Jump to ratings and reviews
Rate this book

CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E

Rate this book
Hidup rakyat Wiranacita kian rumit saat Huruf Itu dimusnahkan sang diktator, Zaliman Yang Mulia. Aturan bicara dibatasi, buku-buku mulai disortir, dan kamus harus diganti.

Di balik larangan itu, ada rahasia suram dan kisah masa lalu yang ditutupi rapat-rapat. Saat satu-dua potongan rahasia itu muncul, Lamin hanya ikuti apa kata hatinya. Dia tak sadar akan ambang bahaya yang dia hadapi.

282 pages, Paperback

First published March 30, 2020

46 people are currently reading
429 people want to read

About the author

Henny Triskaidekaman

13 books44 followers
A nonclinical physician. Winner of 2017 Unnes International Novel Writing Contest (Buku Panduan Matematika Terapan, GPU/2018). Content writer in StorialCo. Can be reached via Twitter (@triskaidekaman), Instagram (triskaidekaman), or e-mail triskaidekaman@yahoo.com.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
71 (19%)
4 stars
187 (51%)
3 stars
86 (23%)
2 stars
15 (4%)
1 star
2 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 127 reviews
Profile Image for Daniel.
1,179 reviews852 followers
August 27, 2020
Triskaidekaman
CADL - Sebuah Novel Tanpa Huruf E
Gramedia Pustaka Utama
282 halaman
7.4

Proyek Triskaidekaman yang paling ambisius ini secara mengejutkan menjadi karyanya yang paling mudah diakses oleh orang banyak. Setelah menemukan justifikasi untuk menggunakan kata-kata arkais dan menempatkannya dalam konteks yang mudah dicerna, CADL menjadi suatu satire distopia terhadap pemerintah yang sangat menghibur.

Jika CADL adalah buku Henny Triskaidekaman pertama kali yang kita baca, kita tidak perlu butuh banyak halaman untuk tahu bahwa Triskaidekaman adalah penulis yang cerdas. Seumpamanya saja, entah bagaimana, kita tidak melihat sampul muka dan sampul belakang buku ini dan langsung membuka lembar pertama, kita hanya perlu membalik sebanyak tiga kali sebelum tiba di halaman persembahan sekaligus "permohonan maaf" karena telah menjawab tantangan yang dia terima secara berlebihan. Dari situ kita tahu, dia mengenal baik Quora dan aktif dalam Monday Flash Fiction serta gemar menggunakan istilah yang tak lazim.

Lipogram, atau komposisi yang ditulis dengan menyingkirkan beberapa huruf dalam alfabet, walaupun tidak banyak, bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa novel yang lebih ambisius, seperti Gadsby karya Ernest Vincent Wright dan La Disparition karyanya Georges Perec. Keduanya membuang huruf 'e', huruf yang paling jamak digunakan dalam bahasa Inggris dan Perancis. Triskaidekaman, yang ingin meraih level keambisiusan yang sama dan menjawab tantangan Quora dengan elegan, pun akhirnya memutuskan menulis novel tanpa huruf 'e' pula dan lahirlah CADL sebagai jawaban.

Karya-karya Triskaidekaman sebelumnya, salah satunya Buku Panduan Matematika Terapan, cenderung mementingkan style over substance. Hal ini terlihat dari usahanya untuk bermain kata-kata agar kalimat-kalimatnya terdengar berima. Tapi dengan menggunakan lipogram, penggunaan kata-kata nyeleneh yang seolah sudah menjadi shtick yang melekat dalam dirinya, bisa dijustifikasi. Dan mungkin berbekal dari beberapa umpan balik yang diutarakan para pembaca tentang betapa sulitnya memahami kisah-kisah Triskaidekaman jika tidak dibekali kamus, kali ini CADL bisa dibilang dengan lihainya mampu mengatasi masalah tersebut. Beberapa kata asing ditempatkan dalam konteks yang tepat sehingga pembaca yang tidak berotak prima seperti saya--hanya beberapa pengguna Goodreads yang akan tahu referensi ini--bisa memahaminya dengan sangat mudah. Contoh cerdasnya dapat dicermati penggunaan istilah "maktab" atau "tabula" untuk pengganti kata "sekolah" dan "meja" secara berturut-turut atau dalam penggantian hari "Senin" dan "Selasa" menjadi "Soma" dan "Anggara". Contoh yang agak memaksa mungkin bisa dilihat dari penggunaan istilah "rat-ron" dan "pon-gam" untuk menyebut surat elektronik dan telepon genggam. Contoh yang bisa dibilang "agak malas" adalah menghapus imbuhan me- dalam kalimat aktif yang mungkin akan bisa disuguhkan dengan lebih elegan dengan mengubah struktur kalimatnya menjadi pasif. Namun, usaha dan kreativitas Triskaidekaman dalam buku ini memang layak disanjung.

Sayang, seperti yang saya bilang sebelumnya, CADL agak sedikit menyampingkan substansi. Premis cerita yang disajikan terdengar sangat menarik: seorang penguasa zalim yang literally bernama Zaliman yang memberikan maklumat penghapusan huruf 'e' dalam setiap sendi-sendi kehidupan Wiranacita. Dari konsep awal ini, cerita ini bercabang dan menceritakan seorang pemuda biasa-biasa saja yang tiba-tiba terperangkap dalam konspirasi pemerintah, sesosok penulis puisi misterius, serta latar belakang Zaliman. CADL memang satire distopia serta kritik terhadap penguasa yang lalim, dan kita bisa melihat sindiran itu lewat betapa "tidak seriusnya" Triskaidekaman dalam menggarap novel ini. Misal, salah seorang karakternya hanya diberi nama 🐷, nama karakter lainnya merupakan pemenggalan dari kata-kata pisuhan, seperti Lamin atau Jingan, dan obsesi rakyat Wiranacita yang tidak wajar terhadap pisang. Namun, "ketidakseriusan" itu penuh kalkulasi dan tidak asal celetuk. Walau demikian, proses pembeberan cerita dalam CADL terasa kurang mulus bagi saya. Klimaksnya terasa muncul terlalu cepat, big reveal-nya tergesa-gesa, sehingga membuat bagian paruh kedua ini terasa terseret-seret.

Meski demikian, sesekali CADL membuat saya tersenyum saat membaca nama-nama serta kalimat-kalimat ajaib yang tercetak dalam buku ini dan untuk ukuran buku Triskaidekaman, itu sesuatu yang menakjubkan. Di masa sulit dan gelap seperti sekarang ini, senyum tipis itulah yang saya--dan kita semua--perlukan.
Profile Image for raafi.
927 reviews449 followers
March 22, 2020
Bagaimana pun saya akur pada apa yang dimaklumatkan Zaliman Yang Mulia untuk tiadakan Huruf Itu. Saya sudah tidak suka Huruf Itu dari dulu.

Buku ini bikin amat bahagia (dalam arti yang janggal). Kisah bangsa diktator dan masalahnya yang dibuat-buat. Dari makanan pokok pisang sampai bunuh-bunuhan.
Profile Image for Shelly.
Author 2 books44 followers
June 12, 2021
Pertama-tama, saya ingin meminta maaf pada penulis novel ini karena .... ulasan ini mengandung Huruf Itu.

Ehem. Harus saya akui, saya lemot banget baca bagian awal. Lebih karena kapasitas otak saya sih sebenernya xD mungkin belum terbiasa baca lipogram, ditambah belakangan baca beberapa cerita middle grade, terus langsung cus baca ini.

Bukan, bukan karena cerita ini gak menarik. Jangan salah lho. Saya yang awalnya masa bodo dengan nasib Lamin justru seiring cerita semakin cemas. Nasib dia gimana ya nanti? Hubungan dia sama tunangannya bakal gimana? Cara apa yang akan ditempuhnya agar selamat dari jurang penasaran yang ia ciptakan sendiri?

Dan kecemasan saya semakin kompleks mengenai pekerjaan Lamin. Wah, punya pemimpin diktator memang berat ya, Min. Apalagi teka-teki soal Bagus Prihardana. Ckckck.

Ah, saya kelamaan curhat kan...

Intinya, ini novel lipogram pertama di Indonesia. Ya, kan? Gak heran naskah ini menarik perhatian para juri Dewan Kesenian Jakarta 2019. Ditulis dengan sudut pandang campuran (POV 1 untuk Lamin, selebihnya POV ketiga serba-tahu). Belum lagi unsur dystopia cukup kental, begitu pula politik. Wah, formula yang benar-benar langka. Salut untuk sang penulis! Ditunggu karya-karyamu yang lainnya.

Akhir kata, saya tidak tahu harus berkata apa pada Zaliman Yang Mulia. Kamu zalim sekaligus ... ah sudahlah. Yang jelas, saya bersyukur saya termasuk non-warga Wiranacita. Hahahahaaa.
Profile Image for Ossy Firstan.
Author 2 books102 followers
May 30, 2020
16-2020
Review ini kutulis 12 hari setelah aku menamatkan, dengan ingatan macam ikan dori, aku mencoba menulis kesan alakadarnya. Setelah beberapa minggu tak menamatkan satu buku pun, aku merasa "penuh" bisa menamatkan CADL. Awalnya aku takut akan kesulitan membaca CADL dan harus buka-tutup KBBI kalau-kalau kata yang muncul membuat dahiku berkerut. Untungnya, hal tersebut tidak terjadi. CADL lancar bak jalan tol di masa pandemi. Aku tidak mempermasalahkan ketiadaan huruf E di buku itu, tidak mencari-carinya, dan bisa menikmati. Omong-omong, ketiga anak orangtuaku tak ada yang memakai huruf "E", jangan-jangan, Ayahku kenal dengan Zaliman XD
Meski Zaliman terkesan kejam, entah mengapa aku menaruh iba padanya. Menjadi orang lain, berpura-pura, hidup dalam kecemasan... kurasa Zaliman tak pernah makan pisang dengan tenang. Pada akhirnya semua tiada dan anehnya aku tak berduka. 🦦

Omong-omong aku penasaran dengan puisi si Bagus, akibat tak ikut PO, kutabisa membaca buku yg diburu Zaliman-yang-agung :(
Sekian sisa-sisa memori yang kumilki.
Profile Image for Akaigita.
Author 6 books237 followers
April 3, 2020
Terbaik dari tiga buku Triskaidekaman sejauh ini. Narasinya--meski kehilangan satu huruf vital itu--anehnya kok lancar jaya, dan aku nggak perlu gempor buka kamus (di dua buku sebelumnya aku cuma capek buka kamus) untuk memahami padanan-padanan kata yang agak arkais. Kayak maktab, hanya dengan bilang maktab dasar, maktab madya, maktab atas, itu orang sudah tahu maksudnya adalah sekolah. Meja--yang mengandung huruf itu--diganti menjadi tabula. E-mail yang biasa dialihbahasakan jadi surel, di buku ini jadi ratron, lalu ponsel jadi pon-gam, SMS jadi sansing. Idenya total banget. Nama-nama yang mengandung umpatan itu juga, bikinku tergelak sendiri. Ada anak yang namanya Dul, panjangnya GunDULmu, lalu ada Mbak 🐷. Wkwkwk. Satirenya kena banget sih. Tapi ya begitu, ujung-ujungnya kayak kata mutiara di Quora, EveryoneDies[TM].
Profile Image for ifan.
47 reviews18 followers
July 10, 2020
hmmmm sudah kuduga, kayak membaca 1984 aliran pop. too much parody yang bikin Wiranacita ini sangat akrab, tapi ingin pura-pura tidak tahu saja. gimmick tanpa huruf itu saja, bikin huruf A rasanya ada di mana-mana, dan sayang saja gimmick-nya harus bikin story-nya jadi korban, yang bikin too much informasi sia-sia dan pada saat bersamaan too bit informasi yang justru krusial, jadi bikin story-nya jadi datar dan tidak bikin saya simpatik pada tokoh-tokohnya.
Profile Image for Aina Safitri.
7 reviews
March 31, 2020
Buku yang mengejutkan karena tak ada huruf "e" sama sekali dari halaman awal hingga akhir. Awalnya kupikir cuma ceritanya aja rakyat Wiranacita dilarang gunakan Huruf Itu oleh Zaliman sang diktator, tapi eh ternyata bahkan satu novel plek tak ada Huruf Itu.

Baca buku ini aku jadi inget buku "Cantik Itu Luka" karena settingnya sama-sama 'negeri antah-berantah'. Yang bikin aku ngakak ga jelas sih nama-nama yang dipakai di negeri Wiranacita ini. Misalnya nih nama Jingan, Jahanam, Babi, banyak deh pokoknya.

Alur campuran yang dipakai penulis membuat tercengang di beberapa bagian, apalagi saat tau siapa Zaliman di masa lalu, uwauuu, lalu hubungan Ivan-Zaliman-Baim, Jingan-Lamin-Babi-Hanam yang hemmm serasa dunia ini sempit.

Semakin aku membaca buku ini, kok ya aku semakin mikir kalau Wiranacita ini ya Indonesia banget. Mulai dari kebijakan2 ga jelasnya Yang Mulia Zaliman, minat kurang baca tapi banyak keponya terhadap urusan pribadi orang lain, ada sedikit sentilan patriarkinya juga.

Anyway, aku suka buku ini karena meskipun latarnya fiksi banget tapi rasanya kehidupan di Wiranacita ini hidup banget di sekeliling kita.
Profile Image for Grisselda.
124 reviews247 followers
August 28, 2021
Baru kali ini saya baca novel yang rasanya seperti CADL. Satire ketemu distopia yang unik dan aneh.

Dari judul dan halaman sampulnya, saya bertanya dalam hati, gimana bisa menulis novel tanpa Huruf Itu (e). Ya 282 halaman ini jadi bukti utuhnya. Rasanya sedikit janggal karena ada beberapa kosakata baru yang dipakai untuk menggantikan kata tanpa 'e'. Senin dan Selasa pun ada gantinya, yang saat saya cari tahu, ternyata didapat dari Babad Bali. Kata kerja dengan awalan 'me-' misalnya, pun nggak ada. Lalu ada juga singkatan yang dipakai untuk mewakili beberapa benda.

CADL menceritakan kisah rakyat Wiranacita yang dipimpin oleh seorang diktator. Sang penguasa ini melarang rakyatnya menyebut dan menggunakan huruf 'e' karena alasan yang biking saya menghela napas. Sang maha agung ini juga melarang rakyatnya untuk membaca "buku-buku miring" sehingga dari halaman ketiga saya udah mbatin: ini mirip kayak OrBa, ya.
Orang-orang disuruh ganti nama, sampai buku yang nggak sesuai dengan aliran pemimpin dimusnahkan. Yang baca buku miring nyawanya bisa terancam. Muka dua, juga sampai standar ganda. Nggak hanya sarat dengan potret kebobrokan penguasa, ada juga beberapa sindiran terhadap patriarki yang ditaruh di dalamnya.

Banyak karakter yang diperkenalkan di dalam novel ini. Tiap bab, pembaca disuguhkan cerita yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda juga. Entah ya pembaca lain bagaimana, tapi dari sekian banyak karakter yang ada, nggak ada satu pun yang bikin saya bersimpati. Sepanjang membaca, semisal ada karakter yang "kepeleset" pun, ya biasa saja rasanya. Bisa jadi karena alurnya maju mundur; saya belum terlalu "invest" ke satu karakter, tapi udah diajak berpaling lagi ke yang lain.

Yang saya suka, Triska Idekaman jahil sekali dengan pemilihan nama-nama karakternya. Saya dibuat geleng-geleng kepala bacanya. Sampai ada satu karakter yang dikasih nama 🐷. Berkali-kali muncul di buku ya pakai gambar 🐷 saja. Baca penjelasan bagaimana melafalkannya ya makin ngakak lagi 😂
Profile Image for Jess.
609 reviews141 followers
May 3, 2024
ya mahakuasa,
ini amin yang dibungkus iman, kami kupaskan khusus untukmu.


Buku ini lebih ke novel distopia, memberikan penggambaran hidup jadi rakyat Wiranacita. Ada pemimpin diktator namanya Zaliman yang mulia, jalankan negara untuk keselamatannya sendiri sehingga melanggar hak rakyatnya. Segala yang bertentangan dengan kehendak dan peraturannya akan dihilangkan, disiksa dan dihukum mati.

Dengan karakter yang cenderung abu-abu, buku ini sukses buat aku menyelami maksud dan tujuan karakter-karakter ini. Dihubungkan dengan pisang yang jadi komoditas pangan utama rakyat, buku ini tegang tapi juga gampang untuk dicerna.

Suka melihat setiap karakter punya bagian masing-masing untuk digali, yang awalnya bingung apa hubungan mereka, lambat laun jadi masuk akal.

Buku ini menggambarkan buruknya kepemimpinan yang diktator, membuka susahnya bertahan hidup, merdeka, dan mendapatkan pendidikan yang layak. Ada banyak mimpi dan angan yang dibatasi negara, dicampur-campuri, sehingga rakyat jadi layaknya bonek. Mudah terprovokasi dan percaya isu hoaks.

Buku yang konsisten penulisannya tanpa huruf ‘e,’ akhirnya melahirkan gaya bahasa dan keunikan tersendiri yang buat aku jadi semangat dan tidak bosan saat membacanya.

Sangat ku rekomendasikan!
Profile Image for Rafli.
102 reviews41 followers
July 7, 2024
“Kita bisa punya mimpi-mimpi utopis yang jauh dan indah, tapi yang kita hadapi itu fakta. Dan fakta takkan jauh-jauh dari distopia.”


Bagiku, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E merupakan novel yang diracik dari 1984, Fahrenheit 451, dan Laut Bercerita. Sama halnya dengan kedua buku klasik termasyhur tersebut, novel karangan Henny Triskaidekaman ini punya tema distopia. Apabila di 1984 kita mengenal Big Brother, kisah ini memiliki tokoh bernama Zaliman Yang Mulia, sang diktator otoriter yang kerap mengeluarkan maklumat yang menyusahkan rakyatnya. Baik 1984 maupun CADL juga terdapat unsur modifikasi bahasa demi kepentingan tertentu. Di dunia Fahrenheit 451, buku-buku dilarang dan dibakar. Kita akan menyaksikan hal serupa di buku ini, meskipun pembakaran buku hanya berlaku untuk buku-buku radikal yang kental nuansa amarah dan pembangkangan terhadap rezim. Dalam pemerintahan yang dikuasai Zaliman Yang Mulia, buku-buku miring tersebut diburu dan dilarang. Diskusi sastra pun dipantau. Penguasa takut ada niatan makar dari para warga sipil, terutama sastrawan. Bagi pembaca yang sudah kelar merampungkan Laut Bercerita pasti familier dengan hal ini. Di samping itu semua, satu kesamaan di novel ini yang juga ada di ketiga buku yang tadi kusebutkan adalah adanya penghilangan paksa bagi rakyat yang bahkan sekadar ingin tahu, terlebih lagi yang berpikir kritis atau berani menentang pemerintah.



Kendati punya banyak kesamaan, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E dikemas dengan cara yang jauh dari kata serius sebagaimana ketiga buku tadi. Novel yang terpilih ke dalam 10 Sastra Pilihan Tempo Tahun 2020 ini sarat akan nuansa humor dan keeksentrikan. Novel ini berlatar di Wiranacita, sebuah negara fiktif yang dipimpin oleh diktator bernama Zaliman Yang Mulia. Di Wiranacita, makanan pokok masyarakatnya adalah pisang. Sebagian besar tokoh di sini pun dinamai dengan nama binatang, kata-kata jorok, atau makian, sebelum maklumat dari sang diktator diberlakukan. Kita akan mengenal tokoh Lamin, yang kusimpulkan dulu bernama Kelamin, hingga tokoh Jingan, yang dulunya bernama Bajingan. Selain itu, huruf E dihapus dari bahasa resminya. Yang lebih eksentrik lagi, dihapusnya huruf E tadi berimbas juga pada absennya huruf tersebut di setiap kata yang menyangga novel ini. Ya, novel ini tidak satu pun memakai huruf E. Namun, tiadanya huruf vokal tadi sama sekali tidak memengaruhi kenyaman ketika membaca. Alih-alih, aku justru kagum karena penulis memberiku kesempatan untuk menemui padanan kata untuk kata-kata lumrah yang ‘dilarang’, misalnya maktab untuk sekolah dan darmasiswa untuk beasiswa. Akan, tetapi, adakalanya kosakata berhuruf E yang tidak memiliki padanan kata yang sesuai tidak bisa dihindari. Untuk itu, penulis menyesuaikannya menjadi kata atau frasa baru, contohnya Ilmu Tubuh Manusia untuk merujuk Ilmu Kedokteran.



Penghapusan huruf E merupakan maklumat yang dikeluarkan oleh Zaliman Yang Mulia. Ia membenci huruf E karena menganggapnya munafik—punya satu bentuk tetapi pelafalannya bisa beda-beda. Maklumat tersebut menuntut banyak penyesuaian. Aturan bicara dibatasi, panduk-spanduk diganti, buku-buku ditarik, dan kamus besar bahasa Wiranacita perlu disunting ulang. Lamin, salah satu tokoh utama, mendapat penghasilan sampingan dengan menjadi abdi magang yang menyunting kamus. Ia warga yang biasa-biasa saja hingga suatu ketika rekan kerjanya hilang mendadak. Kas, sang rekan, ternyata menyimpan manuskrip terlarang yang selama ini diburu sang diktator untuk dimusnahkan. Makin besar rasa ingin tahu Lamin akan Kas dan manuskrip tersebut, makin dekat ia ke marabahaya. Hal itu lantaran ada rahasia suram yang patut ditutupi rapat-rapat di balik manuskrip yang berisi kumpulan puisi tersebut. Hal aneh sekaligus menarik dari manuskrip tersebut adalah fakta bahwa setiap puisi yang bernada kritikan itu ditulis tanpa menggunakan huruf E. Seiring balikan halaman, pembaca diajak mencari tahu hubungan antara manuskrip itu dengan maklumat dan juga apa alasan Zaliman Yang Mulia mati-matian berusaha melenyapkannya. Tatkala pertanyaan itu terjawab, alasan di baliknya sungguh plot twist yang tidak terduga.



Meskipun CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E hanyalah novel distopia fiktif, aku merasa bahwa dunia yang diciptakan Triskaidekaman tidak jauh-jauh amat dari dunia yang kita alami saat ini. Sistem patriarki teramat kental. Marginalisasi terhadap perempuan kerap terjadi dan dianggap hal yang lumrah, misalnya ketika lamaran tunangan Lamin untuk bekerja di rumah sakit ditolak lantaran tempat itu hanya sudi mempekerjakan laki-laki. Ketidakadilan gender tidak kalah maraknya, misalnya ketika sepasang remaja buruh pabrik dituduh berbuat zina, yang dipecat hanya pihak perempuan. Kita tentu tidak asing melihat realitas perempuan yang sudah jatuh tertimpa tangga—sudah dirugikan tetapi masih saja disalahkan masyarakat. Di samping budaya patriarki, ada pula penghilangan paksa warga sipil oleh aparatur negara, pembredelan atau penarikan buku-buku yang tidak sejalan dengan suara pemerintah, serta pelarangan kepemilikan dan diskusi atas karya sastra. Hal itu jelas gambaran Indonesia pada rezim Orde Baru. Penulis pun melontarkan satire soal lunturnya idealisme—ketika menjadi warga sipil getol mengkritisi penguasa, tetapi sekali diberi kursi kekuasaan, toh ikut semena-mena juga. Oleh karena hal-hal itulah, novel ini begitu dekat dan nyata sampai-sampai muncul perasaan bahwa selama ini kita hidup di dunia distopia.



Dibui. Dibugili. Ditusuk. Dilumpuhkan. Diikat. Lima ciri yang sungguh tak asing.


Sebagai novel distopia, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E mudah saja untuk dinikmati sebab lain halnya dengan ketiga novel serupa yang tadi kusebut, novel ini tidak berat. Gaya bahasanya mengalir dan enak dibaca kendati harus mengorbankan salah satu huruf vokal. Satu hal yang sedikit mendistraksi dari novel yang sempat terpilih sebagai Naskah yang Menarik Perhatian di sayembara novel DKJ 2019 ini adalah alurnya yang nonlinear secara ekstrem. Alur maju-mundurnya acak dan tidak berpola sehingga membuatku beberapa kali membalik halaman ke belakang agar ingat dan paham. Meskipun demikian, apabila kamu mencari bacaan distopia yang alih-alih berat dan serius malah ringan dan jenaka, tetapi tetap tidak kalah relevan dan menggugah, novel ini patut dipilih. Usai membaca cerita proses kreatif penulisan novel ini di laman pribadi penulis, aku makin takjub karena tulisan sepanjang 50 ribu kata tanpa satu pun huruf E yang jelas-jelas pelik dan tidak sekadar mengutak-atik kalimat dan padanan kata ini bisa menjadi cerita utuh bersubstansi yang enak dibaca.

Profile Image for Zita-Zee.
26 reviews4 followers
April 15, 2020
Definitely more palatable than Mbak Henny's first two books. (lol as if I knew or will know her personally, calling her Mbak Henny.)

But then.. I might be stupid, or tasteless, but I just don't see the point of the ending? Like there's no point to what the characters are struggling for? There is no payoffs. Granted, the twist is great, I just don't get why it is given pretty early in the book. Shouldn't the twist be a good payoff? I mean I would have enjoyed it more if it were, instead of being "expectation-subverted" a la Game of Thrones season 8.

I suppose the book aims for a bleak ending similar to that other dystopian, totalitarian tales like Orwell's 1984, where everything eventually is proven to be futile. But CADL's one does not resonate as well. I'm just left confused.

That being said, the absence of the letter "e" is a neat gimmick, though. Plenty of smart (and unfortunately sometimes not-so-smart) workaround. I appreciate the hassle. I also love how the book can get quite meta at places where it hrows shades at readers like me for being amateur know-it-all critics. I applaud Mbak Henny's expansive imagination as always, but this book just doesn't do it for me. 2.5/5 stars.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Fety Niza.
109 reviews4 followers
May 11, 2020
Nyatanya kisah di buku ini tak buat sangat pusing macam BPMT. Mungkin akibat tak ada Huruf Itunya. Kita sua banyak kata baru yang mungkin cukup asing di kuping kita. Lagi-lagi, akibat Huruf Itu, kita jadi tahu sinonim-sinonim baru. Tapi saat tiba di akhir buku, aku jadi dibuat biasa tanpa adanya kata imbuhan yang ada Huruf Itunya di awal kata praktik. Dan sua singkatan baru macam "pon-gam" dan "sansing", juga kata lainnya. Lama-lama gambar satu binatang di buku ini pun jadi imut, atau malah sudah imut dari awal.

Buku ini kisahkan latar waktu maju-mundur, tapi intinya ada di tahun 2028-2029. Singkat info soal Wiranacita, makanan pokok warganya adalah pisang dan dipimpin diktator yang punya kuasa sampai ajalnya tiba. Dan kurasa hanya itulah hal yang tak sama antara Wiranacita dan bangsa kita. Kau akan sua banyak hal-hal yang mirip antara bangsa kita dan Wiranacita, coba saja kau baca dan buktikan.
Profile Image for Gracella.
256 reviews175 followers
September 15, 2022
“Iman itu mirip pisang. Manis dan lunak. Mudah diolah, banyak yang suka. Itulah yang buat orang suka olok-olok iman orang lain.”

----------

Pertama kali lihat buku ini, aku langsung dibuat penasaran sama cover dan tagline nya yang unik. Masa iya sih sama sekali nggak ada huruf ‘E’ dalam buku ini? Is that even possible? Dan ada apa dengan pisang? Well, well. Ternyata penulis sukses bikin aku terkagum-kagum sama 282 halaman ini. Cerdas sekali!

CADL bercerita tentang negara Wiranacita yang makanan pokoknya pisang, terobsesi dengan pisang, dan dipimpin oleh seorang diktator. Yang namanya diktator ya jadi bisa bikin aturan semaunya dan wajib hukumnya untuk dituruti oleh semua rakyat. Walaupun aturannya nyeleneh dan nggak masuk akal sekalipun. Salah satu aturannya ya: dilarang menggunakan Huruf Itu. Yang berani melanggar akan dikenai sanksi dan dihilangkan. Alhasil satu negara dibuat kalang kabut untuk ganti nama, rombak kamus, robek spanduk, bahkan bakar dan revisi buku-buku. Yang Mulia juga memusnahkan semua ‘Buku-buku Miring’ yg nggak sesuai dengan aliran pemimpin. Yang masih baca atau sekedar punya Buku Miring akan dijatuhi hukuman mati. Wow.

Sekilas mengingatkanku sama 1984 dan Fahrenheit 451 sih, tapi versi lebih unik, nyeleneh, dan menghibur. Cara penulisannya juga lugas, to the point, dan sudah pasti nggak ada huruf ‘e’. Banyak kosakata baru di buku ini. Misalnya Senin dan Selasa diganti jadi Soma dan Anggara, sekolah jadi maktab, dll. Ada juga singkatan unik yg dipakai untuk menggambarkan beberapa benda. Idenya total banget.

Nama-nama karakternya juga bikin aku ngakak dan geleng-geleng kepala saking ngawurnya. Ada yg namanya Dul, kependekan dari Gundulmu. Bahkan ada yg namanya cuman 🐷. Wkwkwk.

Overall, aku salut sih sama penulis karena berhasil mengemas sebuah satire distopia unik yang menyentil dan bikin aku jadi ngidam pisang selama baca bukunya! 🍌
Profile Image for Nadia.
27 reviews
July 22, 2021
Distopia (atau realita) politik dan hukum di negeri abrakadabra
Profile Image for kadyyyyy.
27 reviews8 followers
November 21, 2021
YOU DIE!
AND YOU DIE!
AND YOU DIEEE!
EVERYONE DIEEEEES!

hahahaha bajingan
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Wahid Kurniawan.
206 reviews3 followers
May 10, 2020
Saya memasang ekspektasi tinggi sama novel ini. Sebab setidaknya novel ini masuk naskah yang menarik perhatian juri Sayembara Novel DKJ, jadi kiranya cukup menjadi alasan bahwa novel ini bukan bacaan sembarang. Dan memang demikian adanya, bila kemampuan menulis penulisnya yang benar-benar mendobrak teknik konvensional dapat diimbangi dengan olah cerita yang sama kerennya. Namun, sayangnya, itu tidak terlalu berjalan mulus. Intinya novel ini bisa dibilang satir tentang diktator, itu menarik, tentu saja. Bahkan, sampai meminjam tokoh Stalin dulu sebagai set salah satu tokoh sentralnya. Akan tetapi, seperti dibilang tadi, dari segi cerita, itu tidak dieksekusi hingga menjadikan kisah yang "wah". Alur yang maju-mundur, yang saya harapkan menahan teka-teki lama di dalamnya, justru kerap kendor, bahkan bisa dikira-kira ini mau mengarah ke rahasia yang mana. Ya, sehingga, kesannya tidak terlalu menendang.
Profile Image for tïmmyrèvuo.
203 reviews2 followers
May 3, 2024
I just finished a book that's not usually my cup of tea, and wow, did it test my patience. It wasn't just that my concentration was waning; this book felt like running through a labyrinth with no map. I couldn't tell if it was the complexity of the story or my attention span, but I found myself dragging my feet through the pages.

The premise sounds interesting, though: a dystopian society where using the letter "E" is strictly forbidden. No names, no places, no words with "E" allowed. It's all part of a dictator's grand scheme to hide his secrets. But the enforcement? Brutal. It’s not just a ban on a letter—it’s a full-on witch hunt for anyone who dares to write or speak the forbidden letter. The concept is intriguing, right? I thought so, too, but reading it was another story.

The book explains why this ban happened and follows the relentless pursuit of those who defy it. There's a satirical edge to it, with the government censoring language and replacing "E"-based words with... let's just say, more colorful alternatives. I mean, the whole thing is filled with jabs at authority, and the characters are just as sarcastic.

But here's where I got lost. The plot jumps around like a hyperactive rabbit, and keeping up was exhausting. I kept flipping back to see if I'd missed something, only to find that, no, the story really does dart from one place to another. It wasn't until page 150-ish that I finally felt some excitement—some real emotion that pulled me in. Before that, it was just a slog.

And then there's the ending. Talk about a cliffhanger. I was expecting a big payoff, but instead, I got left hanging with more questions than answers. It was frustrating, to say the least.

Despite all this, I have to give credit where it's due. The author wrote an entire book without using the letter "E." That's impressive. The creativity and discipline required for that? Definitely thumbs up. But in the end, the clever concept and smart wordplay couldn't fully save a story that left me feeling more drained than entertained. If you're into experimental fiction and enjoy a good satire, maybe give it a shot. Just be prepared for a bumpy ride.
Profile Image for Meiliana Kan.
242 reviews52 followers
August 16, 2021
Setelah ku baca sampai habis, kusimpulkan bahwa buku ini menarik dan lucu dengan cara yang aneh. Banyak review di goodreads yang bilang buku ini satire. Dan aku setuju. Buku ini kental sekali sindirannya.

Ceritanya tentang negara distopian bernama Wiranacita. Makanan pokok rakyatnya adalah pisang dan negara itu dipimpin oleh seorang diktator, Zaliman Yang Mulia namanya, yang semua maklumatnya tentulah bikin geleng-geleng kepala. Tapi, yah di negara yang dipimpin oleh diktator, apa kata pemerintah itu harus dituruti, warganya hanya bisa sabar saja sesuai dengan slogan favoritnya Zaliman, "Orang sabar disayang Zaliman." Lidah rakyat dilumpuhkan dengan larangan tidak boleh menyebut Huruf Itu, baik lisan maupun tulisan. Rasa ingin tahu pun dikebiri sampai tuntas. Warga Wiranacita hidup di zaman di mana orang yang dinyatakan hilang berarti tidak akan pernah tampak lagi batang hidungnya selamanya.
Membaca buku 282 halaman ini membuatku berpikir, "Oh, mungkin seperti ini ya kehidupan zaman orba."

OH! Nama-nama karakter di buku ini pun sontak bikin aku ngakak sambil geleng-geleng kepala. Katanya tradisi warga Wiranacita adalah memberi nama anak berdasarkan cacian orang tuanya, alih-alih doa. Ada lah tokoh yang dinamai Babi, sudah disuruh ganti nama 2x pun tetap ganti jadi 🐷 (lalu makin ngakak begitu dijabarkan bagaimana nama itu disebutkan 🤣🤣). Aku bingung kenapa bisa ngotot sekali harus pakai nama itu, sih 🤣🤣

Gaya penulisan di buku ini cukup mengalir. Sama sekali tidak ada kata berimbuhan "me-" atau "ber-" dan beberapa kata yang mengandung huruf "e" diganti dengan padanan kata lain yang membuatku sesekali membuka KBBI. Secara keseluruhan, buku ini memuaskan diriku yang sejak awal dibuat penasaran dengan ketiadaan huruf "e". Cerita tentang negara distopiannya pun 👌👌. Kalau kalian mau coba baca buku dengan sensasi berbeda, bisa dicoba baca CADL.
Profile Image for sekar banjaran aji.
165 reviews15 followers
May 28, 2023

Buku pertama Mbak Henny yang aku baca, sejujurnya hanya harena penasaran: apakah benar tanpa huruf E? Ternyata benar, ceritanya seperti ala-ala 1984nya George Orwell soal pemimpin negara yang zalim bernama Zaliman. Pada semesta janggal ini Mbak Henny berhasil menjawab tantangan dari Quora. Sungguh dedikasi tinggi untuk menjawab tantangan.

Awalnya aku sangat penasaran soal ceritanya, setidaknya 5 bab pertama aku sangat bersemangat tapi selanjutnya semacam bingung karena alur berputar-putar. Pada bagian akhir cerita aku membacanya dengan cepat karena aku sudah bisa menebak apa yang terjadi. Padahal genre ini salah satu favoritku tapi aku malah tidak menikmati proses membacanya pada akhir buku ini.

Mungkin karena buku ini diformat sedemikian rupa jadi paket yang banyak konspirasi atau karena pilihan katanya terbatas. Sebagai pembaca aku merasa banyak hal yang dipaksakan, ini membuatku tidak nyaman. Intinya novelnya keren tapi aku merasa eksekusinya kurang mantap. Padahal konflik di awal sudah menjanjikan 🥲

#CADL #Triskaidekaman #WhatSekarReads #WhatSekarReads2023
Profile Image for Clavis Horti.
125 reviews1 follower
September 3, 2024
Diktator, wahai pembaca yang budiman, adalah sebuah lakon buruk yang dimainkan di panggung kekuasaan, namun namanya kerap disebut-sebut di seantero negeri—baik dengan bisik-bisik ketakutan maupun serapah yang disembunyikan. Bagai tangan besi yang terbalut sarung sutra, mengangkat dirinya menjadi penguasa mutlak, dan segala kehendak rakyat dianggapnya tiada lebih dari gumaman angin yang tiada berarti.

Inilah yang dialami rakyat Wiranacita saat sang diktator, Zaliman Yang Mulia, menegakkan tahtanya. Dalam sekejap, kehidupan mereka berubah menjadi penuh ketidakpastian. Dengan sikap yang sekeras es dan penuh ketamakan, Zaliman mengeluarkan titah yang tak terduga. Setiap kata yang diucapkan harus tunduk pada aturan ketat, buku-buku pilihan disortir laksana barang haram, dan kamus—sebagai peti simpanan kata-kata—diganti demi melanggengkan kehendak kuasa. Seakan-akan, tirani ini tidak sekadar mencabut hak untuk berbicara, melainkan juga menghapus jejak-jejak yang mendefinisikan siapa mereka.

Namun, di balik segala larangan dan titah yang membungkam suara rakyat, terpendam kisah-kisah rahasia yang menyentakkan. Adakah suatu saat, lentera kebenaran akan menerobos kegelapan yang membungkam rahasia-rahasia ini?


Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman adalah sebuah karya yang termasuk dalam genre distopia, sebuah genre yang menampilkan pandangan tentang dunia yang suram dan mencekam. Dalam meneliti genre ini, beberapa sumber menyatakan bahwa istilah distopia menggambarkan masyarakat yang tertindas oleh kemiskinan, penderitaan, dan penindasan yang meluas. Karya-karya dalam genre ini sering kali mengeksplorasi bagaimana struktur sosial dan politik bisa merosot hingga mencapai titik keputusasaan yang mendalam.

Dunia yang digambarkan dalam sastra distopia merupakan cermin dari potensi kehancuran yang mungkin terjadi apabila kekuasaan disalahgunakan atau kemajuan teknologi digunakan untuk menindas. Buku ini, dengan tajam dan jelas, mencerminkan gambaran suram tentang bagaimana keadaan masyarakat dapat runtuh dalam cengkeraman kekuasaan yang tidak adil. Ketika membaca Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, saya merasakan bahwa pesan yang ingin disampaikan begitu mendalam dan sangat relevan, mengingat keadaan yang telah dan sedang berlangsung di berbagai penjuru dunia, dari masa lampau hingga saat ini.

Buku ini, dalam narasinya yang penuh ketegangan dan refleksi, seolah mengundang pembaca untuk membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan bahwa apa yang terjadi dalam kisah tersebut tidak hanya merupakan imajinasi belaka, melainkan juga sebuah cermin dari potensi nyata yang mungkin tengah berlangsung di dunia kita. Pesan tersebut begitu tajam dan tepat sasaran, menegaskan bahwa ancaman seperti itu dapat mengancam kita setiap saat, jika kita tidak berhati-hati dalam mengawasi dan mengatur kekuasaan serta teknologi di tangan kita.

Setelah menguraikan keunikan genre distopia yang membentuk latar belakang CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, marilah kita telaah dengan seksama bagaimana penulis, Henny Triskaidekaman, mengekspresikan kedalaman dan kematangan dalam karya ini.

Saya merasakan betapa Triskaidekaman dengan penuh keahlian dan ketelitian membangun dunia di dalam buku ini. Setiap rincian, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, diciptakan dengan cermat dan teliti, sehingga menciptakan suasana yang sangat hidup dan nyata. Selain itu, karya ini juga memperkenalkan kita pada teknik lipogram, sebuah bentuk seni dalam penulisan yang memerlukan penulis untuk menghindari penggunaan huruf tertentu. Dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, huruf yang harus dijauhi adalah huruf E, yang dalam bahasa kita merupakan huruf yang sangat lazim. Teknik ini menambahkan lapisan keunikan dan kreativitas yang luar biasa pada buku ini, menyoroti keterampilan penulis dalam menyusun kalimat dengan batasan yang ketat. Keberadaan teknik lipogram ini membuat buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E bersinar dengan keistimewaan tersendiri.

Namun demikian, seperti halnya karya-karya lainnya, buku ini juga memiliki beberapa hal yang patut dicermati. Sebab dunia dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E dibangun dari awal, pembaca mungkin merasa memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan segala aspek baru yang disajikan. Rasa asing terhadap latar dan cerita yang dihadapi bisa menjadi tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, penggunaan sudut pandang dari berbagai tokoh serta alur cerita yang padat menuntut konsentrasi ekstra agar pembaca tidak kehilangan arah di dalam narasi yang kompleks.

Di balik segala kekurangan yang mungkin ada, saya menemukan kepuasan mendalam saat menyelami buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E. Pilihan bahasa yang dipergunakan oleh penulis, Henny Triskaidekaman, mengalir dengan ketegasan dan keindahan yang memikat, menghadirkan kesan yang tidak mudah dilupakan. Lebih jauh lagi, kejutan-kejutan yang menghiasi sepanjang cerita menambah daya tarik yang tak terduga. Setiap perubahan dan liku dalam narasi memandu pembaca dalam perjalanan yang penuh dengan penemuan baru.

Dalam pandangan saya, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman menghadirkan wawasan dan nilai yang mendalam. Buku ini layak untuk diterima dan dipahami oleh setiap pembaca yang mencari pemahaman tentang kepemimpinan dan dinamika masyarakat. Lebih dari sekadar hiburan, karya ini mengundang pembaca untuk merenungkan nasib bangsa kita, seandainya dipimpin oleh sosok seperti yang tergambar dalam buku ini. Dengan segala kelebihan dan tantangannya, buku ini bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga membangkitkan pemikiran mendalam tentang masa depan kita sebagai sebuah bangsa.
Profile Image for Limya.
97 reviews6 followers
June 13, 2020
Bingung.
Intinya, rasa kasihan pada Lamin lumayan, tidaklah kurang. Rasanya sulit saja pikirkan cara hidup laksana Lamin.
Akhirnya sungguh tidak dapat diduga. Sungguh absurd tapi nyata, saya ganti kata dari lirik lagu masyhur itu musabab ada Huruf Itu-nya.

Nanti tulis ulasan komplitnya kalau baca ulang. Kini masih hanya bisa diam dan upayakan paham akan isi buku ini.

Namun ada salah satu hal amat utama yang bisa didapat, juga dicatat. Khianat dan dusta akan hantui diri sampai kapanpun. Itu juga kalau diri punya rasa sadar yang tinggi.
Profile Image for Arystha.
323 reviews11 followers
September 22, 2021
Ternyata kalau salah satu huruf tidak digunakan dan dihilangkan, kita harus tanggap cari padanannya ya. Agak merepotkan juga, karena huruf 'e' adalah huruf vokal. Coba kalau yang tidak dipakai huruf 'i', masih bisa diakali dengan 'y' hehehe. Tapi, rasanya di situlah tantangannya (dari satu paragraf, jadi satu novel).

Bacaan yang lumayan berat dan kompleks untuk saya, mungkin karena dibaca di sela-sela pekerjaan kantor yang sedang banyak-banyaknya. Kapan-kapan baca lagi, kalau niat ;)
Profile Image for OliveOlive.
12 reviews1 follower
August 23, 2020
Belum bisa kasih bintang sebab blm membacanya. Tp sy tertarik dengan ceritanya, secara sy penyuka genre dystopian dan penyuka karya2 experimental. Sy akan balik lagi khusus untuk memberi bintang bagi novel “nyeleneh” ini. Salut buat mbak Henny Triskaidekaman!

Sedang membaca. Congrats mbak Triskaidekaman atas pencapaianmu mrnjawab challenge temanmu. And you did it very well, mbak!
Profile Image for Hanifah .
113 reviews5 followers
April 28, 2024
Buku yang tidak boleh lagi beredar di masyarakat Wiranata, menyimpan rahasia diktator Zaliman. Membunuh orang yang menyimpan buku karangan bagus dan membakar buku yang tersisa. Lamin mencari tau dibalik buku itu dan harus menerima konsekuensi dari aturan diktator zaliman.

Terkadang perlu beberapa kali baca untuk memahami maksudnya ke arah mana.
Profile Image for Mangku Parasdyo.
83 reviews5 followers
June 5, 2022
Sulit untuk menolak tawaran buku ini.

Sebuah novel tanpa huruf 'e' sudah cukup membuatku penasaran untuk membacanya, bahkan aku tak membaca sinopsisnya. Aku lebih penasaran bagaimana strategi penulisnya menghilangkan huruf itu. Terlebih lagi dari semua eksperimen sastra, ini adalah eksperimen yang bisa diukur dengan mudah bahkan oleh pembaca awam.

Strategi pertama penulis adalah menciptakan dunianya sendiri yang unik dan bisa penulis kuasai secara utuh tanpa harus terkait dengan realita dan pengetahuan umum pembacanya. Penulis bisa memilih Utopia ataupun Distopia, tentunya distopia lebih membebaskan. Aturan khas distopia bahwa Negara Wiranacitra dipimpin oleh seorang diktator yang berkuasa seumur hidup, jabatan diwariskan kepada anaknya, dan apabila tidak ada pengganti maka pengganti ditunjuk oleh diktator tahana dengan calon yang dapat menunjukkan mukjizat dan lolos upacara tebar tuai abu pisang.

Berdasarkan strategi ini aturan-aturan dan ritual yang nyeleneh dapat dimunculkan dalam buku ini. Adat penamaan warga Wiranacitra sebelum Zaliman yang Mulia berkuasa adalah memberikan nama-nama mengandung kata-kata kasar dan binatang, seperti Kelamin Lanjarjati, Jahanam Jahadiyah, Bangsat Riana Bolotwati, Gundulmu Sangga Masyuka, Zakaria Sangga Masyuki, hingga Bajingan Cukimarno. Ketika aturan penggantian nama muncul mereka terkadang hanya mengurangi huruf depan saja sehingga nama mereka menjadi Lamin, Hanam, Satriana, Dul, Karia, dan jingan. Tentu ada pengecualian nama Babi bisa dirubah mengikuti penamaan asing menjadi Baby. Penggantian nama-nama ini bisa saja dikaitkan dengan aturan penamaan warga indonesia keturunan asing, bedanya aturan nama dibuku ini ditujukan untuk warga pribumi, satu-satunya warga asing di novel ini Ivan Barbarovich malah menjadi orang tidak pernah mengganti namanya. Menariknya pekerjaan Ivan Barbarovich warga keturunan rusia yang tak bisa bahasa rusia atau menulis huruf kiril dan bekerja sebagai polisi bahasa justru membuatku mengasosiasikannya dengan Ivan Lanin.

Strategi kedua adalah dengan mengganti kata-kata yang menggandung huruf 'e' dengan padanan kata lain yang sama, hari senin dan selasa diganti menjadi hari Soma dan Anggara yang berasal dari bahasa bali, Sekolah menjadi Maktab, sepatu menjadi kasut, lalu kabel menjadi kawat. kata-kata aktif dengan menggunakan awalan 'me-' sudah pasti banyak dihilangkan.

Strategi ketiga, ketiga kata tersebut sulit digantikan maka tinggal disingkat saja, pongam, sansing, ratron, W-azab, fasiltuman(fakultas ilmu tubuh manusia, pengganti fakultas kedokteran).

Okee itu tadi strategi agar huruf itu tak masuk dalam novel, lalu bagaimana ceritanya ? Walaupun menawarkan premis yang menarik, sayangnya alur ceritanya agak sulit diikuti maksud dan tujuannya, setting waktu mengambil tahun 2027, lalu melompat ke tahun-tahun ketika zaliman masih muda, lalu melompat ke waktu dalam bentuk H-Minus yang tidak bisa dideteksi terjadi kapan. Point of viewnya pun kadang berubah tanpa bisa dideteksi tokoh siapa yang sedang menjadi narator. Bagus Prihardana yang digambarkan punya kemampuan meramu puisi yang baik tidak ditunjukkan sebaik apa puisinya dan bagaimana proses puisi-puisi itu terbentuk sehingga terbentuklah 2 karakter yang benar-benar berbeda. Kehebatan bagus prihardana hanya ditunjukkan oleh narasi bahwa itu puisi-puisinya berisi perlawanan terhadap diktator, dan bentuk ketidakkonsistenan itu seakan-akan mimpi buruk. Padahal dalam berbagai riwayat, sikap diktator yang kontradiktif itu sudah biasa, dan justru lebih mirip puisi, bilang gini maksudnya begitu, mengapa dikator Zaliman malah menghindari hal itu tidak dapat aku tangkap dengan baik. Malah menurutku, seharusnya Zaliman lebih takut kalau mukjizat yang ia ciptakan ternyata hanyalah sebuah kebetulan semata 'fooled by randomness'.

Secara keseluruhan, buku ini memberi pengalaman membaca yang bari, ketidakhadiran huruf 'e' tak terlalu terasa bagi pembacaa, hanya butuh penyesuaian sebentar dan itupun terbantu dengan catatan kaki. Kurasa ini adalah buku berbahasa Indonesia yang setidaknya harus dibaca sekali seumur hidup.
Profile Image for Sheila Viona.
9 reviews
July 2, 2021
Novel tanpa huruf “E” ini tercipta dari sebuah tantangan yang diterima penulis di sebuah aplikasi bernama Quora yang memberi tantangan untuk membuat novel tanpa huruf tertentu didalam penulisan naskahnya (seperti yang sudah dilakukan beberapa penulis luar). Ternyata inilah buah hasil tantangan yang diwujudkan oleh penulis dengan paduan cerita yang cukup memuaskan para pembacanya. Novel ini menceritakan tentang rezim yang menerapkan berbagai aturan yang bisa dibilang “nyeleneh” untuk diterapkan semua warga di suatu bangsa bernama Wiranacita.

Di bawah rezim tersebut terdapat banyak peraturan yang banyak melibatkan urusan pribadi warga Wiranacita disertai pengawasan ketat dalam perintah penerapannya. Peraturan dan larangan yang cukup kontroversial yaitu mulai dari penggantian nama secara massal yang perlu dilakukan oleh semua warga Wiranacita dengan kriteria nama tertentu hingga larangan kepemilikan buku ataupun naskah puisi yang telah ditetapkan juga larangan pengadaan perkumpulan maupun lokakarya dengan topik pembahasan tertentu terutama mengenai kinerja penguasa pada zaman itu yang apabila dilanggar baik secara terang-terangan maupun tanpa disengaja sekalipun sanksi yang didapat tidak bisa ditoleransi sedikit pun bahkan sanksi yang diterima akan begitu keji melebihi yang dibayangkan oleh warganya.

Dilain sisi, seorang pemuda yang menjadi tokoh utama dalam novel ini yang merupakan kunci untuk menjawab rasa penasaran kita tentang keberadaan naskah puisi yang diburu oleh para pengawas Wiranacita atas perintah diktator Bangsa Wiranacita, yaitu Zaliman. Salah seorang pemuda itu digambarkan menjadi sosok yang penuh tanya untuk mengulik cerita yang melatarbelakangi aturan-aturan ini dibuat dan ia seakan memandu pembaca untuk memuaskan keingintahuannya untuk memahami setiap kepingan cerita yang diperolehnya. Namun, tanpa ia sadari rasa penasarannya malah membuat pemuda tersebut berada diambang bahaya yang semakin mengancamnya. Akankah pemuda tersebut akhirnya menemukan kebenaran dan mengetahui keseluruhan cerita yang melatarbelakangi aturan-aturan yang ditetapkan penguasa Wiranacita itu? Lalu bagaimana dengan konsekuensi yang malah membahayakannya jika sampai ia memeroleh naskah puisi yang sedang diburu sang diktator?



Tokoh yang ada dalam novel diperkenalkan satu persatu dengan baik, sehingga pembaca tidak bingung bagaimana hubungan antar tokoh yang saling berkesinambungan. Novel ini juga menyajikan cerita yang unik dan berusaha menampilkan realita masyarakat kita kini yang semakin beragam tetapi masing-masing memiliki pandangan yang masih homogen dan cenderung konservatif. Kalimat-kalimat satir akan sering kita jumpai lamat-lamat, seakan menyindir kehidupan masyarakat kita kini yang menganut suatu sistem masyarakat yang menilai kehidupan dapat dikatakan layak atau tidaknya dengan menyelaraskan kesuksesan dengan kebahagiaan yang perlu diikuti seseorang jika ingin diterima masyarakat dan hidup bahagia kelak. Lalu unsur politik yang disajikan cukup relate dengan pemerintah dan peraturannya yang seringkali absurd dan kontroversial. Unsur lain yang dilibatkan penulis dalam menyampaikan pesan dalam novel ini seperti, ekonomi, sosial, filsafat, dan lain sebagainya. Narasi cerdas yang diciptakan penulis dengan disertai aturan novel yang aneh tapi unik namun masih nyaman untuk dibaca dan pemilihan kata serta tata bahasa yang jarang digunakan untuk mengganti nama suatu benda atau istilah yang pengejaannya terdapat huruf “E” akan membuat kita banyak menambah kosa kata baru yang bisa jadi tidak kita ketahui sebelumnya. Ketika membaca novel ini saya sarankan tidak memberi ekspektasi apapun, terlebih ekspektasi akhir suatu cerita yang bahagia bagi tokoh utama seperti novel kebanyakan, sebab anda akan disajikan bacaan yang cukup menguras energi jika anda mencoba menempatkan ekspektasi di bagian awal novel.
Profile Image for normnialib.
100 reviews2 followers
March 28, 2024
"Kadang hidup kita ini disutradarai nasib. Tak ada yang bisa kita lakukan, dan kita cuma jadi korban."
[176]


🍌

Rakyat Wiranacita diliputi rasa gundah saat maklumat dari sang diktator turun. Aturan macam-macam itu sama sekali tidak masuk akal. Berbondong-bondong mereka ikuti aturan gila yang datang silih berganti, belum rampung satu aturan sudah muncul aturan lainnya. Begitu saja terus sampai rakyat tak berkutik. Tentu saja banyak orang-orang cerdas yang berpikir kritis, namun dengan pikiran seperti itu apa nyawa mereka akan aman?

🍌

Jujur sejak awal ekspektasi aku ke buku ini kecil banget. Alah, palingan cuma novel komedi buat lucu-lucuan aja, hiburan di waktu senggang. Jadilah aku baca novel ini tanpa ekspektasi yang tinggi. Tapi eh, kok, makin dibaca makin bingung ya? Ini kayaknya bukan novel komedi deh. Cover bukunya aja yang pura-pura innocent padahal isinya tuh permainan gila-gila politik. Wah, aku tertipu.
Hal ini tentu gak bikin aku mundur dong, bukunya tetap aku baca. Seiring berjalannya waktu aku semakin enjoy buat baca. Banyak hal-hal unik yang tertulis di buku ini. Tidak ada huruf E, banyak kosakata asing di mata, juga banyak kata-kata kasar yang menjadi nama orang.
Aku terkesima sama gaya penulisannya buku ini. Bisa gitu ya menyampaikan plot yang lumayan sinting, walaupun buku ini gak punya huruf E sama sekali! Pada intinya aku suka. Penulisnya pandai bercerita. Ini jatuhnya parodi kan ya. Parodi suatu negara hehehe.


🍌

Walaupun aku suka sama buku ini, ada beberapa hal juga yang kurang aku sukai dari ceritanya.
Pertama, aku bingung nentuin latar waktu. Memang dibantu sih sama tulisan tahun di hampir tiap judul bab, tapi aku tetap bingung. Soalnya penggunaan kalimat-kalimat mereka terlalu musingin, banyak istilah-istilah yang terkesan jadul di mata aku haha, yah tapi itu sih karena perbendaharaan kosakata aku terlalu sedikit ya.


🍌

Akhir kata, aku bangga Indonesia modern punya novel bentukan cerita seperti ini. Moga-moga kedepannya juga banyak novel yang terlihat innocent tapi berisi pengetahuan luas di dalamnya.
Profile Image for Ananas Comosus.
4 reviews
November 19, 2021
🍌 Kita, ataupun saya, mungkin tidak tahu kalau penghilangan paksa huruf E bisa menimbulkan bencana kemanusiaan yang parah. Bukan masalah sekadar nggak bisa gunakan huruf E. Ada aturan yang mengikuti dibelakangnya. Kalau kamu melanggarnya mungkin dipotongnya lidahmu masih terlihat lucu.

detail buku:
• Judul: Cadl
• Pengarang: Triskaidekaman
• Editor: Afandi
• Desain Sampul: Orkha.id
• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
• Terbit: Maret 2020 (cetakan pertama)
• ISBN: 978-602-06-3957-4

🍌 Cadl adalah novel ketiga Triskaidekaman yang dicetak dan novel pertamanya yang saya baca sampai tuntas. Beliau memang sering menulis novel-novel eksperimental dan nggak umum, dan itu bagus buat saya yang sedang mencari bacaan nggak umum.

🍌 Novel distopia bersampul pisang ini mengisahkan negeri Wiranacita yang tak bisa gunakan huruf E lagi gara-gara aturan baru Sang Tiran. Diceritakan dari berbagai macam sudut cerita mulai dari pimpinannya, kaki tangannya, sampai rakyat yang kena imbasnya.

🍌 Awal-awal kita dibuat haha-hihi dengan trivia-trivia bodoh yang dipaparkan penulis. Menjelang akhir kita tahu kalau novel ini nggak ada bahagia-bahagianya sama sekali.

🍌 Tokohnya memang banyak. Tapi mereka punya karakter yang kuat. Saya yakin kamu bakal hafal dengan kehidupan mereka yang diceritakan tidak runut dalam novelnya. Minimal kamu bakal ingat dengan Yang Mulia Zaliman yang benci huruf E, Lamin yang kehidupannya jatuh bangun gara-gara kebijakan pemerintah, dan Bagus Prihardana, sastrawan yang karyanya diburu pemerintah untuk dimusnahkan. Keberadaannya sendiri masih menjadi misteri, namun karyanya selalu dibacakan di acara-acara bawah tanah.

🍌 Kalau kamu berpikir huruf E yang hilang ini cuma gimik dan bikin gaya bahasanya kaku, saya bisa bilang kamu salah. Justru huruf E yang hilang ini menjadi kekuatan dan tema utama cerita selain pisang. Gaya bahasanya lentur banget. Saking luwesnya kamu mulai lupa kalau novel ini nggak ada huruf E. Selain itu kita jadi kenal dengan kosakata yang jarang banget digunakan.

🍌 Saya sudah punya Dua Muka Daun Pintu dan dapat "bukan jus jeruk". Kalau BPMT nanti saya bisa pinjam lagi ke teman saya (dan sudah saya baca juga). Jadi, saya ingin merasakan pengalaman membaca CBTK. Tinggal itu tok yang belum pernah saya baca.

🍌 Harapannya Triskaidekaman terus menulis sambil membawakan cerita nggak umum lainnya. Yang bodoh-bodohan kayak Cadl juga gapapa, kok. Saya tinggal ngikut aja.

eru painappuru
🍌 Pisang

*caption saya ambil dari instagram saya (nanas.tahubuku). review ini bersifat temporer. saya akan baca ulang dan mengulasnya dengan ulasan yang lebih baik dan lebih lengkap daripada ini. anggap saja ini catatan supaya saya nggak terlalu lupa sama isi cerita Cadl
Profile Image for Riski Oktavian.
462 reviews
July 20, 2023
"Fitnah yang diucapkan tanpa ampun dan masif lama-lama akan dikira fakta, dan di saat itulah fakta aslinya akan hancur." -hlm. 225

This book is absolutely amazing!

Dari karya-karya Triskaidekaman yang pernah kubaca sebelumnya, judul yang ini bener-bener bikin aku speechless, bikin aku syok, dan somehow bikin merinding. Bukan. Bukan perkara novel ini tidak mengandung huruf E sama sekali. Bukan poin itu yang mau aku ceritakan dari novel ini, meskipun itu menjadi daya tarik tersendiri.

Novel ini mengingatkanku sama novel Fahrenheit 451, 1984, Laut Bercerita, dan beberapa novel-novel distopia lain yang pernah kubaca. Di mana dunia yang dibuat di sini oleh penulis, yang bersetting tempat di Wiranacita, benar-benar menghadapi ke-chaos-an yang tiada akhir. Berawal dari diktator mereka, Zaliman Yang Mulia, mengumumkan maklumat yang mengharuskan warganya mengganti nama mereka karena dirasa mengandung kata-kata kotor. Namun belum sampai di situ, dikeluarkanlah maklumat kedua yang melarang penggunaan huruf E.

Tentu saja tanpa banyak protes yang tersuarakan namun masih menggenang di pikiran mereka, huruf E lama-lama benar-benar lenyap dari kehidupan warga Wiranacita.

Kehidupan mereka pun mulai berbeda dari biasanya. Ancaman yang tidak main-main juga mulai menghiasi kepala mereka jika ada yang coba-coba melafalkan / menuliskan huruf itu. Dan terbukti, satu per satu pun orang mulai hilang.

Seiring berjalannya kekacauan itu pun, masa lalu yang kelam lambat-lambat mulai terkuak. Bagaimana semua ini menjadi seperti yang sekarang dan bagaimana setiap tokoh mencoba mencari tahu apa yang sedang diburu-buru oleh Zaliman Yang Mulia.

Dan setelah membaca novel ini tuh aku jadi tahu kenapa cover buku ini tuh pakai gambar pisang dan dibuat ngejreng warna kuning. Ternyata menjadi salah satu unsur yang saling menentukan jalannya cerita ini. Ya. Bener. Pisang! Dan setelah kupikir-pikir, karena novel ini kan tanpa huruf E. Buah yang paling gampang ya... pisang.

Pokoknya aku suka juga deh dengan bagaimana penulis bermain-main dengan alur di sini yang membuahkan plot twist. Kayak bikin melongo terus tuh plot twist nya. Meskipun di bagian awal aku juga harus menyesuaikan dengan bagian-bagian awalnya dengan diksi yang super kbbi-able.
Displaying 1 - 30 of 127 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.