What do you think?
Rate this book


226 pages, Paperback
First published October 1, 2016
Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kautulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kaugunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya.- hal.24
Kamu sudah tidak bisa menciptakan, membunuhnya, kemudian juga menganggapnya pengganggu. Kamu itu masih merasa paling mulia, Mat. - hal. 36
Di usus sampean, di lambung sampean ada apa, Pak Lurah, selain taek? Sama dengan yang tersimpan di perut manusia-manusia lain. Tak ada bedanya. Kita semua yang mengaku ganteng dan cantik setiap hari ya diganduli sekantong taek. Yang miskin dan kaya juga membawa sekantong taek. Kita semua cuma sekantong taek. Lalu apa yang mau disombongkan, lah wong kita ini hanya taek? - hal. 75
Hidup ini hanya harus dijalani. Kalau kita takut pada ujian dan cobaan, menghindar dari persoalan, kita mestinya tak perlu hidup. Musibah atau ujian apa pun mestinya bisa mengantar seseorang menjadi semakin dekat dengan penciptanya. Lewat mesibah, mereka seharusnya menyadari, diri mereka fakir. Tidak punya apa-apa. Tidak punya daya kekuatan apa pun di hadapan Allah. - hal. 124
Dan kuburan ini isinya hanya bangkai. Bangkai tak mungkin disimpan bahkan oleh orang-orang yang sebelumnya mengaku paling mencintainya. Bangkai manusia yang ketika roh masih melekat pada jasadnya selalu merasa dan mengaku bisa berbuat. Merasa punya nama. Mengaku-aku ada. Padahal mereka semua tidak ada. Tidak abadi kecuali hanya jadi bangkai, dimangsa cacing, ditelan tanah. - hal. 174
Kenapa yang harus dihormati hanya orang berhaji? Kenapa orang yang salat tidak dipanggil Pak Salat? Orang yang puasa dipanggil Pak Puasa? Orang yang yang berzakat, Pak Zakat?