Corona virus tidak punya kesalahan dan dosa apapun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan atau keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia di muka bumi. Covid-19 bukan bagian dari Jin atau Manusia, yang di ujung zaman kelak harus mempertanggungjawabkan perilakunya di forum Hisab Allah. Corona dipancing, dirangsang dan direkayasa sendiri oleh budaya manusia, oleh ilmunya yang angkuh, oleh pengetahuannya yang congkak dan oleh peradabannya yang penuh kibriya`.
*** Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, membuka ruangnya untuk berbagi kegelisahan serta refleksi atas munculnya pandemi yang telah menguasai dunia.
Buku ini melibatkan banyak hal yang terjadi selama masa pandemi, dan menyinggung permasalahan terkait di dalamnya. Hingga akhirnya menjurus pada satu pertanyaan penting bagi kita. Apa pelajaran yang sudah dipetik dari fenomena yang kelak menjadi bagian sejarah itu?
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Beruntung ini bukan buku Cak Nun yang pertama saya baca. Di sini Cak Nun mengasumsikan pembacanya sebagai Jamaah Maiyah, bukan khalayak umum. Wajar saja, buku ini merupakan kumpulan tulisan Cak Nun yang dirilis di situsnya terlebih dahulu. Situs yang pembacanya rata-rata Jamaah Maiyah atau setidaknya sudah tahu siapa dan bagaimana kiprah Cak Nun. Ini menjadi catatan, karena bagi saya ini gaya baru, di mana Cak Nun lebih menempatkan persona dirinya dan eksistensi Maiyah. Tidak sampai jadi pongah, namun agak terkejut sebab biasanya Cak Nun menggunakan tokoh fiktif dalam bercerita, sekarang menggunakan lingkaran sosial dirinya.
Meskipun berlabel sosial budaya, buku ini sarat dengan nuansa spiritualisme, bahkan terlalu fatalis bagi saya. Cak Nun sudah memberi "disclaimer" kalau buku ini memang tidak ditujukan untuk menambah pemahaman baru apapun tentang Corona, bukan ranahnya juga. Seperti judulnya, kenyataan tentang wabah ini dielaborasi dengan Ashabul Kahfi. Nasihat-nasihat normatif tetap menjadi muatan utama buku ini, dikombinasikan dengan kisah dalam Al Quran dan kearifan sosial budaya. Nah, saya mengharapkan Cak Nun melandasi ini semua seperti pada esai "Sunnah Aceh dan Qudrah Nuh" yang pernah dia tulis sebelumnya. Ini adalah salah satu tulisan yang menghentak saya. Di esai itu intinya, tidak semua bencana merupakan peran langsung Tuhan, seperti pada air bah zaman Nuh. Bisa jadi hanya gejala alam, di mana memang awalnya Tuhan yang membuat hukum alam itu ada, tugas manusia juga mempelajarinya dan tidak mulu menunjuk ke Tuhan, menganggap sebagai azab atau cobaan. Namun hal itu tidak disebutkan sama sekali di buku ini. Justru selalu kembali ke pandangan fatalis bahwa kita kurang menaruh peran Tuhan dalam menyikapi pandemi ini. Memang maksudnya baik, jalan yang disarankan Cak Nun pun "sesuai protokol". Namun terjerumus pada pengulangan ide di beberapa esai. Saya tetap mendapat kebaruan wawasan sosial, tapi sangat kurang dibanding buku-buku Cak Nun sebelumnya.
Buku ini juga rasanya sangat terburu-buru. Tak sempat mengikat jadi simpul yang jadi, barangkali juga karena mengejar "hype" pandemi. Kecewa sebagai pembaca dari khalayak umum, tapi saya juga memahami, buku ini jadi obat rindu bagi Jamaah Maiyah yang terhalang untuk Sinau Bareng gara-gara Corona. Bintang 3/5.
Di tengah masa pandemi ini seakan-akan waktu melambat, ruang menciut sesempit sekitaran rumah. Namun, tidak bagi jemari dan pikiran kita di era manakala dunia terlipat rapat di atas layar digital. Di satu pihak kita terpenjara secara fisik, sedangkan di pihak lain kecenderungan mengonsumsi informasi meroket drastis. Kondisi ini biasa terjadi akhir-akhir ini, disadari maupun tidak.
Menyimak arus informasi di kanal berita mana pun kita disuguhi oleh peningkatan angka-angka terpapar, daerah mana yang memberlakukan pembatasan wilayah, kelesuan ekonomi rumah tangga, sampai kegagapan pemerintahan menangani Covid-19. Wabah Corona praktis merugikan sekaligus mencemaskan umat manusia abad ke-21. Diam-diam kita menggumam: kapankah kondisi ini segera rampung?
Jam demi jam pertanyaan kapan dunia kembali pulih seperti sebelum Corona menghantam agaknya mulai ditinggalkan. Bukan karena pesimis terhadap keadaan. Melainkan tiap gelombang besar yang mengubah radikal tiap sendi kehidupan manusia acap kali berlaku diktum: tak ada hal yang persis seperti kemarin. Kata Ernest Hemingway di buku For Whom the Bell Tolls (1940), “There is nothing else than now. There is neither yesterday, certainly, nor is there any tomorrow… There is only now…”
Bila masa lalu mustahil kembali, sedangkan masa depan merupakan akumulasi hari ini, maka new normal atau beradaptasi terhadap situasi anyar menjadi penting. Tapi banyak orang luput dari wacana seputar Covid-19 dan transisi kenormalan baru. Antara lain adakah pelajaran yang dipetik selama maupun sesudah pandemi? Lebih spesifik lagi: akankah manusia makin mendekat kepada Tuhan seusai pageblug yang kelak menjadi bagian dari sejarah umat manusia?
Pertanyaan terakhir tersebut menjadi benang merah pembahasan di buku berjudul Lockdown 309 Tahun karya Cak Nun (2020). Buku ini bukan diktat seputar Covid-19 yang kebanyakan didominasi rezim medis. Bukan pula risalah asal-usul subfamili Orthocoronavirinae, sebagaimana diwacanakan ilmu biologi. Buku ini kuat akan pembahasan kontemplatifnya karena berisi refleksi kritis penulis terhadap situasi-kondisi selama virus Corona.
Selama menjalani aktivitas sehari-hari di rumah, sekitar bulan Maret sampai April, Cak Nun produktif menulis tema seputar Covid-19. Sebanyak 55 esai yang terhimpun di buku ini dapat kita kategorikan ke dalam tiga topik besar. Pertama, virus Corona sebagai pandemi yang menghebohkan saentero dunia. Kedua, aneka ragam respons pemerintah dan masyarakat atas Covid-19 sebagai kecemasan kolektif. Ketiga, upaya mempertautkan gejala pandemi sebagai akibat dari kerakusan manusia dan kelalaian mereka di hadapan Tuhan.
Tentu saja Cak Nun tak mewedarkan ketiga ranah tematis seperti di atas secara langsung. Ia cenderung memasukkan tema-tema tersebut secara tersirat dengan bentuk fragmen pendek. Dengan kata lain, sebuah tema yang diproblematisir penulis tak berdiri sendiri, membangun sebuah kamar disiplin khusus. Penulis melalui langgam tulisan lirisnya sengaja merapatkan jarak antara topik yang berdiri di sana dan refleksi yang dibasiskan sendiri membentuk pola naratif.
Seperti buah pena sebelum-sebelumnya, Cak Nun lihai memainkan beragam topik secara prosais. Ia sesekali melansir pada berita aktual ihwal Covid-19, namun pada gilirannya melompat ke teks arkais seputar Ashbabul Kahfi. Kekhasan tulisan ini tentu saja tak mungkin lahir dari penulis yang akrab pada topik linier dan spesifik. Kekhasan semacam itu dimungkinkan oleh penulis yang rajin mewacanakan tema yang bukan saja multidisiplin, melainkan juga interdisiplin maupun transdisiplin. Pada kotak inilah langgam tulisan Cak Nun berdiri.
Kita ambil contoh satu esai yang menjadi judul buku. Pada tulisan Lockdown 309 Tahun (hlm. 11-14), ia memulai dengan kisah perjumpaan seseorang dengan makhluk langit yang turun ke bumi menggunakan kapsul raksasa. Sang manusia itu didatangi sesosok makhluk yang tak terjelaskan bentuk dan wujudnya. Ia datang dan bertanya, “Kenapa kalian masih berkeliaran di padang luas ini? Kenapa tidak kalian tutup pintu-pintu rumah dan negara kalian, sedangkan Ashbabul Kahfi yang hanya beberapa orang di-lockdown oleh Allah 309 tahun di dalam gua tertutup rapat….”
Dialog berlanjut sampai seseorang tadi terperanjat karena kalimat-kalimat makhluk asing itu membombardir telinga dan kepalanya. Kesan membekas sidang pembaca mungkin sampai pada pertanyaan: siapa makhluk angkasa yang mendarat ke bumi itu? Mengapa mereka tiba-tiba melontarkan kritik para pemimpin negara yang enggan mengindahkan peringatan untuk menutup wilayahnya supaya pageblug tak menular merata? Bagimana bisa makhluk langit itu paham terhadap situasi politik pimpinan negara, khususnya pemerintah yang justru membuka keran turis mancanegara di tengah pandemi?
Prolog esai ini ciamik karena memulai pembahasan dengan dialog yang sedikit-banyak mendudukkan soal antara bumi dan langit, protokol kesehatan dan etika sosial, hingga tawaduk dan takabur. Semua itu berada di dalam lanskap karut-marut yang sesungguhnya berakar dari kebijakan politik nasional yang paradoks: kepentingan ekonomi mendahului kemaslahatan (kesehatan) masyarakat. Pokok masalah inilah yang dikritik Cak Nun, selain bagaimana respons khalayak terhadap pandemi: apakah Tuhan masih menjadi acuan kembali atau sekadar pelengkap penderita sesaat.
“Bahkan, ketika sudah terseret oleh Corona sampai ke tepian lubang kuburan, kita tetap saja tidak menyapa-Nya,” tulis Cak Nun di akhir tulisan. Kalimat yang mempertegas kebebalan manusia karena sudah wafat tapi terlanjur menjauh kepada Yang Maha menghidupkan dan mematikan itu sebetulnya didahlui oleh pertanyaan Cak Nun pada esai sebelumnya yang bertajuk Muhasabah Corona. “…seberapa banyak Tuhan ada di alam pikiran semua pihak yang kini sedang suntuk mengantisipasi pandemi Covid-19.” (hlm. 6).
Bagi sidang pembaca yang apriori — beranggapan sebelum mengetahui — karena antara Corona dan agama tak segendang sepenarian akan sukar menerima konsepsi itu. Mereka bersikap demikian karena antara yang fisik dan yang metafisik mesti dibedakan, seperti halnya memisahkan antara yang rasional dan yang irasional. Akan tetapi, mereka luput bahwa segala sesuatu itu mungkin dibicarakan dan ia justru memperkaya diskursus (pertukaran ide). Demikian halnya dengan ranah kajian Covid-19 yang sesungguhnya terbuka untuk ditilik dari sudut pandang medis, politik, ekonomi, sosiologi, bahkan agama.
Bagaimana sikap Cak Nun terhadap Corona? Kita bisa menemukan pernyataan langsung seputar ini. Baginya, “Covid-19 adalah produk, pasti ada produsennya. Adalah akibat, pasti ada sebabnya. Adalah hilir, pasti ada hulunya. Adalah makhluk, pasti ada Khaliq-nya.” Lebih lanjut, pernyataan sebab-akibat ini ia wedarkan bagaimana masyarakat terbagi ke dalam tiga kelompok pendapat. Antarargumen di sana kerap menegasikan, bahkan menghujat karena tidak memenuhi prasyarat sebagai dongeng modern: logis, sistematis, dan empiris.
Kita perlu membuka esai berjudul Peta Dusta. Pada paragraf tengah, halaman 225, ia mengangkat sirkulasi wacana yang beredar seputar pandemi. Pertama, virus ini hasil rekayasa manusia. Hal ini dimungkinkan karena tersembunyinya efek perang adikuasa melalui produk laboratorium sebuah perguruan tinggi yang diperjualbelikan demi Perang Biologi. Oleh Cak Nun, kalau ada orang berargumen demikian, nanti akan dituding pro teori konspirasi.
Kedua, Covid-19 dianggap hasil peristiwa alam biasa. Sayangnya orang yang berpendapat seperti ini dalam istilah Cak Nun “nanti dianggap tidak punya kecerdasan sistemis, tidak peka terhadap perang asimetris.” Ketiga, pageblug yang terjadi berpaut erat dengan Tuhan, namun anggapan ini akan diperolok bahwa mereka “…pikiran jadul masa silam. Meskipun di-jelentereh-kan bahwa ada beberapa opsi peran Tuhan — misalnya: menakdirkan, mengizinkan, mem-bombong, atau membiarkan — tetap saja segala sesuatu yang Tuhan diikut-ikutkan akan dianggap pikiran masa silam yang kuno.”
Cak Nun jeli membaca situasi “klaim kebenaran” yang terjadi di masyarakat selama pandemi. Dengan tegas ia menuturkan, “Setiap pihak, setiap mazhab, setiap kelompok, setiap aliran berpikir, merasa dan mengklaim kelompok lainlah yang mengalami ketidaktepatan melihat, merumuskan, dan menyimpulkan sesuatu” (hlm. 226). Pada bagian penutup esai, Cak Nun mengingatkan kembali betapa di tengah virus Corona etika yang mesti dirawat adalah Sinau Bareng karena kebenaran selalu mempunyai tiga mata: kebenaran hakiki, kebenaran sendiri, dan kebenaran orang banyak.
Buku ini, selain menyodorkan refleksi atas wacana Covid-19 yang bukan dari perspektif arus utama, juga sekaligus mengoreksi percakapan kita selama beraktivitas di rumah tapi jemari dan pikiran rajin memproduksi status tanpa memberi jeda sejenak untuk berkontemplasi dan berpikir kritis. Pada titik inilah buku Cak Nun sedemikian penting untuk didaras dan diulas sebelum mempersiapkan diri beradaptasi menuju new normal.
2020 adalah tahun yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dunia seakan diejek, dihina habis-habisan oleh hanya seekor "virus" corona. Ditengah menyebarnya virus corona, Mbah Nun menulis buku ini sebagai refleksi tentang kecemasannya terhadap situasi nasional dan internasional akibat virus Corona.
Diawal buku, Mbah Nun sudah mewanti-wanti kalau dalam buku ini tidak memuat ilmu tentang seluk-beluk virus Corona, penjelasan biologisnya, dan sebagainya. Mbah Nun mempercayakan hal ini kepada mereka yang pakar di bidangnya.
Dengan bahasa yang bersahabat, Mbah Nun mengasumsikan pembacanya adalah jamaah Maiyah. Bagi para jamaah Maiyah, buku ini bisa jadi pengobat rindu nasihat-nasihatnya Mbah Nun. Ada 50-an subjudul yang kental dengan nuansa spiritualisme.
Aku membaca buku ini sudah beberapa bulan yang lalu. Tulisan Mbah Nun ini mampu me-refresh pandanganku tentang Covid-19. Seperti biasanya, Mbah Nun mengajak untuk mencari kebenaran yang lebih benar, akurasi yang lebih akurat, dan kebijaksanaan yang lebih bijaksana.
Pada saat pandemi seperti ini, buku inilah yang menguatkan saya menghadapi hal-hal terberat selama pandemi. Melihat pandemi dari sisi lain. Tidak semua uraian dalam buku ini saya setujui tapi sebagian besar isi buku ini membuat saya merenung.