Jump to ratings and reviews
Rate this book

Tidak Ada Esok

Rate this book

212 pages, Paperback

First published January 1, 1951

31 people are currently reading
289 people want to read

About the author

Mochtar Lubis

92 books200 followers
Mochtar Lubis lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Mendapat pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Aktif sebagai penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Jakarta. Memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Hadiah Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia, Hadiah dari Departemen P dan K tahun 1975 bagi novelnya "Harimau! Harimau!", dan Hadiah sastra dari Yayasan Jaya Raya untuk buku terbaik tahun 1977-1978, tanggal 15 Desember 1979, untuk romannya "Maut dan Cinta".

Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: "Senja di Jakarta", "Jalan Tak Ada Ujung" (terbit dalam berbagai bahasa), dan "Etika Pegawai Negeri" (ed.bersama James Scott). Selain itu ada juga buku-buku tentang liputan dan pers, bacaan anak-anak, dan dua ceramah yang diterbitkan sebagai buku, yaitu "Manusia Indonesia" dan "Bangsa Indonesia". Semasa hidupnya beliau menjadi Anggota banyak lembaga penting, seperti Pimpinan Umum majalah Horison, Editor majalah Media (yang diterbitkan di Hongkong oleh Press Foundation of Asia); anggota Board of the International Association for Cultural Freedom, dan anggota Board of the International Press Institute (Zurich).

Beliau juga banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah lingkungan hidup dan masalah-masalah ekologi. Mengalami tahanan penjara selama 9 tahun (1956-1965) dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno; dan pada tahun 1974 mengalami dua bulan tahanan setelah terjadinya peristiwa "Malari" bersamaan waktunya dengan pembreidelan Indonesia Raya. Beliau juga pernah menjadi Direktur Yayasaan Obor Indonesia.

Bibliography:
* Tidak Ada Esok (novel, 1951)
* Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (1950)
* Teknik Mengarang (1951)
* Teknik Menulis Skenario Film (1952)
* Harta Karun (cerita anak, 1964)
* Tanah Gersang (novel, 1966)
* Senja di Jakarta (novel, 1970)
* Judar Bersaudara (children story, 1971)
* Penyamun dalam Rimba (children story, 1972)
* Manusia Indonesia (1977)
* Berkelana dalam Rimba (children story, 1980)
* Kuli Kontrak (1982)
* Bromocorah (1983)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
35 (28%)
4 stars
40 (33%)
3 stars
33 (27%)
2 stars
7 (5%)
1 star
6 (4%)
Displaying 1 - 15 of 15 reviews
Profile Image for Primadi Muhammad.
72 reviews
September 22, 2025
10/10 ★★★★★

Mochtar Lubis Fan Boy!
Novel perang yang menceritakan pergulatan batin Johan, sebagai karakter utama, dan penderitaan rakyat Indonesia pada rentan; mulai dari masa akhir kependudukan Belanda di Indonesia (~1942), kemudian penjajahan Jepang, sampai dengan perjuangan Indonesia mengusir Belanda kembali (1945-1949); dengan penulisan puitis khas Mochtar Lubis dan pengembangan karakter utama yang lengkap.

"Di sana darah mengalir memerahi bumi, mengakhiri hidup seorang manusia. Di sini darah mengalir memerahi bumi, memberi hidup seorang manusia."
"Supaya manusia bisa hidup sebagai manusia kembali. Bisa tidur malam hari dengan hati yang sentosa dan yakin bahwa hari esok akan timbul matahari yang bersinar terang."
Profile Image for Khalisha.
47 reviews
July 9, 2025
Buku Mochtar Lubis ketiga yang aku bacaaa!! Sama seperti dua buku sebelumnya, buku ini juga menceritakan pergulatan batin tokoh utamanya. Ketika membaca buku blio, selalu muncul perasaan engap...

Buku ini berlatar perang kemerdekaan, tapii karena kapasitas memori otakku sangat minim jadi perlu beberapa kali hah heh hoh dulu untuk mengingat kiranya kejadian yang dibahas itu terkait peristiwa apa. Karena cukup sering "hah", jadi baru bisa benar-benar menikmati buku ini pas udah di beberapa bab terakhir. Ada beberapa sindiran kepada pemerintah yang baru aku tau.....
Profile Image for Hendra Putra.
31 reviews2 followers
April 9, 2021
Buku ke-dua Mochtar Lubis yang saya baca. Seperti biasa, agaknya menulis cerita roman dengan latar belakang perang kemerdekaan adalah spesialisasi beliau. Cukup unik, menceritakan kisah pejuang dari sudut pandang orang ketiga, dimana tokoh utama adalah pemuda yang bergabung dengan TNI dalam perang gerilya. Tentu saja, sindiran terhadap rezim yang terlalu banyak "berdialog" dengan musuh kerap dibahas. Tak heran, kalau dalam kehidupan nyata, Mochtar Lubis dipenjara oleh rezim Soekarno selama 9 tahun. Karena sesungguhnya, tidak ada yang lebih jujur dari tulisan orang orang yang dipenjara karena menulis.
Profile Image for Alvia Poppy.
17 reviews2 followers
August 29, 2025
“Mengapa Kami Melawan? Mengapa ‘Tidak Ada Esok’ Untuk Kami?”

Melalui seorang Letnan yang sentiasa dikaluti oleh pertanyaan “Mengapa kami melawan? Mengapa tidak ada esok untuk kami?”, Mochtar Lubis dalam novelnya Tidak Ada Esok dengan lugas menggambarkan ketakutan-ketakutan para gerliyawan yang manusiawi dan kengerian-kengerian dialami mereka yang masih bertaut pada harapan, tanpa tahu yang menyapanya terlebih dahulu adalah kematian.

Novel ini memang berlatar perjuangan pasca kemerdekaan yang belum kokoh dan masih gelagapan di kejar Belanda yang belum siap akan kehilangan ‘Hindia’-nya. Namun lebih dari itu, justru yang paling disorot yakni kelemahan-kelemahan individu bangsa ini sendiri. Membacanya hari ini, seolah kita ditampar kenyataan bahwa kritik Lubis belum usang — ia masih relevan, bahkan sangat tepat menggambarkan kondisi Indonesia sekarang.

“Perjuangan melawan Belanda ini sebenarnya tidak begitu berat. Apalagi dengan kekuatan kita semua ini. Tetapi yang menyusahkan perjuangan kemerdekaan, sebagian besar ialah kita sendiri. Mengertikah engkau maksudku? Kursi-kursi yang diperebutkan, politik dalam negeri, partai-partai politik, pemimpin-pemimpin, paduka-paduka yang mulia dan sebagainya.”

Kalimat ini seakan menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Dahulu, kursi kekuasaan diperebutkan di tengah perang. Kini lebih parah, kursi diperebutkan dengan segala cara, merangkul kroninya dan merepresi yang beroposisi. Politik hari ini sering kali tampak seperti drama memalukan, dipimpin oleh politisi yang lebih sibuk menimbun kekayaan, mengamankan dinasti, dan melayani kepentingan segelintir elit ketimbang menyelamatkan tuannya sendiri — bangsa dan rakyat. Musuh kita bukan lagi kolonial Belanda, tetapi kerakusan para pemimpin yang seharusnya menjadi ‘babu rakyat’ tapi justru melupa.

Dalam bukunya, Lubis melanjutkan “…Sedang para pemuda yang bercita-cita menyabung nyawa bertempur melawan musuh, pemimpin-pemimpin politik — besar kecil — hanya berteriak-teriak, omong kosong!” Memang, di masa kemerdekaan dulu pemuda mengangkat senjata, sedangkan para elit sibuk berorasi ke sana kemari. Lalu hari ini, situasinya sama saja. Anak muda penuh semangat, turun ke jalan, bersuara di media sosial, melawan ketidakadilan. Sementara banyak politisi otak kosong yang hanya sibuk berkelakar dan membual.

“Bangsa kita sangat kurang berpikir. Apalagi berpikir jauh ke depan” — Letnan Johan kepada Kapten Sudiarto.

Kutipan ini terasa pahit ketika dihubungkan dengan pemilu terakhir. Bagaimana banyak rakyat Indonesia memilih pemimpin bukan karena kompetensi, visi, atau rekam jejak yang pernah digeluti. Melainkan hanya karena popularitas, tren, bahkan FOMO — takut dianggap berbeda dari mayoritas. Demokrasi kita, yang seharusnya jadi pesta akal sehat, justru sering terjebak dalam logika instan, memilih karena citra, bukan kinerja. Lubis sudah mengingatkan 70 tahun lalu bahwa bangsa ini malas berpikir jauh ke depan. Dan benar, akibatnya banyak dari kita yang kerap menyesali pilihan setelah semuanya terjadi belakangan ini.

“…ketakutan tidak bisa tertawa, ketakutan tidak bisa bahagia dan bebas merdeka? Ketakutan tidak ada esok. Esok yang penuh harapan bagi manusia.”

Lubis menuliskan sebuah pesimisme yang dalam. Jika bangsa ini terus dikuasai oleh kerakusan dan kebodohan, maka masa depan akan lenyap. ‘Esok’ yang penuh harapan tidak pernah datang.

Hari ini, kita merasakannya dalam bentuk yang lain, ketakutan kehilangan kebebasan berpendapat, ketakutan melihat masa depan yang dikendalikan oligarki, ketakutan bahwa demokrasi hanya nama tanpa isi. Inilah alasan mengapa kami melawan. Karena jika tidak, maka benar kata Lubis: Tidak Ada Esok untuk bangsa ini.

Pada akhirnya, membaca Mochtar Lubis bukan hanya bernostalgia dengan sejarah. Ia adalah teguran. Ia adalah cambuk. Dan yang paling jujur dari semua ini adalah fakta bahwa ia menulis dengan taruhan kebebasan pribadinya karena “Tak ada yang lebih jujur dari tulisan orang yang dipenjara karena menulis.”


37 reviews
June 13, 2025
Bacanya engap padahal singkat karena tentang perang. Dulu tuh suka mikir juga si diantara pahlawan nasional, ada orang-orang yang gugur pas hidup udah ga peduli lagi sama hidupnya, backgroundnya, keluarganya, nanti mau gimana. Kalo liat nisan tanpa nama selintas melayang hidupnya dulu gimana yaa...
Tidak ada esok, gambarin hidupnya dihapit masa pasca kemerdekaan belom kokoh republik mash gonjang-ganjing juga dibelakang masih dikejar2 sama serdadu belanda yang belom rela lepasin hindianya. Ada 18+ walo ga eksplisit bagian dari plott, cuman bagian korban perang dijelasin gue awalnya agakk hmm (tw: darah, tewas akibat bom)
Novel yang ditulis dari sudut pandang orang ketiga. Pergolakan batin letnan Johan, yang dalam batinnya mencari makna melawan juga rasa simpatinya ke warga desa. Juga menerka batin kapten Hassan, Kapten Sudiarto, letnan Arifin, Sentot. Dari buku ini ga heran juga semasa jaman pak Soekarno, Pak Muchtar pernah ada dibalik di jeruji besi

“Tidakkah engkau merasa inilah saat terakhir kali kita melihat mereka?”
Profile Image for Yolanda Dipoyono.
104 reviews
June 17, 2025
Sebuah kisah yang mengajarkan kita sebagai manusia yang bisa menghirup kebebasan untuk merasa bersyukur dan memahami betul arti dari sebuah kemerdekaan. Bahwa kemerdekaan yang kita rasakan sekarang adalah buah dari banyaknya nyawa yang ditukar. Mereka yang mati membayar kemerdekaan kita sekarang dengan darah. Sudah dua buku yang saya baca dari Mochtar Lubis, dan di setiap ceritanya selalu menggambarkan dengan jelas kedalaman batin para tokoh utamanya. Ketakutan- ketakutan mereka yang sangat manusiawi. Mochtar Lubis juga selalu berhasil membawa pembacanya masuk ke dalam cerita, bagaimana kengerian-kengerian yang dihadapi para tokoh, menunggu kematian dengan berbagai sikap. Kritik yanh disematkan ke dalam cerita juga masih sangat relevan dengan situasi sekarang, terutama politik.
Profile Image for Siti Istiqomah Banurea.
8 reviews
November 5, 2023
Buku kedua karangan Mochtar Lubis yang aku baca. Buku ini berlatarkan pasca kemerdekaan Indonesia yang masih diliputi oleh penjajahan Belanda. Johan sebagai tokoh utama memberikan penjelasan kepada pembacanya bahwa kemerdekaan bangsa ini telah menumpahkan banyak darah baik itu dari kalangan pasukan pembela bangsa maupun rakyat biasa yang tidak memiliki kesalahan apapun. Penjelasan mengenai pertumpahan darah cukup jelas dideskripsikan pada cerita ini sehingga aku sendiri dapat merasakan kekejaman pada masa itu. Semoga kita hari ini, khususnya aku, yang masih mengecap kehidupan dapat sadar bahwa kemerdekaan telah ditebus dengan segenap pengorbanan rakyat Indonesia kala itu.
18 reviews1 follower
July 16, 2025
Buku Mochtar Lubis pertama yang aku baca. Buku ini pertama kali terbit tahun 1952. Aku sering mengalami kebingungan dengan struktur kalimat yang digunakan penulis —mungkintidak terbiasa dengan struktur kalimat-kalimat tsb. Bercerita soal pergulatan batin Johan sebagai tentara era kemerdekaan, buku ini sepertinya berhasil membawaku untuk merasakan kondisi saat itu. Mochtar Lubis berhasil menuliskan bagaimana kekacauan pada masa itu, sehingga sebagai pembaca, saya juga ikut merasakan sesaknya jadi Johan dan kawan-kawannya!
Profile Image for Asmara Nata.
5 reviews
March 16, 2023
Buku karya Mochtar Lubis pertama yang aku kasih bintang 5 ⭐⭐⭐⭐⭐. Serius ini buku terbaik yang pernah aku baca selain Jalan Tak Ada Ujung. Buku ini mengisahkan seorang perwira TNI di jaman Belanda dan sekutu setelah Belanda juga. Disini mengajarkan kita untuk bertahan, sabar menunggu, berkorban, merelakan dan mati.
10 reviews
February 23, 2025
Keadaan saat perang itu sangat mencekam harus ikhlas setiap saat, teman yang hari bertemu mungkin esok sudah gugur. Perjuangkan setiap hal dengan seksama walaupun hasil tak selalu bagus mengikutinya.
Profile Image for Laily.
29 reviews
September 16, 2025
Menyayat perlahan-lahan, sebagaimana kenangan lama berlalu-lalang di pikiran.

Mengambil sudut pandang Letnan yang senantiasa gatal oleh pertanyaan "mengapa kami melawan? mengapa tidak ada esok untuk kami?"
Profile Image for Gilang Permana.
103 reviews22 followers
July 6, 2013
cerita pejuang pada jaman perang gerilya, mereka yang tidak punya hari esok
Displaying 1 - 15 of 15 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.