Pornografi sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Papirus Mesir dari masa 1150 SM telah menggambarkan berbagai adegan yang bisa dipersamakan dengan foto-foto di majalah porno era 1970an. Saat reruntuhan kota Pompeii yang ditelan oleh letusan Gunung Vesuvius pada 79 M ditemukan kembali, berbagai artefak dengan gambaran yang sangat seksual juga turut dijumpai di sana.
Seiring dengan perkembangan teknologi, mulai dari mesin cetak hingga internet, hasrat dan fantasi seksual manusia pun kini diarsipkan, dicetak, disimpan, dan disebarluaskan. Siapa pun kini yang memiliki ponsel berkamera sudah bisa membuat karya pornografinya sendiri. Bukan rahasia pula bila banyak orang yang mengutuki seks dan pornografi di ruang publik, diam-diam juga menikmatinya secara pribadi. Big data dari perilaku berinternet masyarakat menunjukkan bukti yang tak bisa ditutupi oleh moralisme publik.
Buku dengan gaya penulisan populer namun bertungkus lumus dengan teori-teori besar ini adalah semacam ajakan untuk berdialog secara dewasa tentang seksualitas, pornografi, dan kecabulan masa kini. Dari halaman pertama buku ini, Anda akan diajak menyusuri jejak pornografi dan seks dalam beragam bentuk, menganalisis berbagai imajinasi hingga pada akhirnya Anda “dipaksa” untuk melihat dan menyadari betapa kompleksnya seksualitas manusia dan manusia itu sendiri yang tidak bisa diberangus dalam satu dua kategori begitu saja seperti yang dikehendaki oleh wacana dominan.
Tulisan judulnya sampai disensor. Ini sinyal bahwa buku ini memang rada rada, alias dibutuhkan pemikiran terbuka (bukan pikiran yang kotor) untuk membacanya. Selain mengakui bahwa dirinya seorang gay dan mendukung LGBT, buku ini dipenuhi dengan puluhan judul buku dan artikel tentang seksualitas. Tapi yang lebih gawat lagi, penulis juga memberikan referensi film film porno, bintang film porno, dan juga berbagai peristiwa seputar pornografi. Nggak kebayang kalau yang baca pikirannya selangkangan, pasti langsung Googling. Penulis memang mengakui dalam studinya ia menggunakan film film porno untuk diteliti.
Tapi bagaimana ya, saya bacanya biasa aja kok. Malah buku ini cenderung "membosankan" karena isinya memang lebih mirip jurnal ketimbang tulisan cabul. Kalau melihat daftar pustaka ya, saya sampai heran betapa judul buku di barat itu banyak sekali, spesifik, dan beragam--termasuk dalam ranah seksualitas. Penulis dalam menyampaikan pemikirannya menggunakan metode esai yang kaya, bahkan terlalu kaya, akan referensi. Bagian awalnya mungkin agak agak dekat dengan menyerempet hal cabul di masyarakat, tetapi selebihnya isinya adalah penelitian, pemaparan, dan simpulan ilmiah. Sama sekali tidak porno. Atau dengan kata lain, penulis mengubah hal hal porno menjadi semacam kumpulan data etnografis antropologis feminis sosiologis.
Banyak yang bisa kita pelajari tentang seksualitas manusia di buku ini, walau saya menganggap materinya terlalu sophisticated dan tinggi. Misalnya saja terkait sadomasokis (apakah ini pelecehan terhadap wanita, tapi di saat yg sama bagaimana jika si wanita menyukainya?), tentang film porno yg laki laki sentris, tentang teori Freudian terkait phallus, juga tentang orientasi seksual yang ternyata ada begitu beragam. Butuh pikiran yang tenang, serta waktu yang luang untuk bisa membaca tulisan tulisan "cabul" tapi intelek di buku ini.
Terlepas dari teori-teori yang dipaparkan penulis (yang sangat banyak), beberapa bahasan sepertinya bukan hal baru lagi bagi orang dewasa. Mungkin kita tidak bangga punya pengetahuan tentang kategori film porno, dan karena itu kita jarang membicarakannya. Namun, ketika membaca ini, saya seperti "Yes, I know. Bisa diringkas bahasan ini?". Dalam beberapa bagian, terutama bagian kedua, saya banyak skimming karena merasa punya "cukup" pengetahuan dan elaborasinya tidak penting-penting amat.
Saya setuju ketika Hendri bilang buku ini ibarat "draft". Perlu diskusi lebih lanjut mengenai seksualitas. Saya berpikir, kebanyakan contoh di buku ini diambil dari film-film porno profesional. Akan lebih menarik mengkaji video-video porno amatir yang bersliweran di sosial media dan direkam ala kadarnya. Apakah hal itu adalah dampak kapitalisme pornografi? Apa motif pengunggah dan si aktor sendiri?
Saya membayangkan jika saja ditulis dengan cara yang lentur, dan jika saja ada sedikit gairah memasukan jurnalisme sastra, pari buku ini sangat menawan. Bean teori dan pilihan kata yang meletup-letup membuat proses kelancaran pembacaan terhambat. Bolak balik dan terus bolak balik. Tendensinya jelas terasa sejak awal kalimat. Tidak lentur.
Oh ya, buku ini seperti lebih terasa emosional. Bukankah cendikia yg baik akan lebih luwes dan melenakan saat ‘memaksakan’ isme-isme-nya?
Saya membayangkan jika saja ditulis dengan lebih santai dan renyah, tema seserius ini akan mudah untuk menjadi wacana. Saya lebih merasakan amarah penulisnya. Boro-boro mau diskusi dgn bukunya, deket orang marah mana betah.
Frankly said it's like understanding porn without watching porn. the interesting part is when someone like me which coitus is just inserting penis into vagina repeatedly, has a new insight about sex in our social construct. this book talked about how relationship between coitus and feminism, economy, human psychology also social in general.
Isu yang diangkat sangat menarik karena belum sering diangkat dengan serius di Indonesia. Namun sebagai orang yang juga peduli dengan isu gender, tubuh dan seksualitas, buku ini tidak terlalu memberikan pemikiran segar yang meluaskan perspektif saya. Namun bagi awam yang mungkin tidak terlalu dekat dengan isu ini, buku ini dapat menjadi pintu masuk untuk menyelami hal-hal ini dengan menarik. Gaya penulisannya sangat populer, sehingga membacanya menjadi ringan meski isu yang diangkat sebetulnya bisa cukup dalam. Patut dicoba!
Masing-masing Sapiens punya kecenderungan fantasi seksual yang berbeda-beda; Perempuan yang memikirkan berhubungan dengan pacar atau suami sahabatnya sendiri, perselingkuhan dengan latar perkantoran antara bos dan sekretaris, laki-laki yang ingin sedikit 'didisiplinkan' dalam hubungan seks dengan bantuan pecut, seorang perempuan yang ingin melakukan threesome dengan laki-laki yang bukan pasangannya, atau laki-laki yg ingin di 'gangbang' oleh banyak perempuan sekaligus.
Normalnya, dalam hidup bermasyarakat, fantasi seksual seperti ini di atribusikan dengan perilaku yang amoral, menjijikan, abnormal bahkan sebagai patologis dalam mayarakat. Kurva lonceng ini kemudian di fiksasi oleh seperangkat norma-norma. Dari intervensi kriminalisasi negara dalam bentuk pengaturan perundang-undangan sampai moral correctness yang bersifat transenden didasari oleh kitab suci. Sehingga percakapan seperti ini - tentang seks dan fantasi seks - dalam ruang publik menjadi sangat tabu.
"Kita semua adalah orang yang cabul (pervert) pada berbagai tingkatan yang berbeda-beda". Kata Psikolog Jesse Bering. Selain fantasi yang telah disebutkan, tentu masih banyak fantasi dan imajinasi seks kita yang dipendam dan malu untuk diungkapkan. Padahal, fantasi adalah sebuah ruang paling jujur. Hampir sama ketika berhubungan seks, saat tak ada sehelai kain pun menempel dan rasa malu berintensi dengan gairah, kita menjadi makhluk yang paling jujur, mengerang, menjerit dan orgasme tanpa perlu malu dan takut akan penghakiman.
Kenikmatan dan fantasi seks, harus diakui, seringkali hadir dalam bentuk pembangkangan terhadap norma. Studi membuktikan, semakin perilaku tertentu dilarang maka tingkat kepuasan yang didapatkan pun akan semakin maksimal. Konservatisme moral yang diderivasi menjadi norma, adalah seperangkat konstruksi sosial dan budaya. Dulu, seks hanya dibicarakan pada ruang privat, sekarang dengan teknologi batas antara yang privat dan publik menjadi kabur. Dibalik norma konservatif, bersemayam kepanikan moral.
Fantasi dan hubungan seksual, bukan sekedar untuk menyalurkan hasrat hewan kita untuk bereplikasi. Lebih dalam menyoal tentang kemanunggalan dan peleburan dua tubuh yang kacau dan tak terarah untuk menyentuh dimensi intimasi hubungan.
Pada akhirnya, kita mengenal tubuh dan seks lewat bahasa yang kemudian direproduksi oleh media, pengetahuan, dan norma sosio kultural. Perilaku dan hubungan seks pada perkembangannya, pada taraf tertentu dikonstruksi oleh logika pasar dan budaya konsumerisme dalam masyarakat modern. Akhirnya tubuh tidak hanya sekadar darah dan daging - serta sel-sel dan jaringan nya - Ia melampaui tubuh dalam arti biologis, menjadi diskursus arena alat politik untuk mendefinisikan tindakan moral dan amoral, bahkan menjadi industri yang menguntungkan.
Melalui buku ini, kecermatan penulis dalam kajian budaya (pornografi) melalui perspektif sosio-historis membawa percakapan yang tadinya tabu, untuk kembali diperbincangkan di ruang publik dengan kritis dan tajam.
buku ini menarik karena mengangkat isu yang tabu dan jarang dibicarakan di ruang publik. bahkan cenderung negatif dan dihindari. penulis secara terang-terangan bahkan menyebut buku ini mengambil referensi dari berbagai macam film-film porno.
tapi bagiku buku ini justru lebih terasa seperti jurnal ilmiah yang mengajak kita memandang pornografi dari dunia studi sosial dengan banyaknya referensi akademik yang dicantumkan. banyaknya studi kasus yang digunakan juga memantik pembaca untuk mendiskusikan isu ini lebih lanjut. diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima, mengkritisi, juga mendebat isi buku ini.
salah satu bab yang menarik adalah diskursus soal perbedaan kelompok feminis dalam memandang pornografi. kelompok feminis—meski tidak semua—adalah salah satu yang keras menentang pornografi karena mereka menilai pornografi adalah realitas kekerasan terhadap perempuan, di mana dalam industri pornografi tubuh perempuan menjadi sasaran modifikasi dan komodifikasi untuk kepentingan kapitalisme di bawah pengaruh budaya patriarki.
dalam relasi seksual, perempuan kerap berada pada posisi yang inferior dan pasif. sehingga menurut para feminis pro-porno, keterlibatan perempuan dalam karya-karya porno itu sebagai bentuk kebebasan perempuan dalam mengekspresikan fantasi seksualnya dan bahwa perempuan selalu memiliki pilihan atas apa yang ingin dia lakukan dengan tubuhnya. kita sebagai pembaca, disuguhkan dua pandangan yang bertolak belakang, dan dibebaskan untuk berada di sisi yang mana.
aku berharap buku seperti ini dapat disampaikan dengan bahasa yang lebih ringan, agar siapapun bisa membaca dan mudah memahami isinya. karena penting bagi anak muda untuk mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif dan tidak melulu soal pelarangan atau sensor. seksualitas memang ranah privat setiap individu, namun tidak seharusnya menjadi hal yang tabu.
Hendri Yulius’ C*bul: Perbincangan Serius Tentang Seksualitas Kontemporer unveils the contemporary sexuality from the pornographic points of view. The content of the books is very interesting because there are not so many non-fiction books which deal with the issues on sexuality, pornography and eroticism. The book is started with an intriguing quote by Leo Bersani from his writing Receptive Bodies saying, “Does sex exist?”
What I do love from all of those discussion is the fact that it is not only dealing with the pornography but also with gender, sexuality, queer and also the feminism. I love how Hendri keeps the discussion light and enlightening-of course! He for instance mentions that creampie can also be seen as a liberation of female sexuality and rejection towards the masculine domination (I know the word is a little bit like Pierre Bourdieu’s). He is also brilliant in presenting his discussion from different view like for instance from a queer point of view. He also provides the main keys for his ‘innocence’ readers to understand the concepts he tries to deliver.
Wow..... hahahaha. Saya menyimpulkan bahwa sebenarnya topik yang sedang diangkat di buku ini adalah tentang kesetaraan antar manusia, apapun gender, orientasi seksual, bahkan ras-nya. Memang sudah banyak buku yang membawa isu tersebut, hanya saja yang menjadi buku ini spesial adalah pembahasan isu tersebut dari satu sudut yang berusaha ditutup serapat-rapatnya dari publik, seks.
Saya beneran ngga menyangka bahwa this sexual thingy is so complicated antara 'penikmat' dan 'penyedia'.
Plus lagi dari buku ini adalah mengingatkan saya untuk tidak buru-buru judging sesuatu.
Saya rasa setiap penikmat film porno, harus baca buku ini. Setidaknya kita bisa menikmati film porno dengan otak yang berilmu haha.
It is hard to find a similar book in Indonesia. People commonly like to see sexuality as something similar to ghost: it is not discussed openly but it is secretly missed. I like its essay's form since it give more focus into the theme presented. Besides, the way Hendri Yulius gives the clear reference in his writings also gives the possibility for the readers to enrich their knowledge by tracing the literatures mentioned. Well, not all Indonesian essayists give the same thing in their writings and Hendri's way is good to be tried. I hope other books with similar themes could be found easier in Indonesia, in the future. Tabik.
Here's a little imagery, my view on sex was like staring at water on a bucket, meanwhile sex is like an entire ocean behind me. On sex, is not just about penis and vagina it's about human capability to sexualize its merely existence, it's (always been) complex and fluid. To experience it, is a journey to an infinite destination.
Buku yang cocok untuk mereka yang ingin memahami dan mendalami dunia pornografi. Seksualitas ternyata bisa digali sedalam ini dan bukan sekedar persoalan kenikmatan selangkangan
There is more to porn, itulah yang mau disampaikan Henri Yulius melalui Cabul. Lebih dari sekadar hasrat dan fantasi, porn dapat dibedah melalui berbagai sisi. Tentu saja apabila si penonton berhasil membaca melewati apa yang disajikan. Terus terang saya bukan kandidat penonton porn yang tepat, jadi beruntunglah saya si penulis menyampaikannya dalam bentuk yang sudah diolah. Tapi saya setuju bahwa hasrat seksual adalah sesuatu yang biologis serta alamiah dan rasanya patut mendapat ruang diskusi supaya kita maju selangkah dari ke-katro-an komunitas kita.
“Buku ini adalah sebuah upaya ringan untuk mulai membuka percakapan secara dewasa antara orang yang juga telah dewasa–baik secara usia dan pemikiran–untuk lebih melihat dan memahami isu seksualitas dengan lebih jujur dan kompleks. Selain sebagai pemantik percakapan (juga perdebatan serius namun santai), buku ini juga diharapkan dapat dianggap sebagai “Pengantar Kajian Pornografi” melalui kacamata ilmu kajian budaya.” (hal. 12) Itulah maksud penulis; memberikan pandangan baru dan menyediakan ruang diskusi yang sekiranya adil untuk hal yang umumnya dianggap tabu.
Nah, mari lanjut. Diskusi Cabul ini dibagi menjadi 3 bagian–yang judul bagiannya masuk akal sekali dengan topik diskusi dan klasifikasi sub-topiknya sesuai dengan judul bagian: Foreplay, Intercourse dan Cumshot. (Jujur saya sambil cengar-cengir nulisnya. Serasa lagi nulis artikel untuk majalah Cosmopolitan.) Dengan pola penjudulan bagian yang demikian, kebayang dong tingkatan topik kajiannya seperti apa, mulai dari yang ringan-ringan seperti masalah kepenontonan pornografi, hingga klimaks yang masih akan terus berlanjut yaitu masa depan pornografi yang terus bergerak seiring dengan kemajuan teknologi.
Sepanjang saya membaca buku ini, tak jarang “oh iya ya” terlontar. Pornografi itu memang tidak hanya sekadar porno. Bahwa dibalik adegan syur dan perilaku penontonnya, ternyata kaitan pornografi ini luas sekali, mencakup politik, budaya, sosial masyarakat pada era yang sedang berlangsung. Walaupun tulisan ini bisa dikategorikan sebagai scientific writing, Henri Yulius tetap berhasil membuatnya menyenangkan untuk dibaca.
Satu hal yang nyangkut di kepala saya, terlepas dari kecabulan, seksualitas terus bergerak sesuai jaman. Ada satu titik seperti pada era Sodom dan Gomorah dimana kecabulan adalah kenormalan, lalu jaman bergerak ke sebuah tatanan yang lebih tertata, lalu muncul konsep hubungan seks diluar pernikahan adalah suatu hal yang wajar asal tanpa paksaan dan sudah usia dewasa, lalu hadir era Victoria modern di mana orang kembali berperilaku “seolah bermartabat”, kemudian datang era online dating penanda berakhirnya voyeurism dan eksibisionisme sebagai penyimpangan seksual. Hasrat adalah mutlak manusia, dan “apa yang dianggap normal atau abnormal itu sendiri selalu berubah.” (hal. 51). Jadi tergantung kita menyikapinya.
Tentu saja, seperti penulis, saya juga tidak menganggap buku ini adalah pembenaran terhadap pornografi. Tapi pembacaan mengenai cabul ini memang kita butuhkan. Masalah pornografi itu dosa…. Hmm… Kalau masalah dosa sih, saya juga setuju dengan sepenggal kalimat dari film Ave Maryam, “Kalau surga belum pasti buat saya, buat apa saya mengurus nerakamu?” Dengan kata lain, bukan bagian saya menghakimi orang yang menonton atau terlibat pornografi.
Tak rampoeng saja batja ini. Sampai tengah pagina, saja bosan sangat. Yulius memaparkan hal jang kiranja soedah saja tahoe. Hanja ada beberapa potong fakta jang bisa teringat dengan begitoe tadjam, apa itoe? Ya, tentang seorang pengoeloem titit bagi sorang aktor jang akan maen hooh sama perempuannja. Itoe semoea dalam tentoe video bokep. Wah, saja baroe tahoe tentang itoe. Tapi, setjara keseloeroehan, boekoe itu membosankan. Mungkin saja bisa sadja salah, dan mungkin akan membacanya lagi. Tapi, saja tak bilang bahwa boekoe itoe tak usa dibaca sadja. Bukan, toch?
This entire review has been hidden because of spoilers.