Penyair hilang tak menjadikan buah persetubuhannya sebagai layaknya mereka Karena penyair di negerimu tidaklah seperti aku Karena puisi di negerimu tidaklah seperti puisiku Aku adalah kebebasan yang menjadi nakal Bermain kejar-kejaran dengan sederhananya bahagia di lorong-lorong yang digelapkan gerhana kehidupan Setengah tak dianggap
***
Dalam kumpulan puisi ini, Fitri Nganthi Wani menerjemahkan luka, cinta, duka keluarga, dan peliknya kehidupan sebagai anak Wiji Thukul—aktivis yang hingga sekarang tak terang keberadaannya. Sesekali dengan bahasa manis, lebih sering dengan bahasa menggertak, memperlihatkan kegeraman dan nada perlawanan yang kentara sebagai perempuan.
Persis seperti yang disampaikannya, Perempuan memang begini. Kalau tidak melawan, tidak akan menawan.
Sungguh masih berlaku: Satu dibagi nol sama dengan tak terhingga.
Itu adalah kutipan nomor 30 dari 68 #QuoteWani yang tersaji dalam buku ini. #QuoteWani merupakan salah satu bagian dari buku ini yang memberi wejangan tentang bagaimana menjadi berani dengan kata-kata yang quotable dari penulis.
Sudah lama ingin membaca salah satu karya Fitri Nganthi Wani hingga akhirnya bisa membaca buku yang paling mudah diakses olehku ini. Tidak cuma syair, buku ini berisi prosa, kutipan, dan wejangan hidup dari Fitri; begitu beragam dalam kesatuan karya tulis. Tidak terlalu mengandai-andai bagai puisi kebanyakan, Fitri memilih jalur yang praktis dengan diksi yang tegas dalam setiap karya tulis dalam buku ini.
Fitri mengungkapkan perasaannya tentang hubungan keluarganya, terutama sang ayah Widji Thukul. Satu prosa favoritku berjudul "Biji Bunga Pembangkang" mengisahkan seorang "aku" yang dihadang Tembok Tirani karena menyuburkan tanaman bunga pembangkang. Itu seperti pengungkapan kisah hidup sang ayah.
Karya tulisnya yang lain mengekspresikan perjuangan, kemandirian, dan tentu saja keberanian. Buku yang menarik walaupun mungkin sedikit mendikte dengan wejangan-wejangan hidup bak kata-kata mutiara dari seorang motivator.
Sungguhpun: Widji Thukul. Keberaniannya menular; kepada karyanya, kepada anaknya, kepada karya anaknya, dan tentu saja kepada pembaca.
Kali pertama membaca buku dari Fitri Nganthi Wani. Sebelumnya saya gak tau, penulis adalah anaknya Wiji Thukul, tapi rasanya pernah dengar nama ini. Karena judul buku ini menarik buat saya, maka saya baca lah.
Saya mungkin berpikir di awal baca, akan menemukan puisi-puisi dengan tema-tema yang mirip dengan karya Wiji Thukul, apalagi buku ini dibuka dengan tulisan pertama yang diberi judul 'Negeri Karya'. Wah, luar biasa sekali pikir saya tulisan Wani ini.
Memasuki lebih ke dalam lagi buku ini, saya lalu merasa Wani memang anaknya Wiji Thukul, keberaniannya mengalir dalam darah juga tulisannya. Semua hal dituliskan dalam buku ini, dari luka hati, cinta, definisi pernikahan, perempuan, patriarki, hingga kalimat-kalimat wejangan pada diri yang sederhana namun amat bermakna.
Ah, sulit buat saya menuliskan betapa banyak judul dalam buku ini yang menjadi favorit saya, tapi boleh lah saya tulis beberapa ya, ini dia; - Cinta Selalu Cukup - Sebuah Wejangan - Mending Undur Diri - Ibu Puisi - Tentang Bahagia - Pernikahan Adalah Panggung
Utama
bahkan ketika kamu harus sendirian tetaplah memihak kebenaran
Karena dibaca saat suasana hati sedang carut-marut, puisi-puisi di buku ini jadi sangat relate sekali.
Saya pikir Wani tidak banyak bermain dengan diksi karena pilihan kata-katanya sangat familiar. Di satu sisi ia dengan gamblang mengungkapkan makna, di bagian lain Wani bermain penuh dengan metafora.
Judul-judul favorit saya: 1. Perkara Modar 2. Cahaya Sukma 3. Hantu Tarendra 10, 15, 18 4. #QuoteWani 28, 67 5. Yang Mengobati Adalah Sikap 6. Painkiller (1)
"Trauma tidak akan benar-benar pergi. Mereka akan terus ada seperti halnya bekas luka. Karenanya aku mengindahkan mereka sebagai beberapa luka bernilai seni di tubuhku, daripada terus memakinya namun tak memperbaiki apa pun. Membuatnya bisa terlihat adalah menerimanya sebagai bagian dari diriku" (hal. 55)
Kumpulan puisi yang sangat menggugah jiwa! salut sama si penulis yang bisa mengolah rasa secara hebat dengan sentuhan ciamik.
Awalnya entah mengapa terasa agak bosan tapi justru makin ke belakang ternyata makin menikmati dengan sajian kata yang menurut saya pasti semua kalangan pernah mengalami kejadian yang disuguhkan.
Ntah mengapa suka dengan buku ini walaupun kebanyakan isinya adalah puisi (aku tipikal orang yang ga terlalu suka puisi soalnya). Ada beberapa part yang relate banget dan bagus banget menurutku sampai sampai pengen ku screenshot lalu kubagikan tapi urung kulakukan karena aplikasi reader ku tidak memperbolehkan tangkapan layar apapun wkwk.
Kumpulan puisi yang bisa kubilang punya bait-bait yang berani, lantang, dan dengan jelas menyuarakan tentang hak perempuan. Aku menemukan beragam isu yang diangkat penulis lewat puisi-puisinya di sini. Mulai dari kritik sosial, soal negara, hukum, sampai kebobrokan patriarki. Penulis juga lihai mengubah curhatannya menjadi puisi yang punya bermacam warna. Ada beberapa puisi yang berbicara soal "bapak", maksudnya Wiji Thukul. Ada juga yang menunjukkan kekaguman penulis terhadap sosok ibu yang hebat dan berani. Beberapa puisi juga merujuk pada fenomena sosial, misalkan soal penggunaan smartphone. Menurutku, ini cocok dibaca buat siapapun yang menyukai puisi sebagai salah satu "senjata" kritik, atau sebagai bentuk curahan isi hati.
"Tetaplah melangkah maju mengikuti kata hatimu. Teruslah mencari cara terbaik versimu sendiri agar bisa selamat dari sisi pedih kehidupan. Cuma kamu yang paling tahu hal yang terbaik buatmu. Karena orang-orang yang sok tahu belum tentu mau menanggung beban hidupmu." (Puisi Hantu Tarendra, halaman 42)
Ada 12 puisi yang paling kusuka: Negeri Karya, Getir, Lingkungan Kita, Painkiller (1), Biji Bunga Pembangkang, Menjadi Budeg Kadang Perlu, Pernikahan adalah Panggung, Memeluk Diri, #Quotewani, Sudut Pandang Pelaku, Nomophobia, Definisi Menikah.
[Kita harus tetap bekerja karena hidup hanyalah ruang tunggu. Jangan sampai menganggur agar tak terbunuh pikiran sendiri.]
[Berdoalah tanpa memilih-milih apa yang ingin Tuhan berikan padamu. Berdoalah untuk menyampaikan rasa percayamu pada seluruh rencanaNya. Berdoalah tanpa mengatur Tuhan.]
Berasa dipeluk tapi juga ditampar pada beberapa bagian, an enjoyable read to me.
“lingkungan kita ini aneh yang bikin pintar dibilang komunis, kafir yang manjur dibilang bahaya, adiktif, haram yang tidak bermanfaat dilebih-lebihkan yang terlantar disingkirkan yang benar disalahkan yang salah diam saja, lalu sibuk pencitraan”
This entire review has been hidden because of spoilers.
Diksi yang digunakan, dunia yang dibangun, dan perasaan yang dialirkan oleh Fitri Nganthi Wani menciptakan debaran di hatiku. Lukaku laiknya diraba dan dimanifestasikan olehnya dalam puisi ini. Sangat relate. Sangat dalam. Sangat sampai.
Buku kumpulan puisi ini isinya lebih unik dan beragam dan saat itu memutuskan untuk membaca buku ini karena dibacakan salah satu kutipannya dari Mba Najwa Shihab. Untuk isinya ada beberapa hal yang sulit untuk ditafsirkan sehingga bukan merupakan buku yang bisa dibaca di saat sedang dalam kondisi yang sulit karena pasti akan menjadi lebih sulit lagi. Tapi ada beberapa poin penting yang disampaikan Kak Fitri dalam buku Jangan Mati Sebelum Berguna ini, salah satunya ada pada bagian untukmu yang sedang belajar menjadi pemberani.