Buku ini mencoba menggambarkan pemahaman tentang makna dan cara (Minhaj) berislam dari yang tingkat ritual (syari'ah), diikuti tingkat mental emosional ('aqidah) yang dijaga dengan ketaqwaan dan dibuktikan dalam perbuatan sosial (ihsan). Namun, masih diperlukan satu langkah lagi yaitu berislam secara intelektual yaitu berfikir secara Islam berbasis pandangan hidup (worldview).
Dengan keempat tingkatan ini diharapkan Muslim dapat berislam dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain.
Lahir di Gontor, 13 September 1958, Hamid Fahmy Zarkasyi adalah putra ke-9 dari KH Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Beliau juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS).
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menamatkan pendidikan menengahnya di Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah Pondok Modern Darussalam Gontor dan S1 di Institut Studi Islam Darussalam di pondok yang sama. Pendidikan 2 (MAEd) dalam bidang pendidikan diperolehnya di The University of Punjab, Lahore, Pakistan (1986). Pendidikan S2 (M.Phil) dalam Studi Islam diselesaikan di University of Birmingham United Kingdom (1998). Sedangkan studi S3 (PhD) bidang Pemikiran Islam diselesaikan di International Institute of Islamic Thought and Civilization - International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006.
Baru-baru ini ia dipilih menjadi Pimpinan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Sejak tahun 2003 ia aktif melakukan workshop pemikiran Islam yang berupaya bersikap kritis terhadap program liberalisasi pemikiran Islam. Murid langsung Prof. Dr. Syed Mohammad Naquib al-Attas ini juga pernah menjadi wakil umat Islam Indonesia dalam simposium tentang masa depan politik Islam di JIIA Tokyo (2008). Ia juga menjadi anggota delegasi RI (Kemenlu) dalam program Public Diplomacy Campaign ke Austria (2010).
Ia banyak melakukan lawatan ke berbagai negara Eropa dan Asia dalam program dakwah, seminar, studi banding, dsb. Selain aktif menulis di berbagai media massa dan beberapa jurnal, kesehariannya ia habiskan untuk mengajar dan memimpin Program Kaderisasi Ulama dan Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam, Gontor.
Pemahaman mengenai Islam oleh sebagian orang masih terbatas pada makna 'syari'ah'. Padahal lebih jauh dari itu, ia adalah iman yang mewakili tingkat aqidah dan ihsan yang mewakili tingkat akhlak.
Islam dalam tingkat syariahpun masih banyak yang abai atas substansi yang dibawanya. Sebagaimana rukun Islam yang selama ini kita hafal, seharusnya dimaknai lebih dari sekedar ibadah dengan segala pemahaman fiqhnya. Adanya sebuah nilai yang dibawa masing-masing darinya dapat berpengaruh besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik sebuah bangsa. Sebagai contoh, jika shalat dimaknai untuk mencegah kemungkaran. Maka setiap umat Islam yang shalat seharusnya mampu membawa nilai ini pada kehidupan dan stabilitas bangsa menjadi konsekuensinya. Setelah Berislam ditingkat ritual, pembaca akan dibawa menyelami tingkat-tingkat berikutnya; Berislam ditingkat iman, kemudian Ihsan hingga pada tingkat intelektual.
Yang terakhir, diintrokan pada buku ini dengan pertanyaan "Mengapa ada seorang cendekiawan yg rajin beribadah namun menghalalkan khamr, LGBT, menganggap hukum Islam tidak ada dsb?" Lalu "Mengapa kesalehan ibadah/ritual agama tidak sejalan dengan kesalehan intelektual?" . Silahkan baca sendiri guys. Menurut saya ini adalah satu-satunya (mungkin) buku ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi yang ringan untuk dibaca. Dipengatarnya beliau juga menjelaskan bahwa buku ini ditujukan bagi orang-orang awam yang ingin lebih dalam mengenal Islam, Iman hingga Ihsan kemudian ditambah dengan worldview sbg cara pandang Islam terhadap sesuatu.
Beliau juga banyak mencantumkan rujukan-rujukan kitab yang digunakan. Mulai dari kitab-kitab klasik hingga kontemporer.
Bisa dibilang buku ini dapat menambah pemahaman kita akan poin dasar dalam agama islam. mengokohkan keimanan dan pemahaman mendasar dalam agama islam yang sebenarnya ilmu dasar itu terkadang tidak begitu kita pahami. penjelasan dari buku ini sangat mudah untuk dimengerti, bahkan diawal buku bisa dibilang buku ini cocok untuk rujukan mualaf atau yang baru ingin mengenal islam. semoga semakin banyak yang membaca buku ini :)
Buku ini mengajak para pembaca untuk merefleksikan keberislaman masing-masing. Sudahkah keberislaman kita secara positif mempengaruhi kehidupan kita? Sudahkah shalat kita selama ini telah membawa manfaat, khususnya dalam mencegah perbuatan keji dan munkar? Sudahkah zakat yang kita keluarkan membersihkan jiwa dari sifat buruk seperti bakhil, egois, dan tamak? Sudahkah puasa kita menenangkan jiwa kita? Jika ibadah-ibadah tersebut belum mampu membawa dampak positif bagi kehidupan kita, berarti kita perlu memperbaikinya.
Apakah keislaman kita baru sekadar pengucapan syahadat secara lisan, yang menurut Prof. Quraish Shihab sebatas ikrar bahwa kita seorang muslim dan dengan demikian memperoleh hak-hak sebagai muslim, dan belum sampai mengakar dalam hati? Apakah ibadah kita baru sekadar menggugurkan kewajiban dan belum sampai di tahap meyakini dalam hati apalagi di tahap 'seakan-akan berinteraksi langsung di hadapan Allah'? Apakah keislaman kita baru sekadar berada di tingkat muslimin dan belum sampai di tahap mukminin (orang-orang beriman), sehingga kita, secara kolektif sebagai umat Islam, masih tertinggal dalam berbagai hal, sebagaimana jawaban Syeikh Mutawalli as-Sya'rawi atas pertanyaan seorang orientalis terkait ketertinggalan umat Islam, "karena kami masih muslimin belum mukminin". Sebagaimana firman Allah SWT:
قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰـكِنْ قُوْلُوْۤا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِ يْمَا نُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۚ ... (١٤)... "..."Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah "Kami telah tunduk (Islam)," karena iman belum masuk ke dalam hatimu. ..." (Q.S. Al-Hujurat [49]: 14)
Membekali diri dengan pengetahuan itu sangat penting. Oleh karena itu, buku yang ditulis oleh, seperti yang dikatakan oleh Ustadz Abdul Somad, "seorang yang dalam satu hembusan nafasnya fasih berkata, 'Qaala al-Ghazali' dan 'Nicholson Said', karena kutub Timur dan Barat menyatu dalam kepalanya, perpaduan antara Punjab dan Birmingham" ini mengajak pembaca mempersiapkan bekal pengetahuan tersebut. Memang, jika menelisik latar belakangnya, penulis pernah menempuh studi di Universitas Punjab di Pakistan dan Universitas Birmingham di Inggris Raya.
Walaupun begitu, buku ini masih mengandung beberapa bias yang menggelisahkan. Di antaranya terkait bias dalam memandang statistik pelecehan/kekerasan seksual, yang penulis bahas di halaman 136, dengan mengasosiasikan statistik sebagai keadaan sebenarnya. Padahal, jika fakta dibalik perolehan statistik tersebut dikupas, seperti dalam bab "Quasi-Rape" dalam buku Black Box, tingginya angka laporan kekerasan seksual di beberapa negara seperti Swedia dan Amerika Serikat bukan karena kebebasan melewati batas seperti stigma yang melekat pada umumnya, melainkan kondisi kondusif yang diciptakan (proporsi perempuan dalam institusi kepolisian, kondisi treatment center yang sangat mendukung perspektif korban, hingga definisi kekerasan seksual yang luas dalam peraturan perundang-undangan).
Salah satu buku yang sangat bisa menjadi gerbang awal untuk mengenal islam. Bagi siapapun, baik yang sudah islam dari lahir, non-muslim, atau bagi mereka mulai bertanya ataupun meragukan tentang islam. Pembahasannya mudah dipahami, karna penulis memang membuat buku ini ditujukan agar dapat dibaca berbagai kalangan. Penulispun tak jarang memberikan rekomendasi bahan bacaan lain untuk memperluas khazanah pemahaman yang dibahas. Untuk mereka yang ingin belajar islam baik itu non muslim buku ini dapat menjadi opsi untuk mengenal islam. Bisa menjadi gambaran rumah dari luaranya dan isinya seperti apa dan semoga menjadi penuntun dan pintu hidayah. Bagi seorang muslim atau orang islam yang mulai ragu dengan agamanya sendiri, ini bisa menjadi bahan untuk refleksi dan tentu untuk lebih mengenal rumah yang selama ini kita tempati. Bila ragu dan ingin menemukan jawaban atas keraguan itu, cari terlebih dahulu di rumah yang kamu tempati, pastikan apa yang kamu ragukan itu ada atau tak ada di rumah itu. Jika keluar rumah langsung, yang kamu hadapi luasnya dunia yang tak tau apakah apa yang kamu cari ada atau tidak.
Terima kasih sudah berusaha membumikan konsep berislam, beriman dan berihsan dalam bahasa yang mudah dipahami awam. Saya kira buku ini bisa jadi kontribusi yang besar untuk literasi di Indonesia, melihat belum banyak juga buku teologi/non fiksi yang komprehensif dan berusaha menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan banyak diagram dan tabel sederhana. Buku ini menyajikan perspektif yang mencerahkan, apalagi diawali dengan kutipan-kutipan sudah lama saya sukai: "Aku melihat Islam di Paris tapi aku tidak melihat Muslim, dan aku melihat Muslim di Arab tapi tak melihat Islam." dan "Muslimin mundur karena mereka meninggalkan Islam. Sedangkan bangsa Eropa Barat menjadi maju karena mereka meninggalkan agama mereka."
Terlepas dari itu, ada beberapa bagian yang membuat saya gelisah.
Pertama, hal 136 mengenai negara maju yang tingkat pemerkosaan dan pelecehan seksual paling tinggi di dunia. Saya percaya angka tersebut benar, tapi saya kira argumen ini mengandung availability bias. Pendataan pemerkosaan dan pelecehan seksual di negara-negara maju jelas lebih baik dari negara berkembang dan negara 'konservatif'. Bukan hanya faktor sains, data, dan teknologinya, tapi budaya sosial di sana bisa lebih menerima korban pemerkosaan dan pelecehan seksual, dibanding misalnya di Indonesia yang lebih mudah menyalahkan korban dan atau memaksa korban untuk menikah dengan pemerkosa. Sehingga saya rasa negara-negara berkembang, termasuk negara 'Islam' dan negara dengan mayoritas Muslim, tidak memiliki data yang representatif dan lebih sesuai dengan fenomena iceberg.
Argumennya saya setuju, tapi kesimpulannya agak sulit ditarik dari argumen 'angka pelecehan seksual'. Umat Islam tidak perlu merasa lebih rendah dibanding negara Barat, menurut buku. Kenapa saya bisa menyimpulkan seperti itu? Sedangkan representatif umat Islam saat ini justru lebih 'menyeramkan' di area pemerkosaan dan pelecehan seksual. Dan data mengenai masa peradaban Islam yang adil dan makmur dahulu tidak bisa saya akses sebagai orang awam.
Kedua, hal 235 mengenai kewajiban istri untuk shalat, menjaga rumah tangga, kehormatan, anak-anak dan harta suaminya. Saya penasaran, bagaimana definisi menjaga rumah tangga? Saya khawatir orang akan menganggapnya harfiah dalam mengurus rumah tangga: memasak, mencuci, menyapu, dan lain sebagainya. Karena hal itu yang saya rasakan di keluarga saya yang sangat menganut patriarki di mana wanita secara harfiah adalah 'penjaga' rumah tangga. Dan laki-laki tidak perlu mengurus rumah tangga karena tugasnya hanya mencari nafkah. Padahal, sepemahaman saya lewat buku Istri Bukan Pembantu karya Ahmad Sarwat, pemahaman mengurus rumah tangga bisa berbeda dalam setiap mazhab. Apakah berbeda menjaga rumah tangga dan mengurus rumah tangga?
Ketiga hal 245 "Untuk menyampaikan konsep Tuhan, yang perlu ditanamkan pada anak-anak pertama-tama adalah rasa takut, rasa segan, dan rasa malu pada kedua orang tua" yang juga saya khawatirkan dapat diterjemahkan secara harfiah. Saat saya kecil, saya merasakan betapa penekanan harus takut kepada Allah SWT membuat saya akhirnya menganggap Tuhan itu pemarah, suka menghukum dan tidak bisa berbelas kasih. Pada akhirnya saya memilih untuk menjauh dari konsep Tuhan karena rasa takut, rasa segan dan rasa malu diprioritaskan dibanding rasa kasih sayang dan memaafkan.
Apakah tidak lebih baik untuk menekankan konsep Tuhan sesuai dengan fase perkembangan anak? Misal, teori mengenai fase Thufulah awal, fase pra Tamyiz, fase Thufulah akhir. Saya pernah baca (sayangnya tidak ingat referensinya) bahwa pada fase shobiy (0-2 tahun) yang dominan berkembang adalah indera pendengaran sehingga mengajarkan anak mengenal Allah ialah dengan Tasmi' dan Talqin. Teori semacam ini pun juga digunakan secara klinis oleh psikolog, dokter anak dan psikiater dengan. Di klinis, kami menggunakan teori Erik Erikson tentang psychosocial development di mana setiap fase memiliki kebutuhan dan tujuannya sendiri-sendiri. Jadi tidak bisa digeneralisasi semua fase harus menekankan rasa takut, rasa segan dan rasa malu, walau tidak bisa dipungkiri itu adalah konsep mendasar dari beriman kepada Allah SWT.
baca ini jadi refleksi diri lagi, apakah sudah berislam secara sadar dan konprehensif. kebanyakan kita rentan dalam mengkritisi agama sendiri seakan ada cela, padahal mungkin saja cara berislam kita yang selama ini sesuai tuntunan, belum baik. ikuti dulu 'manual book'nya dengan benar
Mengapa negara-negara sekuler di Barat sana seakan memiliki nilai-nilai yang lebih islami dengan kota-kotanya yang teratur, rapi, indah dan bersih? Mengapa kaum Muslimin mengalami kemunduran? Mengapa saat ini banyak kaum muslimin yang masih dijajah ataupun dikuasai oleh orang kafir? Mengapa banyak negara dengan mayoritas penduduk muslim, namun tindak kriminal masih marak dan merajalela di dalamnya?
Buku ini merupakan buah pemikiran penulis untuk mengurai serta menjawab masalah-masalah tersebut di atas. Masalah yang begitu membayangi umat muslim saat ini. Dimana kisah-kisah kesuksesan para pendahulu yang berhasil membangun peradaban agung nan mulia, seakan hilang tak berbekas. Membuat keagungan adab dan akhlak mereka seakan kisah di negeri dongeng semata. Padahal itu nyata adanya.
Minhaj, begitu penulis memberikan judul pada buku ini. Sebuah jalan berislam melalui pengetahuan, keimanan, perbuatan dan pikiran yang berupa pandangan Muslim terhadap segala sesuatu (h. 198).
Penulis berusaha mengupas lapisan-lapisan dalam Islam, sehingga pembaca bisa semakin memahami tentangnya. Hingga sedikit demi sedikit menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat saat ini. Mulai dari makna Islam itu sendiri, hakikat ritual-ritual dalam Islam, keislaman yang mengantarkan pada keimanan, keimanan yang mengantarkan pada keihsanan, hingga bagaimana islam merasuk menjadi sebuah cara pandang dan konsep hidup dalam tingkat intelektual.
".. keunggulan umat Islam itu bukan terletak pada kegempitaan syiar-syiarnya, keramaian acara ritualnya serta besarnya kuantitas pemeluknya, akan tetapi ketinggian iman dan amal salehnya." (h. 139)
Ya, karena agama ini tak hanya sebatas tentang ritual semata. Ia lebih dari itu. Ia mencakup seluruh aspek, tak hanya kehidupan namun juga jauh setelah kematian. Bagaimana kita, bisa menjalankannya dengan sebaik-baiknya hingga memiliki pemahaman dan cara pandang yang sesuai dengannya.
Buku ini diawali dengan 4 kisah yang mungkin bisa menjawab pertanyaan kita semua, kenapa umat Islam sekarang mundur? Maka di buku ini kita dijelaskan tentang Islam, Iman, Ihsan, dan worldview Islam. Jika dilihat dari Indonesia yang selalu semarak dalam merayakan Ramadan, jamaah umrah dan hajinya membludak setiap tahun, tapi kenapa kriminal masih juga marak? Jawabannya kebanyakan umat Islam di Indonesia masih taraf menjalankan syariat, tidak berada dalam taraf iman apalagi ihsan. Bahkan menjalankan syariat pun masih belum sempurna. Karena sejatinya orang yang benar shalatnya, puasanya, dan ibadah lainnya, dia akan menjadi individu yang saleh. Mustahil orang tersebut berkata kasar, memukuli wanita, melakukan pelecehan, korupsi, berzina, dan maksiat lainnya. Seperti perkataan Pak Hamid di salah satu ceramahnya, "Orang yang jiwanya bersih, tidak mungkin akan mengotorinya."
Di buku ini juga menjawab fenomena, kenapa ada doktor lulusan ilmu syariah dan menjadi dosen di perguruan tinggi Islam malah menghalalkan pernikahan sejenis? Kenapa juga mendukung pemikiran pluralisme dan feminisme? Jawabannya, dia menjalankan syariat, tapi cara pandangnya bermasalah.
Aku merekomendasikan semua umat Islam membaca buku ini. Untuk memahami bahwa ilmu, iman, dan amal yang benar akan memunculkan worldview atau cara pandang yang benar. Seperti kata Imam Al-Ghazali, "Ilmu tanpa amal adalah gila, amal tanpa ilmu adalah sombong." Buku ini bukan hanya bagi yang awam tentang Islam, tapi juga yang sudah belajar Islam, karena masih banyak yang berilmu tapi kurang pengamalannya (dan menjadi reminder juga bagi yang menulis review ini).
Dr. Hamid menulis buku ini dengan semangat memberikan pijakan sekaligus tilikan awal terkait sebab utama kemunduran dan kejumudan umat Islam. Tesis yang beliau bawa bukanlah sesuatu yang baru. Umat Islam, sebagaimana tersirat dalam kata pengantar buku ini, terhambat dari kemajuan karena gagal menjalankan agamanya secara menyeluruh.
Konsep "menyeluruh" yang hendak dielaborasi Dr. Hamid tidaklah hanya berkaitan dengan aspek jasmani dan perbuatan konkret. Namun, telaah yang beliau uraikan menekankan urgensi keberislaman sejak dalam pikiran. Istilah yang Dr. Hamid gunakan, dikutip dari Prof. Al-Attas, yakni Pandangan Hidup Islam (Islamic Worldview).
Bahasa yang digunakan penulis sangatlah sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca awam dalam bidang pemikiran Islam. Tak ayal, buku ini menjadi buku yang patut dibaca untuk memberikan pijakan awal dalam memahami pemikiran Islam dan konsep turunannya terhadap realitas (wujud).
A must read for every Muslim, although it is in Bahasa Indonesia thus only Indonesian could read it for the time being.
This is a basic book which explains Islam from the definition to the core principles of Islam. And I like how this book elaborate Islam not only from the scripture like Quran and Hadits but also encourages us to understands Islam from the intellectual aspect.
I would say this book is just an Introductory, as it just 'scratch the surface' of Islam from ritual to intellectual aspect. But it makes me realise that I still got a looong way in learning about my religion.
Setidaknya melalui buku ini saya bisa membangun benteng terlebih dahulu sebelum mulai baca-baca dan eksplor lebih jauh tentang pola pemikiran di luar prinsip Islam yang banyak dianut -secara sadar atau tidak- oleh sesama umat Muslim. Buku yang bisa dibaca bagi orang awam, walau mungkin perlu proses dalam penerapan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari
Baru saja membaca bab-bab awal saya seperti tidak memahami definisi ibadah secara kaffah, saya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.
Buku ini sangat cocok untuk orang yang ketika beribadah merasa tidak ada ruh sedikitpun ketika menjalaninya, juga sangat cocok untuk seorang yang baru saja mendapat ke-fitrahannya kembali yaitu masuk ke dalam agama islam.
First Impression thd buku ini adalah "buku yang berat", tapi ternyata nggak sama sekali. Bahkan Dr.Hamid Fahmy Zarkasy menuliskan dalam kata pengantarnya,
"Buku ini bukan untuk orang yang sudah menjalankan syari'at dengan sempurna... Buku ini sengaja diperuntukkan bagi pembaca awam yang belum sempurna menjalankan syari'at, masih bermasalah dalam menyikapi takdir Allah dalam kehidupan. Juga, bagi pembaca yang masih bingung bersikap dalam nenghadapi perbedaan pemikiran yang disebabkan oleh masuknya paham-paham yang membingungkan umat dalam berislam"
Kayanya sudah sangat menggambarkan isi buku Minhaj. Aku akan rekomendasiin buku ini sih untuk yang pengen memaknai keisalamannya kembali atau baru hijrah, karna pembahasannya basic tapi nggak biasa aja.
Banyak tentang syariat yang beliau bahas disini, dan yang paling menyentuh buatku adalah tentang shalat.
"Mengapa pahala shalat itu kecil? Hal ini, karena yang penting adalah apa yang tampak dari shalat seseorang. Sebab shalat adalah kunci kebaikan, tak ada kebaikan tanpa shalat." (Minhaj, hal. 60)