KARTINI adalah seorang pionir dalam dialog antariman. Keberaniannya melakukan kritik dan kesediaannya menerima kritik menjadi dasar dari sebuah dialog. Kerendahan hati dan ketulusan iman membuatnya tak pernah memiliki kekuatiran bertemu dan bertukar pikiran dengan orang yang berbeda dengannya. Kartini adalah ibu dialog antariman di Indonesia.
Kajian Th. Sumartana dalam buku ini, berbeda dari publikasi tentang Kartini lainnya. Sebuah esai yang kesanya berniat "sederhana", ternyata bisa berakibat jauh. Tidak saja membahas masalah yang musykil, dan tampaknya cukup penting dalam pemikiran Kartini, tetapi juga langsung atau pun tidak langsung, memasalahkan kembali arti perbenturan dan dialog kultural dalam proses penemuan identitas diri.
"Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan." (Surat tertanggal 24 September 1902 kepada Dr. N. Adriani)
Menemukan buku ini semacam takdir. Aku yang tidak berekspektasi besar saat membeli; begitu tercengang dengan tulisan Th. Sumartana yang mendalami buah pikiran Kartini. Siapa yang tidak mengenal Kartini? Masa hidup yang singkat, tidak menjadi sia-sia. Pemikirannya mengenai Tuhan dan Agama tertuang di beberapa surat yang Ia tujukan kepada teman-temannya. Buku ini menjadi salah satu bacaan wajib dengan perspektif yang berbeda mengenai Kartini ✨
Kartini bukanlah sebuah nama asing yang tidak kita kenal. Sedari kecil kita sudah dikenalkan oleh sosok wanita bernama Kartini sebagai ibu bangsa. Disematkan namanya sebagai pahlawan dan disimbolkan sebagai pejuang kesetaraan hak hak wanita di tengah lingkungan masyarakat yang patriarkis.
Kartini hidup dalam dilemma. Dibesarkan oleh ayahnya yang seorang Bupati Rembang membuat Kartini hidup dengan privilege lebih untuk memperoleh pendidikan yang layak. Ilmu yang diperolehnya membuka cakrawala dan membuatnya mudah sekali resah atas fenomena yang berada di lingkungan sekelilingnya. Poligami adalah salah satu hal yang ditentangnya bertolak dari pengalaman pribadinya sebagai seorang anak yang lahir dari praktik poligami ayahnya. Hingga akhirnya ia juga menjadi korban dari apa yang ditentangnya untuk menikah dengan seorang lelaki beristri. Pergulatan batin yang ia rasakan membuatnya ingin untuk menyuarakan keresahannya secara tajam dan kritis kepada teman temannya dari negeri Belanda melalui jalur korespondensi, salah satunya adalah Abendanon yang ia hormati. Rasa hausnya Yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan membuatnya ingin melanjutkan studi ke negeri kincir angin, namun sayangnya Abendanon tidak mengizinkannya. Hidup diantara feodalism dan kolonialism membuatnya seakan ditarik menarik oleh keduanya. Hidupnya pedih dan penuh kekecewaan. Apa yang ia tentang dan apa yang ia inginkan tidak berhasil dilawan dan diwujudkan.
Mengulik sisi spiritual seorang Kartini yang resah dan kecewa merupakan suatu ulasan yang menarik untuk dibedah mengingat jarang sekali sejarawan yang mengamatinya. Kartini memandang agama sebagai suatu hal yang universal. Agama adalah jalan yang diberikan Tuhan agar manusia mengabdi pada-Nya dan mengabdi pada kebaikan. Krisis kepercayaan terhadap agama pernah dihadapinya melalui suratnya pada Stella "Mereka memakai agama atas dasar egoisme". Krisis kepercayaan pada agama bisa jadi timbul akibat implementasi nilai agama pada orang yang mengaku beragama dirasa fanatis dan tidak sejalan dengan prinsip humanis. Padahal harusnya beragama memupuk kedamaian. Bayangkan apabila seorang Kartini muda dibawa ke abad-21, pemikirannya masih relevan dengan isu agama saat ini. Akankah Ibu akan terkejut bahwa apa yang menjadi keresahannya masih tetap menjadi keresahan yang belum berujung hingga saat ini?
Th. Sumartana sukses menyampaikan aspek individual yang unik dari seorang Kartini. Sebuah esai yang memberi dampak jauh dari sebuah dialog pergulatan antariman. Pembawaan bahasa yang sederhana membawa kita seakan-akan menjelajahi pergulatan nalar dan batin seorang Kartini melalui surat-suratnya.
Saya belum pernah membaca Kumpulan Surat Kartini. Namun saya tertarik ketika menemukan buku ini di sebuah perpustakaan umum di kota Solo.
Membaca judulnya Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, langsung menarik perhatian saya. Membaca lembar demi lembar buku ini pun ternyata mampu membawa saya kedalam pemikiran dan pergulatan batin Kartini tentang hidup, keluarga, cita-cita, dan hubungannya dengan Tuhan.
Kartini yang selama ini hanya terkenal dengan emansipasi wanitanya, dalam buku ini Kartini ternyata lebih dari itu. Kartini adalah sosok yang peduli masyarakat jelata semua gender. Mimpi-mimpi Kartini bukan hanya untuk kemajuan wanita, tetapi semua lapisan masyarakat. Namun Kartini berpikir bahwa semua kearifan, kecerdasan, dan kebaikan perilaku manusia berawal dari seorang ibu. Maka sangat penting bagi seorang wanita untuk mampu mengetahui ilmu pengetahuan.