Sejak kecil, Karla merasa diperlakukan tidak adil oleh ibunya yang ia anggap misterius. Namun tak ada seorang pun dalam keluarga yang membelanya. Inilah yang membuat Karla tak mempunyai pilihan selain menjauh dari keluarganya. Berpuluh tahun sesudahnya, barulah satu demi satu rahasia itu mulai terkuak baginya—bukan hanya rahasia yang menggelayuti keluarganya, tetapi juga banyak manusia lainnya.
“Soe Tjen menceritakan kisah keluarga, terutama hubungan anak perempuan dan ibunya yang misterius, sekaligus membuka kisah yang lebih luas. Kita bisa melacak jejak tragedi negeri ini melalui kisah mereka yang tersembunyi, menguak kompleksitas dan kepahitan rasialisme, agama, bahkan kasta dalam masyarakat. Namun tak seperti novel-novel politik yang sibuk berteriak-teriak, ia tetap kisah manusia-manusia yang dipertalikan satu sama lain oleh kemanusiaan mereka—yang baik maupun biadab. Terakhir, saya menemukan sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan para penulis lelaki: kisah tentang rahim. Saya merasa dibawa untuk melihat, atau merasakan, sesuatu yang sangat perempuan.” — Eka Kurniawan, novelis, penulis Cantik Itu Luka
“Novel Soe Tjen Marching merupakan salah satu narasi penting tentang bagaimana perempuan, begitu juga gerakannya, dihancurkan dengan keji oleh militerisme di Indonesia. Berlatar sejarah, dengan detail yang belum pernah diungkap selama ini.” — Martin Aleida, sastrawan, penulis Tanah Air yang Hilang
“Novel ini adalah catatan tentang penindasan dan ketidakadilan yang tak terelakkan akibat identitas rasial, pilihan akan Tuhan, dan kepentingan politik. Pada akhirnya, kisah dalam novel ini kembali mengingatkan bahwa cara terbaik menghadapi segala luka dan trauma adalah mengingat dan mengisahkannya kembali dengan sepenuh kesadaran.” — Okky Madasari, novelis, penulis Entrok
Soe Tjen Marching (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 23 April 1971; umur 39 tahun) adalah seorang Indonesianis, penulis, dan feminis. Ia memperoleh gelar Ph.D.nya dari Universitas Monash, Australia dengan menulis disertasi tentang otobiografi dan buku harian perempuan-perempuan Indonesia. Ia telah diundang sebagai dosen tamu di berbagai Universitas di Australia, Britania dan Eropa.
Soe Tjen banyak menulis artikel di berbagai suratkabar Indonesia maupun asing, cerita pendek, dan juga membuat komposisi musik. Ia pernah memenangi beberapa kompetisi penulisan kreatif di Melbourne - Australia. Salah satu cerita pendeknya telah diterbitkan oleh Antipodes, sebuah jurnal sastra terkemuka di Amerika Serikat. Selain itu, ia juga seorang komponis penting di Indonesia, yang karya-karyanya telah dipagelarkan di Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Sebagai seorang komponis, ia pernah memenangi kompetisi tingkat nasional di Indonesia pada 1998. Sebuah komposisinya, "Kenang" (2001) diterbitkan sebagai bagian dari sebuah CD, "Asia Piano Avantgarde: Indonesia" yang dimainkan oleh pianis tersohor dari Jerman, Steffen Schleiermacher. CD ini telah beredar di Amerika dan Eropa. Pada Juni 2010, karya musiknya memenangkan kompetisi Internasional avant-garde yang diadakan di Singapura.
Novel Soe Tjen, berjudul Mati Bertahun yang Lalu, diterbitkan oleh Gramedia pada akhir tahun 2010. Novel ini diilhami oleh pengalaman pribadi Soe Tjen terjangkit kanker 3 kali.
Soe Tjen Marching juga sering bekerja sama dengan suaminya, Angus Nicholls, seorang peneliti sastra Jerman di Queen Mary University of London.
Karla tidak pernah cocok di mana pun. Di kampungnya, orang-orang tahu ia berdarah Tionghoa namun matanya bulat dan kulitnya hitam sehingga seringkali ia mendengar komentar, Cino kok ireng (Cina kok hitam). Untungnya di sekolah teman-teman Karla tidak pernah melihat kedua orang tuanya, sehingga teman-temannya mantap menunjuk, “Karla Jawa”, saat mereka mencoba mengelompokkan anak-anak berdasarkan rasnya.
Sayangnya di rumah, Karla tidak seberuntung itu. Ia merasa mamanya sangat pilih kasih, lebih dekat dengan kakaknya Katon yang memang sangat mirip dengan kedua orang tuanya; berkulit putih dan bermata sipit. Mereka bahkan terbiasa berbicara bahasa Mandarin di rumah sehingga Karla merasa dirinya sengaja tidak diajak dalam pembicaraan. Semakin dewasa, Karla semakin yakin kalau mamanya sendiri telah menciptakan neraka untuknya; ia tak hanya wanita yang pilih kasih dengan emosi yang labil dan meledak-ledak, tetapi juga suka mencela segala hal di sekitarnya, mulai dari orang-orang Jawa (yang disebutnya Huana dengan nada jijik), pemerintah, Hari Kartini, bahkan gereja dan pastornya. Lebih buruk lagi, ia juga mengambil segala hal yang disayangi Karla. Puncaknya saat Karla memperkenalkan kekasihnya Dirman, lelaki Jawa tulen yang berasal dari keluarga kaya raya. Mamanya menentang keras hubungan mereka, bahkan mengutuknya saat ia pergi meninggalkan rumah.
Baru 18 tahun kemudian, setelah mamanya meninggal, kebenaran tentang mamanya akhirnya terkuak. Masa lalu sedemikian kelam yang akhirnya menjustifikasi segala tindak-tanduknya di masa kecil Karla.
Aku tidak tahu bagaimana caranya menulis ulasan yang adil untuk buku ini. bagaimana cara menggambarkan diskriminasi menjijikkan yang dialami oleh Karla dan ibunya. Bagaimana cara menggambarkan perasaan si kecil Karla menghadapi ibu yang di matanya hanya menyinarkan kebencian terhadap dunia, bahkan terhadap putrinya sendiri. Bagaimana cara menggambarkan pengalaman ibu Karla, seorang perempuan Tionghoa yang dituduh terlibat dengan Gerwani dan G30S.
Buku ini penuh dengan kemarahan. Tapi bila seseorang mengalami ketidakadilan bertubi-tubi seperti yang dialami oleh Djing Fei alias Lydia Maria, apa yang bisa kauharapkan?
Aku bukan sales rep buku ini. Tapi Dari Dalam Kubur terlalu penting untuk dilewatkan. Semakin mendekati akhir, kau akan semakin terlarut, dan semakin tercengang, ngeri, marah, jijik, saat menyadari kalau kisah dalam buku ini ternyata adalah fakta, nyata adanya.
“Siapapun bisa jadi jahat dan berbuat keji, tapi jauh lebih gampang memusuhi etnis daripada kelakuan seseorang karena kelakuan yang keji itu sering kali bisa disembunyikan. Sedangkan warna kulit, mata sipit, rambut pirang, atau hidung mancung lebih gampang kelihatan.” – hal 238.
”Rasisme tidak diciptakan oleh warna kulit atau bangsa apa pun. Rasisme dan diskriminasi diciptakan dalam pikiran. Manusia bisa saja mendiskriminasi dengan istilah-istilah dan cerita-cerita baru. Mereka bisa menciptakan diskriminasi apa pun bila mau.” – hal 268.
“Pantes saja setelah Putri Salju diciptakan, muncullah Cinderella, si upik abu yang kerjanya bersih-bersih rumah. Rupanya, perempuan selembut salju dan bermental babulah yang diharapkan begitu banyak pria. Setelah diperbudak, kalau bisa mereka juga bersedia diam seribu bahasa seperti Putri Tidur.” – hal 275.
“Pada waktu yang hampir sama, saya melihat darah menggenang dari kamar interogasi lain. Seorang ibu menggeletak dipandang anaknya yang masih berumur delapan atau sembilan tahun. Sipir tambun yang berada di dekatnya segera memerintahkan sang anak untuk ngepel darah tersebut. Gadis cilik itu manut, dengan khidmat, tangannya yang mungil menyeka darah ibunya pakai kain pel lalu sekonyong-konyong dibenamkan wajahnya ke dalam darah itu sambil menangis tersedu-sedu. Pesta berlanjut, dengan tawa-tawa mereka, lagu yang berdentum keras, mereka sedang merayakan penjarahan atas tubuh kita. Allah ndak menjaga kami di sini.” – hal 287.
“Inilah penjajahan yang sempurna, ketika sang budak jadi bahagia sebagai budak, dan bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa dan raga mereka.” – hal 341.
“Ndak ada gunanya kesadaran kalau kita ndak mampu lepas dari kekejian. Malahan cuma nambahi derita dan siksa. Mungkin orang menjadi gila bukan karena mereka sudah tak lagi waras, tetapi karena mereka terlalu sadar atau jauh lebih sadar daripada orang waras.” – hal 344.
"Mungkin karena itulah manusia-manusia di sini ogah mbaca. Bukan saja karena kegoblokan dan kemalasan tapi juga mungkin tanpa sadar hal inilah yang melindungi diri mereka. Sekarang, pengin sekali saya melupakan buku-buku yang sudah telanjur saya baca, yang cuma bikin saya tambah menderita. Waktu ketemu sama orang-orang dungu itu, saya jadi iri. Mereka bisa terus hidup tenteram bahagia tanpa mikir terlalu dalam.” – hal 345.
“Kedamaian yang dinikmati selama ini sebenarnya adalah sebuah pengkhianatan: pengkhianatan terhadap sejarah Mama, terhadap berbagai ketidakadilan yang terjadi pada jutaan jiwa, terhadap kebenaran.” – hal 501.
Dari Dalam Kubur, buku yang ditulis oleh Soe Tjen Marching ini berhasil menyita berhatianku sehari kemarin, bagaimana tidak aku dibuat tidak berhenti membaca setiap halamannya yang semakin kesini semakin menarik.
Sudut pandang dalam buku ini digunakan oleh dua tokoh yaitu Karla dan Lydia Maria ibu dari Karla. Sejujurnya pada halaman awal yang adalah POV Karla aku membaca dengan sangat tertatih, bagaimana tidak, aku disuguhkan dengan konflik batin tokoh Karla yang cukup beracun dan sangat penuh dengan kemarahan. Ditambah bagian dialog yang sangat minim, membuat POV Karla semakin membuat aku kelelahan. Tapi toh tetap aku selesaikan juga membacanya, karena walaupun beracun dan tertatih aku masih menikmati diksi dan cara penulis bercerita.
POV kedua sepertinya penyegaran dari bagian awal tadi, mulai dari sini saya udah gak bisa berhenti baca, karena pada bagian ini semua rahasia terungkap, dan bagaimana catatan tokoh Djing Fei mampu meremukan hati saya karena pengalaman pilunya selama menjadi tahanan '65 yang dituduh menjadi anggota Gerwani.
Lalu bagaimana chemistry hubungan keluarga antara Ibu, Ayah, Kakak, Adik, aku sangat merasakan kesesakan dalam rumah itu, kedinginan hati yang dirasakan satu sama lain, kekelaman yang perlahan tapi pasti menyebar ke dalam hati setiap tokohnya. Membeku menjadi racun bagi diri mereka sendiri dan orang-orang terdekat.
Aku suka buku ini karena apa adanya, saking apa adanya aku justru merasa terlalu blak-blakan dan agak mengganggu, semisal bagaimana seorang tokoh yang dipanggil berdasarkan keadaan fisiknya. Bu Bopeng, dipanggil seperti itu karena memiliki muka bopeng. Si Muka Babi, dipanggil seperti itu karena mukanya mirip hewan babi. Dan ada banyak sebutan lainnya yang cukup membuat aku kurang nyaman. Mungkin bisa dibilang ini racun yang dikeluarkan oleh tokoh kepada orang-orang sekitar mereka.
Jangan ditanya tentu saja buku ini juga banyak sekali megandung kritik dan juga ketidak setujuan terhadap orde baru yang diucapkan secara blak-blakan dan apa adanya.
Buku ini cukup kelam aku rasa, dari awal kekelaman terasa di hati para tokohnya, ada di dalam rumah mereka, ada dipikiran mereka, banyak juga bagian-bagian yang tidak terduga yang membuat aku harus berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran-pikiran liarku. Selain bermuatan sejarah, buku ini juga mengandung isu rasisme, sosial masyarakat dan agama, diskriminasi dan intimidasi yang sangat kental,
Pada akhirnya buku ini memang menyimpan banyak kejutan yang tidak terduga. Yang awalnya aku dibuat kesal dan sebal dengan suatu tokoh, namun kemudian perlahan diajak untuk memahami bagaimana tokoh tersebut tumbuh atau apa yang telah terjadi terhadap si tohoh sehingga dia seperti itu dan muncul pemahaman walaupun tetap tidak membenarkan.
Selain itu penulis sesekali menisipkan dark comedy dalam ceritanya, ya jelas aku dibuat tertawa tapi tertawa yang didampingi dengan ironi.
Jangan senang dulu, karena pada bagian akhirpun kalian masih akan diberikan kejutan-kejutan lain, aku yang berpikir penyelesaian cerita ini sudah mencapai final tapi ternyata penulis mementahkan lagi bagian tersebut. Aku dibuat bingung sejujurnya.
Aku menangis pada bagian akhir buku ini ketika cerita mulai masuk bagian Katon dan mulai banyak menyebut nama Ira. Hingga akhirpun aku tetap merasa kebekuan hati yang kuat dalam diri Katon, sedikit mencair karena kehadiran Ira. Dan melalui Ira lah Katon menemukan Soe Tjen Marching, ini lucu.
Terakhir, bagi siapapun yang menyukai fiksi sejarah terutama berlatar tahun 1965 aku rekomendasikan buku ini. menurutku buku ini bisa menjadi refrensi yang bagus.
Udah gak heran lagii kenapa buku inii cepet bgttt sold out-nyaaa!!! Karena emang keren bgt bgt bgt!!
Kirain bakal jadi buku yang "berat" sampe perlu dibaca berkali-kali tiap kalimat buat paham isinya, tapi ternyataa enggak samsek... Karena buku ini berisi 3 pov, jadi kita kaya lagi dengerin mereka cerita tentang satu peristiwa tapi dari 3 pov yang berbeda. ADUH KEREN BGT DEH!
Pas awal baca, jujur juga ikut gak paham dan kesel sama tingkah Mamah tapi ternyata aduh gatau lagi deh.
Buku ini adalah salah satu gambaran dari twit yang bilang kalo "semuanya emg salah pemerenta". Kadang mau perbuatan salah satu tokoh, tapi ya dibikin paham si kenapa blio berbuat seperti itu. Karena apa? yak betul salah pemerenta....
Adegan-adegan yang terjadi selama di tahanan bener-bener bikin ngeri, mual, takut... aduh emg gilaaaaaa
I mean, I knew when I decided to buy this book, it would talk about 1965 issues.
Dari novel ini, saya memahami lebih dalam lagi kecinaan saya, mengapa orang-orang Indonesia membenci orang cina, mengapa orang-orang Indonesia ini terobsesi untuk beragama dan kepo dengan agama orang lain. Apa yang tampak seringkali tidak sama dengan realita.
Perlu lebih banyak orang-orang Indonesia yang membaca buku-buku seperti buku ini. Mereka perlu tahu lebih dari yang sudah diajarkan di sekolah. Orang-orang Indonesia ini perlu tahu bahwa hari ini dibentuk salah satunya yang terbesar adalah dari sejarah panjang yang berdarah, manipulatif dan enggan untuk diingat.
"Karena jadi tua itu sama saja dengan jadi eling kalau hidup itu hakikatnya kumpulan dari kegagalan." - Soe Tjen Marching dalam "Dari Dalam Kubur"
Dalam opininya yang diterbitkan di harian The Jakarta Post, edisi 29 September, Soe Tjen Marching menuliskan bahwa banyak wanita yang dipenjara, disiksa, dan diperkosa setelah tragedi 1965 karena mereka dituduh sebagai Gerwani. Seakan itu saja tidak cukup, wanita-wanita ini harus menanggung luka mereka sendiri karena bercerita tentang apa yang terjadi bisa mengundang stigma dan rasa malu yang lebih dalam.
Djing Fei, yang kemudian harus berganti nama menjadi Lydia, menyembunyikan apa yang terjadi padanya setelah peristiwa 65 terjadi dari anak bungsunya sendiri, Karla. Rahasia yang dipendam selama bertahun-tahun menjadi duri dalam daging dalam hubungan mereka, menimbulkan rasa tidak percaya dan kebencian dari satu sama lain.
"Dari Dalam Kubur" bercerita tentang bagaimana ketidakadilan terjadi ketika orang-orang abai terhadap nasib orang lain. Menurutkan kisah keluarga Tionghoa di Jawa Timur, buku ini membahas soal kompleksitas sebuah identitas dan apa dampak kejadian 65 pada generasi-generasi berikutnya, dan mengapa kita harus mulai membicarakan apa yang sebenarnya terjadi. Bicara soal masa lampau bukan cuma menguak luka lama, tapi juga memberikannya kesempatan untuk akhirnya perlahan sembuh.
Yang menarik dari buku ini adalah pandangannya soal kaum Tionghoa di Indonesia. Perseteruan dan cek-cok antar keluarga dalam buku menunjukkan bahwa tidak ada kaum Tionghoa yang homogen, bahwa dalam satu kelompok yang sering disamaratakan pun, ada perbedaan-perbedaan yang sangat jauh, dari segi agama maupun kelas sosial-ekonomi. Saya rasa ini bagian yang penting untuk membongkar mitos soal orang keturunan China di Indonesia, yang meski sudah bergenerasi-generasi ada di sini, tetap sering dianggap sebagai asing.
Lewat deskripsi mendetail soal tragedi 65 pula penulis menjabarkan soal bagaimana kekejian berlangsung, dan kemudian dianggap normal dan mulai dijustifikasi oleh banyak orang, termasuk oleh mereka yang sebenarnya pun bisa menjadi korban.
Saya merasa buku ini ditulis dengan penuh kemarahan, dan wajar karena memang banyak sekali hal-hal dalam sejarah Indonesia yang membuat saya juga ingin marah. Soe Tjen Marching menguak apa yang terjadi secara detail, juga menjabarkan argumen-argumennya soal banyak hal. Tapi yang terpenting adalah pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan lewat cerita dalam buku ini: Mengapa kita diam, saat ketidakadilan terjadi, dan juga saat itu sudah menjadi sejarah yang terpendam?
Baca buku ini saya jadi semakin membenci yg namanya Suharto. Gara-gara Suharto Lydia Maria, Karla jadi saling membenci. Dan berakhir teragis. Sampai mati kedua tetap tak bisa saling memahami.
Akan sangat tidak layak kalau aku menulis review buku ini dalam Bahasa Inggris. Bahkan dengan Bahasa Indonesia pun rasanya aku tidak akan mampu menggambarkan seutuhnya pengalaman luar biasa saat membaca buku ini.
Dari Dalam Kubur, sebuah novel fiksi sejarah yang mengajak pembaca untuk masuk ke dalam kepala Karla dan juga mamanya. keluarga Tionghoa beragama Katolik yang tinggal di Surabaya. Kita akan diajak untuk menjadi bagian dari keluarga ini mulai dari masa kolonial sampai masa pasca-reformasi. Fokus utama ceritanya adalah gimana keluarga ini bisa merespon trauma yang mereka alami setelah genosida 1965.
Ceritanya dibangun dengan sangat sangat berfokus pada karakter-karakternya, bukan plot semata. Meski berlatar banyak sekali kejadian penting di Indonesia, Soe Tjen Marching ga sama sekali kehilangan fokus terhadap tokoh-tokohnya. Dia tetep mengajak kita untuk merasakan apa yang tokohnya rasakan dan memikirkan apa yang tokohnya pikirkan. Ini yang aku rasa sering kita lewatkan dari mempelajari sejarah, para pelakunya. Sering kali kita berfokus pada gambaran besar suatu kejadian tapi lupa kalau sejarah itu dibentuk oleh manusia yang banyak ini, yang punya perasaan dan pengalaman sendiri-sendiri. Dan buku ini berhasil membawa cara pandang yang sering terlewatkan ini.
Setiap karakter yang ada di dalam cerita di buku ini juga dibangun dengan sangat baik dan realistis. Ga ada karakter yang ga punya sifat buruk. Ga ada karakter yang ga punya sifat yang membuat kita berempati dengan mereka. Semua karakter punya kompleksitas masing-masing. Seperti manusia di dunia nyata.
Kisah ini juga sangat berokus pada pengalaman perempuan dan bagaimana perempuan diperlakukan oleh masyarakat, sistem yang bobrok dan menindas. Akan banyak sekali perspektif baru yang didapat soal perempuan setelah membaca buku ini. Salah satu yang begitu membuatku terkejut adalah soal kelahiran dan menjadi ibu.
Sangat disayangkan aku baru baca buku sebagus ini sekarang. Cara penceritaan di buku ini sangat bagus. Sebagai slow reader, buku setebal lebih dari 500 halaman ini terasa enteng banget.
Pokoknya semua orang harus tau san baca buku ini. Jangan mau dibodoh-bodohi oleh para despot!
(Mungkin sebenarnya jumlah yang tepat adalah 3.5 bintang. Saya menghabiskan waktu cukup lama untuk overthinking apakah saya kasih 3 atau 4, saya coba lihat bintang yang saya kasih untuk buku-buku sebelum buku ini, dan malah jadi semakin bingung LOL, "Kenapa ini saya kasih 4 dan bukan 5? Kenapa itu 2 dan bukan 3?" jadi daripada nggak kelar-kelar, akhirnya saya putuskan dengan kesadaran saya yang pada momen ini. Mungkin saya akan menyesalinya nanti.)
Saya suka pembukaannya, "Kisah ini bukan fiktif belaka. Nama tokoh, tempat, dan peristiwa bahkan lebih nyata dari segala kisah nyata." Keren. Lalu, Eka Kurniawan bilang bahwa novel ini "tak seperti novel-novel politik yang sibuk berteriak-teriak, ia tetap kisah-kisah manusia yang dipertalikan satu sama lain oleh kemanusiaan mereka." Ada yang nggak saya pahami dalam pendapatnya itu karena saya nggak tahu bagaimana teriakan dalam novel-novel politik, tapi novel ini sangat sangat penuh dengan teriakan. Teriakan Karla. Teriakan Mama.
Seringkali teriakan itu bikin saya capek, dan sedih, terutama pada kejadian yang saya ngerti apa, tapi Karla yang masih bocah ini nggak ngerti apa dan terus teriak-teriak saja. Waktu Karla membenamkan bayi-bayi anjing ke bak mandi. Waktu Karla mengedarkan KTP bercap ekstapol ke semua tamu undangan dengan tujuan agar lekas balik ke pemiliknya. Waktu Karla memeluk Rubi, anjing yang kulitnya mengelupas, penuh lalat, borok, darah, lubang, dan berbau busuk padahal sudah dikhawatirkan bisa-bisa menular ke manusia. Waktu Karla membocorkan informasi ke Romo Justin. Karla tentu saja nggak tahu apa dampak besar dari yang dia lakukan, tapi itu nggak lekas membuat emosi saya surut karena saya rasanya pengin banget nempleng dia.
Saya mengingat beberapa poin dalam sudut pandang Karla karena mengharapkan twist di sudut pandang Mama, tapi ternyata nggak banyak hal yang bikin puas. Mama ternyata nggak tahu kalau Sumi dijodohkan paksa di kampungnya, dan nggak ada pembelaan dari Mama soal Sumi yang menangis-nangis nggak mau pulang. Mama ternyata nggak tahu kalau Karla nggak suka baju yang disewanya saat Kartini makanya dia menyewakan lagi tahun depan. Di sudut pandang Mama, nggak ada Mama yang selalu membentak, Mama yang dikit-dikit main pukul, Mama yang pelit bukan main. Saya menunggu-nunggu cerita soal Mama dan Karla yang saling ngobrol menjelang kenaikan kelas Karla, tapi itu nggak ada. Padahal menurut saya, itu momen paling manis antara mereka yang diceritakan oleh Karla.
Saya bingung kenapa Mama nggak tahu puisi kemerdekaan dari Karla itu bikinannya siapa. Masa nggak tanya, "Ini siapa yang nulis?" atau masa Karla nggak bilang, "Ini Karla yang bikin puisinya!" bahkan sekadar disebutkan dalam kartu ucapan, "Ini puisi bikinan Karla, semoga suka," atau masa nggak bisa menarik kesimpulan ke arah sana dan berpikir kalau Karla sungguhan menghadiahi puisi acak entah siapa yang bikin?
Di sudut pandang Karla, Mama jahaaaat banget. Di sudut pandang Mama, Mama baik banget. Mungkin memang disengaja begitu, kali ya? Tapi kayak ada yang kurang. Saya soalnya suka sekali dengan paralel dalam cerita (meskipun alih-alih paralel sebenarnya adalah pergantian sudut pandang sih, tapi ya saya tetep suka), dan nggak merasa itu diberikan dengan baik di sini. Yang jelas bagi saya adalah waktu Karla mengedarkan KTP temuannya ke tiap tamu undangan, dan Mama, dalam sudut pandangnya, menganggap KTP itu malah Karla mainin dulu.
Lalu Karla bunuh diri. Kesal sekali. Haduh. Saya bersimpati pada kisahnya dengan Maya, tapi susah sekali menyukai dia. Dan ngomong-ngomong, twist kalau Karla dan Dirman itu saudara benar-benar baguuuus! XD (Harusnya nggak usah di-twist lagi.)
Mengenai narasi dan pesan sejarah yang ingin disampaikan dan dikuak, itu sangat bikin saya kehilangan kata-kata. Sangat speechless hingga saya malah nggak memberikan porsi apresiasi pada hal ini dengan betul di sini. XD Saya sangat suka belajar sejarah dan membaca apa yang dilakukan negara terhadap korban '65 begitu kejam, menyedihkan. Ketidakadilan pada orang beretnis Cina, perampasan rumah-rumah orang Belanda oleh orang-orang pribumi yang merasa berhak mengklaim kepemilikan, orang-orang dalam organisasi PKI yang diculik dan disiksa ... perih dan pedih membacanya.
Kutipan-kutipan yang saya suka: 1. Manusia merasa mulia dengan berbuat keji pada orang lain. 2. Tidak ada gunanya kesadaran apabila tidak bisa membuatmu lepas dari kekejian. 3. Setelah Mama divonis mati, Papa divonis hidup.
Dan tentu kutipan di pembatas buku ini soal penjajahan yang sempurna, mengingatkan saya pada perbudakan yang diceritakan dalam To Kill A Mockingbird. Oh ya, karena ini cetakan pertama, ada beberapa kesalahan pengetikan dalam buku ini yang bisa diperbaiki di cetakan-cetakan berikutnya.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Membaca Dari Dalam Kubur sebenarnya semakin menguatkan opini yang banyak beredar, bahwa sejarah hanya kepunyaan yang menangnya lama. Tapi di sisi lain, menunjukkan kalau yang kalah juga punya hak yang sama untuk bersuara, walaupun ironinya, harus di bawah tekanan selama bertahun-tahun.
Terbiasa membaca korban dari sudut laki-laki yang cenderung mengedepankan logika, buku ini memang terasa beda. Bisa jadi karena nyaris seluruh cerita diangkat dari sudut pandang perempuan. Segala bentuk perasaan tumpah di sini. Rendah diri, perasaan tak berharga, malu, serba salah, dan perasaan depresi lainnya, jauh lebih terasa. Metafora juga bertebaran di mana-mana. Kadang menguatkan perasaan terbuang, kadang juga membosankan karena terlalu jauh melebar ke mana-mana. Dibandingkan buku Ita F. Nadia, tingkat penggambaran kekerasan di buku ini cenderung "main aman".
Suka cara penulis membuka satu demi satu sudut pandang dari masing-masing tokoh, walaupun berharap Han bisa punya porsi lebih banyak. Tapi dengan kecurigaan pribadi kalau ini cerita nyata, cukup bisa memaklumi kecenderungan rasa bingung harus mulai bercerita dari mana, pasca dipaksa bungkam sekian lamanya.
Cerita ini "hanya" sekelumit dari tragedi 65 yang berani diungkap. Tragedi yang membuktikan kalau yang jadi korban bukan cuma tokoh utama, tapi juga orang terdekat, bahkan keturunannya, hingga saat ini.
Kisah ini diawali oleh Karla yang sangat membenci ibunya. Terlahir sebagai china ireng di tengah situasi rasisme Chindo dan krisis moneter, membuat Karla mempertanyakan jati dirinya. Ia frustrasi pada sikap sang mama. Kenapa mamanya bersikap keras padanya tapi tidak pada kakaknya? Ia dilarang melakukan banyak hal termasuk memakai kebaya saat hari Kartini. Bagiamana ia dihina hanya karena keturunan China. Perlakuan rasis dari berbagai manusia ini, semakin membuatnya membenci sang ibu.
Berkat suruhan sang suami, akhirnya Karla mau untuk mengunjungi ibunya yang sakit. Saat itulah ia bertemu Wulan yang sedang melakukan penelitian. Tapi yang membuat Karla bingung, untuk apa Wulan menyelidiki masa lalu sang mama? Bahkan mengorek sejarah keluarganya. Melalui Wulan, Karla berhasil membongkar sejarah kelam mamanya sejak masa kolonial Belanda sampai saat ini. Apa yang sebenarnya mama Karla alami sepanjang sejarah? Apa yang selama ini ia tutupi? Dan siapakah sebenarnya keluarga mereka? Karla? Bahkan Karla bertanya-tanya tentang suaminya sendiri.
( ◜‿◝ )♡
Shock berat 😱 Awal baca cerita ini memang terkesan slow pace, dan aku hampir aja menutup kisah Karla karena merasa intro Karla ini terlalu panjang. Saat itu aku belum menangkap mau dibawa kemana kisah Karla ini, yang cuma menceritakan kehidupan dia dan permasalahan kebenciannya sama ibunya. Tapi begitu ada pemantik dokumen rahasia yang disembunyikan mamanya lewat Wulan, cerita jadi menarik banget. POV berubah menegangkan saat berganti ke sudut pandang mama Karla alias Lidya. Saat inilah segala peristiwa sejarah terungkap. Bagaimana kondisi saat kolonial Belanda saat itu,fakta di balik film G30SPKI, Gerwani, dan sejarah sepanjang tahun-tahun tersebut.
Dan yang bikin shock bangeet adalah ending yang super plot twist. Bagaimana sajian fakta itu menarik benang merah dari awal cerita sampai akhir. Bukan hanya diceritakan dari sudut pandang Karla dan mamanya saja, tapi juga sudut pandang Katon sebagai kakak Karla yang sejak awal tahu semua sejarah keluarga mereka.
Buku terbaik yang kubaca tahun ini! Sebelum buku ini ada dua buku yang secara bergantian mengisi urutan pertama: Mimi Lemon dan Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu. Buku setebal 500 halaman ini menggeser dua buku itu dan menjadi buku yang mengobati reading slumpku (i rarely read thick book)
Menurutku buku ini penting dibaca oleh seluruh orang yang ingin tahu tentang ‘65. Aku merasa begitu bersyukur buku ini bisa diterbitkan dan bisa dibaca banyak orang. Buku inilah menurutku perwujudan paling baik dari bagaimana seharusnya fiksi historis ditulis: menampik dan melawan versi sejarah yang ditetapkan oleh penguasa. Menawarkan sejarah yang hilang dan dihilangkan di buku-buku sejarah.
Novel ini adalah salah satu buku yang bikin saya makin 'sakit kepala' setiap baca dari bab satu ke bab selanjutnya. Saking bikin 'kepala sakit', saya sampai gusar dan ndumel-ndumel sendiri—apalagi di bab-bab awal tuh dibuat bingung "ini arahnya mau kemana, sih?"
Singkatnya, buku ini mengisahkan kehidupan seorang 'Cina' sekaligus 'Eks-Tapol' dari dua sudut pandang yang berbeda; Djing Fei (sang penyintas) dan Karla (anak seorang penyintas) yang dibuat kebingungan dengan identitas dan semua rahasia yang selama ini ditutupi dari dirinya.
Cerita dibuka dari Karla yang sejak kecil merasa berbeda dan sering kali dikucilkan di kalangan keluarganya yang Tionghoa. Karla yang berbeda dari segi fisik (berkulit gelap, bermata belo, berambut ikal) selalu merasakan ketidakadilan dan muncul pemberontakan di dalam dirinya. Kebencian lama-lama tumbuh seiring bertambahnya usia, terutama kepada sang Ibu (Djing Fei) yang selalu memberikan perlakuan berbeda antara dirinya dengan sang kakak—Katon.
Yang tidak pernah Karla tahu, Ibu yang dibenci sekaligus ingin sekali ia lenyapkan justru adalah orang yang sangat menyayangi dirinya. Dengan segala masa lalu yang ingin ia tutupi rapat-rapat, Djing Fei ingin Karla hidup menjadi 'manusia normal'. Karena keinginan itulah yang membuat jurang pemisah di antara keduanya; bahkan sampai akhir hayat kesalahpahaman itu berlangsung tanpa pernah terurai.
Menjadi 'Cina' di negeri ini tidak pernah mudah; kalau tidak dituding sebagai PKI ya dipersalahkan atas segala bala dan kesialan yang terjadi. Orang-orang yang tidak bersalah tersebut jadi kambing hitam oleh segelintir orang yang haus, yang duduk di tampuk-tampuk kekuasaan demi melegitimasi kekuatannya. Karena segelintir orang ini justru memelihara kebodohan, memutar fakta, dan menebar kebohongan.
Jujur saja, setiap baca bab demi bab, saya dibuat ngeri; tidak habis pikir dengan sejarah gelap yang pernah terjadi di negeri kita tercinta. Perasaan saya disilet-silet, dan kengerian itu bahkan tidak sanggup saya imajinasikan lebih jauh. Lebih daripada itu, sampai sekarang keadilan itu nihil. Semua lenyap, menguap, soalah itu masa lalu yang tak perlu diungkit-ungkit lagi.
Saya mengerti kenapa tiba-tiba buku ini jadi ramai dan sempat sulit untuk didapat. Menurut saya, selagi kamu bisa membaca buku ini, bacalah! Biar fakta itu menggema, dan kebenaran mencari jalannya.
Cerita pada novel ini disajikan melalui narasi orang pertama beberapa tokohnya, jadi rasanya seperti menyelami langsung kisah si tokoh. Novel ini memberikan perspektif baru buat saya mengenai kehidupan WNI keturunan Tionghoa yang hidup pasca kemerdekaan hingga masa orde baru. Sewaktu sekolah dulu, buku-buku sejarah menceritakan bahwa pada masa kolonial, pemerintah membagi masyarakat menjadi tiga, di strata pertama orang kulit putih, kedua warga keturunan (termasuk arab dan tionghoa), dan ketiga pribumi. Ternyata walaupun berada di strata kedua, hidup warga keturunan ini bukan penuh hak istimewa, misalnya segregasi menyebabkan pasangan terpisah dan pemerintah kolonial sukses mengadu domba antara warga keturunan dan warga pribumi. Sementara pada masa orde baru, hidup warga keturunan Tionghoa ini tidak kalah sulit, semua yang berbau Tionghoa disamakan dengan PKI. Bahkan agama warga keturunan ini pun diidentikkan dengan komunisme, sehingga mereka harus meninggalkan agama mereka dan memilih 5 (lima) agama yang diakui pemerintah Orde Baru.
Novel ini bisa menjadi rujukan bagi yang ingin mengetahui kisah warga keturunan Tionghoa khususnya pada masa Orde Baru. Tapi, ada bagian dimana novel ini menjadi terlalu judgemental. Jangan juga berharap tidak merasakan bias pada novel ini, karena penulis adalah seorang warga keturunan Tionghoa yang orang tuanya juga dituduh PKI pada masa Orde Baru. Tapi mungkin juga ini memang sengaja terkesan bias karena novel ini semacam "memoir" dari korban Orde Baru.
Ini bukan lagi roller coaster emotions, ini pendulum 360° emotions! Rasa marah, sedih, prihatin, senang (sedikit) diombang-ambing, diputar, dihempas tanpa ampun dalam 509 halaman.
Dari Dalam Kubur adalah novel tentang ’65 yang paling mendetail bagi saya. Di novel ini suara korban terdengar lantang menguak ketidakadilan, dan membuka kembali peristiwa kelam masa lalu. Fakta-fakta yang melebur dengan fiksi menambah gambaran betapa korban memiliki trauma yang membekas begitu dalam. Pembeda dari kisah ’65 lainnya adalah tokoh sentral novel ini berasal dari keluarga etnis Tionghoa. Tentu saja, konfliknya tidak sekedar peristiwa ’65, tetapi juga bagaimana mereka bertahan sebagai etnis minoritas.
Membaca Dari Dalam Kubur adalah pengalaman yang sungguh nikmat. Saya sangat menyukai nada marah penulis. Benar-benar terasa dari dalam hati korban: mempertanyakan kedamaian yang melenakan, menggugat negara yang masih berhutang penjelasan. Kenikmatan membaca itu berlapis lagi karena tempat cerita ada di Surabaya. Nama-nama gedung, jalan, dialek, dan kebiasaan para tokohnya begitu akrab dengan saya sehingga kisah ini bagaikan hidup.
Kalaupun ada yang saya kritik, itu adalah sikap Karla. Saya agak mempertanyakan sikap Karla yang suatu waktu menghujat Tuhan, tapi di lain waktu ia memohon perlindungan. Manusiawi memang, tapi ketidakkonsistenan itu sedikit membingungkan.
“…betapa kedamaian itu bisa tercapai karena ketidakpedulian” hal. 501
aku suka bahasanya yang lugas tanpa pretensi. di beberapa bagian terasa dia larut dengan kemarahan. di bagian lain dia menceritakan detil-detil kekerasan dengan gamblang, bukan untuk diromantisasi dan bukan untuk dieksotisasi, tapi untuk mengilustrasikan betapa menjijikkannya ketakutan+imajinasi+kekuasaan yang patriarkal dan rasis. di bagian lain humornya muncul lewat pembahasan berkepanjangan soal budaya pop yang mempengaruhi tokoh-tokohnya. lalu ketika cerita sampai pada revelation paling akhir kita dibuat berderai air mata. buku ini sesuai dengan pernyataan kak soe tjen marching di salah satu wawancaranya, fiksi bisa lebih nyata daripada kenyataan. ketika kekerasan sistematik dapat berlangsung melalui jalur kebudayaan, maka cara yang paling jitu adalah melawannya balik pakai produk kebudayaan juga.
This book should be in the list of generational books.
And what makes this book feel like a generational read is how it opens up space for conversations between generations. Whether your family was directly affected by what happened in 1965, or it was something that was never really talked about at home, or even mentioned in school, this book speaks about that silence head-on. It doesn’t hold back from questioning things like nationalism, religion, and even the idea of motherhood. After reading this I've realized that just telling this story is already a powerful act of resistance. It dares to speak, to write, and to remember. If you’re looking for a book that doesn’t sugarcoat the dark parts of Indonesia’s history, but still honors the strength of those who had to live through it, this book is definitely one to pick up.
Menyoal warna kulit dan liang vagina; rupa pembungkaman berkelaluan. Langsung merangsek jadi top favorit dari sekian novel sejarah yang telah saya baca --menggeser Cantik Itu Luka, Bumi Manusia, dan Laut Bercerita. Meskipun alur terkesan lambat, terlampau banyak ungkapan yang relate dan menampar. Djing Fei telah memperlihatkan bahwa dari dalam kubur, dirinya mampu mewariskan semangat Harriet Tubman dalam memperjuangkan kaum marginal.
Banyak kata luar biasa yang kupikirkan untuk mendeskripsikan buku ini, namun kurasa tidak ada yang begitu pantas kurancang untuk menggambarkannya karena ini lebih dari luar biasa! mungkin terlalu berlebihan, tapi memang bagusnya buku ini berlebihan. Beres baca ini rasanya kayak seisi dunia kosong, semua hal yang aku tau dibalut kebohongan.... Hal-hal yang ditulis disini entah itu nyata atau sebenarnya memang nyata tak bisa aku bayangkan:( Aku semakin mempercayai bahwa fiksi lebih bisa lebih nyata dari apapun Banyak hal yang pengen dibahas dari ini buku taoi saking banyaknya aku gatau harus mulai darimana. Trauma, kekejaman negara, sistem politik sialan, hubungan keluarga yang beracun, dan bahkan fakta-fakta terselip dalam seluruh cerita. Sepertinya bu soe tjen menulis ini memang untuk memberitahu kita bahwasanya fakta memang mati di dunia kita, kita memuja dan menjunjung kebohongan lebih baik dari siapapun, kekejaman terhadap perempuan menjadi hal lumrah, jiwa manusia hanya angka semata. Seluruh aspek yang ditulis dalam berbagai metafora unik sangat amat patut di diskusikan, dibahas lebih dalam dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia!! Pertama, menurutku penggambaran keperempuanan disini diulik sangat amat dalam, sehingga kukira tulisan tulisan disini memang mengurai semua hal tentangku sebagai perempuan, terutama hubungan antara ibu dan anak perempuan. Trauma yang diwariskan seorang ibu kepada anak perempuanya diterima lebih dalam dan mentah, dimuntahkan lewat dendam tak terucap. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang selalu terngiang dalam kepalaku ditulis begitu tepat dalam paragraf di buku ini "Mengapa mereka selalu menggambarkan perempuan yang indah? Mengapa banyak lagu dan puisi tentang perempuan tetapi tidak tentang pria?" Tak hanya dikotak-kotakan dalam hal gender, akan tetapi juga warna kulit, asal daerah, ekonomi dan masih banyak lagi. Mengapa untuk hidup pun manusia harus dibeda-bedakan, padahal kita hanya seongok daging yang sama-sama berdarah jika di tusuk pisau. Lalu judul yang menyeramkan memang ternyata menggambarkan peristiwa-peristiwa horror nyata yang terselip di latar belakang cerita buku ini. Begitu manusia bisa bermanfaat dan berjuang bahkan hingga di dalam kubur, tapi manusia-manusia lainnya berusaha menginjak-injak kebenaran agar tetap terkubur. Ini juga membuatku bertanya-tanya soal eksistensiku sebagai manusia yang lahir di tanah ini yang menumbulkan kesimpulan bahwa, bahkan sampai saat ini negaraku tidak pernah baik baik saja, semua kabahagiaan dan hal indah itu cuma ilusi. Kebohongan berupa imajinasi yang dipaksakan masuk kedalam kepala kita. Aku juga sudah menyimak memoar Mia Bustam. Dari Penjara ke Penjara. Buku keduanya yang menceritakan pengalamannya sebagai tahanan politik. Bertahan hidup di penjara. Akan tetapi saat kubaca buku ini, ini lebih dari itu, setiap paragraf hidup menari-nari dan menyayat hatiku. Ironi-ironi kegetiran hidup yang dibelenggu sistem dan pengaruhnya pada setiap individu bahkan hingga hal kecil seperti butiran tanah semuanya terdampak. Peristiwa berdarah yang sengaja diciptakan manusia agar dilihat dianggap paling kuat dan mencabik bahkan membodohkan pihak yang dianggap lemah atas nama kepercayaan dan kasih sayang, bahkan sebenarnya apa itu kasih sayang?
tulisanku mungkin terlalu acak tapi intinya kalau suka buku ini mari baca metode jakarta dari om vincent dan memoar-memoar dari ibu Mia Bustam!!
Hal yang terjadi pada negara kita dulu ataupun kini ternyata lebij besar dari apa yang dikira dan dampaknya lebih dalam dan mengakar pada setiap aspek dalam hidup sehari-hari kita
Buku 'Dari Dalam kubur' Sebenarnya dibagi menjadi 5 bagian yang mana sebagian besar nanti lebih banyak membagi kisah antara sudut pandang Karla dan Mamanya. Sebenarnya sinopsis dari buku ini tentang dua generasi dalam keluarga yang dimarginalkan oleh lingkungan di masa-masa gelapnya di tanah air ini. Hubungan rumit Karmila ke ibunya yang sangat misterius sekali untuk Karla. Dan seiring waktu kita membaca terus kisahnya terkuak lah kepahitan yang keji nanbusuk negeri ini yang menuju tragedi berdarah yang hina bukan main perihnya.
Bagi ku 'Dari Dalam Kubur' menjadi hisfic yang paling tajam dan jujur. Mampu mengolah karakter yang seakan-akan hidup pernah tercetak namun terbungkam dalam sejarah. Ibu Soe Tjen sedang tidak menjual dongeng, beliau tidak malu-malu untuk menuturkan kisahnya. Kisahnya tidak lagi dibisikan namun di ucap dengan lantang tidak peduli mau separau apa suara yang terucap, yang penting faktanya tidak ikut parau terkuak.
Kita tenggelam dalam ceritanya mengikuti monolog karakter yang memikul banyak trauma perih yang menumpuk dan menurun ke generasi ke generasi. Tokoh Karla menjadi pembuka untuk kita meneropong semua hal yang tidak mampu dimengerti namun berhasil jadi jembatan ke luka yang bersemayam tak ingin disentuh. Setelahnya Karla, Kisah Mamanya dimulai dengan pelan-pelan menghajar mu dengan kepahitan negeri ini, kekejian negeri ini, dan kebiadaban negeri ini. Narasi yang sudah terbentuk dari Karla berubah 180° ke arah yang berbeda, semua kengerian mampu menggambarkan kebengisan setan-setan negara.
Aku cuma bisa diam, aku cuma bisa mematung dan tidak dapat berpikir lagi. 24 tahun aku hidup di tanah bumi ini rasanya dalam sekejap menjadi orang yang tidak bersyukur sama hidup, rasanya bersalah karena seolah-olah aku juga ikut ambil andil dalam kisah pilu ini menjadi produk norma-norma yang dibentuk untuk menutupi hak asasi manusia, keadilan dalam menghirup udara yang sama tanpa memikul rasa cemas dan ngeri dengan negeri sendiri. Hidup dalam ketidaktahuan yang acuh tidak tahu kapan kebengisan itu bisa saja menghampiri aku.
Ibu Soe Tjen Marching Terimakasih. Aku tidak bisa melihat buku ini sebagai HisFic. Jauh di lubuk hati ku yang dalam kalau kisah yang kau tulis adalah Luka yang menggema di negeri ini sejak dahulu kala.
Pahlawan sialan, aku jadi tidak bisa mempercayai konsep pahlawan dalam bentuk apapun di medan perang, apalagi di situasi yang sedang memerangi Ideologinya dan mampu memakan jiwa tak bersalah. Kau lebih najis apapun yang najis di dunia ini!!! MATI KAU MATI DAN TERSIKSA LAH KAU DI NERAKA UNTUK SELAMANYA!!.
Buku ini sungguh bikin saya merinding. Begitu pedih rasanya membaca lembar demi lembarnya. Namun begitulah, banyak kisah yang tersimpan dalam suatu peristiwa sejarah. Kisah dengan sudut pandang yang berbeda-beda dari setiap pelakunya.
Kisah ini bukan fiktif belaka. Nama tokoh, tempat, dan peristiwa bahkan lebih nyata dari segala kisah nyata.
Kalimat di atas adalah pembuka buku ini. Benar. Buku ini terlalu nyata untuk sebuah novel. Terlalu dekat untuk disebut fiksi. Bagaimana tidak? Ada satu kutipannya yang sangat relate dengan apa yang terjadi sekarang—dan kutipan ini ditorehkan di pembatas buku ini.
Inilah penjajahan yang sempurna ketika sang budak menjadi bahagia sebagai budak, dan bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa dan raga mereka. (p. 341)
Buku ini memiliki 5 bagian yang membuatku sebagai pembaca serasa diajak menaiki wahana roller coaster.
Bagian I: Karla I feel her so much. Relasi ibu dengan anak perempuan itu memang rumit. Ketika Karla merasa ketidakadilan dan pilih kasih ibunya kepadanya. Ibunya lebih sayang kakaknya yang laki-laki hingga Karla memendam “dendam” yang amat sangat kepada ibunya—hingga akhir hayat ibunya.
Bila aku tak minta dilahirkan, kenapa engkau harus melahirkanku, Mama? Hidup hanya memperkenalkanku pada kesengsaraan. Sekarang, bila engkau tak minta dimatikan, aku akan mematikanmu. Untuk membebaskanmu dari kesengsaraan. Anggap saja ini balas budiku. (p. 163)
Wow … she really holds the grudge!
Bagian II: Mama Ketika di bagian Karla, ku sangat kesal dan ikut “benci” kepada ibunya, di bagian ini semua terpatahkan. Reasonable. Understandable. Memang benar serasa naik wahana roller coaster. Dunia [baca: negara] begitu kejam—kala itu—bahkan hingga kini kepada kaum perempuan. Gejolak batin dan pedihnya yang ia rasakan dari penjara ke penjara. Tidak ada historical fiction di tahun 1965 yang berbahagia. Tidak ada.
❝Manusia bakal lenyap suatu ketika, jadi jangan pernah menyia-nyiakan hidup dengan bungkam.❞ (p. 195)
Bagian III: Papa Aku kira di bagian ini akan mendapatkan sudut pandang dari sang ayah. Karena beliau pun salah satu tokoh sentral yang ingin aku “dengar” bagaimana dulu ia bersikap kepada Karla, mengapa dia menerima, mengapa dia terkesan diam saja, mengapa ini dan itu. Tetapi, sayangnya, bagian ini malah diisi dengan kaget dan tercenungnya Karla akan semua “fakta” yang ia dapat.
Bagian IV: Metamorfosa Di bagian ini agak mendapatkan efek terkejut yang dahsyat—seperti yang dirasakan Karla—karena seperti berubah genre menjadi thriller-mystery. Plot twist setelah plot twist. Belum ku mencerna twist sebelumnya, sudah dihantam twist yang lain yang nggak kalah lebih edan. Memang definisi “rahasia semesta”.
Bagian V: Laire Akhirnya dapat mendengar sudut pandang Katon—sang kakak. Dan di bagian ini sungguh nyata sekali. Seperti baca kumpulan berita. Fasenya agak turun di sini padahal ini bagian terakhir.
Okay, kesimpulannya. Buku ini harus dibaca sekali seumur hidup. Banyak banget hal yang mungkin tidak pernah dituliskan dalam sejarah bangsa—jelas karena sejarah ditulis oleh pemenang—yang bisa kita dengar sudut pandangnya. Terutama kejadian 1965. Meski di beberapa bagian terasa membosankan—banyak yapping session-nya [ya, kalau diperlakukan sungguh biadab seperti itu gimana ga full of rage sih, so understandable]—tetap “paksakan” baca sampai selesai. Unik sih buku ini, ketika udah bosen, eh dikasih hooked, bosen terus hah apa ini, lanjut baca lagi, demikian terus sampai tamat.
Dari balik kubur, suara Djing Fei hidup kembali. Buku harian yang hampir saja dimusnahkan itu, sekarang membangkitkan berbagai manusia di dalamnya, berbagai manusia yang akan dengan mudah dilupakan oleh sejarah. (p. 498)
Dari Dalam Kubur merupakan karya Soe Tjen Marching kedua yang saya kenal setelah The End of Silence: Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia. Kehadiran buku ini sangat saya tunggu karena akan menjadi karya pertama penulis yang saya miliki dan baca.
==
Cerita dibuka dengan tokoh Karla yang sedang dalam perjalanan akan menjenguk ibunya yang terbaring sakit tak berdaya. Dalam perjalanan ini, Karla mengingat kembali kisahnya sepanjang hidup sampai di titik ia berhasil memisahkan diri dari kehidupan di bawah bayang-bayang ibunya yang begitu ia benci atas tindakan terhadap dirinya yang sama sekali ia tak mengerti. Tiba di kota masa kecilnya, ia akhirnya bertemu dengan ibunya yang sedang terbaring sakit tak berdaya. Bukan hanya sang ibu secara fisik yang berhasil ia temukan, kehadiran seorang tokoh juga turut menguak alasan dari tindakan ibunya selama ini terhadapnya yang membuat Karla begitu membencinya sampai hari ini.
Dari sini, alur cerita beralih kepada sang ibu yang diceritakan mulai dari masa kecil sampai di titik di mana ia berakhir sekarang. Di sepanjang cerita sang ibulah, Soe Tjen sebetulnya menceritakan berbagai realita dari peristiwa bengis yang menimpa korban (perempuan) saat Gestok/G30SPKI/Tragedi '65 dan setelahnya. Penulis menyusunnya secara linear dan berhasil diadaptasi ke dalam kehidupan tokoh bernama Djing Fei, ibunda Karla. Kebengisan disajikan secara gamblang tanpa sensor yang menjadikan karya penulis lebih fakta dari fakta.
==
Saya merekomendasikan novel ini bagi pembaca baru yang ingin mengenal fakta terkait peristiwa 1965 dari sisi korban. Novel ini dapat menjadi pintu awal bagi pembaca untuk lebih dekat mengenal fondasi Indonesia hari ini yang penuh dengan hipokrisi kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Dengan cerita yang merupakan sebagian saja dari kompilasi realita sebenarnya, pembaca akan dibawa pada refleksi kemanusiaan yang memaksa pembaca untuk turut merasakan hidup berdampingan dengan atau bahkan menjadi korban peristiwa 1965 itu sendiri.
Walaupun novel ini ditulis berdasarka fakta, penyusunanya cukup melelahkan untuk dinikmati sebagai karya sastra yang elok. Dinilai dari sisi estetik, saya merasa novel ini belum berhasil menstimuli saya sebagai pembaca hingga membangun keintiman dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Terlepas dari itu, kehadiran novel Dari Dalam Kubur sangatlah penting dalam melengkapi pustaka 1965.
This review is taken from my Instragam account: @descanto
Karla is always unhappy. She loves her mother but there is always a barrier between them. Mum always has a swing mood. She sometimes is so caring but most of the time she will shut herself off.
This mother and daughter relationship does not get any better. As she gets older, Karla keeps questioning her mother's behaviour. Why does her mother favour the brother but is very strict at her? Why does Papa remain silent? Where does all the hatred come from? Why is Mama very much against her idea to marry the man she loves? She later starts looking for the answers only to find out that a secret she discovers leads her to other secrets.
Dari Dalam Kubur - From the Grave presents the story with the background of 30 September movement, military junta and the impact of so-called-coup-d-etat by the Indonesian Communist Party in 1965 from other perspectives. The book gives the voice to those marginalised Chinese in Indonesia esp women by depicting the violence and the discrimination they experience. Those women were imprisoned, tortured, and raped because they were considered as a part of Gerwani - Indonesian Women's Movement which was affiliated by the communist party. Some of them were stigmatised and often would have to change their name/identity to start a new life (Karla's mother is without exception). I can go on with this book but you better read it yourself. You'll love it! The plot, the complexity of the characters, the diction. Ah, I highly recommend this book (too bad they dun have the English translation).
Kebab Reading Club will conduct a group discussion on this book on Saturday, 31 October 2020. You're cordially invited to join the discussion. The registration link is on @kebabreadingclub bio.
Novel dari Dalam Kubur merupakan karya Ibu Soe Tjen Marching yang pertama kali saya baca dan jelajahi kisahnya. novel ini mengisahkan Karla, nama yang sumber inspirasinya dari nama "Karl Max" oleh Ibunya yang seorang mantan tahanan politik pada masa 1960-an. saya merasa begitu dekat dengan Karla yang dijelaskan dalam bab pertama, kebingungan, kesepian, kemarahan, kekecewaanya yang ditujukan kepada keluarganya, terutama Ibunya sendiri. Ia terlalu benci kepada Ibunya yang selalu dirasa menumorduakan dirinya, tak diajarkan bahasa Mandarin, tak diajak untuk mendengarkan cerita Ibunya, tak diizinkan untuk memelihara Rubi, si anjing kecil yang manis dan lucu dan masih banyak hal yang lain. novel ini terdiri dari lima bab yang membuat saya begitu tercengang dan ingin mengumpat berkali-kali ketika membaca sudut pandang Ibunya Karla, Djing Fei. tentang keluarga yang tak punya cukup komunikasi untuk saling menghidupkan rumah, tentang rahasia-rahasia pedih yang terlalu lama disimpan sendiri karna dianggap sebagai aib, tentang kritik terhadap sistem politik, polisi, orang-orang yang malas belajar dan hobi bergosip, agama, tentang hidup yang coba dipertahankan walau kita menjadi orang lain.
"Tulisan-tulisan yang menyilet-nyilet tapi sekaligus membuat saya lega, karena sebenarnya ada hal yang jauh lebih buruk : kehampaan, ketidaktahuan. paling ndak, adanya kesedihan memberi sesuatu yang lebih pasti dan landasan untuk berpijak" Djing Fei, pada halaman 349.
Rasa-rasanya kalau bukan penyuka sejarah tidak banyak orang yang akan tertarik membaca novel ini. Judul novel dan pilihan covernya lebih terlihat seperti buku non fiksi daripada sebuah novel.
Bagi saya mengulas novel ini cukup membingungkan sehingga harus dibagi 2. Bagian pertama yaitu kisah kehidupan karla dan masa lalu lydia, ibu karla. Bagian ini menunjukkan kepiawaian soe tjen sebagai seorang penulis. Rasa-rasanya blum ada novel yang begitu sering membuat saya meringis dalam hati dan ingin menangis sepanjang membaca ceritanya. Di saat yang sama soe tjen tetap bisa menyampaian kegetiran dan kritik yang cerdas dengan kata2 yang menohok tapi juga kocak. Sehingga sering jg saya tertawa-tawa sendiri.
Bagian kedua adalah setelah karla mengetahui masa lalu kelam keluarganya. Bagian ini cukup disayangkan bagi saya karena terkesan terlalu dramatis. Setelah itu kelanjutan ceritanya membuat saya bingung memisahkan antara fiksi dan kisah nyata.
Walaupun bagian kedua buku ini sulit saya pahami, tapi buku ini tetap merupakan jendela nyata untuk kita mengetahui masa lalu kelam negeri ini, penderitaan saudara-saudara kita yang selama ini dipecah-belah dan dilabeli berbeda, seolah-olah kita bukan satu indonesia. Buku ini akan membuka mata kita tentang arti dari diskriminasi, tentang kenapa kita telah begitu terbagi-bagi. Dan pada akhirnya semoga buku ini jg bisa membuat kita saling memahami dan tidak lagi saling menyalahkan.
Sejarah kelam Indonesia yang disampaikan secara apik, membawa pembacanya secara personal menghidupi hari-hari penindasan sebelum dan pasca 1965. Saya rasa novel ini sukses menceritakan penderitaan kolektif orang-orang yang tertuduh komunis di zamannya, alih-alih meromantisasi individu-inidividu. Di saat rekayasa informasi terjadi begitu masif, baik disengaja ataupun tak disengaja, garis antara fiksi dengan non-fiksi semakin buram. Fiksi ini sama nyatanya dengan non-fiksi, sebagaimana non-fiksi tidak senyata fiksi.
Kisah dituliskan dari beberapa sudut pandang, dimulai dari Karla (sang anak), Lidya (sang ibu), Karton (sang Kakak). Awalnya buku ini menceritakan sosok Karla yang begitu menyanyai sang ibu, bahkan lebih dari apapun. Namun semakin ia dewasa, semakin banyak kejadian-kejadian yang membuat dia menjadi benci akan ibunya. Karla merasa sang ibu pilih kasih, kerasukan roh jahat, rasis dan kejam. Terlebih lagi, Karla lahir di keluarga keturunan Tionghoa namun kulitnya hitam, matanya besar dan rambutnya keriting, membuat dia menderita akan banyaknya perlakuan berbeda yang dia terima.
Di satu sisi, ternyata ibunya mempunyai alasan atas semua yang terjadi terhadap Karla selama ini. Ibunya juga bercerita tentang masa-masa kelam yang dilewatinya ketika ia dituduh komunis, di penjara, disiksa, dll.
Aku merasa buku ini sebagai salah satu cerita yang harus dibaca oleh banyak orang karena selain penuh dengan cerita kebobrokan negara pada masa itu, banyak juga kritik-kritik sosial yang tertulis yang membuat kita jadi berpikir ulang atas hidup.
Alurnya memang lambat, tapi pembangunan yang lambat ini membuat kita lebih menyelami setiap kejadian dan perasaan para karakter.
Buku ini ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama dibagi menjadi 5 bagian yg mana tiap bagian diceritakan dari sudut pandang masing-masing tokoh.
Bagian pertama diceritakan oleh Karla, seorang anak yang punya konflik batin luar biasa. Rasanya pas baca bagian Karla ini terlalu banyak racun yang dia terima sejak kecil. Racun ketidakadilan yang dia rasakan sejak kecil sehingga membuat dia membenci keluarganya sendiri ketika dewasa. Cukup tertatih-tatih membaca di bagian satu ini, karena apa yang dialami Karla luar biasa menyakitkan.
Di bagian kedua diceritakan dari sudut pandang Lydia Maria, ibu Karla. Lydia menjadi korban dari ganasnya permainan politik Indonesia pada masa itu.
Di buku ini juga diceritakan dengan gamblang, bagaimana tahanan wanita mengalami penyiksaan secara detail. Setiap membaca bagian penyiksaan butuh jeda untuk tarik nafas sebentar sambil merenung sekaligus mengumpat. Pada bagian menuju akhir, pengungkapan kenyataan yang terjadi bikin sulit bernafas karena terjeda oleh tangisan saat membacanya.
Saya masih tetap berharap bahwa seluruh korban bisa mendapatkan keadilan sebenar-benarnya di dunia ini walaupun saat ini kita tau siapa yg memimpin negeri ini. Asa dan harapan itu semoga tak pernah padam. #MembacaAdalahMelawan.
Novel berlatar belakang sejarah peristiwa kelam 65. Yang memantik rasa penasaran terhadap peristiwa tersebut bertahun silam. Narasi yang disampaikan begitu provokatif, diceritakan bagaimana perjuangan gerakan perempuan didalam memajukan kehidupan perempuan lain. Namun dihancurkan oleh militer di Indonesia saat itu.
Sinisme demi sinisme, kritik demi kritik terhadap keadaan pemerintahan dan sekitar akan situasi ekonomi, politik, sosial dituangkan secara gamblang dan lumayan vulgar oleh penulis.
Disatu sisi, novel ini juga kental menceritakan kisah keluarga. Terutama anak perempuan dan ibunya yang bisa dibilang memiliki hubungan misterius. Tersebutlah Karla seorang anak terlahir dari salah satu korban ketidakadilan. Ibunya, seorang tapol yang telah melalui masa masa suram dipenjara. Bagaimana martabatnya hancur berkeping keping karena diperlakukan layaknya binatang oleh orang yg berkuasa.
Di akhir akhir cerita, terungkap apa yang melatari kenapa mama nya Karla yang begitu misterius dan memperlakukan Karla berbeda dr kakanya. Sebuah rahasia besar pun terungkap. DAN...Semua karena diari Djing Fei. Dari situ lah titik itu berawal...
Novel ini mengingatkan kl cara terbaik untuk menghadapi luka dan trauma adalah jangan lari dari nya.