dengan ide cerita yang diangkat dan (jujur) semakin penasaran karena kontroversi yang timbul akibat cerita ini.
Saya pribadi sangat suka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Bali. Dan buku ini membuat saya ingin membacanya dari sejak membaca sinopsis yang ada di belakangnya.
Singkat kata, ide ceritanya menarik. Dan penuturan tentang detail latarnya juga jelas membuat saya terhanyut. Endingnya tidak bisa ditebak.
Tapi mungkin karena pemilihan bahasanya yang masih terasa berat untuk saya, saya seperti merasa melewatkan moment-moment di beberapa part. i kinda lost somehow.
After all, buku ini salah satu buku dengan topik cerita yang unik dan patut dibaca.
The idea was intriguing, the more so after I know that there was a controversy following the story. The language flows beautifully albeit a bit heavy at the first part, but as you read through it, you'll find yourself immersed on every prose detailing the long, exhausting process of cleansing.
Upon finishing the book, there was some kind of heavy wight leaving me. The ending was not bad per-se, in fact it was nicely done. But I caught an impression of unfinished something. Just hanging out in there and left me kind of empty.
suatu kala di desa pedalaman bali (di prediksikan daerah Tabanan ), Bayi yang terlahir Buncing adalah aib, harus di pisahkan dan ketika dewasa mereka HARUS di pertemukan kembali dan dinikahkan. karna adat percaya mereka (sepasang bayi buncing tsb) hakikatnya adalah sepasang kekasih yg ada dalam 1 rahim.
Rada berat memang. Namun ide cerita serta proses panjang hingga cerita ini bisa menjadi buku jauh lebih menarik dari pada isi bukunya.Bercerita tentang sesuatu yang selama ini diyakini masyarakat setempat membuat sang penulis sempat dikucilkan. Kisah panjang untuk menyampaikan sebuah cerita ke tangan pembacanya
hhmmm sungguh menyedihkan ceritanya...mudah2an tidak ada lagi bayi kembar(buncing) lainnya yg harus dipisahkan lalu dipertemukan kembali untuk dinikahkan...bukankah mendapatkan seorang bayi itu anugerah?lalu knapa melahirkan bayi kembar adalah aib...
Membaca buku ini saya jadi tahu sisi lain dari adat istiadat pulau Bali yang selama ini tidak pernah nampak secara jelas di mata publik. Apalagi si penulis sempat "diusir" dari desa adatnya karena karyanya tersebut.
Silahkan baca jika anda ingin merasakan pengalaman lain dari Pulau Dewata ini...
Wah lupa bacanya kapan. G cuma inget neh buku bahasanya biasa2 aja, cuman ide mngangkat cerita incestnya ini yg keren ampe pengarang harus berurusan ma masyarakat adat