The risk of an anthology of short stories is that usually we couldn't give a similar score for each story contained. That happened to this anthology: three stars score is the sum of the score for each short story in this anthology.
There is a tendency that the author like to play a "language game". It is the part of a rhetoric and it can provoke the reader to feel it as an impressive short story if it is used adequately. Nevertheless, the bad side effect is disturbing: it could reduce the logic of the story, something which could be found also in the use of a hyperbolic anaphora in a poem. Let's see for example the "language game" in the first short story, "Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug":
Hantu adalah hantu dan seorang bandit adalah seorang bandit. Hantu adalah seorang bandit, adalah seorang penduduk lokal, adalah seorang pengacau yang seharusnya disingkirkan dengan cara apa pun. Para bandit itu berkeliaran seperti hantu. (p. 11)
Well, it is poetic, but it isn't logical. First, it is said that "hantu adalah hantu dan seorang bandit adalah seorang bandit". It means that "hantu" and "bandit" are different. But then it is said directly that "hantu adalah seorang bandit" so the earlier sentence becomes useless. Then we find that it is said "para bandit itu berkeliaran seperti hantu", a statement which makes the relation between "bandit" and "hantu" becomes more confusing: first, bandit is different from hantu, second, hantu is similar to bandit (which also means that bandit is similar to hantu), but then third, bandit is like hantu (only like, not similar to).
Such effort to be orally poetic in the end deconstruct the logic of the statement since it creates the inconsistency. A good author should know that a metaphor (bandit adalah hantu) needs explanation about which aspect this "adalah" refer to. This explanation will strengthen the statement as long as the author uses metaphor consciously. Using a simile (bandit seperti hantu) after a metaphor and putting it in the place where it is suggested to be the place of explanation is a bad choice since all learned people know that metaphor is more forceful than simile...
Another example of the carelessness is the closing statement for the failed attack of the bandit:
Dan Kapten Roff masih mengira kalau dirinya bukan diserang oleh para bandit, tapi para hantu penunggu Sungai Marengan. (p. 13)
Unfortunately, the narration before it shows that Kapten Roff didn't show a tendency that he assumes the attacker is hantu instead of bandit. From the beginning he sees them as the bandits, but a unique bandits which at least could be called, felt, assumed as "like hantu" but never been "similar to hantu".
Well, the stories in this anthology may have an interesting technique like the third short story, "Nasib Seorang Pelaut" or a unique viewpoint like the last one, "Thomas Matulessy dalam Kenangan Benteng Victoria", but I think a short story needs several simpler basic things more than an exciting story or an amazing experimental technique to be called "good": a "living" character(s), a good choice between which one should be narrated and which one should be kept in the author's mind, and a great attention toward the cause and effect which builds the plot. Based on similar consideration, I think the best story written in this anthology is the fifth one: "1913".
To be honest, I have a question about what the relation between Risda Nur Widia's "Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug" and Dea Anugrah's "Penembak Jitu" is since I find a similarity between these two short stories which is too extraordinary to be called as an accidental one. Let's see the opening paragraph of each short story:
"Penembak Jitu" by Dea Anugrah (first published 2016, the quotation here is taken from its third edition published by Mojok in September 2017, p. 41):
Sebidang rawa. Sebuah bukit di sisi timur sebidang rawa. Semak-semak di atas sebuah bukit kecil di sisi timur sebidang rawa. Dua gerumbul rapat semak beri hutan. Sebuah lubang hitam. Setangkai pipa baja sepanjang tiga kilan. Bebatan tali kain penuh gemuk dan lumpur. Sebuah teropong pendek. Sepucuk senapan jarak jauh. Seorang pemuda tugur, tengkurap dan basah dan kotor, dengan telunjuk menempel pada picu.
"Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug" by Risda Nur Widia (p. 1):
Sebidang rawa. Sungai pada sebidang rawa. Jembatan gantung pada sungai di sebidang rawa. Semak belukar di ujung jembatan gantung pada sungai di sebidang rawa. Kelewang dan kantuk menunggu di antara semak belukar. Di tepi Sungai Marengan yang masih gulita itu, telah bersiap sekelompok bandit dengan akal bulus untuk menghentikan perahu yang mengangkut garam menuju Batavia.
One possible apology is that maybe Risda Nur Widia is Dea Anugrah's admirer and maybe "Penembak Jitu" is his favorite one among Dea Anugrah's short stories. So, during the time of writing "Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug", the impressive opening paragraph of Dea's "Penembak Jitu" recorded in Risda's mind overflows unconsciously and hopplaa it is ended as the opening paragraph of his "Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug" with a slight modification.
If that's the answer, I think it will revolutionize Freud's theory about the power of unconsciousness since even after my 5 years of learning Freudian theory I never found any clues that a similarity between two creative works caused by unconscious influence will be found as extraordinary intertextuality form as it is shown above. Or, I never found it because there is no such similarity in what people commonly called as intertextuality. Maybe.
Menuliskan Babakan sejarah lewat media fiksi selalu menarik. Bukan hanya menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang tidak kaku, tetapi juga ada banyak fakta dan pengetahuan sesuai catatan sejarah yang bisa disajikan dan dimanusiawikan. Sejarah kemudian tidak menjadi sesuatu yang hafalan atau hitam putih.
Kumpulan cerpen bertema sejarah kolonial ini turut dalam upaya menghadirkan sejarah atau data sejarah sebagai cerita naratif. Enam cerita di dalamnya menyuguhkan kepada pembaca enam data atau peristiwa sejarah berbeda yang sama sama berlangsung di Hindia Timur. Mirip karya Iksaka Banu? Mungkin, tetapi Risda tetap memiliki khasnya sendiri.
"Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug" membawa pembaca ke pelosok Madura. Tambang garam ini ternyata sudah dinilai berharga di era penjajahan Belanda. Tetapi seperti yg sudah-sudah, rakyat hanya mendapat luka dan siksa, tidak kebagian tingginya harga emas putih era kolonial ini. Pemberontakan dalam bentuk pembegalan menjadi salah satu cara ketika tekanan semakin berat sementara diri tak kuasa melawan. Kisah ini menarik karena membawa "hantu" dalam upaya mencari keadilan, yang sayangnya tetap tumbang.
Berburu Buaya di Hindia Timur menjadi kisah kedua, menggambarkan secara naratif Charles Leuseur dari Prancis mengadakan lawatan ke kepulauan Hindia Timur tahun 1803. Sebuah eskplorasi ala National Geographic dengan tujuan memburu seekor buaya yang konon raksasa di pedalaman Kupang. Ceritanya sangat naratiff karena mungkin bersumber dari jurnal atau catatan penjelajah. Selain menghibur dengan cerita petualangannya, pembaca juga diajak mengamati kondisi sosial masyarakat Kupang di tahun 1800an awal.
Kisah "Nasib Seorang Pelaut" menjadi kisah terpanjang di buku ini. Disusun menyerupai makalah dengan abstrak dan pendahuluan, cerpan ini mengisahkan perjalanan panjang seorang pelaut Prancis bernama Laval pada tahun 1601 dalam upaya mencari kepulauan rempah-rempah. Sumber cerpen sendiri sebuah artikel dalam bahasa Prancis yang lalu dikembangkan jadi kisah nitip Treasure Island digabung Perjalanan Gulliver yang agak banyak sialnya. Dimulai dari dihantam ombak badai, kapal karam, ditangkap suku pribumi, hingga menjadi budak di kapal musuh. Perjalanan Laval ke Hindia Timur menjadi gambaran betapa berbahaya sekaligus eksotisnya pelayaran samudra pada era penjelajahan.
Kisah "Babad Goa Njlamplong" menjadi kisah favorit saya. Mengisahkan sepenggal dusun kecil di Gunung Kidul yang konon menjadi pelarian Pangeran Diponegoro saat dikejar-kejar pasukan Kompeni. Penulis tidak hanya memadukan sejarah dengan cerita tetapi juga folklore lokal yang menjadikan kisah ini bikin trenyuh sekaligus bernuansa mistis. Kisah-kisahnya mengingatkan kita pada beratnya perjuangan dan penderitaan rakyat di masa penjajahan.
Cerpen 1913 mengisahkan perjuangan Tiga Serangkai (Ki Hadjar Dewantara, Tjiptomangoenkoesoemo, dan Edward Douwes Dekker) dalam perjuangan melawan kolonialisme lewat jalur tulisan. Perjuangan mereka membuktikan betapa perjuangan bersenjata dan perjuangan diplomasi sama sama punya peran dalam kemerdekaan Indonesia. Kisah ini serasa membawa dan mengingatkan kembali perjuangan Tiga Serangkai dalam kisah yang jarang diungkap.
Cerpen terkahir berkisah ttg perjuangan melawan penindasan kompeni di Indonesia Timur. Banyak yg mungkin tidak atau belum tau banyak bahwa di bumi Amboina juga bergolak perlawanan melawan penjajahan yang dipimpin oleh Thomas Matulessy dan kawan-kawannya. Cerpen ini seolah mengingatkan kembali betapa kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan. Tidak selayaknya kita kini menyia-nyiakannya setelah membaca kisah Thomas Matulessy ini.
***
Membaca sejarah bagi sementara orang adalah hiburan dan kesenangan. Bagi banyak yang lain mungkin membosankan dan membikin kantuk datang. Tetapi, sejarah adalah pelajaran dari masa lampau yang penting untuk direnungkan agar apa yang keliru tidak lagi berulang ke depannya. Menuliskan Babakan sejarah dengan metode cerpen seperti ditempuh Risda di buku ini adalah salah satu jalan kreatif yang selayaknya dirayakan. Mungkin belum sempurna benar: ada beberapa yang naratifnya kadang terlalu panjang, atau sejumlah bagian yang terasa agak dipaksakan agar terasa lebih bercerita. Tetapi saya yakin menuliskan sejarah dalam cerpen tidak selalu mudah dilakukan. Apa yang dicapai oleh penulis dengan cerpen-cerpen ini adalah keistimewaan yang didukung oleh bakat mendalam, ketekunan yang begitu besar, dan ketertarikan yang terus dihidupkan.
Saya sudah selesai membaca buku Berburu Buaya di Hindia Timur ini. Buku ini saya pikir adalah tawaran cara membaca sejarah yang menarik dan lebih baru. Ada konteks yang coba dibuat lebih dekat lagi kepada pembaca, mengenai sejarah yang dilakukan oleh Risda, seperti:
1) Cara bercerita di luar cara bercerita banyak prosais Indonesia yang linier.
Risda tidak melakukan hal itu. Bahkan ia melakukan eksperimental bahasa di sini. Memainkan metafora menjadi banyak kalimat main-main yang terasa asik juga dibaca.
2) Bentuk cerita sejarah yang tidak lagi ditulis secara monoton dengan menempatkan subjek cerita pada hal besar.
Nyaris pada semua cerita di dalam buku ini berkisah hal-hal sederhana, dari sudut pandang hal besar. Cerita para kelasi kapal, tukang begal, bahkan sebuah benteng untuk menceritakan sebuah sejarah besar. Cara ini saya pikir, tidak membuat cerita Risda terjebak pada klise semata.
3) Eksperimental bentuk
Nyaris dalam semua pembacaan saya tidak banyak cerpen sejarah Indonesia ditulis dengan cara baru. Lebih banyak sejarah ditulis romantis dan 'biasa' saja. Tapi, di buku Berburu Buaya di Hindia Timur ini, semua tidak terjadi. Risda menulis dengan berbagi bentuk cerpen. Dari berbentuk Jurnal ilmiah, hingga cerita mengenai benteng. Suatu metode meneropong sejarah dengan cara unik. Tidak lagi menempatkan posisi narasi sebagai hal besar, tapi hal sederhana, yang terasa aneh dan absurd.
4. Cerpen-cerpen Panjang
Hal yang menjadikan berbeda tulisan buku ini dengan buku cerpen yang banyak terbit di Indonesia, adalah intensitas ceritanya yang lebih panjang daripada banyak cerpen di Indonesia. Sejujurnya, saya sudah muak dengan banyak cerpen koran yang hanya 'begitu' saja. Dengan narasi cepat gaya jurnalistik yang tidak menghadirkan lanskap dan bentuk suatu masyarakat. Tapi pada buku ini berbeda. Buku ini memiliki ruang narasi yang panjang. Ia bisa menulis seluruh yang dibutuhkannya dengan lengkap dan tuntas.
5. Covernya yang manis
Jujur, buku ini saya beli karena covernya yang manis. Layout pun demikian. Saya suka.
Jadi buku ini sangat layak untuk dibaca. Buku ini punya cara bercerita yang unik dari banyak tulisan fiksi mengenai sejarah. Saya pikir, tulisan ini menabrak kaidah konvensional penulisan fiksi sejarah di Indonesia. Dan sangat berbeda ketika kita membaca karya Iksaka Banua yang linier. Bahkan saya pikir, buku ini lebih baik dari dua buku Iksaka Banua.
Menyenangkan rasanya menelusuri peristiwa-peristiwa di masa lampau di Hindia Timur yang jarang terceritakan. Kumpulan cerpen dalam buku ini nyata-nyata mengisi celah-celah yang selama ini ditinggalkan sejarah tertulis.
Sebenarnya sudah lama buku ini berada di rak saya, tapi saya menunggu waktu yang tepat untuk membacanya karena judul pertama yang terkait dengan hantu ternyata berhasil mengocek saya yang awalnya mengira kalau cerita ini tentang hantu. Buku ini memuat 6 cerita dengan tema-tema yang jarang dikemukakan oleh fiksi sejarah, oleh sebab itu tak salah jika di cover belakang tertulis kalau keenam cerita dalam buku ini menempati celah-celah yang ditinggalkan sejarah tertulis. Disajikan dengan teknik penulisan yang berbeda-beda, ada yang ditulis seperti menulis jurnal lengkap dengan daftar pustaka, ada yang mengajak pembaca untuk menyaksikan cerita, ada yang memakai berbagai sudut pandang, bahkan sudut pandang benda mati. Dalam hal ini penulis menyoba untuk memainkan permainan kata di awal atau akhir pada beberapa cerpennya. Tentu yang paling berkesan jika menggunakan teknik pelusin adalah cerita "Nasib Seorang Pelaut" yang bercerita tentang seorang pelaut asal Francis yang mengalami serangkaian kesialan. Sedang cerita yang berkesan bagi saya adalah "Berburu Buaya di Hindia Timur". Untuk orang-orang yang menginginkan sensasi baru dalam membaca sebuah cerpen saya merekomendasin buku ini sangat cocok untuk kalian.
Buku terbaru dari Mas @risdanurwidia yang terbit Februari lalu di Pojok Cerpen (@penerbit_pocer). Buku ini berisi enam cerita pendek yang berlatar masa lalu. Hiya. Eits, jangan salah, walaupun hanya enam cerpen ini terdiri dari 154 halaman. Ceritanya juga panjang-panjang. Kok bisa? Sudah penasaran, kan?
Cerpen-cerpen berlatar masa lalu ini seru, menarik, dan unik. Menantang dan menyedihkan. Hampir semua cerpen, aku terbawa emosi. Apalagi saat tokoh Laval terdampar di pedalaman. Ia seorang pelaut dari Prancis yang berlayar menuju Hindia Timur. Perjalanan dan perjuangannya tidak mudah, seperti ombak dan badai. Selain itu, cerpen ini berhasil mengingatkanku pada file folder skripsiku yang penuh jurnal. Heuheu. Lha iya, itu judulnya dicoret-coret. Revisi! Ada abstrak lengkap dengan metode penelitian, pendahuluan, pembahasan, kesimpulan, sampai daftar pustaka. Dikoyak-koyak perasaanmu, tenan. Mantap, kan!
Selanjutnya ada cerpen Babad Goa Jlamprong. Cerpen ini mengingatkanku pada novel yang pernah kubaca beberapa bulan yang lalu. Betapa beruntungnya aku membaca cerpen ini, karena menemukan cerita baru. Yups, tentang Eyang Diponegoro saat melarikan diri ke Desa Mojo (bagian selatan jauh dari Keraton Jogja). Pengejaran yang dilakukan Stammler yang kemudian tewas karena serangan hewan buas yang melindungi Eyang Diponegoro.
Oh iya, keempat cerpen lainnya juga tak kalah menariknya. Tahu tiga serangkai? Nah, 1913 bercerita tentang itu. Jelas makdeg lan ambyar seketika. Ternyata perjuangane ngono, ya. Heuheu. Juga cerita dari Benteng Victoria yang tak kalah sedih dan haru. Sampai pada perlawanan 'para hantu' di Sungai Marengan. Walaupun terdiri dari enam cerpen, aku gak akan bahas semua, cukup itu. Tidak membosankan, malah lebih seru untuk dibaca secara langsung.
Aku izin kutip bagian 1913 bagian paragraf akhir. "Tanggal 6 September 1913 mungkin adalah terakhir kali Suwardi melihat senja di kotanya. Sebuah kapal membawanya ke suatu negeri yang tak pernah dikenalnya." (Hlm: 132).
Buku ini berisi tentang 6 cerita tentang kapten-kapten kapal dalam pelayarannya. Dibubuhkan dengan beberapa peristiwa sejarah juga peristiwa yang jenaka membuat saya menikmati betul cerita yang ada di buku ini.
Cerpen yang berjudul Berburu Buaya di Hindia Timur yang dijadikan judul buku merupakan cerpen favorit saya disusul dengan cerpen pertama di buku ini, Para Bandit dan Hantu Ophaalbrug.
Buku ini juga menggambarkan beberapa haldiluar nalar namun justru itu daya tariknya. Sejarah, laut dan magis bersatu.
Hantu adalah hantu dan seorang bandit adalah seorang bandit. Hantu adalah bandit, adalah seorang penduduk lokal, adalah seorang pengacara yang seharusnya disingkirkan dengan cara apa pun -hal 11-
Kalimat dengan gaya seperti itu bertebaran dalam buku ini. Seakan menjadi ciri khas penulis.
Ada 6 kisah dalam buku ini. Para Bandit dan Hantu Ophaalburg; Berburu Buaya di Hindia Timur; Nasib seorang Pelaut; Babad Goa Jiamprong: 1913; dan Thomas Matulessy dalam Kenangan Benteng Victoria
Cerita-cerita berlatarkan sejarah, dengan cara penulisan yang variatif. Sepertinya penulis senang bereksperimen dengan cara menulis. Ini membuat tidak bosan, tapi mungkin tidak semua cocok dengan selera pembaca. Favorit saya adalah cerita ke-5, “1913”. Di tengah cerita-cerita yang banyak mengisahkan perlawanan dan perang fisik, cerita ini menyegarkan dengan menampilkan perlawanan intelektual dan karakter tokoh-tokohnya yang tenang dan bijak.
6 cerpen yg dikemas dengan cerita yg berbeda-beda, teknik penulisan yg berbeda-beda, dan point of view yg berbeda-beda pula. Kudos untuk penulis. Saya sangat menikmati kisah-kisah yang Anda hasilkan.