The Untold story: Kisah Nyata Penderitaan Kapten Muslim US Army di Penjara Guantanamo(Penjara Khusus Teroris).
Yee mencintai Tuhan dan Amerika, namun salah satunya memenjarakannya.
Pelecehan terhadap kitab suci umat Islam kerap terjadi di Penjara Guantanamo. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Saya sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai.
Mereka tidak peduli pangkat saya kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agama saya melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadap saya. Mereka tidak peduli istri dan anak-anak saya tidak mengetahui keberadaan saya. Mereka pun jelas tidak peduli kalau saya adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah.
Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari di dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.
Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya...
***
James Yee dibesarkan di New Jersey dan—seperti ayah dan kakak-kakaknya—ingin mengabdi pada negaranya. Ia memutuskan untuk masuk US Army Chaplain Corps (Korps Ulama Angkatan Darat AS) sebagai salah seorang ulama Muslim pertama. Kisahnya ini dituturkan dengan amat memikat, menyuguhkan pandangan orang-dalam tentang kondisi di Teluk Guantanamo, tempat Yee ditugaskan pada tahun 2003. Tugasnya adalah melanyani kebutuhan spiritual para tahanan di sana, dan karenanya ia lebih memahami kondisi mereka ketimbang orang lain. Namun, karena itu ia malah dijuluki ‘Taliban Cina’, disindir, dicerca, dan difitnah macam-macam. Semua itu tidak terbukti; seluruh dakwaan terhadapnya dibatalkan. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur.
Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya.
After Maj. Hassan went on a violent shooting spree at Fort Hood, the media reported the account of a military cowering to political correctness and unwilling to do something with Hassan other than hand off the problem like a hot potato. Do WHAT with him do you think? Editorials were subsequently written that we need to do more profiling. Even Dick Cheney got into the act and claimed Obama was failing to keep us safe.
Please read this book. Then see if you're so quick to believe the military's whining about political correctness. Can we believe ANYTHING the military or our government says about the war on terror, or must we acquire a taste for lies in the name of national security. Was Fort Hood just an opportunity to spin the media and return to the horrible ways of the former administration.
We should be asking WHY we are not hearing Captain Yee's story on the news and talk shows. The only down side of reading this book is that if you ever decide to speak truth to power, you too may find yourself grabbed in the middle of the night and put into a gulag - and if you're fortunate enough to get out in one piece your reputation will have been destroyed. All with no regard to your family, the law, the constitution, or fundamental human rights.
We should be afraid. But perhaps those who claim to protect us from danger should be feared the most.
This was a very disturbing book. It is the memoir of a Muslim US Army chaplain assigned to Camp Delta in Guantanamo Bay in the wake of 9/11, who became one of many victims of flagrant human-rights violations in the course of the general anti-Muslim backlash.
Though hardly enjoyable, there's a story here that everyone should read and consider along with all the stuff coming at us from the government, churches, partisan politics, and the media. I acknowledge that a memoirist can choose what to include and what not to include to present himself in the most positive light, and that Yee may also have been somewhat naive. But I am also convinced that he did not make all this up and that he was a conscientious soldier. Many questions remain in my mind about our justice system and the motives behind what happened, as well as how Chaplain Yee (a third-generation Chinese-American who converted to Islam as a young adult) can still love and want to serve his country.
Buku ini menceritakan sebuah otobiografi dari seorang James Yee. siapa itu James Yee? Yee adalah seorang perwira militer di lingkungan US Army (angkatan darat AS), pangkatnya adalah kapten. James Yee adalah satu di antara sedikit dari perwira AS yang memeluk agama islam alias muslim. pada awalnya karirnya di militer cukup lancar, ia sendiri merupakan lulusan dari “West Point” yang merupakan akademi militer terbaik di AS sana. ia masuk Islam pada tahun 1991, setelah itu pria keturunan Cina ini pergi ke damaskus untuk mempelajari islam. setelah ia pulang kemudian ia memutuskan untuk masuk korps Chaplain atau pemuka agama di lingkungan militer. James Yee merupakan seorang patriot yang setia membela negara dan ia juga seorang pemuka agama yang cinta akan Tuhan-nya.
Buku ini juga menceritakan, kekejaman pemerintah amerika kepada kaum muslim. setelah adanya issu bom WTC.
This book illustrates how fear has fueled the fire of hatred living in our country. When we reduce other human beings to not being worthy of humane treatment, we demoralize ourselves. It's a sad commentary on the United States of America when hatred becomes the driving force of our actions.
This book angered me. As in, I would read a page or two, and then have to stop, catch my breath, and calm myself. I consider myself a patriot of my country. I am the descendent of numerous veterans and I can trace my relationship to two United States presidents. I am a spouse of a veteran and the mother of one. What this man was put through, simply because of his religion, makes my blood boil. My heart breaks for Yousaf Yee, and the lasting effects this ordeal had on him. I also thank him, because through this book, I learned more about the religion of Islam that I did not know. And learning about others and their cultures should be something we all aspire to. It is how we learn about life, and gain empathy. But I'm still angry.
Ini adalah buku pertama yang saya terjemahkan dan juga buku yang paling menyentuh secara emosional.
Yee mencintai Tuhan dan Amerika, namun salah satunya memenjarakannya.
Pelecehan terhadap kitab suci umat Islam kerap terjadi di Penjara Guantanamo. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Saya sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai.
Guantamo Jail Mereka tidak peduli pangkat saya kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agama saya melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadap saya. Mereka tidak peduli istri dan anak-anak saya tidak mengetahui keberadaan saya. Mereka pun jelas tidak peduli kalau saya adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah.
***
West Point Collegiate Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.
my wife : teach me to using gun Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya...
Sarat dengan pengungkapan rahasia. (The Washington Post)
[Yee] mengatakan dalam bukunya bahwa otoritas militer secara sadar menciptakan atmosfer di mana para penjaga merasa bebas menyiksa para tahanan. (The New York Times)
Kisah pedih Yee yang ia sebut sebagai pelecehan terhadap keyakinan dan patriotismenya ini sunguh menggelisahkan... (USA Today)
my family James Yee tiba di Guantanamo sebagai perwira AS yang patriotik... Namun kemudian ia ditahan, dituduh menjadi mata-mata. Ini adalah kisahnya yang menggelisahkan. (The Sunday Times)
Kapten James Yee, korban paranoid Washington. (Kompas)
James Yee. Berbagai tekanan diterima karena ras dan kepercayaannya. (Tempo)
Yee mendapat perlakuan layaknya tahanan lain di kamp yang terkenal dengan kekejaman para penjaganya itu... (Republika)
*** Kisah James Yee ini mengungkap bagaimana seorang lulusan West Point yang patriotik didakwa dengan dakwaan yang amat serius dan ditahan dalam sel isolasi—semua itu tanpa bukti apa pun.
James Yee dibesarkan di New Jersey dan—seperti ayah dan kakak-kakaknya—ingin mengabdi pada negaranya. Ia memutuskan untuk masuk US Army Chaplain Corps (Korps Ulama Angkatan Darat AS) sebagai salah seorang ulama Muslim pertama. Kisahnya ini dituturkan dengan amat memikat, menyuguhkan pandangan orang-dalam tentang
kondisi di Teluk Guantanamo, tempat Yee ditugaskan pada tahun 2003. Tugasnya adalah melanyani kebutuhan spiritual para tahanan di sana, dan karenanya ia lebih memahami kondisi mereka ketimbang orang lain. Namun, karena itu ia malah dijuluki ‘Taliban Cina’, disindir, dicerca, dan difitnah macam-macam. Semua itu tidak terbukti; seluruh dakwaan terhadapnya dibatalkan. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur.
Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya.
inilah cermin paranoidnya amerika terhadap Islam, sampe harus mengorbankan salah satu prajurit nya sendiri.
Kapten Yee(James Yee),35 tahun, pembina rohani militer yang ditahan tanpa tuduhan, sesudah bertugas di Guantánamo
Kegigihan dalam menyampaikan Islam diakui orang-orang yang mengenalnya. Kegigihan yang sama telah mengatarnya jadi jagoan gulat waktu SMA, lulus akademi militer West Point, dan menjadi seorang muallaf yang teguh. Kegigihan itu juga membawa nya ditugaskan membina para tahanan Muslim di penjara Teluk Guantánamo, Kuba. Di sana, Kapten Yee-lah yang membuat azan terdengar lima kali sehari ke seluruh sudut penjara lewat sebuah pengeras suara. Kalau CD-player-nya mengalami kerusakan, ia sendiri yang melantunkan azan lewat sebuah mikrofon.
“Saya memberi masukan kepada komandan pangkalan dengan rasa hormat pada agama dan membantu fasilitas peribadahan di sini,” kata Kapten Yee. “Tapi yang terpenting, saya berguna meredakan berbagai ketegangan di dalam kamp.”
para pejabat militer menangkapnya di suatu tempat di Florida dan menahannya di sebuah markas militer di South Carolina. Sejak itu ia terus diperiksa atas kecurigaan melakukan kegiatan mata-mata di Guantánamo. Para pejabat militer menolak mengatakan kenapa Kapten Yee, yang belum dikenai tuduhan apa-apa, diperiksa secara intensif. Para pejabat hukum lain mengatakan penyelidikan itu diarahkan pada kecurigaan kegiatan mata-mata, bantuan yang melenceng kepada para tahanan, atau kemungkinan pelanggaran tugas militer lainnya.
Mereka yang mengenal Kapten Yee di Olympia mengaku heran mendengar kabar penangkapannya. Yee tinggal di kota itu empat tahun terakhir ini dan aktif di masjid setempat. Terkadang ia mengimami shalat dan memberi khutbah Jumat menggantikan imamnya. Menurut mereka yang mengenalnya, Yee selalu menegaskan adanya kesalahfahaman terhadap Islam sesudah 11 September, 2001. Mereka juga mengatakan, Yee selalu menegaskan kesetiaannya yang kokoh pada Amerika Serikat dan pada dinas kemiliterannya. Pria itu selama ini terdaftar sebagai pembina rohani di Batalyon Sandi ke-29 di Fort Lewis.
waktu saya beli, buku ini sudah dicetak ulang sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 2 bulan saja.
I was so intrigued by an interview with the author that I ordered his book right away. The storyline is quite interesting and revealing. It feels like you really get to know the author. Rather than an accusational barage, it is an in depth analysis of what went/is going wrong with our military system (or lack thereof) at Guantanamo Bay. Now whenever I hear news of the court battles regarding Guantanamo Bay detainees I am very interested. The last half of the book moved relatively slowly and was not as interesting to read, but still an essential part of the story and well written.
One of the best books I have ever read. It struck me in a way that really had me reconsider the Army Chaplaincy. Meeting some of the players mentioned in the book also made it real for me. Nevertheless, it is a GREAT book.
This book was written for an easy read. The author tried to cover most of the main points of what took place in his life before joining the military. I liked it but wanted to see more in the ending. I recommend it for anyone who thinks the system is perfect and fair; it isn't.
Thought this book would be interesting to learn more about the Muslim faith but I learned very little on that topic. Most of the book is sympathetic discussion around the treatment of the detainees at Gitmo and the elongated military detention of Yee. It certainly makes the military brass and their justice system looked majorly flawed. But overall this book is just two stars for me.
When one does not know how to deal with a crisis, when one does not have a good self regulation process, when one does does not know how to cope and deal with trauma. One simply blames other and find a scape goat as long as one can feel better about one self... this is a story of how that "one" is actually a country
this is another biography book of a chinese. A true stroy of a muslim chinese man who also works for US Army and finally got arrested because of the accusations of being a terrorism. This book has opened my eyes of the tortured which US governement did in Guantanamo Prison
A very engaging, well-written work. Chaplain Yee is an inspiration to all Americans who believe in American justice (especially due process). I met him and he signed my book; he is a very articulate man with no resentment and nothing to hide.
An absolutely fascinating account in such unique circumstances. I just wanted to keep reading on, it was that absorbing. On top of that, Chaplain Yee underwent this ordeal in the utmost class.
Interesting, but sad book. I tried to look him up online to see the latest news about him, but literally nothing was there. Looks like he disappeared from the media after this case.
Autobiografi satu individu yang mengorek dosa satu negara tentang ilusi keadilan dan hak asasi manusia. Meski bukan rahasia lagi bahwa AS adalah manifestasi palsu dari patriotisme dan anti-terorisme, buku ini membongkar lebih jauh lagi bagaimana sistem suatu negara bergerak dalam paranoia irasional yang merugikan banyak kelompok marginal. Ketika kita butuh lebih banyak lagi alasan untuk membenci AS, buku ini ada di daftar terdepan.
This book in the recommendation section as I tried to find a good biography recommendation. It turned they recommend a book that I've ever read and leave a horrible impression in my mind. A book that I read perhap 8-10 years ago when I was still a high school student. About violence and crime that US do to some Muslim ini a prison of Guantanamo. It's in fact not a usual prison. There were a lot of human rights torn away as so to my heart hurts reading it. But people have to read this in order to be aware of what happened. I don't know if it's still happened in the current time. I hope and pray it's not.
The New York Times, koran terbesar di AS, edisi 24 September 2003, memuat sekelumit perjalanan hidup James Yee, pembina rohani militer yang ditahan tanpa tuduhan, sesudah bertugas di Guantánamo
Beberapa hari setelah peristiwa 11 September, Kapten James J Yee, pembina rohani Islam yang bertugas di pangkalan Angkatan Darat Fort Lewis, mendapat tugas baru. Menurut yang pernah mendengar ceramah-ceramahnya, kemanapun pergi ia selalu menyampaikan, bahwa Islam bukan agama kekerasan, di pangkalan militer, gereja, masjid, kampus dan di jalan-jalan Olympia, kota tempatnya tinggal bersama isteri dan puterinya.
Kegigihan Kapten Yee, 35 tahun, dalam menyampaikan Islam diakui orang-orang yang mengenalnya. Kegigihan yang sama telah mengatarnya jadi jagoan gulat waktu SMA, lulus akademi militer West Point, dan menjadi seorang muallaf yang teguh. Kegigihan itu juga dibawanya ketika tahun lalu ditugaskan membina para tahanan Muslim di penjara Teluk Guantánamo, Kuba. Di tempat itu, Kapten Yee-lah yang membuat azan terdengar lima kali sehari ke seluruh sudut penjara lewat sebuah pengeras suara. Kalau CD-player-nya mengalami kerusakan, ia sendiri yang melantunkan azan lewat sebuah mikrofon.
Sudah jadi bagian dari tugasnya, katanya dalam sebuah wawancara April lalu, untuk menengahi kesalahfahaman antara para tahanan dan pejabat penjara.
“Saya memberi masukan kepada komandan pangkalan dengan rasa hormat pada agama dan membantu fasilitas peribadahan di sini,” kata Kapten Yee. “Tapi yang terpenting, saya berguna meredakan berbagai ketegangan di dalam kamp.”
Kapten Yee meninggalkan Guantánamo dua pekan silam menuju rumahnya. Tapi belum sempat ia bertemu keluarganya, 10 September lalu para pejabat militer menangkapnya di suatu tempat di Florida dan menahannya di sebuah markas militer di South Carolina. Sejak itu ia terus diperiksa atas kecurigaan melakukan kegiatan mata-mata di Guantánamo. Para pejabat militer menolak mengatakan kenapa Kapten Yee, yang belum dikenai tuduhan apa-apa, diperiksa secara intensif. Para pejabat hukum lain mengatakan penyelidikan itu diarahkan pada kecurigaan kegiatan mata-mata, bantuan yang melenceng kepada para tahanan, atau kemungkinan pelanggaran tugas militer lainnya.
Seorang pejabat militer kemarin menyatakan, Kapten Yee ditemukan telah menggambar denah-denah letak para tahanan di dalam kamp, daftar siapa interogator dan siapa yang diinterogasi, serta catatan-catatan tentang apa saja yang ditanyakan.
Pejabat, yang menolak disebutkan identitasnya itu mengatakan, salah satu alasan kecurigaan atas Kapten Yee karena ia pernah terlihat bersama dua anggota militer lain yang sedang dalam pengawasan. Tidak jelas apakah salah satu dari dua orang itu adalah penerbang senior Ahmad I al-Halabi, yang pernah jadi penterjemah di Guantánamo yang dituduh melakukan kegiatan mata-mata dan mengirimkan rahasia-rahasia militer ke Suriah.
Para pejabat militer tidak akan membeberkan nama-nama penasihat hukum Kapten Yee. Di bawah hukum militer AS setiap tahanan harus sudah dibawa ke pengadilan dalam waktu 120 hari sesudah penangkapannya.
Mereka yang mengenal Kapten Yee di Olympia mengaku heran mendengar kabar penangkapannya. Yee tinggal di kota itu empat tahun terakhir ini dan aktif di masjid setempat. Terkadang ia mengimami shalat dan memberi khutbah Jumat menggantikan imamnya. Menurut mereka yang mengenalnya, Yee selalu menegaskan adanya kesalahfahaman terhadap Islam sesudah 11 September, 2001. Mereka juga mengatakan, Yee selalu menegaskan kesetiaannya yang kokoh pada Amerika Serikat dan pada dinas kemiliterannya. Pria itu selama ini terdaftar sebagai pembina rohani di Batalyon Sandi ke-29 di Fort Lewis.
Kesimpulan dari buku ini adalah, sebegitu paranoidnya amerika terhadap Islam, sampe harus mengorbankan salah satu prajurit(walaupun pada kenyataannya yee tidak sendiri) terbaiknya.
I rarely read real-life stories that leave me speechless after Andrea Hirata novels, but Captain James Yee’s story genuinely stunned me. It’s one of those narratives that forces you to stop, think, and say, “Wait… this actually happened?” I remember literally pausing and muttering, “Oh… so this is how it really was?” It’s no exaggeration.
Have you ever heard of a soldier being accused of terrorism by the very country he served just because of his religion? That’s exactly what happened to Captain James Yee, and his story reads like a thriller… except it’s all true. Lucky me, I read this around 2019 or 2020 if I’m not mistaken and I reread this again!!!!!
Who Was Captain James Yee?
James Yee was a West Point graduate, a proud Chinese-American, and a U.S. Army chaplain. After converting to Islam while serving overseas, he was assigned to Guantanamo Bay, where he ministered to Muslim detainees.
You’d think this role an American Muslim providing spiritual care in one of the world’s most controversial detention centers would symbolize cultural understanding and inclusion. Instead, it became the reason for his undoing.
In 2003, Yee was arrested and accused of espionage, suspected of aiding terrorists and mishandling classified information. Just like that, the uniform he wore for years meant nothing.
His new label? Traitor.
He was thrown into solitary confinement, placed under harsh surveillance, and treated like a national security threat.
The conditions were degrading. His cell had an open toilet. Meals were served in dehumanizing ways. He was prohibited from speaking freely and pressured to confess to crimes he didn’t commit of course with violations from the officers.
All of this based on mere suspicion and the fact that he was a Muslim man working with Muslim detainees.
Let’s be honest: this wasn’t just a legal issue. It was about fear, ignorance, and bias rooted in post-9/11 paranoia.
Captain Yee was never charged with espionage. In fact, all serious allegations were dropped. But the damage to his reputation, career, and mental well-being was irreversible.
Can you be Muslim, American, and fully trusted in both roles? What happens when patriotism isn’t enough to protect you? How many others have suffered in silence?
What captivated me about Yee’s story wasn’t just the injustice. It was the dignity with which he endured it. Despite everything. Despite being betrayed by the system he served. He stood firm in his faith and told his truth.
His memoir (which I won’t spoil here) is raw, thoughtful, and honest. It’s not just about his suffering. It’s about resilience, identity, and reclaiming dignity in a world that tried to strip it away.
A Must-Read for the Current Generation
If you're interested in: - Military ethics - Religious freedom - Human rights - Or just a powerful, real-life underdog story…
You need to read about Captain James Yee.
It will challenge your assumptions, shake your moral compass, and leave you asking: "What would I have done in his place?"
Captain James Yee’s journey is a stunning reminder of how easily fear can override justice, and how important it is to stand up for your truth even when the odds are against you.
⭐10/10 An unforgettable story of faith, betrayal, and redemption. Read it. Reflect on it. Share it.
Kisah hidup seorang James dimulai dari sekelumit kisah hidupnya di waktu kecil, hingga akhirnya menjadi tahanan penjara karena dianggap mata-mata dan teroris oleh Amerika. Padahal semuanya tidak memiliki bukti dan alasan yang jelas. Tentang perjuangan seorang ulama muslim yang bekerja di pangkalan militer Amerika Serikat.Melakukan pendidikan kemiliteran di West Point, setelah lulus ia menemukan hidayah ke Islam (sebelumnya Kristen). Kemudian ia menjadi seoarang mualaf dengan kemampuan berceramah agama dan berbahasa Arab, setelah sebelumnya mempelajarinya di Suriah. *Memperlihatkan pandangan dan deskripsinya mengenai Islam sebagai seorang mualaf yang mendalam. Membuat saya malu dan terpacu untuk menjadi lebih baik lagi. Lalu ketika terjadi peristiwa 11 September, perannya sebagai ulama pun tertantang. Ia diharuskan memberikan presentasi, diskusi, dan tanya jawab kepada tentara non-muslim. *Suatu tugas yang berat menurutku, disaat kecaman terhadap muslim mulai meluas. Subhanallah, dibutuhkan keberanian, kemampuan interpersonal yang baik, kecerdasan dan tentunya pengetahuan mengenai Islam yang luas. Lalu ia ditugaskan bekerja di Guantanamo sebagai ulama untuk memastikan hak-hak tahanan keber-agamaan mereka terpenuhi, ia menemukan banyak ketidakadilan, status tahanan yang tidak jelas penahanannya hingga kapan, bahkan tawanan disana tidak dianggap sebagai tawanan perang. Sehingga ketentuan konvensi Jenewa tidak berlaku kepada mereka, yaitu mengenai perlindungan hak-hak tawanan perang. Akhirnya ia memastikan menjalankan dan membuat Standar Prosedur Operasional yang baru, untuk memastikan hak-hak tahanan. Antara lain, adanya tindak tidak hormat terhadap perlakuan Al-Qur'an, penganiayaan tidak beralasan, dan interogasi yang melanggar prosedur militer yang seharusnya. Setelah tugasnya diselesaikan dengan baik ia pun masih menghadapi cobaan karena pemerintah Amerika melakukan penahanan dengan tuduhan sebagai mata-mata dan membawa informasi berharga keluar dari Guantanamo.Bagaimana dukungan dari komunitas Islam dan keturunan Cina mengalir kepada dirinya membuat dirinya semangat dan bertekad melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya. Yang akhirnya tuduhan itu tidak beralasan, dan kemudian dihapuskan. *Begitu pentingnya dukungan dari saudara seiman, terhadap hak-haknya yang telah didzalimi. James yang telah berganti nama menjadi Yusuf akhirnya meminta berhenti karena diskriminasi yang kini ia terima di tempat berkerja, dan ia diberhentikan dengan hormat juga mendapat penghargaan dari pihak militer. Semua cerita yang dipaparkan di buku ini menunjukkan ketidakadilan Amerika terhadap James hanya semata-mata karena ia berstatus sebagai tentara muslim. Tetapi untuk Tuhan dan Negara James telah melakukan pengorbanan yang besar untuk keberlangsungan jaminan hak-hak saudaranya sesama muslim lainnya. Bertekad agar kelak tidak ada lagi kejadian seperti ini lagi yang menimpa saudara muslimnya yang lain. *Suatu cita-cita yang mulia.
Buku ini menceritakan pengalaman pribadi yang diceritakan secara subjektif oleh James Yee, seorang keturunan Amerika - Cina yang menjadi Kapten Ulama Militer (Chaplain) bagi umat Muslim dalam militer Amerika, terutama dalam misi besar terakhirnya saat bekerja sebagai Ulama Militer di penjara khusus teroris Amerika Serikat, "Guantanamo". Tepat sebelum dia difitnah dan dipenjara karena melaksanakan keyakinannya.
Yee adalah seorang patriot Amerika yang mengabdikan seluruh hidupnya menjadi tentara Amerika. Ia adalah seorang tentara yang cinta pada Tuhan dan negaranya. Dalam karier militernya pun Yee mendapatkan penghargaan dan rekomendasi dari atasan maupun rekan yang pernah bekerja dengannya.
Yee menceritakan kesehariannya sebagai pembimbing spiritual bagi umat Muslim d Guantanamo, yang dalam hal ini sedikit sekali personel dan seluruh tahanan. Dia menyaksikan sendiri bagaimana hukum dan konstitusi Amerika Serikat serta Hak Asasi Manusia diselewengkan dsana.
Sebelumnya Yee berpaham bahwa militer Amerika memberikan kesempatan bagi semua warga negaranya untuk mengabdi tanpa memandang ras dan agama. Namun di guantanamo Yee justru menyaksikan keadaan yang sungguh berbeda. Perbedaan agama justru satu2 permasalahan dsana. Diskriminasi terhadap Islam tidak hanya terjadi pada para tahanan namun juga terhadap personelnya. Tahanan dsna diperlakukan sangat tidak manusiawi dan kejam. Bentrokan antar tahanan dan penjaga seringkali terjadi akibat pelecehan terhadap Aqidah islam dan Al-Quran oleh para penjaga. Bahkan para penjaga dan investigator menggunakan Islam untuk menyiksa dan memancing emosi para tahanan.
Saat Yee hampir menyelesaikan masa tugasnya di Guantanamo, dia ditahan atas tuduhan melakukan spionase selama di Guantanamo. Dia ditahan selama 3 bulan di penjara dengan sistem keamanan paling tinggi tanpa bukti dan tuntutan apapun. Bahkan beritanya disebarkan untuk menghancurkan karier dan namanya.
Kebenaran dari kisah ini benar2 sangat mencemaskan.
James Yee was born and raised in New Jersey. His parents and four siblings were a normal Asian American family. Although his mother tried to get the children interested in Chinese culture none of them could speak a word of Chinese. James memorized baseball statistics, had friends, celebrated American holidays like the Fourth of July. He wrestled in high school and excelled academically. He went on to graduate from West Point and proudly serve in the US Military.
After a tour of duty in Saudi Arabia shortly after Desert Storm James discovered the Muslim faith. What began as a casual relationship with Islam turned into a spiritual journey. He studied Arabic and Islamic studies for three years in Damascus Syria. And he returned to the armed forces to become one of the first Muslim Chaplains to serve in the US Military.
His decision to serve as a Muslim chaplain in the US Military occurred years before September 11th, 2001. The tragedy of 9/11 pulled James Yee and his unique vocation as a Muslim Chaplain to serve in Guantanamo Bay at a time when his services were sorely needed and overtly despised at the same time. He was loyal to both the Muslim faith and the US Military. But his military colleagues, influenced by post 9/11 American fervor and anti-Muslim fear, labeled him a traitor. The US government, with spurious evidence, threw him jail and tarnished a career that he held dear.
James Yee's story is a unique look into the Muslim faith. The similarities between Christianity and Islam are simply painted by James. His courage and heroism are a stark contrast to the discrimination, ignorance, and fear displayed by his military colleagues. This book attempts to set the record straight for Captain Yee. He travels from the safety of an American family to the outer fringes of American paranoia.
For God and Country: Faith and Patriotism Under Fire is the chronicle of James Yee's Kafkaesque journey as a Muslim chaplain in the U.S. Army and false charges against him that resulted in his long incarceration. Chaplain Yusuf was one of the chaplains at Guantanamo who ministered to both the Muslim military and civilian personnel and the detainees there. While eventually charges of treason and espionage (as well as trumped up charges of adultery and downloading pornography to his Army computer) were dropped, his life and reputation were forever changed.
This sobering narrative was serious food for thought for me. Like Chaplain Yusuf, I'm an American born and bred of Asian ancestry, raised in Protestant Christianity but who converted to Islam as an adult. In recent weeks, I have tightened my sphere of genuine friends (though I acknowledge that support will often come from unexpected places).
I read this book for the parallels between Chaplain Yusuf and myself, but also as research for a course proposal on "Chaplains of the 9/11 Era." (I'm also planning on reading more of the life and career of Father Mychal Judge.) Now I see that such a course would be too controversial and have decided to not propose it. Perhaps more later.
A challenging story that questions the tide of our times in the worlds current stand on terrorism and United States internal battle as the worlds leader in this fight.
Chaplin Yee's straight forwardness in telling a difficult and painful story of family and faith that entangled with deeper national identity crisis and those who make decisions on who is what, somehow appeals to the ordinary person, American or not, and how the system can instantly victimize you and everything you stand for in a blink of an eye.
I was grateful that this book opened my eyes to complex issue of terrorism and how it has impacted on Muslim community everywhere. This also questions my perception and how I must be more careful and not be conclusive when reading media coverages of war and the community it is impacting.
Not to mention reading the Guantanamo scene was almost surreal as if time in that little corner of Cuba lost its way and turned back.
This was the one book that I wanted to read before I returned to school this fall because I believed it would help me increase my faith and my passion for military ministry. It fully delivered at a heavy cost. This book was very hard to read the whole way through and hurt to read the stories of detainees with alleged charges no different than Asians during the second World War or those I personally interviewed in the former Yugoslavia. The same witness accounts of suffering that James (Yusuf) Yee told that wore on my Soul renewed my vision for what we can withstand as creations of God when put in to captivity at the hands of our own brothers and sisters. We can only be so lucky that our own captivity will bring us the opportunity to live up to the words that Yusuf Yee speaks within the pages of his pages.
The case of Capt. James Yee is but one example of the wide-spread paranoia, suspicion and backlash stemming from the wake of the tragedy of 11 September 2001. Capt. Yee, a 2nd generation Chinese American who excelled not only in his academic career, but also in his military career, received an assignment as Chaplain for Muslim internees in Guantanamo, Cuba in the earlier stages of the US-led War on Terror.
While exercising his duty as a Muslim, Chaplain and US Military member, then Capt. Yee was subjected to suspicion that resulted in charges that would lead to a full court martial. His trials and subsequent exoneration are not only clearly documented throughout this work, but they also provide an inspiring message of patience, perseverance and honor that transcend individual faith and conviction.