Keasyikan isu-isu kebahasaan karena pada era kini filsafat adalah soal bagaimana kenyataan itu sejatinya dibangun oleh deretan huruf. Martin Heidegger, filsuf Jerman, menyebut bahasa sebagai sebuah rumah mengada kita dan cara untuk mengungkapkan dunia.
Betapapun banyak kata yang gagah telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti demokrasi, republik, dan parlemen, makna kata tersebut tetap terkait dengan pandangan dunia bangsa Indonesia yang pada gilirannya mewujud dalam hubungan manusia. Pendek kata, bahasa mewakili kenyataan yang hendak diwujudkan oleh penggunanya dan tak semestinya mengacu sepenuhnya pada kata asal, Yunani misalnya.
Lagi-lagi, selalu ada hubungan dialektik antara pengalaman diri dan orang lain. Sekarang, tugas kita adalah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang kokoh dengan mengemas indah rumah yang masih belum kuat dan compang-camping itu. Pada gilirannya, bahasa Indonesia pun akan berhasil menjelma gagasan yang mengandaikan tindakan.
Buku ini mengupas banyak sekali isu terkait bahasa, misalnya asal usul kata, makna, dan pesan wacana. Sebagian besar tulisannya diambil dari kolom bahasa majalah Tempo, kemudian Media Indonesia, Jawa Pos, dan lainnya.
Buku ini memuat puluhan artikel pendek dengan berbagai tema, tetapi semuanya tentang fenomena penggunaan bahasa secara umum dan juga tentang bahasa Indonesia. Meskipun artikelnya pendek, pembahasannya menurut saya lumayan berat untuk pembaca awam. Tulisan karya Ahmad Sahidah ini sebelumnya diterbitkan sebagai artikel pendek di media massa (paling banyak di Majalah Tempo sehingga wajar kalau bahasanya cenderung "berat" dan tinggi.
Ada beberapa artikel yang kurang up to date, dan ternyata memang artikel itu ditulis tahun 2010 sehingga kondisinya mungkin akan jauh berbeda dengan kondisi sekarang (buku ini terbit tahun 2019). Misalnya saja tentang lema unggah (untuk up load) dan unduh (untuk download). Tetapi saya setuju dengan bab "Silang Sengkarut Aksara Twitter" bahwa Twitter adalah pengicau. Pemilik akun bisa sesuka hait berkicau. Walau harus diupayakan juga "mapan papan mapan panggonan" alias berbicara sesuai kepakarannya.
Dalam banyak bab di buku ini, penulis sering sekali membanding-bandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu di Malaysia. Setelah saya cek di biografi, beliau ternyata menjadi dosen tamu di Universitas Utara Malaysia. Pantas saja kalau penulis mampu menguasai dengan baik rona perkembangan kedua bahasa serumpun ini. Akhirnya saya semakin paham mengapa kata "butuh" terlarang di Semenanjung, dan bahwa kata "seronok" itu ternyata tidak "seronok" seperti yang kita kira.
Saya kurang suka dengan kecenderungan beliau membanding-bandingkan kedua bahasa serumpun ini. Tetapi, saya mendukung penuh sikap penulis yang tak kenal lelah memperjuangkan padahan dari bahasa lokal untuk menggantikan kata-kata "sok keminggris" yang memang menggejala dalam komunikasi kita.
Artikel-artikel pendek yang disajikan di dalam buku ini mampu menyentil saya sebagai penutur asli bahasa Indonesia yang terkadang salah kaprah dan tidak taat asas dalam menggunakan bahasa ibu sendiri. Cocok untuk pencinta bahasa Indonesia maupun kaum awam yang ingin menambah pengetahuan dalam berbahasa Indonesia.
Buku ini cukup menarik untuk dibaca. Buku ini cukup 'usil' dalam menyentil bagaimana bahasa Indonesia yang masih kurang giat dalam mencari padanan kata dari suatu kata asing. Bahasa Indonesia yang notabene banyak memiliki bahasa daerah yang bisa dijadikan salah satu opsi sebagai padanan kata dari kata asing menurut buku ini seyogyanya dapat lebih menghasilkan kosakata yang lebih kaya.
Namun berbeda dari kenyataan, dibandingkan dengan bahasa serumpun, bahasa Melayu yang lazim digunakan di Malaysia, bahasa Indonesia masih tertinggal dalam hal kreativitas dalam mencari padanan suatu kata asing.
Oleh karenanya, Kata Yang Rapuh di sini mencoba memunculkan pemikiran-pemikiran perihal isu kebahasaan yang menurut penulisnya akan sangat berguna sebagai pertimbangan khususnya kita sendiri dalam memilih padanan kata dari bahasa asing. Jelas gak ingin kan, bahasa Indonesia punah? Secara tidak langsung, buku ini juga mengajak untuk melestarikan bahasa Indonesia yang mulai tergerus oleh bahasa baru yang sering disebut bahasa gaul. Sayangnya, bagi saya (yang pemahaman mengenai bahasa Indonesianya tidak sedalam orang-orang sekelas penulis dan Ivan Lanin) sedikit membuat dahi berkerut ketika membaca. Banyak konsep-konsep luar biasa yang berusaha dijelaskan menggunakan bahasa ringkas khas surat kabar.