What do you think?
Rate this book


470 pages, ebook
First published March 9, 2016
"Nah, Raden," kata Nyai Manggis, "mungkin memang ini yang seperti Raden Mandasia katakan, garis langit. Kau berjodoh denganny untuk bertualang bersama. Aku percaya pasti ia akan membawamu ke hadapan Watugunung." (hal. 171)
Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih.
(Loki Tua, hlm. 306)
“[…] Setahuku beberapa raja malah tak menyandang keris sama sekali.”
“Raja jenis apa?”
“Raja yang mau lengser dan menjadi pandita.”
“Kautahu kenapa?”
“Bosan jadi raja mungkin.”
Banyak Wetan tertawa. Ia menonyorku lagi. Ia sering melakukannya justru ketika hatinya riang.
“Maksudku, kenapa ia tak membawa keris?"
“Biar duduknya enak mungkin.”
Banyak Wetan tertawa lebih keras lagi. “Ia kadang tak perlu senjata dalam pengertian sesungguhnya. Musuhnya sangat dekat, ada dalam dirinya, hawa nafsunya sendiri.”
“Paman, aku tidak paham dan aku ingin tidak mempan dibacok atau ditombak orang. Kebal itu hebat,” kataku saat itu.
(hlm. 84)
Air mataku menetes untuk Kasim U. Ia mati sebagai budak, tapi kulitnya akhirnya merdeka. (hlm. 361)
Sedemikian degilnya Watugunung sampai-sampai ia harus membayar orang untuk menyanjungnya dalam syair-syair. (hlm. 111)
Kalau memang mereka tak menghormatimu, aku akan memutuskan hubungan dengan mereka. Orang yang merasa lebih suci daripada yang lainnya bukanlah temanku. (Bandempo, hlm. 153)
Sebuah kapal memang tak boleh sempurna. Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari. Sebuah perahu yang sempurna tak akan butuh lagi mencari ikan, muatan, teman, pelanggan, bahkan tanah baru. (Wulu Banyak, hlm. 208)
Kami tak benar-benar saling kenal dan pada saat terakhir hidupnya ia memberikan batu permata miliknya. Betul, percakapan kami terbatas—atau malah tak ada percakapan sama sekali. Tapi, sekiranya mau, aku yakin kami pasti bisa menemukan cara bercakap-cakap. Aku cukup berbakat menguasai bahasa-bahasa baru. Aku hanya benar-benar tak pernah berusaha mengenal Pong lebih jauh. Anjing. Aku bahkan tak berusaha mengenalnya sama sekali, aku betul-betul tak peduli. (hlm. 255)
Semakin banyak aku mencoba mencari tahu tentang Raden Mandasia, semakin gelap saja rasanya. Mataku membasah. Raden Mandasia adalah hal paling dekat yang bisa kusebut sebagai teman dan kami ternyata saling mengenal sedikit saja. (hlm. 412)
"..tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai yang lebih ampuh ketimbang nyali, dan tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati. Dan perubahan damai,"
-Banyak Wetan, hlm. 88-
Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari