What do you think?
Rate this book


282 pages, Paperback
First published March 30, 2020
ya mahakuasa,
ini amin yang dibungkus iman, kami kupaskan khusus untukmu.
“Kita bisa punya mimpi-mimpi utopis yang jauh dan indah, tapi yang kita hadapi itu fakta. Dan fakta takkan jauh-jauh dari distopia.”
Bagiku, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E merupakan novel yang diracik dari 1984, Fahrenheit 451, dan Laut Bercerita. Sama halnya dengan kedua buku klasik termasyhur tersebut, novel karangan Henny Triskaidekaman ini punya tema distopia. Apabila di 1984 kita mengenal Big Brother, kisah ini memiliki tokoh bernama Zaliman Yang Mulia, sang diktator otoriter yang kerap mengeluarkan maklumat yang menyusahkan rakyatnya. Baik 1984 maupun CADL juga terdapat unsur modifikasi bahasa demi kepentingan tertentu. Di dunia Fahrenheit 451, buku-buku dilarang dan dibakar. Kita akan menyaksikan hal serupa di buku ini, meskipun pembakaran buku hanya berlaku untuk buku-buku radikal yang kental nuansa amarah dan pembangkangan terhadap rezim. Dalam pemerintahan yang dikuasai Zaliman Yang Mulia, buku-buku miring tersebut diburu dan dilarang. Diskusi sastra pun dipantau. Penguasa takut ada niatan makar dari para warga sipil, terutama sastrawan. Bagi pembaca yang sudah kelar merampungkan Laut Bercerita pasti familier dengan hal ini. Di samping itu semua, satu kesamaan di novel ini yang juga ada di ketiga buku yang tadi kusebutkan adalah adanya penghilangan paksa bagi rakyat yang bahkan sekadar ingin tahu, terlebih lagi yang berpikir kritis atau berani menentang pemerintah.
Kendati punya banyak kesamaan, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E dikemas dengan cara yang jauh dari kata serius sebagaimana ketiga buku tadi. Novel yang terpilih ke dalam 10 Sastra Pilihan Tempo Tahun 2020 ini sarat akan nuansa humor dan keeksentrikan. Novel ini berlatar di Wiranacita, sebuah negara fiktif yang dipimpin oleh diktator bernama Zaliman Yang Mulia. Di Wiranacita, makanan pokok masyarakatnya adalah pisang. Sebagian besar tokoh di sini pun dinamai dengan nama binatang, kata-kata jorok, atau makian, sebelum maklumat dari sang diktator diberlakukan. Kita akan mengenal tokoh Lamin, yang kusimpulkan dulu bernama Kelamin, hingga tokoh Jingan, yang dulunya bernama Bajingan. Selain itu, huruf E dihapus dari bahasa resminya. Yang lebih eksentrik lagi, dihapusnya huruf E tadi berimbas juga pada absennya huruf tersebut di setiap kata yang menyangga novel ini. Ya, novel ini tidak satu pun memakai huruf E. Namun, tiadanya huruf vokal tadi sama sekali tidak memengaruhi kenyaman ketika membaca. Alih-alih, aku justru kagum karena penulis memberiku kesempatan untuk menemui padanan kata untuk kata-kata lumrah yang ‘dilarang’, misalnya maktab untuk sekolah dan darmasiswa untuk beasiswa. Akan, tetapi, adakalanya kosakata berhuruf E yang tidak memiliki padanan kata yang sesuai tidak bisa dihindari. Untuk itu, penulis menyesuaikannya menjadi kata atau frasa baru, contohnya Ilmu Tubuh Manusia untuk merujuk Ilmu Kedokteran.
Penghapusan huruf E merupakan maklumat yang dikeluarkan oleh Zaliman Yang Mulia. Ia membenci huruf E karena menganggapnya munafik—punya satu bentuk tetapi pelafalannya bisa beda-beda. Maklumat tersebut menuntut banyak penyesuaian. Aturan bicara dibatasi, panduk-spanduk diganti, buku-buku ditarik, dan kamus besar bahasa Wiranacita perlu disunting ulang. Lamin, salah satu tokoh utama, mendapat penghasilan sampingan dengan menjadi abdi magang yang menyunting kamus. Ia warga yang biasa-biasa saja hingga suatu ketika rekan kerjanya hilang mendadak. Kas, sang rekan, ternyata menyimpan manuskrip terlarang yang selama ini diburu sang diktator untuk dimusnahkan. Makin besar rasa ingin tahu Lamin akan Kas dan manuskrip tersebut, makin dekat ia ke marabahaya. Hal itu lantaran ada rahasia suram yang patut ditutupi rapat-rapat di balik manuskrip yang berisi kumpulan puisi tersebut. Hal aneh sekaligus menarik dari manuskrip tersebut adalah fakta bahwa setiap puisi yang bernada kritikan itu ditulis tanpa menggunakan huruf E. Seiring balikan halaman, pembaca diajak mencari tahu hubungan antara manuskrip itu dengan maklumat dan juga apa alasan Zaliman Yang Mulia mati-matian berusaha melenyapkannya. Tatkala pertanyaan itu terjawab, alasan di baliknya sungguh plot twist yang tidak terduga.
Meskipun CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E hanyalah novel distopia fiktif, aku merasa bahwa dunia yang diciptakan Triskaidekaman tidak jauh-jauh amat dari dunia yang kita alami saat ini. Sistem patriarki teramat kental. Marginalisasi terhadap perempuan kerap terjadi dan dianggap hal yang lumrah, misalnya ketika lamaran tunangan Lamin untuk bekerja di rumah sakit ditolak lantaran tempat itu hanya sudi mempekerjakan laki-laki. Ketidakadilan gender tidak kalah maraknya, misalnya ketika sepasang remaja buruh pabrik dituduh berbuat zina, yang dipecat hanya pihak perempuan. Kita tentu tidak asing melihat realitas perempuan yang sudah jatuh tertimpa tangga—sudah dirugikan tetapi masih saja disalahkan masyarakat. Di samping budaya patriarki, ada pula penghilangan paksa warga sipil oleh aparatur negara, pembredelan atau penarikan buku-buku yang tidak sejalan dengan suara pemerintah, serta pelarangan kepemilikan dan diskusi atas karya sastra. Hal itu jelas gambaran Indonesia pada rezim Orde Baru. Penulis pun melontarkan satire soal lunturnya idealisme—ketika menjadi warga sipil getol mengkritisi penguasa, tetapi sekali diberi kursi kekuasaan, toh ikut semena-mena juga. Oleh karena hal-hal itulah, novel ini begitu dekat dan nyata sampai-sampai muncul perasaan bahwa selama ini kita hidup di dunia distopia.
Dibui. Dibugili. Ditusuk. Dilumpuhkan. Diikat. Lima ciri yang sungguh tak asing.
Sebagai novel distopia, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E mudah saja untuk dinikmati sebab lain halnya dengan ketiga novel serupa yang tadi kusebut, novel ini tidak berat. Gaya bahasanya mengalir dan enak dibaca kendati harus mengorbankan salah satu huruf vokal. Satu hal yang sedikit mendistraksi dari novel yang sempat terpilih sebagai Naskah yang Menarik Perhatian di sayembara novel DKJ 2019 ini adalah alurnya yang nonlinear secara ekstrem. Alur maju-mundurnya acak dan tidak berpola sehingga membuatku beberapa kali membalik halaman ke belakang agar ingat dan paham. Meskipun demikian, apabila kamu mencari bacaan distopia yang alih-alih berat dan serius malah ringan dan jenaka, tetapi tetap tidak kalah relevan dan menggugah, novel ini patut dipilih. Usai membaca cerita proses kreatif penulisan novel ini di laman pribadi penulis, aku makin takjub karena tulisan sepanjang 50 ribu kata tanpa satu pun huruf E yang jelas-jelas pelik dan tidak sekadar mengutak-atik kalimat dan padanan kata ini bisa menjadi cerita utuh bersubstansi yang enak dibaca.
"Kadang hidup kita ini disutradarai nasib. Tak ada yang bisa kita lakukan, dan kita cuma jadi korban."
[176]