Di kota Aleppo, dari balkon apartemen mereka yang berseberangan, Noha dan Shirine saling memandang dan mencoba mereka-reka kehidupan satu sama lain, sambil tenggelam dalam kenangan dan kesedihan masing-masing. Kedua perempuan ini, dalam perangnya sendiri-sendiri, pernah percaya pada kebebasan dan janji pembebasan. Mereka kelak bertemu dalam hubungan unik yang ditautkan oleh solidaritas dan harapan. Sementara itu, diam-diam, dari atap gedung sambil ditemani burung-burung dara, Abu Nuwas memperhatikan keduanya dan juga tenggelam dalam perasaan kehilangan cinta dan tanah air.
Dari Palestina ke Lebanon, perang demi perang melawan ketidakadilan akhirnya membawa debu dan pekiknya ke Suriah.
Karya pengarang dan aktivis perempuan Lebanon yang meraih penghargaan Prix Roman du Salon Anticolonial.
Novel tipis yang sungguh kaya akan cerita, memori, dan mampu mengaduk emosi. Selain Minor Detail, novel ini sanggup membuat saya nangis jelek di ruang publik ketika membacanya.
Mengisahkan tiga orang serta sudut pandangnya: Noha, perempuan borjuis Suriah yang merasa hidupnya kosong setelah menikah dan menjadi ‘perempuan ideal’ di masyarakat. Shirine, pejuang pembebasan Palestina-Lebanon, salah satu karakter perempuan terbaik yang pernah saya temui. Dan Abu Nuwas, rakyat Palestina yang sangat mencintai tanah air dan Lamisnya.
Mereka bertiga seperti terhubung oleh benang nasib yang menyelimuti Timur Tengah. Di tengah peperangan dan keputusasaan, mereka saling menemukan dan menguatkan satu sama lain. Tuhan, novel ini indah sekali. Terima kasih untuk Marjin Kiri, Paola Sarwan Daher, dan Lisa Soeranto. Semoga hidup kalian selalu dipenuhi kebahagiaan.
And as always, may the Palestine liberation come in our lifetime. Free free Palestine 🇵🇸
Menghabiskan buku yang senipis 100 ms ini terasa agak panjang sebab kita diajak penulis berenang dalam dua jalan fikiran Shirine dan Noha. Ibaratnya macam tengok filem festival dia punya feel lambat tetapi penuh emosional.
Kalau sesiapa pernah dengar atau biasa dengan Map of Tendre yang dikenalkan oleh Madeleine de Scudery hampir semua senarai emosi tersebut diterjemahkan dalam novel nipis ini
“Lupakan Aleppo” karya Paola Salwan Daher ini adalah novel dengan gaya bercerita beriringan, paralel, dan fragmentaris. Penulis Lebanon yang juga aktivis HAM ini berusaha mengangkat salah satu konflik kemanusiaan paling menyita perhatian masyarakat dunia : Israel - Palestina - Lebanon - Suriah.
Sekilas, isi ceritanya hanya akan memotret kehidupan dua perempuan yang saling mengamati dari jendela tempat tinggal mereka, sambil coba menerka karakter dan masalah yang dialami masing-masing.
Di luar dari apa yang dikisahkan novel ini, pembaca akan diajak meneropong kondisi sosial yang berjalan di sela-sela konflik panjang dan berdarah di negara mereka.
Tiga tokoh utama : Noha, wanita Suriah, tinggal, hidup mewah di Paris, bersemangat, namun berakhir pada pernikahan dengan seorang politisi Suriah yang hanya mementingkan gengsi dan karir politik dari pemerintahan yang korup, padahal situasi Suriah masih diiringi perang saudara. Perempuan, istri, adalah sosok yang hanya bermanfaat menjaga martabatnya. Noha kehilangan dirinya, merasa hampa meski dikelilingi kemewahan. Sering memandang dengan wajah kosong dan sedih, yang kemudian ditangkap oleh Shirine.
Shirine, perempuan terpandang asal Lebanon, tetapi bergabung dalam aktivitas sosial menjadi perawat palang merah untuk membantu penyelamatan korban perang Israel-Palestina. Masalah terbesarnya, ia mencintai militan Palestina, yang tentu saja ditolak keluarganya. Karakter Shirine pemberani, dan tidak bisa munafik untuk pura-pura tidak tahu segala konflik yang terjadi. Momen di buku ini, setelah migrasi ke Suriah, meninggalkan Lebanon, hidup sebagai pemandu wisata.
Abu Nuwas, penyair ternama dari Arab. Di sini ia tidak terlibat langsung dengan Noha dan Shirine. Ia mengamati dari sebuah atap, bersyair antara kesedihan, kehilangan, dan harapan. Bisa jadi, ini sebagai simbolisasi perasaan prihatin dan sedihnya dunia Arab melihat diri mereka saling bertempur dalam waktu lama. Ia menyebut kehilangan tanah, yang bisa jadi merujuk pada Palestina.
Dalam 109 halaman, novel ini menyampaikan pesan kuat pada pembaca untuk melihat konflik Timur Tengah lebih dekat.
Membaca buku ini lalu mencoba mengikuti jalan pikiran Noha dan Shirine. Pembaca diajak menyelami pikiran kedua perempuan ini dengan perbedaan status dari balik jendela seberang apartemen. Menarik tapi memang terasa lambat.
this book gave me a mixed feelings after finished it. how every characters are trying to rebuild their own life after a war; leaving their family behind, and even move out from their countryㅡstarting their new life, which also doesn't have much difference with their pasts. we learn that war will ruin everything. home, family, even people identity.
anw, thanks to marjinkiri for translating this awesome piece <3
Ini novel yang cukup bisa kunikmati. Menyelami batin dan pikiran Abu Nuwas, Shirine, dan Noha, sungguh sebuah pengalaman yang tak sia-sia. Tak hanya itu, novel pun menyuguhkan segelintir kehidupan orang-orang yang berdampak perang, lalu memilih pergi.
Aslinya berbahasa Prancis. Namun, Marjin Kiri secara baik telah menerjemahkannya.
Un roman doux, élégant, émouvant. Pour tous les amoureux de Beyrouth, Alep, Palestine, Fayrouz et Ziad Rahbani. Pour tous ceux qui détestent la guerre. Une centaine de pages à avaler d’une seule traite.
Kekecewaan pada masa lalu dan kemarahan pada masa kini sangat terasa dalam kisah singkat ini. Penggunaan sudut pandang pertama dari tiga karakter utamanya membuat cerita yang dibangun terkesan menjadi lebih dekat dan intim. Setiap karakter itu berasal dari tiga negeri yang saat ini berada dalam kondisi bergejolak karena genosida, peperangan, dan pergantian kekuasaan, yaitu Palestina, Lebanon, dan Suriah. Dua karakter perempuannya melakukan protes dan perlawanan terhadap kondisi yang membuat mereka terkungkung dan putus asa, yang kemudian membentuk solidaritas, persaudaraan, dan kepedulian. Bagian cerita dua perempuan itulah yang memberi rasa keintiman, sedangkan bagian cerita seorang lelaki tua yang tanah airnya telah direbut terasa lebih puitis dan samar-samar, lebih terlihat seperti elegi kepada cinta dan impian yang telah direnggut dan hilang. Karakter lelaki ini lebih banyak mengamati dari atas atap bangunan sambil bernyanyi sunyi; kata-kata bijaknya seperti merangkum keseluruhan kisah ini, “Ada mata yang menutup sementara yang lain terbuka, berbekal keberanian yang sama, kemarahan yang sama.” Hidup semua tokoh cerita itu saling bersinggungan dan terikat dalam warna jingga kecoklatan yang melingkupi kota Aleppo.
Buku ini terbilang tipis, tetapi perlu waktu agak lama untuk menamatkannya. Membaca novel ini rasanya seperti membaca jurnal harian tiga tokoh di dalamnya: Noha, Shirine, dan Abu Nuwas. Sayang, penceritaannya terasa sangat membosankan sampai enggan sekali memotivasi diri menyelesaikannya. Konsep bercerita dengan tiga perspektif terpisah ini kedengarannya menarik sekali, tetapi begitu dibaca, rasanya malah lebih enak dituturkan dengan POV orang ketiga saja. Sampai akhir saya tak paham peran Abu Nuwas dalam cerita ini. Ekspektasi yang terlalu tinggi dan ketidakcocokan selera kadang bisa bikin kecewa, dan itu saya alami saat membaca novel ini.
Sebuah novel berlatar perang yang menampilkan perang-perang pribadi yang pedih pada hidup dua tokoh utamanya: Noha dan Shirine. Kedua perempuan itu tinggal di apartemen yang berseberangan. Mereka awalnya saling berpandangan dari balkon masing-masing, dengan asumsi masing-masing di kepala mereka. Melalui tokoh Noha dan Shirine, Paola Salwan Daher menyampaikan dengan indah uneg-uneg kaum perempuan yang terpendam, yang merupakan salah satu efek dari pandangan-pandangan masyarakat tentang mereka. Relevan bahkan bagi perempuan dengan kisah hidup yang sama sekali berbeda. Selain itu, novel ini juga menampilkan kritik terhadap bagaimana rezim bekerja.
Ketika membaca judulnya "Lupakan Aleppo", hal yang pertama kali terlintas di kepala saya adalah, memang ada apa dengan Aleppo? Kenapa Aleppo harus dilupakan? Aleppo bukan hanya dikenal sebagai salah satu tempat terjadinya konflik dan kekerasan yang berkepanjangan, namun juga trauma. Kamu perempuan, kamu seorang istri, tamatlah riwayatmu. Namun tokoh-tokoh perempuan yang saya temukan di sini menunjukan upaya perlawanannya masing-masing. Saya suka character developmentnya. Selesai membaca ini saya hanya ingin mengatakan hentikan perang, smash patriarchy, panjang umur perjuangan.
Noha seorang perempuan Suriah ningrat. Ia memiliki privilese untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan mewujudkan cita-citanya. Alih-alih, ia terjebak menjadi istri pajangan seorang lelaki ambisius: tinggal di apartemen mewah dan berpakaian bagus, sibuk memasak untuk menjamu tamu-tamu suaminya yang penjilat, tenggelam dalam obat penenang dan kenangan. Salah satu hiburannya adalah memandangi seorang perempuan yang tinggal di apartemen seberang, Shirene.
Shirene kabur dari Lebanon. Kendati tampak tangguh dan bandel dengan potongan rambut dan rokoknya, ia juga memendam kenangan pedih akan semua yang ditinggalkannya di Beirut. Setiap kali, ia memandangi Noha di apartemen seberang, gemas melihat aura kepasrahannya kendati dikelilingi kemewahan.
Buku ini kendati tipis tapi menyiratkan banyak hal: konflik Suriah dan Lebanon dan perempuan-perempuan yang terpenjara. Jujur saja, membaca narasi Noha dan Shirene terasa melelahkan karena hanya berisi keputusasaan dan kenangan-kenangan pahit. Lalu apa yang dilakukan si Abu Nuwas itu di atas sana?
perenungan batin yang dalam dan bisa dinikmati. tapi aku kurang begitu paham dengan isu-isu yang terdapat di dalamnya. namun sejauh pembacaanku, aku suka dengan ungkapan-ungkapan batin dari ketiga tokoh di dalamnya.
membaca “lupakan aleppo” seperti membaca kehidupan. menyelami pikiran dan gejolak hidup yang dipikul abu nuwas, shirine, dan noha—hingga seringnya membuat kehilangan selera—adalah pengalaman yang tak sia-sia.
nyatanya manusia memiliki pilihan ketika dihadapkan pada harapan, gejolak, kehilangan, cita-cita, keterpurukan, dan keinginan untuk merdeka secara lahir dan batin. pilihan untuk pergi adalah satu di antaranya (atau itulah satu-satunya jalan); tetapi pergi bukan berarti melupakan kenangan.
kehidupan mengajarkan bahwa masalah bersifat sementara; ia hanya singgah. kadar dan juga respon yang diberikan berbeda-beda.
pada satu bagian, noha, mengatakan begini, “anekdot itu tiba-tiba membuatku mengerti bahwa antara para istri itu, sebagian juga mengalami penderitaan yang sama denganku. mereka juga semestinya berpikir hal yang sama tentang ini. saat dulu bertemu dengan seorang lelaki tampan, mereka mungkin juga berpikir bahwa mungkin inilah kunci pembuka otak kebebasan, jalan menuju kehidupan bertabur kebahagian, bahwa mereka tak akan lagi merasa sendiri bahwa seseorang, sesuai janjinya, akan mengurusi mereka seumur hidup. aku juga seperti mereka”.
kegagalan dan harapan yang patah berhasil mengoyak segala hal yang dijalani noha; kehidupan yang palsu menjadikannya perempuan yang mengatupkan rahang sekuat tenaga menahan amarah.
di lain bagian, noha, mengatakan hal yang sebaliknya, “ada sebuah lagu khusus yang paling kusuka, yang menciptakan gaung istimewa di dalam diriku. lagu itu berbicara tentang seorang wanita yang hidup sendiri dan bahagia, tentang seorang wanita yang tak butuh cinta laki-laki hanya demi mengharap ketentraman. “ia hidup sendiri tanpa kamu,” kata lagu itu. kuingin menjadi wanita itu.” *.