Jump to ratings and reviews
Rate this book

Offline: Finding Yourself in the Age of Distractions

Rate this book
This collection of reflections is to remind us of some of the things we can turn our distracted minds to, when we can direct our attention to what are in front of us, above us, and more importantly, within us, using all the senses that we were all born with. They are a rediscovery of some of the things we have forgotten how to do or have put aside in favour of our allconsuming electronic toys, and an attempt to help us reconnect once more with our senses and our natural gifts. So, why not put your smart phones, tablets, games, gadgets and anything with a screen, down for a few minutes. Take a deep breath and look up. Because at the end of the day, it is not just any journey we are making, but a journey to discover and appreciate who we are and what makes us human.

248 pages, ebook

First published January 6, 2020

107 people are currently reading
564 people want to read

About the author

Desi Anwar

14 books50 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
160 (35%)
4 stars
189 (42%)
3 stars
81 (18%)
2 stars
9 (2%)
1 star
6 (1%)
Displaying 1 - 30 of 113 reviews
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
February 3, 2020
Buku yang berisi kumpulan esai Desi Anwar tentang hidup. Dibagi menjadi dua bagian, Seni Mengapresiasi dan Seni Kehidupan, buku ini mengajak kita untuk menemukan jati diri kita dengan langkah awal: Going Offline. Dunia sekarang yang semakin sibuk dan tanpa jeda membuat kita hanyut di dalamnya sampai-sampai kita tidak sadar akan keberadaan kita sendiri.

Bagi saya, tidak banyak hal-hal baru yang didapatkan dari buku ini kecuali beberapa kutipan yang bagus. Salah satu kalimat yang membuat saya merenung adalah "tidak ada yang menakutkan dan mengundang kegalauan ketimbang punya banyak waktu di tangan kita". Orang modern serba terburu-buru, ingin instan, semua didasarkan pada pemangkasan waktu. Lantas, ketika kita punya waktu berlebih, kita akan bingung sendiri. Kita menyibukkan pikiran kita dengan memasuki dunia maya. Yang ujung-ujungnya, kita menyesali diri karena waktu melesap cepat tanpa menghasilkan apa-apa. Lalu pikiran kembali ke awal lagi, terburu-buru.

Menjadi orang offline memang berat. Semua hiruk pikuk ada di dunia online. Kita akan merasa teralienasi, telat informasi. Tetapi ada yang lebih penting dari perasaan-perasaan tersebut yaitu kita lebih mengenali diri sendiri. Begitulah pesan yang didapat setelah saya menamatkannya.
Profile Image for Haris Quds.
52 reviews55 followers
April 15, 2020
Mungkin semua kita menyukai fiksi, baik berupa novel, cerpen, komik, film, atau drama korea.
Tapi kenapa kita suka fiksi, atau cerita secara umum?
Karena otak kita suka berimajinasi, dan suka refleks secara heroik mengambil kesimpulan/pembelajaran/"moral value" dari kisah-kisah. Itulah kebiasaan alam bawah sadar otak kita, suka mengasosiasikan satu hal dengan hal lainnya, padahal belum tentu bener2 berhubungan.
Kenapa kok bahas fiksi? Nanti kita akan sampai ke sana.
.
Buku ini berisi pemikiran2 Desi Anwar tentang manusia dan relasinya dengan aspek lain di luar dirinya sendiri.
Buku ini dibagi menjadi 2 bagian: (1) Mengapresiasi Hidup dan Kehidupan, (2) Seni Kehidupan.
Bagian pertama lebih singkat dibandingkan bagian kedua, baik secara jumlah sub-bab maupun jumlah halaman per sub-bab.
Bagian (1) isinya tentang baimana cara mengapresiasi penglihatan, pendengaran, pikiran, seni, dan kesehatan.
Bagian (2) isinya tentang manusia dan relasinya di dalam kehidupan.
.
Meskipun judulnya Going Offline, Desi Anwar gak hanya mengambil makna offline dalam artian digital, tapi offline secara jaringan keseluruhan. Manusia itu dikelilingi oleh hal2/makhluk2 selain dirinya tapi terhubung dengan dirinya: Gadget, influencer yang sering kita stalk, orang tua beserta ekspektasinya, sahabat, kolega kerja, atasan, atau bahkan yg abstrak kayak norma masyarakat.
.
Hal yang bikin buku ini menarik:
1. Ini dia kaitannya sama fiksi tadi. Buku ini banyak menyertakan kisah pengalaman pribadi penulis untuk memulai atau melengkapi bahasannya. Hal ini menjadi penting karena itu tadi, kita lebih suka dan lebih mengapresiasi kalo kita mengambil pelajaran sendiri dari cerita-cerita, bukan dari teori yang dikasih. Maka penggunaan cerita ini jadi menstimulus otak kita untuk lebih aktif memproses pesan dari penulis.
Meskipun buku Going Offline ini bukan fiksi, dan pengalaman Desi Anwar bukanlah fiktif, tapi dia bisa menuliskan dengan format narasi sehingga seperti cerita fiksi yang menstimulus imajinasi tadi.
2. Buku ini ditulis menggunakan perspektif orang pertama, dengan kata subjek 'saya' & 'kita'. Sehingga aku nggak kayak lagi digurui dan lebih seperti diajak merasakan pengalamannya. Aku pribadi lebih suka dengan buku self-improvement yang menggunakan subjek saya/kita dibandingkan subjek anda/kamu. Karena saat membaca tipe yg kedua itu, aku lebih seperti dituduh atau ditodong. Tapi ini balik lagi ke preferensi masing2 pembaca.
3. Going Offline punya banyak konsep self improvement di dalamnya, tapi gak dimention istilah2nya secara teoritis.
(Self reliance/percaya diri, Transcendentalism, Mind cure/mindfulness, Minimalism, Positive thinking).
Dengan tidak memberi merk pada bahasannya, apa yang ditulis Desi Anwar ternyata jadi lebih enak dibaca karena kita gak perlu disibukkan dengan konsep, tapi langsung ke pelaksanaannya.
Soalnya otak kita suka nolak digurui dan lebih apresiasi pada usahanya sendiri dalam menarik pelajaran.

****

Kesimpulan:
Untuk menyimpulkan, buku ini sifatnya sangat reflektif dan kontemplatif. Aku melakukan banyak refleksi sepanjang pembacaan buku ini.
Buku ini juga menghindari bicara teori dan konsep2, dan lebih fokus ke penerapan praktikal.
Seperti laba-laba yang berada di tengah jaringnya, dan masing2 penjuru jaringnya ada sesuatu (orang tua, gadget, ekspektasi dll). Saat masing2 penjuru jaring itu diputus satu per satu, yang tinggal apa? Ya si laba-laba itu sendiri. Diri kita sendiri.
Kayak gitulah manusia. Aspek2 tersebut sangat berpotensi menjadi distraksi. Maka ada saatnya harus memutuskan relasi kita pada banyak hal di dunia ini untuk sesaat, agar kita bisa lebih fokus ke diri sendiri.

------------------------------------
*Keywords:*
Makna hidup
Proses/pengalaman
Percaya diri
Alam/alamiah
Target
Konsistensi
Mindset
Profile Image for Faira.
30 reviews1 follower
January 25, 2023
Wow, jangan percaya dengan hype sebuah buku karena kelak kamu akan kecewa dan saya mengalaminya setelah membaca buku ini. Awalnya saya sangat mengekspektasikan buku ini akan spektakuler dan memberi informasi baru mengenai distraksi dunia online.

Namun, sepanjang saya membaca, saya mendapat kesan menggurui sampai akhir halaman. Kebanyakan menebar quote Pinterest dan Google Image membuat saya rolling my eyes lol
Saya berharap ada beberapa kisah yang dekat dengan pembaca bukan terlalu berpusat pada penulis. Maaf, kalau saya yang nggak punya AC ini nggak bisa relate dengan AC di kamarmu yang selalu menyala, Desi. Pengulangan kata dan juga kalimat yang sebenarnya tidak perlu tapi diperlukan untuk mempertebal halaman (saya tahu betapa sulitnya untuk mengejar deadline editor).

Mungkin sebagai pekerja kreatif yang mengharuskan menatap layar 10 jam sehari bukan target market buku ini melainkan anak muda (semua produk sepertinya mengincar anak muda entah mengapa) yang "ketagihan medsos"

Ironinya adalah bahwa jawaban mengenai distraksi online, sebenarnya sudah bisa kita temukan sepanjang mencarinya di dunia online.
Profile Image for Agnes Oryza.
56 reviews62 followers
November 4, 2021
Merekomendasikan buku ini untuk semua orang yang ingin belajar lebih mindful dan mengapresiasi hidup. Penuturan katanya bagus sekali, bacanya harus perlahan sambil diresapi dalam-dalam. Aspek yang dibahas banyak, dan per chapter ditulis pendek jadi bisa membacanya pun tidak bosan. Buku Desi Anwar pertama yang aku baca dan pastinya akan baca karya Desi Anwar lainnya!!
Profile Image for Nike Andaru.
1,636 reviews111 followers
February 20, 2020
37 - 2020

Walau ini bukunya Desi Anwar yang kesebelas, saya baru baca bukunya satu ini.
Desi Anwar adalah salah satu news anchor favorit saya, sejak dia bekerja di RCTI. Namanya juga dikenal sebagai jurnalis yang top markotop. Saat saya tahu buku ini terbit, saya pikir menarik juga untuk mulai membaca karya beliau.

Bagi setiap orang zaman sekarang, dalam jaringan (daring) atau online adalah keharusan setiap harinya. Banyak kita temui orang yang punya banyak kuota data daripada pulsa hp, banyak yang lebih sering nelpon via WA ketimbang pake jalur telpon biasa. Ada pula yang FOMO (fear of missing out), ada yang memang gak bisa dilepaskan dari telpon pintarnya karena emang kerjaannya di sana. Yah, walau sekarang kerja gak kerja di dunia digital tetap aja online menjadi sebuah kebutuhan saat ini.

Membaca buku ini membawa kita menyadari, selalu online gak sebanyak itu juga kita butuhkan. Kumpulan esai Desi Anwar kali ini mengajak kita merenung, berpikir akan banyak hal menarik di luar kegiatan online kita. Banyak hal bisa dilakukan, berjalan melihat pemandangan, membaca buku, bermain dengan anak/keluarga/hewan peliharaan, berolahraga, dsb.

Kumpulan esai ini terbagi dalam dua bagian besar yaitu Bagian 1 : Mengapresiasi Hidup dan Kehidupan lalu, Bagian 2 : Seni Kehidupan. Pada bagian 1, lebih banyak tentang apa dan bagaimana saat-saat online bisa digantikan dengan kegiatan offline yang menarik dan sudah jarang dilakukan banyak orang saat ini. Bagian 2, Desi Anwar menulis tentang banyak hal seputar kehidupan, ada cerita-cerita pribadi beliau juga di dalamnya.

Menariknya dalam buku ini, terutama pada bagian kedua, banyak hal dapat membuka pikiran kita terhadap banyak hal seperti, bagaimana sebaiknya mengelola waktu, menjadi diri sendiri, bagaimana berkebiasaan yang baik, bagaimana menilai segala sesuatu dengan lebih positif, mengatur emosi hingga cara kita memahami orang tua. Semua terasa menyenangkan saat dibaca, saya juga merasa ditampar atas tulisan-tulisan dalam buku ini, yang memang benar tapi malas sekali saya lakukan. (begitulah seharusnya buku self-improvement bekerja kan ya? :p)

Membaca kumpulan esai memang terasa ringan, tapi penuh dengan cara yang membuka kita pada sudut pandang baru yang mungkin berbeda dengan yang kita yakini, pun membuka mata kita akan hal-hal yang mungkin belum pernah kita coba kita lakukan. Membuat kita menyadari akan banyak hal. Desi Anwar memang jurnalis jempolan yang mampu merangkai kata demi kata menjadi kelimat yang cakep untuk dibaca.
Profile Image for Suci.
154 reviews5 followers
January 9, 2021
I hate to say this, but I read this book at a totally wrong time. I know that there are so many people who said that this book couldn't be more relevant than this year. This shitty year, when the world is suffering from the pandemic. Everyone is undoubtedly bored and exhausted because you have to either work from home, work 'out of' home (like usual, but you'd always feel scared of the virus exposure), become jobless, et cetera. It literally disturbed almost every aspect of human life.

So, why is it not for me at the moment? I'm a student with loads to do. I won't deny the fact that the internet took most of my precious time away. But I just can't seem to relate to some parts of the book. I'm in my worst state currently, reading it makes me loathing myself thinking 'Oh this is what normal people should have felt or done.' Everybody is tired because they do something, yet I'm tired because I don't do anything. Shortly, this book is very compatible with highly-functioning people. I'm not blaming the book tho, it's just me becoming very depressed and feel very shameful because YES this book slapped me hard in the face and I realized what I should have done. There are other things that probably are also not so relatable to some people. There are things that only some people can do, while the rest.... yeah let's just suck our thumb like a baby. I won't explain more, it could be triggering.

I always adore Desi Anwar. My mom and aunt told me a lot about her since I was a kid and they used her figure to motivate me. Anwar's father also taught my mom back at college and she said he was one of the best professors ever. Growing up, I listen to her again later and I love hearing her talk. Seriously, it's so good to hear. Her choices of words are also on a high level. You can see how intellectual she is. Oh, this thing is also implied in the book. I enjoy reading it mainly I was focused on how she structured the sentences, how the words are flowing so beautifully. Haha okay, now I'm getting dramatic. Sorry folks. I marked some quotes too because they could slap me again in the face when I'm slacking.

When I'm more on my better side, with more stable emotions and circumstances, I'll be re-reading this book. I wanna give it another go and see how it would affect my rating.
Profile Image for Rafli.
102 reviews41 followers
April 29, 2023
Buku ini ditulis cukup memikat. Kendati demikian, saya rasa pemilihan judul OFFLINE: Finding Yourself in the Age of Distractions ini terlalu sempit untuk tulisan-tulisannya yang terasa luas dan umum. Tidak jarang, Desi Anwar menuliskan bab yang rasanya jauh dari tema luring atau 'libur teknologi'. Selain itu, buku ini bukanlah buku pengembangan diri yang membahas kiat-kiat mangkus, rinci, dan komprehensif untuk lepas dari cengkeraman gawai, misalnya buku semacam Make Time: How to Focus on What Matters Every Day. Dengan demikian, buku ini kurang cocok untuk pembaca yang mencari bacaan yang praktikal.

Alih-alih praktikal, buku ini amat reflektif. Esai-esai di dalamnya sanggup membuat pembaca becermin dan termenung. Mungkin sebagian besar orang memiliki perasaan kehilangan jati diri atau sifat alamiahnya sebagai manusia sebab digempur habis-habisan oleh distraksi teknologi. Manusia di abad ini lekat dengan rasa haus validasi, FOMO, keletihan multitasking, resah karena terlalu individualis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ada dorongan untuk memperbaiki pola pikir dan membutuhkan alternatif kegiatan untuk meminimalisasi candu gawai. Sebagaimana yang dikatakan penulis, dorongan untuk sepenuhnya menggunakan anugrah manusia, pancaindra. Untuk pembaca yang tengah mengalami hal-hal itu, buku ini tepat untuk dikonsumsi.
Profile Image for Jihan Aulia Zahra.
20 reviews2 followers
August 29, 2023
Menurutku banyak banget statement seakan-akan memberikan label tertentu sama manusia yang hidup di dunia maya. Yes, going offline is good. Break is good. Tapi membuat seakan-akan orang yang hodup di dunia maya menyedihkan dan buruk banget, well kayaknya seharusnya bukan alasan kenapa buku ini ditulis, kan?
Profile Image for Maynuverse.
70 reviews5 followers
October 19, 2021
OFFLINE adalah buku pertama kak Desi Anwar yang saya baca. Buku ini merupakan kumpulan tulisan atau cerita pendek penulis yang berisi tentang kesibukan manusia dengan gadget dan internet sehingga mudah terdistraksi dan lupa dengan kehidupan nyata.

Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu Seni Apresiasi dan Seni Kehidupan. Seni Apresiasi antara lain seperti biasakan untuk mendengarkan bunyi atau kesunyian di sekeliling kita, melakukan olahraga dan memberi reward terhadap diri sendiri dan membaca buku fiksi sebagai penyelamat hidup dibanding memeriksa gadget setiap saat.

Sedangkan Seni Kehidupan antara lain ada tentang cara berkomitmen dan disiplin, cara memahami orang tua, serta cara mempercayai potensi diri sendiri.

Menurutku, buku ini bagus untuk dibaca mengingat kita sering overwhelmed akibat cek dan ricek newfeed di sosial media. Apalagi masa-masa COVID-19 seperti ini, kalau bukan ke internet, kemana lagi kita akan berselam diri?

Buku ini merekomendasikan banyak hal di luar bermain-main dengan gadget. Seperti membiasakan melakukan hobi atau aktivitas di rumah yang menyegarkan, menumbuhkan minat baru serta cara-cara hidup yang nyaman ketika bersinggungan dengan orang lain sekitar kita.

Buku ini worth to read meski kadang ada bagian yang menurutku bermakna sama di bab lain dan itu bikin sedikit bosan, tapi buat aku yang harus bisa diet digital, ini buku mampu memandu aku buat gak terdistraksi dengan dunia online yang kuat arusnya.

4/5 ⭐
Profile Image for Agung Wicaksono.
1,089 reviews17 followers
November 1, 2020
Berisi kumpulan esai dari Desi Anwar tentang bagaimana seharusnya manusia menyikapi kehidupan di dunia nyata ketika kehadiran dunia maya malah membuat manusia menjadi betah di dalamnya, bahkan sampai lupa waktu.

Ada dua bagian di buku ini. Pertama, mengapresiasi hidup dan kehidupan. Di sini, penulis mengajak kita untuk lebih memperhatikan kondisi nyata di sekitar. Di dunia yang sudah dipenuhi dengan keramaian dunia maya, manusia malah jadi sering terdistraksi untuk membaca hal-hal yang dirasa kurang penting, seperti membaca status atau cuitan yang ada di sana. Kita jadi lupa bagaimana mengobrol secara langsung dan mendalam dengan orang-orang terdekat kita.

Kedua, seni kehidupan. Kita diajak merenung dan mengelola emosi yang ada di dalam diri. Karena, ketika kita bisa memaknai kehidupan dan berpikir secara tenang terhadap segala masalah yang terjadi, hidup pun bakal terasa nyaman dijalani.
Profile Image for Tamara Fahira.
130 reviews8 followers
January 19, 2022
Sebetulnya, buku ini tidak jelek, saya mendapat sedikit insight dari beberapa quote yang cukup menarik. Tapi, membosankan.

Saya cukup menyayangkan betapa banyak pengulangan penjelasan dalam satu buku, seakan berputar-putar disitu saja. Dalam sub-bab berbeda, saya menemukan paragraf demi paragraf yang isinya nyaris serupa terus menerus.

Ekspektasi saya cukup tinggi, lho, pada buku ini. Menurut saya, tidak perlu sampai beratus halaman (saya rasa delapan puluh halaman juga cukup) karena inti yang ingin disampaikan sederhana; menyadari situasi sini kini atau bahasa kekiniannya mindfulness.
Profile Image for azkasyafitri.
9 reviews
January 31, 2023
Such a good book to read. If you ask me a book recommendation to read as you start your day, I might recommend this one!
Profile Image for Syifa Amirta.
22 reviews
September 13, 2021
Just finished reading this book, OFFLINE! The first thing that came to my mind, this book definitely will explore the comparison between virtual life and real life in a bunch of circumstances. BUT I was wrong, I am so grateful for having this book with me for the entire 2 weeks. The author, Desi Anwar, reminds us about how we gradually ignore our surroundings even we forget to care about ourselves because we are too absorbed in a world full of unknown a.k.a your gadgets. And, if you are more into English books, it has an English version. Thank you so much for writing this book, Indonesian great journalist, Desi Anwar!!
Profile Image for Vindaa.
184 reviews2 followers
March 24, 2020
Rasanya GOING OFFLINE nggak bisa lebih relevan lagi di masa-masa merebaknya CoVid-19 ini. Media sosial dan dunia online terlalu melelahkan & tanpa sadar melesapkan kita dalam ketakutan. Rasa takut itu sendiri lantas berpengaruh pada kondisi psikologis yang justru lambat laun membuat imun turun.
.
Berysukur dipertemukan dengan buku Desi Anwar yang ke-sebelas ini, meski senyatanya ini kali pertama saya menikmati karyanya. Tiap halamannya membuat saya mengangguk.
.
Semakin lama kita semakin menunduk, terus menunduk, mencari berita terbaru pada sebuah benda kecil di genggaman, seakan lama kelamaan kita bisa menjadi expert karena terus memutaakhirkan informasi.
.
We are what we eat ! Apa yang kita serap, itulah apa yang kita adopsi. Padahal bukan tidak mungkin, seringkali kita gagal mengambil kesimpulan karena yang kita dapatkan hanyalah sepotong2.
.
Balik ke buku bertebal 248 halaman ini, banyak sekali hal yang saya stabilo di dalamnya. Sejenak tersadar, melalui kumpulan esainya, Desi Anwar mengajak kita untuk merenung, bahwa ada banyak hal yang tak kalah menarik di luar kegiatan online kita.
.
Banyak hal yang bisa kita lakukan seperti berjalan melihat pemandangan, membaca buku, berolahraga, bermain dengan anak / keluarga dll.
.
Menariknya lagi, dalam buku ini juga membahas hal-hal yang bersifat mentality dan mindfulness seperti bagaimana mengelola waktu, menjadi diri sendiri tanpa perlu takut diabaikan orang lain, bagaimana membentuk habits yang baik, lalu bagaimana pula menilai segala sesuatu dengan kacamata positif, mengatur emosi hingga memahami orangtua.
.
Satu persatu esai di buku ini menyenangkan untuk dibaca. Tapi juga berkali-kali menampar saya, bahwa ternyata ada banyak hal yang saya ingin, namun tak segera melakukannya. Kenapa? Malas ! 🙈 #Plak
.
So, membaca buku ini -- akan terasa membuat hatimu sedikit berdamai, bahwa ternyata tidak apa-apa meski tidak menjadi yang mereka inginkan, asal menjadi dirimu sendiri yang bahagia 🤗
.
Going Offline | Desi Anwar | Gramedia Pustaka | 2019 | 248 halaman
Profile Image for nidatama.
42 reviews
July 3, 2021
☆ Dalam menghadapi hidup, alih-alih belajar, tumbuh, dan terus menantang diri agar berkembang, kita lebih mudah mundur ke zona aman yang kita identifikasi sebagai karakter kita, melekatkan diri dengan preferensi, selera, wawasan, dan sistem keyakinan, seakan validitas keberadaan diri kita bergantung pada semua itu.
(ini salah satu hal yang sedang sering mengganggu saya belakangan ini. betapa apa yang saya sebut sebagai "karakter" atau "apa yang saya banget" justru malah saya jadikan pembenaran atas ketidaknyamanan saya akan hal-hal baru yang terasa asing)

☆ Dan kemampuan untuk membuat setiap detik waktu mereka dapat dipertanggungjawabkan dan setiap tindakan ada sasarannya, itulah yang membuat mereka majikan atas takdir mereka sendiri.
(menyadari--bukan sekadar mengetahui--tujuan dari setiap apa yang saya lakukan memang sepenting itu, ya?)

☆ Seolah-olah kebahagiaan itu begitu banyak tersebar di mana-mana dan kita harus bersaing untuk mendapatkannya.
(jleb. masa iya segala sesuatu sekarang harus bersaing dulu supaya bisa dapet?🥴)

☆ Bahkan ketika segala sesuatu berjalan mulus pun, di dalam diri kita masih saja ada kecenasan bahwa segala sesuatu yang buruk akan terjadi. Bahwa saat-saat tenang ini tidak akan langgeng, bahwa semuanya terasa terlalu indah sebagai kenyataan. Kita cemas, jangan-jangan kita tidak berhak atas kebahagiaan itu atau mungkin hanya kesalahan.
(this is sooo me! terlalu sering denger kata-kata bahwa nggak ada apa pun yang selamanya ternyata nggak selalu jadi menghibur saya. banyak kalanya malah saya dibuat cemas bahwa saat saya bahagia, itu justru sebagai bentuk semesta lagi ngerjain saya, seolah dia lagi bilang ke saya, "hei, bentar lagi kamu bakal menderita. tapi nih saya kasih kamu bahagia dulu." konyol sekali saya ini)

☆ "Emosi tidak mengatakan yang sebenarnya. Hanya karena engkau merasakan sesuatu tidak membuatnya menjadi kenyataan." - Joyce Meyer
(tapi bukankah katanya apa yang kita rasakan itu adalah nurani? bahkan ada yang bilang, itulah cara Tuhan memberi kita petunjuk?)

☆ "Tiap manusia dikaruniai seperangkat potensi unik yang menunggu pengembangan seperti sebuah bibit pohon memendam rindu untuk menjadi pohon." -- Aristoteles

☆ Kita merasa yakin benar tentang siapa diri kita. Bila kita mencari orang lain, itu hanyalah untuk mengapresiasi mereka sebagaimana mereka apa adanya. Tidak menjadikan mereka tiang penyangga ego kita yang rapuh atau melihat mereka sebagai hiburan yang dapat mengalihkan kita dari perasaan tidak aman kita.
(highlighted! someone else's existentence is not to feed my ego. saya yang harus bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjadikan diri sendiri utuh)

☆ "Cemas itu seperti kursi goyang. Membuatmu melakukan sesuatu, tetapi tidak membawamu ke mana pun..." - Peribahasa

☆ "Engkau tidak gagal sampai engkau menyalahkan orang lain atas kesalahanmu." - John Wooden

☆ Saya yakin tak seorang pun peduli apakah saya setia pada komitmen saya atau tidak. Kecuali, tentu saja, sayalah yang peduli.
(yah... sayangnya, kadang saya sendiri nggak peduli. peduli itu harus tercermin lewat perbuatan kan? kalau cuma dari omongan, pembual manapun di pengujung lain dunia juga bisa!)

☆ Alih-alih, masa depan akan menjadi perwujudan target-target kita sendiri. Sebab bila dapat mengontrol masa kini, kita dapat mengontrol seluruh kehidupan.
(ada yang bilang, orang yang concern dengan masa depan itu artinya visioner, tapi beberapa juga bilang bahwa mereka nggak live in the moment. sementara saya adalah gabungan dua keburukan itu. kebanyakan cemas tapi malah nggak melakukan apa-apa. dasar saya)

☆ Apakah yang mendorong kita menanggapi serangan sebegitu cepatnya, kalau bukan ketiadaan rasa cinta diri dan penerimaan diri? Oleh karena rasa waswas--jangan-jangan kita ini banyak kekurangan dan bukan orang yang penting sehingga mudah merasa dihakimi oleh pihak-pihak lain?
(barangkali memang iya, segala pebuatan dan perkataan orang lain itu tawar; nggak ada rasanya. yang pada akhirnya menyebabkan diri kita senang, marah, sedih, atau yang lainnya, adalah cerminan dari asumsi, pengalaman, dan sistem keyakinan yang terhimpun di dalam kepala)

☆ "Sebelum ia mampu mengasihi hewan, belum semua sukma manusia itu bangkit." - Anatole France

☆ Sebab, bagi seorang anak, orangtua adalah dunia yang ia huni. Mereka adalah tuhan-tuhan kecil dalam dunianya yang kecil

☆ Yang membuat kita menderita bukanlah yang menenggelamkan kita. Tidak. Kita menderita karena keyakinan kita bahwa diri kita penting. Kita melihat alam sebagai yang diciptakan untuk digunakan dan disalahgunakan. Dunia sekitar kita adalah cerminan keberhasilan dan kegagalan kita sendiri. Alam raya adalah kisah yang di dalamnya kita menjadi tokoh utama yang baik. Pahlawan yang tragis atau korban yang memilukan.
.
.
.
Sepanjang buku saya dibuat terombang-ambing antara mau memberi bintang 3 atau 4. Lagi-lagi, ini adalah jenis buku yang intisarinya sebenarnya bisa dikatakan amat klise akibat sudah terlalu sering saya dengar di sudut-sudut dunia nyata maupun maya. Tapi, lagi-lagi juga, kemampuan penulis yang memikat membuktikan bahwa segala sesuatu pun tergantung pada cara penyampaiannya. Hal-hal sederhana itu pun akhirnya berhasil membuat saya merenung dan tersenyum.
Awalnya saya kira buku ini semacam petunjuk praktis untuk menemukan jati diri di tengah dunia digital yang amat cepat, namun ternyata, penulis justru mengingatkan saya bahwa memahami diri sendiri itu hanya bisa dicapai dengan duduk dan berteman baik dengan diri, bukan dengan dikte dari seorang penulis yang bahkan nggak pernah tau bahwa kita hidup di muka bumi. Going Offline terasa seperti nasihat seorang teman yang tulus peduli, bukan imbauan galak pihak yang berkuasa, atau penghakiman kejam atas gaya hidup seseorang. Sungguh buku yang manis.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Readingwithnee.
107 reviews2 followers
November 10, 2020
Going Offline. Topik yg diangkat dlm buku ini pastinya sangat berhubungan erat dgn kehidupan kita yg tak bisa lepas dari gadget. Sesibuk apapun, kita selalu menyempatkan diri mengecek media sosial seakan takut akan ketinggalan 'berita' apapun dan siapapun.

Buku ini berisi kumpulan cerita Desi Anwar yg dibagi menjadi dua bagian, Seni Apresiasi dan Seni Kehidupan. Sebenarnya poin-poin yang dibahas dalam buku ini tidaklah baru bagi saya. Bahkan ada beberapa sub-bab yg saya rasa memiliki inti pembahasan yg mirip sekali namun dibahas dalam dua atau tiga cerita yg berbeda, mungkin agar pembaca lebih bisa memahami inti pembahasan ya. Tapi malah membuat saya agak bosan seakan membaca suatu hal yang berulang-ulang.

🌟3.5/5
Profile Image for July.
71 reviews2 followers
May 14, 2023
Akhirnya selesai. Butuh waktu yang luar biasa lama buat namatin buku ini karena isinya nggak sesuai dengan harapan. Berhasil tamat baca ini artinya bisa lanjut baca buku yang lain. Itu yang aku syukurin sih.

Padahal buku Desi Anwar yang 'Apa yang kita pikirkan saat sedang sendirian' itu aku suka, tapi nggak sama yang ini. Buku ini, baik dibaca pas lagi terpuruk atau lagi seneng sama-sama bosen. Mau dihabisin langsung nggak sanggup, mau dipaksa nggak lanjutin, nggak enak aja.

Entah mungkin emang pasar dari buku ini bukan buat aku. Soalnya contoh kehidupan yang ditunjukin dalam buku nggak sesuai dengan kehidupan yang aku jalanin. Dan, satu hal yang nggak aku suka dari buku ini, jangan mengurusi urusan orang lain, tapi isinya mengurusi kesukaan dan urusan orang lain.
Profile Image for Citra Rizcha Maya.
Author 5 books23 followers
December 6, 2021
Dulu dengan bangga saya menyebut diri saya sebagai warga jagat maya, tengoklah nama belakang saya! Dua tahun belakangan ini saya merasa terlalu banyak hidup dalam jaringan. Saya merasa kehilangan sepotong jati diri, sulit merasa bahagia, tertekan, tak nyaman karena saya jadi tak banyak waktu untuk bisa merayakan kehidupan. Dampaknya, saya kesulitan menemukan ide, inspirasi, kreativitas tentu karena pikiran, tubuh, dan jiwa saya terus menerus disibukkan, distimulasi, dan tak pernah diberi jeda yang dibutuhkan. Selain saya, apa ada diantara teman-teman yang merasakan hal yang sama? Barangkali banyak yang tanpa ragu menjawab YA, tapi pandemi memaksa kita hidup lebih banyak di dalam jaringan.

Ah ini bukan saat yang tepat untuk Going Offline, sepakat memang, tapi tentu kita bisa menguranginya demi menyeimbangkan hidup dan menemukan makna kehidupan kita melalui cara-cara yang lebih manusiawi dan tentu akan memuaskan diri. Saat seperti sekarang ini membuat kita merindukan jaman analog. Buku ini mengundang kita untuk sejenak menghilang dari Jagat Maya agar dapat kembali menjadi manusia yang memandang hidup dengan lebih bergairah.

Desi Anwar membuka bukunya pada kata pengantar dengan kalimat, "teknologi adalah budak yang dapat diandalkan, tetapi majikan nan keji. " Menarik, bagaimana sejak awal sampai akhir, buku ini sangat menjanjikan untuk bisa dinikmati. Buku ini terbagi atas dua tema besar, pertama Mengapresiasi Hidup dan Kehidupan dan yang kedua, Seni Kehidupan. Buku ini merupakan catatan berharga buah dari kekayaan pengetahuan, pengalaman, dan luasnya jaringan seorang Desi Anwar.

Catatan tentang bagaimana sebuah kehidupan jauh lebih alamiah ketika kita menikmatinya sebagai manusia yang merdeka bukan sebagai budak teknologi yang membuat kita kehilangan sisi manusiawi. Desi Anwar banyak memberikan ide-ide menarik bagaimana cara kita menggunakan indera dan seluruh tubuh kita dengan cara yang semestinya agar dapat mengapresiasi hidup ini dan turut untuk menemukan dan larut dalam kesederhanaan indahnya seni kehidupan.

Saya suka sekali cara penulis menuangkan pikirannya, pilihan katanya cerdas, rangkaian kalimatnya lugas. Pesannya tersampaikan dengan tepat. Wajar, dengan pengalaman sebagai penulis dan jurnalis terkemuka selama lebih dari dua dasawarsa. Buku kesebelas Desi Anwar sangat memuaskan untuk dibaca. Apalagi diperkaya dengan kutipan bijak dari banyak tokoh yang mewakili setiap tema tulisannya memberi nilai untuk pembaca untuk merenungi apa yang telah kita lakukan selama ini karena terlibat terlalu jauh dengan teknologi. Kita tak bisa putus dari teknologi begitu saja, melepaskan ikatan, lari, dan ingin hidup tanpanya. Sulit, tentu saja! tapi kita tetap bisa menyeimbangkan kehidupan kita dengan aneka cara yang bisa coba kita praktikan dari isi buku ini, seperti mempertajam keterampilan mendengarkan, mendengarkan puisi, berjalan kaki, hingga merawat taman.

Saya merekomendasikan buku ini kepada teman-teman yang sedang sibuk dan lelah karena diperbudak keadaan. Mereka yang nyaris kehilangan jati diri. Juga mereka yang ingin merayakan kehidupan yang lebih sederhana namun jauh lebih merdeka dan bahagia.
1 review
September 15, 2020
Buku ini cukup ringan untuk dibaca karena penulis menyampaikan pesannya dengan sederhana dan ada quotes yang menarik.
Ketika membaca buku ini, sebenarnya saya sudah membayangkan isi bukunya. Dan yup, benar saja, hampir sama dengan apa yang pikirkan mengenai isi bukunya. Ketika membeli buku ini, saya sedang merasa jenuh dengan rutinitas yang sedang saya jalani saat itu jadi saya membutuhkan sebuah energi baru yang membuat saya semangat lagi dalam menjalani rutinitas saya.
Membaca buku ini membuat saya mempertanyakan kembali dua hal kepada diri saya sendiri; pertama mempertanyakan kembali tentang rutinitas saya di dunia offline. Kedua mempertanyakan kembali atas pilihan yang saya buat sejak tahun 2017 untuk tidak terlalu mengikuti apa saja yang terjadi di dunia online dan fokus pada hal-hal yang bisa membuat saya tumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Meskipun ketika membaca buku ini, sebenarnya saya tidak terlalu menambah sudut pandang baru tapi buku ini cukup relevan dengan fenomena yang kerap terjadi di masyarakat saat ini. Bagaimana seseorang akan dikucilkan ketika tidak mengikuti trend yang kemudian dianggap kurang gaul. Hal-hal semacam ini membuat manusia lupa akan kesadaran diri tentang bagaimana seharusnya manusia harus selalu tumbuh menjadi individu yang produktif dengan hal-hal yang positif.
So guys, buku ini saya rekomendasikan untuk orang-orang yang mulai lelah atau sebenarnya sudah lelah dengan dunia onlinenya tapi belum berani mengambil langkah agar keluar dari dunia online yang melelahkan itu. Mungkin saat membaca ini, para pembaca juga akan mulai mengenal dirinya sendiri atau mengidentifikasi dirinya sendiri yang sekaligus memberikan dampak yang lebih sehat kepada mentalnya dan menjadi individu yang produktif.

"BILA PIKIRAN SUDAH TERPAKU DALAM BUNGKAI YANG SEMPIT, DIKUNGKUNG OLEH VISI YANG TERBATAS, TERKERDILKAN OLEH KETIDAKMAMPUANNYA UNTUK TUMBUH, MAKA AKAN SULIT BAGINYA UNTUK MERASA BAHAGIA DAN PUAS DI DALAM HIDUP. ITULAH CARA HIDUP PALING MENGENASKAN DI DUNIA YANG INDAH INI"
-Hal. 183-
This entire review has been hidden because of spoilers.
45 reviews5 followers
November 4, 2020
My first book I read on gramedia digital and it gave me so much things to learn!

As young people who spend most of time scroll through the phone and feel like can’t live without a phone, this book gave me so much things I should put my attention to any aspect in my life.

I’m an design student and never have ever thought before about visiting art gallery teach you how to pay attention and appreciate anything in life. Art is more than just aesthetic thing to your social media posts.

Nobody told me before how our thought play with us.

This book help me define what is friends and relationship I’m looking for. Something that I’m still searching till now, in my real life or internet.

This book also the mark that I finally find enjoyment of my old good habit, reading, after I’ve been traped in my reading slump and burn out for such a long time.

This book also taught me how to be tough to face the internet and the whole world.


This books not only gave me new perspective but also reminder for myself. This books is not only about your relationship with your phone, with your social media but also relationship with people around you and yourself.

I think this book is published in the right time. It come during pandemic when we spend almost our days and night with our gadget and internet. When we feel bored staying at home but we can’t leave our house and the only things that can amuse us is our phone yet every day social media feed us with negativity. Hateful comment, bad news, stressful post updates, bullying and debate, of course it will impact our mental health. Maybe this book will give you refreshment among this stressful life.


Maybe this book is not that deep on many topics but it's light reading so it will suit everyone, the people who never/rarely read before or the heavy reader. I suggest you to just read the book, who knows you will find something that will make you think for a moment.

So, turn your phone off, read this book and let’s improve your life to be better than ever.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Achandra.
211 reviews5 followers
December 24, 2024
Semenjak hadirnya smartphone dan media sosial, realitas virtual terus memunculkan trendnya. Hal apa saja bisa kita temukan hanya dalam sebuah genggaman. Layar kecil yg memunculkan rasa candu terus menerus bagi penggunanya dan tidak hanya satu dua orang saja yg hidupnya terdistraksi terus menerus. Meskipun memberi banyak manfaat, nyatanya kehidupan online menghilangkan banyak makna dan interaksi dgn dunia fisik. Kita banyak kehilangan makna, kita terus kehilangan fokus, dan mungkin malah semakin banyak orang yg tersesat di dunia maya.

Nah, buku ini dihadirkan untuk mengingatkan kita tentang bagaimana kita menajamkan lagi indera-indera yg ada di tubuh kita. Mendengarkan sesuatu yg lebih banyak, melihat sekeliling lebih luas, mengapresiasi setiap hal yg kita temui, dll. Karena sebenarnya seni kehidupan itu ada di panca indera kita, sedangkan semenjak dunia virtual hadir secara tidak langsung panca indera kita melemah dan hanya beberapa hal saja yg bisa kita tangkap.

Dalam dunia virtual, bukan seberapa banyak informasi yg harus kita kelola setiap harinya. Tapi mana yg kita butuhkan dan mana yg tidak. Di era too much information, semakin memunculkan FOMO pada diri setiap orang, seakan-akan kehilangan satu informasi atau tidak mengikuti satu trend saja menjadikan hidup mereka terlihat begitu buruk. Padahal dalam dunia real, yg dibutuhkan seseorang adalah bisa memaknai suatu hal dan bisa memprioritaskan apa yg benar-benar dibutuhkan dan apa yg tidak.

Meskipun ditulis dalam bentuk esai pendek, perenungannya begitu dalam dan membuatku belajar akan banyak hal. Karena aspek yg dibahas aku rasa sangat dekat dengan kehidupan sebagian besar orang saat ini. So, aku merekomendasikan buku ini untuk dibaca siapa pun terutama pengguna smartphone yg sering terdistraksi. Mari sama-sama belajar mengapresiasi hidup, mari sama-sama saling mempertajam indera untuk menikmati bahwa dunia realitas jauh lebih indah dibanding dunia dalam genggaman.
Profile Image for Latu  Sukandar.
46 reviews
October 15, 2023
Membaca buku ini atas rekomendasi teman saya di kantor yang merupakan penggemar berat dari buku self-development dan self-help.

Seperti yang selalu saya lakukan saat membaca buku, saya tidak menaruh ekspektasi apa-apa saat membaca. Termasuk dalam membaca buku ini.

Buku ini menceritakan hal-hal baik dan menyenangkan yang bisa kita lakukan saat sedang jauh dari gawai. Menurut saya pribadi, internet dan segala kemajuan teknologi yang terjadi di masa sekarang tidak sepenuhnya buruk. Justru banyak membantu kita menghadapi hal-hal yang cukup berat di keseharian kita.

Selama membaca buku ini, saya banyak melakukan refleksi terhadap apa yang saya lakukan di hidup ini. Bagian terfavorit saya adalah bab yang menceritakan bagaimana berjalan kaki atau olahraga seperti jogging sendirian dapat membantu kita untuk menjernihkan pikiran yang cukup penuh karena pada saat itu kita benar-benar terkoneksi dengan diri kita sendiri dan dapat melakukan dialog hanya berdua saja. Saya setuju karena saya juga menjalani habit yang seperti ini selama beberapa tahun terakhir diakhir minggu dan berdua saja dengan diri sendiri seperti ini membantu saya untuk lebih mengenal diri saya lebih baik lagi~

Juga ada bab yang memiliki judul "Satu-Satunya yang Harus Ditakuti adalah Ketakutan Itu Sendiri" dan "Tak Usah Khawatir, Bergembiralah". Bab ini cukup heart warming, apalagi untuk orang yang suka cemas untuk hal-hal yang mungkin tidak terjadi. Membahas tentang hal-hal yang sebenarnya bisa kita kendalikan dari dalam diri untuk menghindari overthinking dan cemas berlebih.

Tetapi menurut saya pribadi ada beberapa bagian yang isinya membahas beberapa hal yang diulang-ulang sehingga terkesan membosankan.
Profile Image for Fanandi Ratriansyah.
48 reviews3 followers
March 22, 2020
Diet digital dan berusaha memaksimalkan waktu untuk hal produktif sedang Penulis jalankan di kehidupan sehari-hari. Dalam prakteknya, Penulis masih sering scrolling media sosial terlalu lama ataupun menonton video YouTube yang kurang penting.

Membaca buku-buku seperti ini menjadi semacam pengingat untuk meletakkan smartphone sejenak dan melakukan hal lain yang lebih bermanfaat seperti menulis blog ataupun membaca buku.

Isinya sendiri akan banyak mengajak kita untuk merenung dan melakukan refleksi diri. Topik yang diangkat relatif sederhana, namun kerap kita abaikan dalam keseharian.

Desi menuangkan beberapa tulisan pendek dengan gaya bahasa yang lugas dan kerap mengangkat pengalamannya sendiri. Walaupun ia besar di luar negeri, bukan berarti kita tidak bisa related dengan secuil kisah yang dialami olehnya.

Buku ini juga termasuk bacaan yang ringan dan akan cocok untuk menjadi teman perjalanan. Direkomendasikan untuk pembaca yang merasa kecanduan dengan smartphone dan memiliki itikad untuk mengurangi penggunaannya.

Selengkapnya: https://whathefan.com/buku/setelah-me...
5 reviews
August 4, 2023
Dari buku ini aku dapat pengalaman baru, sudut pandang baru, dan ilmu-ilmu baru.

Persepektif dari apa yang dapat terjadi jika kita sejenak menjauhkan ponsel kita, dan diam membiarkan pikiran kita dan sukma kita bekerja, lihat apa yang dapat terjadi, ide-ide baru mungkin akan muncul, sama halnya ketika kita membutuhkan sebuah ide baru, lalu kita biasanya mendapatkan ketika kita sedang berendam di kamar mandi, maka ide itu akan muncul sendiri, dan langsung kita eksekusi. Selain itu hal luar biasa apa yang dapat terjadi juga dari kita jauh dari sosial media? dari buku ini aku benar-benar kaget sama hasil-hasilnya karena aku sendiri terlalu sering berlama-lama berselancar di dunia maya, meninggalkan dunia nyata, padahal nyatanya banyak, banyak sekali yang bisa kita dapatkan di luar dunia maya, dan semua ada di buku ini.
Yang bikin aku suka juga adalah, buku ini bikin kita tertampar akan seberapa seringnya kita di sosmed dan menjadi anti sosial di kehidupan nyata, beberapa dampak buruk dari ketergantungan digital dan virtual.

Aku bakal kasih highly recommend ke orang yang butuh ditraksi dari sosmed yang toxic, dan mencari jati diri jauh dari fomo di sosmed

5/5
Profile Image for Tiya Mulani.
93 reviews8 followers
June 19, 2021
Buku ini aku habiskan dalam kurun waktu yang cukup singkat. Meski bisa dibilang buku ini termasuk bacaan yang ringan, tetapi banyak beberapa bagian yang juga sulit aku pahami dan harus diulang bacanya.

Awalnya aku mengira buku ini menjelaskan tentang bagaimana kita bisa lepas dari dunia yang selalu terhubung seperti saat ini. Namun, isinya ternyata bagaimana pendapat penulis tentang berbagai macam hal yang ada di sekitarnya.

Setiap esai yang dituliskan oleh penulis sebenarnya bukanlah hal aneh dan besar kemungkinan dari kita semua pun mengalaminya. Banyak dari pemikiran penulis yang aku setuju dengannya, banyak pula yang aku tandai untuk menjadi pengingat dan nasihat bagi diri aku.

Aku kagum dengan bagaimana penulis menjabarkan tulisannya di setiap esai di dalam buku ini dengan panjang lebar tetapi tentunya berisi. Aku bisa merasakan luasnya wawasan penulis dari membaca buku ini.

Satu hal unik dari buku ini, ini adalah buku pertama yang aku baca dengan menggunakan margin kiri, bukan margin rata kanan kiri :)
Profile Image for Putrialmirach.
6 reviews
May 15, 2021
Aku tertarik sekali waktu pertama kali membaca judulnya. Menjadi orang yang lebih banyak hidup secara online, aku baru menyadari bahwa rasanya sangat melelahkan, sampai kemudian aku rasa membutuhkan ruang untuk menjeda segala aktivitas yang saya lakukan secara online ini.

Di dalam buku ini terbagi menjadi dua part, Seni Mengapresiasi dan Seni Kehidupan. Di part pertama nya ini lumayan adanya sudut pandang baru yang didapat, tentang bagaimana seharusnya kita hadir seutuhnya di dunia yang sebenarnya. Aku juga jadi banyak menyadari bahwa belakangan ini saat aku terlalu banyak menghabiskan waktu menjadi manusia online ternyata banyak sekali yang kulewati perihal esensi atau makna kehidupan ini.

"Kita tidak memberi perhatian, baik pada berbagai hal atau pada orang-orang di sekitar kita. Alih-alih kita banyak menghabiskan waktu dengan terhanyut dalam alam pikiran kita, program di dalam batin yang membawa kita ke tempat-tempat yang tidak ingin kita kunjungi, atau mengingatkan kita pada berbagai hal yang ingin kita lupakan." Salah satu kutipan favoritku— dalam halaman 33, dan masih banyak lagi part favorit lainnya.

Tanpa sadar buku ini merubah perspektifku untuk menginginkan ada sedikitnya upaya untuk meletakkan ponsel ini barang sejenak untuk sekadar menikmati seutuhnya dan mengapresiasi apa-apa yang ada di sekelilingku yang selama ini sering kali kuabaikan. Can't wait to do it :D
Profile Image for Hany Fahira.
4 reviews
December 16, 2023
I read the English version of this book. I find it a compilation of things that used to be 'normal' but 'odd' in this fast-paced era, like reading an actual book/newspaper during your commute or simply embracing boredom without being drowned in your phone. As someone born in the early 2000s experiencing the transition of technology, this book describes how we are attached to instant gratification and interaction, detached from the real world, and prominently detached from ourselves.

As it is light and easy to read, this book can be finished in one sitting. It's not merely about finding yourself in the age of distraction and reconnecting with yourself, but also your surroundings, nature, and life. Reading this book is like a quick and light 'medicine' from the modern 'illness'; it is being distracted.

There's so many enlightening I got, one of them is:
"We live in never-ending fear of missing out because deep down we feel inadequate and insecure about who we really are."
Profile Image for nur anissa.
27 reviews
March 11, 2025
I stumbled upon this book on Cikini's library shelf, captivated by the famous news anchor name of her time, Desi Anwar. Curious about her POV, I decided to give it a go for my next reading.
In this book, Desi Anwar shares her thoughts about being present and the importance of pursuing what we love. She presents a deeply personal and reflective point of view, encouraging readers to live mindfully and be fully present in whatever they do. Through her insights, she reminds us that life becomes more meaningful when we engage in our passions with awareness and appreciation.
Some of her activities are my favorites too, like going to the art exhibition, watching movies, listening to music, or reading a book.
This book is a wonderful guide to embracing a mindful life—starting now! If you're looking for inspiration to reconnect, get a grasp on yourself, and find joy in the things you love, this book is definitely worth reading.
Displaying 1 - 30 of 113 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.