Dalam satu abad terakhir, sains dan teknologi telah menjadi salah satu penggerak dominan perubahan sejarah umat manusia. Cara hidup, bekerja, berkomunikasi, berbelanja, berwisata, bersekolah, bahkan beragama difasilitasi—sekaligus ditentukan dan dipengaruhi—oleh teknologi komunikasi dan informasi.
Lalu, ada agama, yang bermain di wilayah lain kehidupan manusia: moral, psikologi, dan spiritualitas. Namun, tak sedikit yang menganggap agama kini tak relevan lagi. Ia hanya peninggalan masa lampau, ketika manusia belum mencapai kematangan rasional. Benarkah?
Buku ini ingin mengambil jalan moderat, dengan menawarkan upaya mengurai peran keduanya sebagai jalan mencari kebenaran. Ada apresiasi atas segi-segi sains yang bermanfaat bagi agama, terutama dalam mengungkap kenyataan fisikal-empiris alam semesta dan aplikasinya dalam kehidupan manusia. Ada pengakuan bahwa agama mengandung segi-segi yang dapat memberi kontribusi pada sains, terutama menyangkut inspirasi, nilai, dan tujuan.
Ditulis dengan gaya populer, isu-isu sains dan agama yang tampak berat pun dapat dinikmati dengan ringan, tanpa kehilangan argumen-argumen penting.
Setelah menamatkan buku ini, satu kalimat yg terlintas adalah "he read many books"
Bisa dikatakan ini kumpulan essay yang gemuk akan jawaban-jawaban untuk orang yg masih menyimpan tanda tanya setelah menamatkan buku-buku sains modern seperti karangan Carl Sagan, Richard Dawkins, Yuval Noah Harari, Stephen Hawking, dan lainnya perihal apakah benar seperti itu adanya jika dikaji dari sudut pandang agama?
Karena saya tidak capable untuk bicara secara agama, jadi saya hanya bisa bilang bahwa memang di buku sains "kadang" secara implisit ingin memusahkan fakta bahwa ada Yang Maha Kuasa dibalik semua fenomena alam yg ada dan membaca buku ini bisa mewakili perasaan saya dan bagaimana harusnya menyikapi antara sains dan agama.
Kalimat penutup di buku ini juga sangat dalam,
"Jika ingin melihat beragama yg dijalankan dengan ikhlas, dengan intensitas yg mendalam, tanpa pretensi keilmiahan, lihatlah cara beragama emak-emak kita di kampung. That is what religion is all about."
Pernah tidak kita mendengar atau menemui sebuah pertanyaan mengenai siapa yang paling unggul antara sains ataupun agama?
Bila, iya, manakah yang akan kita pilih?
Pertanyaan tersebut bila saya amati tampak begitu sensitif untuk ditanyakan, terutama bagi mereka yang menganut erat kepercayaanya. Pasalnya, bila kemudian muncul sebuah jawaban bahwa yang paling penting itu adalah sains, saya memiliki sebuah keyakinan bahwa orang tersebut akan menghadapi berbagai cemoohan ataupun pelabelan tidak taat atau bahkan sudah keluar dari agamanya. Tapi, apakah semudah itu?
Untuk lebih adilnya, mereka yang beranggapan bahwa agama lebih baik dari sains, sudahkah mempelajari secara benar, apa sebetulnya sains itu sendiri? kemudian agar lebih berimbang, pertanyaan sebaliknya juga perlu untuk dipertanyakan kepada para penganut saintifisme, apa itu agama? mengapa keduanya menganggap apa yang dianutnya begitu benar?
Pertanyaan tersebut merupakan secuil dari beberapa pertanyaan yang kemudian lahir dari proses pembelajaran dan perenungan akan pertanyaan dasar tersebut. Dengan kemudian munculnya pertanyaan tersebut, ada semacam sebuah upaya untuk menghentikan laju kita yang saat itu sedang berlari untuk mengucurkan vonis "sesat" ataupun "bodoh" kepada lawan pemikiran kita.
Proses penggalian semacam itu yang menurut saya begitu penting itu dilakukan. Bukan hanya tentang membandingkan agama yang kita anut dengan sebuah ideologi ataupun dengan entitas-entitas yang lain, tapi juga dari hal-hal terkecil dari kehidupan kita yang menurut kita anggap benar.
Upaya Haidar Bagir begitu juga dengan Ulil Abshar Abdalla dalam buku ini memang mencoba untuk menguraikan bagaimana seharusnya posisi agama dan sains seharusnya tidak perlu dipertentangkan. Tapi, berdasarkan pengalaman pribadi, setidaknya terdapat efek tetes lainnya selain memberi pengetahuan mengenai posisi antara agama ataupun sains, yaitu membaca kembali mengenai apapun keyakinan kita. Dengan selalu mempertanyakan tersebut, upaya untuk terus belajar tidak kenal lelah hingga maut datang, akan terus menyala.
Menurut keterangan dalam buku ini, semaju apapun perkembangan sains saat ini merupakan sebuah bola salju besar yang menggelinding dari sebuah hal kecil yang percaya atau tidak, inspirasi dalam beragama lah yang turut membentuk dan menggelinding bola salju hingga kemudian menjadi cepat dan besar.
Kedua orang tersebut memang cukup piawai dalam menjelaskannya. Tapi, kedua orang tersebut tampak begitu sedikit menjelaskan beberapa hal terkait bila ternyara fakta sains memiliki perbedaan dengan kepercayaan orang beragama. Salah satu yang biasanya disoroti dalam hal ini, adalah teori evolusi, Haidar Bagir tampak begitu sedikit dalam menguraikannya. Ulil sedikit lebih maju lebih maju, dengan berusaha memunculkan sebuah argumen untuk para pendukung teori evolusi.
Saya bisa mengerti barangkali karena buku ini merupakan kumpulan tulisan pendek diantara keduanya, membuat tulisannya berusaha untuk mencapai kepada titik poinnya. Iya, walaupun perlu kita apresiasi, tidak salahnya bila kemudian dari sidang pembaca untuk meminta kepada kedua orang tersebut, untuk lebih dalam kembali dalam menuliskannya.
Sebetulnya buku ini memiliki sebuah potensi yang lebih berimbang dan bergizi, saat tulisan yang disajikan bukan berasal dari kedua tokoh yang memiliki paham serupa. Seandainya buku ini mencoba untuk mendialogkan antara masing-masing penganutnya, saya rasa selain kita mendapat spektrum yang begitu luas dalam masalah ini. Tuduhan-tuduhan dari masing-masing pihak yang telah begitu melekat, bisa dijelaskan dengan masing-masing penganutnya melalui berbagai argumennya.
Kalaupun pada akhirnya kita tidak bersepakat akan sesuatu hal tersebut, setidaknya kita berusaha untuk tradisi intelektualisme untuk saling berdialog dan belajar tentang keyakinan kita ataupun yang lainnya. Kita tidak lagi hanya sebatas bermuara kepada kebenaran ataupun kesalahan. Tapi, apapun keyakinan kita akan sesuatu, sudah seharusnya melangsungkan kehidupan yang harmonis antar masing-masing individu ataupun kelompok perlu untuk dijunjung setingi-tingginya.
⭐"Orang suka lupa bahwa pemikiran-pemikiran yang berbeda memiliki apa yang oleh Wittgenstein disebut sebagai 'language game' (permainan bahasa) yang khas." - HB; halaman 39-40
"Ketika (Abu Hamid) al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), di dalamnya ada istilah falasifah, yang mencakup juga sains. Jadi, istilah 'falsafah' jangan dipahami dalam pengertian yang sekarang, karena pada zaman klasik, ilmu itu belum mencapai spesialisasi yang rumit seperti sekarang. - UAA; halaman 146
⭐"Sejalan dengan Feyerabend, Thomas Kuhn menunjukkan setiap aliran sains ditentukan oleh paradigma yang dipakai oleh saintis atau masyarakat ilmiah yang memperkenalkan suatu teori dalam sains. ...Maka, ringkasnya, harus dikatakan bahwa sains itu relatif juga." - HB; halaman 44
Berangkat dari titik pemikiran di atas, maka kita akan mampu mengerti latar belakang gagasan Richard Dawkins bahwa (keberadaan) Tuhan tidak masuk akal dan pandangan Harari tentang 'sesuatu yang tak terindrakan' sebagai 'fiksi' banyak dipengaruhi oleh paham empirisme.
"Jika sains bekerja dengan metode seperti itu (empirisme), bagaimana ia bisa sampai pada kesimpulan tentang tak adanya Tuhan. Padahal, kita tahu, Tuhan bukanlah entitas yang bisa dibuktikan 'ada' atau 'tidak ada' dengan memakai metode itu. Sebab, Tuhan bukanlah data empiris. - UAA; halaman 142
"...Tampaknya dengan itu semua (mengistilahkan 'fiksi', 'imagined realities', dan 'mitos'), Harari ingin menujuk semua hal yang tidak empiris alias tak terindrakan. ...di balik sihir kata-katanya, Harari di sekujur bukunya banyak melakukan sweeping generalization." - HB; halaman 57-58
⭐"Yang dikritik oleh orang-orang seperti (Abu Hamid) al-Ghazali bukanlah filsafat atau sains per se, melainkan 'asumsi-asumsi ideologis' yang bersembunyi di balik otoritas sains." - UAA; halaman 122-123
⭐ Membaca ini akan menyadarkan pembaca bahwa sains dan agama itu tidak pernah bermasalah satu sama lain. Manusia-lah yang bermasalah. Manusia (yang berlebihan) dalam beragama-lah yang bermasalah. Manusia (yang berlebihan) dalam bersains-lah yang bermasalah. Membaca ini juga akan menyadarkan pembaca untuk, ucap Pramoedya, 'bersikap adil sejak dalam pikiran'.
Sebuah karya dari seorang pemikir dan pemerhati agama. Buku ini memberikan sudut pandang yang mendalam secara ilmiah, dan juga dari para pemikir dunia yang memengaruhi perspektif dan paradigma agama dan sains. Asumsi bahwa secara otomatis tindakan beriman berarti meninggalkan sains, itu keliru. Iman bukan lawan dari pengetahuan. Karena, itu jangan pertentangankan agama dan sains. Buku ini disajikan dengan bahasa intelek sesuai dengan tuntutan kaum terdidik yang menghendaki suatu konstruksi agama yang rasional.
Namun tentunya, dengan tidak mengesampingkan pandangan beragama orang2 awam. Contoh sederhana, beragamanya para ibu kampung2 yang sederhana. Bahwasanya beragama tidak terkait sekadar titel pendidikan. Justru mereka mengajarkan beragama dengan kesederhanaan namun mendalam. Experience of individual men in their solitude kalau kata William James dalam karyanya The Varieties of Religious Experience. Beragama sebagai pengalaman personal dalam perjumpaan dengan Sang Illahi di ruang sunyi.