Jump to ratings and reviews
Rate this book

Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?

Rate this book
Sepuluh cerita pendek di dalam buku ini merupakan bundelan kisah para perempuan yang hidup dalam situasi serba tidak pasti. Perkara-perkara seperti berpindah, kerabat yang lenyap, peralihan rezim, konflik sosial, menjadi eksil hingga terjebak dalam hubungan beracun bisa dikatakan sebagai ketidakpastian, atau barangkali serentetan kesialan hidup. Namun, Raisa Kamila memilih untuk menggambarkan situasi tidak nyaman dan bahkan sesekali terasa mencekam dari cerita-cerita sederhana mengenai ingatan masa kecil atas peristiwa mati lampu, gadis kecil yang memeram gigi tanggal- nya, sekolah yang mewajibkan seragam berjilbab, murid pindahan yang tak punya teman, hingga mobil angkutan yang pecah ban di tengah jalan menanjak. Sebagian besar kisah para perempuan ini dituturkan oleh suara bocah dan remaja yang terus bertanya, bernegosiasi, dan berdamai dengan situasi yang tidak pasti.

Buku kumpulan cerpen ini menjadi menarik sebab menyajikan hal-hal ganjil dalam keseharian yang tidak melulu dialami dan dipahami oleh orang-orang dewasa.

142 pages, Paperback

Published October 1, 2020

9 people are currently reading
120 people want to read

About the author

Raisa Kamila

6 books4 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
31 (18%)
4 stars
85 (50%)
3 stars
49 (28%)
2 stars
4 (2%)
1 star
1 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 52 reviews
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
October 11, 2020
Aku tertipu oleh judul buku. Alih-alih berisi ringkasan pengembangan diri yang menyajikan petuah dalam menolak ajakan dalam segala situasi, buku ini ternyata kumpulan cerpen. Dan karena fiksi, pembaca dibuat mengira-ngira ke arah mana kisah-kisah di dalam buku ini.

Hampir semua cerita di dalam buku ini (kalau tidak salah) bertokoh utama perempuan. Ada yang menyenangkan tapi tidak sedikit pula yang menyeramkan. Cerpen pertama berjudul "Mati Lampu" menonjolkan perbedaan nasib antara perempuan dan laki-laki melalui kisah kakak-adik Nuansa dan Yasmin.

"Cerita dari Sebelah Masjid Raya" menyoroti perubahan keadaan yang mengarah ke konservatif di mana perempuan harus menutupi auratnya atau sang ayah akan menanggung dosa. "Cerita dari Belakang Wihara" menyajikan kisah seorang anak perempuan minoritas yang harus khawatir selama bersekolah di sekolah negeri.

Cerpen "Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?" bisa disebut sebagai gong dan tepat sekali untuk ditaruh di akhir buku. Lagi-lagi berkisah tentang perempuan yang harus mendapat masalah atas apa yang tidak mereka lakukan. Di sini, tokoh utama diwanti-wanti oleh ibunya untuk mengenakan celana pendek agar tidak "mengundang" hal-hal yang tidak diinginkan.

Walaupun cerpen-cerpen itu terlihat berat dan kritis, cerpen yang lain memberi penawar ringan seperti "Peri Gigi" yang bercerita tentang seorang anak perempuan yang mengharapkan seorang ayah.

Beberapa latar ceritanya berada di Aceh yang, setelah baca profilnya, merupakan tempat lahir sang penulis. Sebuah unsur yang kuat dalam penurutan cerita karena mengedepankan own voice. Pembaca diajak mengenal beberapa hal dari daerah di ujung Barat Indonesia itu.

Secara keseluruhan, cerita-cerita dalam buku ini, yang memang bertokoh sentral perempuan, penting untuk disimak!
Profile Image for ucha (enthalpybooks) .
201 reviews3 followers
May 8, 2021
#KEBAB07 @kebabreadingclub
April 2021 ~ Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?

Ketika pertama kali ke Aceh tahun 2018, ada sedikit ketakutan karena mengetahui Aceh hanya dari berita dan media. Saya jadi tahu di sana tidak hanya ada narasi tunggal tetapi juga banyak yang berbeda dan punya siasat sendiri dalam kondisi di daerah dengan otonomi khusus di Aceh.

Pertama kali mengetahui tulisan Raisa Kamila dari proyek Tank Merah Muda dan Perkawanan Perempuan Menulis, jadi ketika buku ini terbit tidak terkecoh mengira ini buku self-help dengan judul nyentriknya. Ada jenis buku yang merupakan jembatan cerita tentang situasi yang disampaikan penulis dan hal-hal yang kita tidak tahu atau alami sendiri. Termasuk cerita-cerita dari buku ini. Hal yang saya suka dari buku ini karena sudut pandangnya anak dan remaja perempuan, yang mana saya jarang membaca cerpen yang ditulis dari sudut pandang seperti ini. Ada judul-judul yang menarik perhatian saya: Cerita dari Sebelah Masjid Raya, ada adegan saat si tokoh perempuan ketakutan melihat temannya Khadafi di antara kerumunan yang melihatnya tidak berjilbab. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu adegan kuat di film Roma. Wajah kengerian ketika melihat teman yang sudah berubah total secara ekstrim.
Cerita dari Cot Panglima dan teror ketakutan di jalan tepi jurang dengan mobil legendaris L300, juga cerpen kritis nan bagus yang berjudul Cerita dari Belakang Wihara.
Untuk cerpen terakhir yang sekaligus diambil menjadi judul buku ini mengenai soal perkosaan di sekolah. Setelah kejadian itu, orang tua murid dihimbau untuk tidak mengantarkan anak ke sekolah terlalu pagi dan menyuruh anak perempuan memakai celana pendek tambahan di balik rok seragam. Ini menimbulkan pertanyaan: mengapa jika ada masalah yang menimpa perempuan, ujung-ujungnya solusi utamanya juga berdampak merugikan perempuan lagi.

Jika bisa dibilang kekurangan dalam buku ini adalah ada beberapa cerita yang lokasinya tidak jelas. Ada yang mungkin terjadi tidak di Aceh, atau di luar negeri, atau ada cerita tentang imigran. Sebagai pembaca kurang bisa membayangkan ini terjadi di mana untuk melengkapi konteks pembacaan ceritanya.
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
April 21, 2025
Kadang kala, suatu cerita dapat dengan mudah berkelindan hanya dengan memilih di mana latar cerita itu akan bermula.

Menyebut nama Aceh, tentu banyak peristiwa yang seketika terbayang di benak kita. Budayanya, sejarah panjang tentang konflik sosialnya, hingga hal-hal yang lekat dengan unsur religiositas. Raisa Kamila mencoba melihat semua itu dari kacamata kaum perempuan, sekaligus memandangnya sebagai situasi yang penuh ketidakpastian.

Sepilihan cerpen dalam buku ini mengajak kita merenungi kembali isu feminisme, intoleransi, hingga kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, cerpen “Mati Lampu” yang menyoroti bagaimana kegamangan tinggal di Aceh di tengah konflik yang tak berkesudahan. Sementara itu, “Cerita dari Sebelah Masjid Raya” menyinggung perihal cara kita memandang konsep dosa anak yang harus ditanggung oleh orang tua hanya karena mereka belum siap menjulurkan hijab ke seluruh tubuh.

Tampaknya Raisa Kamila juga senang bermain-main dengan sudut pandang anak-anak yang polos dan ingin tahu segala. Lewat “Peri Gigi”, ia menyoroti kenaifan anak kecil yang merindukan kehadiran sosok ayah. Begitu pun saat seorang anak merindukan ibunya yang hilang dalam “Pengantar untuk Kunjungan Rutin ke Jalan Kakap pada Hari-Hari Libur Nasional”.

Sebagai cerpen pamungkas yang dipilih jadi judul sampul, “Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?” jelas menutup buku ini dengan pernyataan paling kritis. Ia membahas tentang isu kekerasan yang sering kali dialami kaum perempuan, sampai muncul kalimat, “... selain menstruasi dan melahirkan, setiap perempuan dalam hidupnya pasti akan mengalami perbuatan tidak menyenangkan dari laki-laki.” Betapa perempuan ternyata tak banyak diberi pilihan dalam hidup, bahkan tak bisa mengatakan "tidak" meski sebenarnya ingin menolak.

Hampir semua kisah perempuan dalam buku ini berakhir menggantung, tapi mungkin itulah gaya bertutur yang sengaja dipilih Raisa Kamila—ia ingin pembacanya menerka sendiri kelanjutan cerita dari dalam isi kepala, sebab situasi yang mereka (perempuan) alami pada akhirnya memang penuh ketidakpastian.
Profile Image for Safara.
413 reviews69 followers
December 28, 2021
Raisa Kamila adalah salah satu penulis yang sudah sering kudengar namanya karena vokal membahas feminisme. Setelah berkenalan dengan karyanya di kumpulan cerpen Berita Kehilangan, aku memutuskan untuk membeli buku ini.

Buku ini terdiri dari 10 cerpen yang memiliki tema seputar feminisme, radikalisme, dan intoleransi. Membaca setiap cerpen harus membuatku menarik nafas panjang. 142 halaman yang mencekam.

Cerpen favoritku tentu saja sesuai dengan judul bukunya, Bagaimana Cara Mengatakan Tidak. Cerpen ini bercerita tentang seorang anak SMA, bernama Hawa, yang menjadi korban pemerkosaan. Perempuan lain yang menyidang Hawa malah menyalahkan, kenapa Hawa tidak melawan? Sounds familiar, right?

Cerpen lainnya yang aku suka adalah Cerita dari Belakang Wihara. Isinya menceritakan bagaimana kedua tokoh utama, yang seorang perempuan dan bukan beragama Islam, mengalami microagression karena tidak berjilbab.

Yang aku suka dari buku ini adalah keberanian penulis untuk mengangkat cerita yang bikin mengelus dada alias A for Astaghfirullah. 🥲
Profile Image for Yuniar Ardhist.
146 reviews18 followers
April 13, 2021
Duh. Mungkin jika saya masih remaja, akan cocok membaca kisah-kisah di buku ini.

Semua imajinasi yang dituliskan dalam bentuk cerita (fiksi) akan menjadi cerita, baik dalam konsep cerpen atau novel. Namun, untuk menjadi sebuah cerita yang bagus, ia tidak hanya cukup dengan dituliskan. Ia pun harus memenuhi sebuah unsur yang disebut sebagai keindahan.

Karena butuh unsur indah di dalamnya, maka ia membutuhkan banyak komposisi apik dalam meramu struktur penyusun seperti setting (latar), plot, konflik, diksi, penokohan, dll. Dalam teorinya begitu. Teori terkesan sangat sederhana, tetapi ketika dimasukkan dalam contoh nyata tulisan, bisa jadi sangat berbeda. Dalam cerita-cerita itulah, wujud teori dirasakan oleh pembaca : apakah bisa sebuah cerita bukan hanya bagus dan cerdas, tetapi juga indah. Lebih jauh lagi, seberapa indah?

Cerita-cerita di buku ini, menurut saya tidak disajikan dengan tambahan unsur indah. Saya tidak mendapatkan nuansa itu ketika membacanya. Tak ada satu pun yang meninggalkan kesan atau membuat saya mampu mengingatnya di kemudian hari. Ini semacam cerita-cerita yang bisa saya baca, saya stop, saya lanjutkan, atau saya lupakan begitu saja, di sela-sela sibuk. Padahal sebuah cerita, apalagi dalam bentuk buku yang diterbitkan seharusnya memiliki keistimewaan, bukan?

Ide-ide yang menarik, terkesan mengangkat hal-hal tabu, kritis atau berat, akan menjadi tidak mendapatkan animo yang sama ketika tidak dituliskan dengan bagus (dan tentu saja indah). Sebuah ide yang tampaknya sangat sepele, sangat biasa, tapi jika dituliskan dengan sangat bagus, sangat menarik, akan juga berbeda. Maka, dibandingkan bermuluk-muluk mengangkat sesuatu yang rasanya berat, lebih baik berfokus pada bagaimana cara menuliskannya dengan indah.

Atau...mungkin juga, bisa jadi...bukan selera saya. Saya tidak berada dalam situasi yang tepat untuk bisa memahami sesuatu dengan ringan dan selesai hanya cukup di permukaan. Ketiadaan konflik yang dalam untuk mengangkat sesuatu yang bisa jadi serius, sangat serius, atau berpotensi serius, membuat saya tidak bisa melibatkan jiwa saya untuk masuk ke dalam cerita.

Jika ini dianggap karena ruangnya adalah cerpen —sehingga sering dijadikan kambing hitam ketidakmampuan mengolah cerita— bisa saja. Namun, banyak sekali cerpenis-cerpenis di Indonesia yang mampu mengolah cerita jauh lebih baik. Itu membuktikan bahwa lingkup cerpen tidak selalu layak disalahkan.

Bahayanya, cerpen seringkali dijadikan “landasan” untuk menilai bagaimana kualitas novelnya. Jika seseorang mampu membuat cerpen yang bagus —dalam lingkup yang terbatas itu— maka, kelihaiannya dalam novel layak dipertimbangkan.

Satu pertanyaan melintas, “Semakin banyak buku beredar, apakah semakin banyak juga kualitas yang perlu dipertanyakan? Mengapa?”
Profile Image for Devina Heriyanto.
372 reviews255 followers
November 10, 2020
Buku kecil dan mungil dengan cerita-cerita pendek yang meninggalkan bekas yang panjang. Saya suka bahwa beberapa cerita menggunakan perspektif anak-anak dan remaja, yang masih polos dan tidak punya penghakiman apa-apa soal dunia. Dengan perspektif ini pula, konflik yang terjadi terlihat samar, dan terasa jauh, meski dampaknya dirasakan oleh tokoh-tokoh ini dengan nyata.

Banyak cerita yang membahas soal indentitas, baik itu gender, agama, maupun kesukuan. Raisa Kamila tidak menawarkan kritik apa-apa, hanya menggambarkan petikan-petikan apa yang terjadi, dan ini menjadi kekuatan besar kumpulan cerpen ini. Tanpa kritik atau penghakiman, cerita membuai pembaca dalam hidup tokoh, sebelum kemudian melemparkan pembaca kembali ke realita masing-masing, yang mungkin saja tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita di buku ini.

Saya sendiri pernah menjadi satu dari sedikit minoritas di SMA negeri, di mana orang-orang mengenakan rok panjang dan kerudung, sementara saya dengan cueknya memakai rok selutut karena tidak tahu bahwa itu tidak umum di sekolah tersebut. Seperti karakter di buku ini, saya tidak tahu apa yang sebenarnya salah, tapi seringkali ada perasaan yang mengganjal.

Tentu saja, salah satu cerita paling kuat menurut saya adalah cerita terakhir, yang berjudul "Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?". Cerita ini menggambarkan pandangan umum soal kekerasan seksual terhadap perempuan, tentang bagaimana tanggung jawab pencegahan sering dilimpahkan pada perempuan, dan bagaimana sesama perempuan pun kadang berdiri di sisi yang berseberangan dengan korban. Tapi cerita ini tentu saja spesial karena penulis berhasil memberikan nuansa lebih pada isu tersebut.

Secara keseluruhan, saya menikmati buku ini. Mungkin terlalu menikmati sampai ada sedikit rasa kecewa ketika buku ini tiba-tiba selesai begitu saja dan terasa terlalu singkat.
Profile Image for Faris Abdala.
110 reviews8 followers
October 4, 2020
Sebuah kumpulan cerpen yang fenomenal. Ditambah lagi banyak ceritanya berlatar di Aceh, daerah asalku. Sembari membaca aku jadi teringat beberapa kejadian di masa kecilku.

Kalau kumcer ini dirangkum, mungkin kata yang tepat digunakan adalah cerita-cerita kecil di balik kejadian besar. Banyak cerpen yang mengikuti perpektif anak kecil atau orang biasa yang mengalami perubahan dalam kehidupan sehari-harinya akibat kejadian-kejadian besar yang tidak disebut secara eksplisit. Meskipun begitu, pembaca tetap bisa merasakan ketegangan yang muncul pada cerita.

Cerpen yang paling berkesan untukku adalah "Cerita dari Belakang Wihara" yang salah satu adegannya adalah diberlakukan peraturan semua murid perempuan wajib memakai kerudung. Aku teringat saat kelas dua atau tiga SD dulu, sekolah tiba-tiba mengganti seragam. Awalnya laki-laki memakai celana pendek, lalu tiba-tiba semua jadi harus pakai celana panjang. Aku tidak terlalu ingat bagaimana seragam yang perempuan. Apa mungkin adegan di buku ini dan kejadian di masa kecilku itu sebuah hal yang sama?

Aku senang akhirnya bisa membaca cerita yang memiliki perspektif Aceh. Selama ini mayoritas sastra di Indonesia terlalu jawa sentris. Semoga semakin banyak karya non-jawa yang muncul.
Profile Image for Yoyovochka.
307 reviews7 followers
October 26, 2022
Suka banget sama kumcer ini. Bahasanya mengalir dan tema-temanya mengena banget terutama masalah perempuan dan sosial.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
October 12, 2020
** Books 118 - 2020 **

Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2020

3,3 dari 5 bintang!


Buku ini berisikan kisah-kisah pendek mengenai wanita. Paling nyesek yang ketika keadaan berubah si tokoh wanita ingin membeli kain untuk menutupi rambutnya ketemu seseorang di masa lalunya. Juga kisah seorang wanita yang memilih untuk tidak berbicara :')

Ada beberapa cerita yang saya rasa sebelumnya sudah ada di Tank Merah Muda

Terimakasih Mojok store!
Profile Image for Panca Erlangga.
116 reviews1 follower
October 30, 2021
Jika ada daftar buku-buku yang di mana setelah dibaca menimbulkan perasaan sedih, mengganjal, dan tak mengenakkan pada perasaan pembaca, saya rasa Bagaimana Cara Mengatakan Tidak, dapat dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Kumpulan cerpen pertamanya ini memuat sepuluh cerpen, yang, apabila dicari ada satu kesamaan: semua karakter perempuan di dalam cerpen ini berada pada situasi yang ganjil dan penuh ketidakpastian.

Seperti dalam cerita berjudul Cerita dari Cot Panglima, penulis menceritakan tentang sebuah lelaki Melayu yang terjebak di sebuah bukit batu lantaran mobil yang dinaikinya pecah ban. Selain pemuda tersebut, kemudian dihadirkan pula karakter seorang perempuan hamil yang hendak melahirkan di situasi yang genting. Pada cerita ini ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Seperti apa yang terjadi lebih lanjut, apa yang membuat karakter lain terasa sangat intoleran, dan akhir cerita yang membuat saya kecele.

Membicarakan kekhasan, satu hal yang membuat saya salut adalah usaha penulis di mana tidak (melulu) memulai cerita pendeknya dengan kejadian-kejadian yang menghentak sejak paruh awal sebagaimana yang dilakukan oleh para penulis lain. Ia memulai dengan membangun secara perlahan sampai satu per satu karakter dihadirkan dari situasi yang berbeda dan berpotensi mencekam.

Meskipun, faktor tersebut ditambah dengan sudut pandang yang barangkali seperti (atau memang) berasal dari seorang anak kecil atau remaja perempuan yang kerap kali mempertanyakan keadaan dan dilingkupi kebingungan. Apabila dikategorikan, rasanya ini termasuk ke dalam cerpen yang memuat unsur lokalitas yang tidak hanya menjual catatan kaki semata. Buku ini lebih dari itu.
Profile Image for Agoes.
510 reviews36 followers
January 16, 2022
Dua cerita terakhir paling OK buat saya. Cerita yang lain agak terlalu pendek dan selesai terlalu awal kayaknya.
Profile Image for Desca Ang.
704 reviews35 followers
December 31, 2020
This review is taken from my IG account @descanto

In that city, a mother takes her daughter, a six grader to that elementary school on one early morning. Instead of seeing her after school, the child went missing and was found dead - naked with severe injuries around her genital several days later. The teachers l say that this girl is sexually violated and murdered. The perpetrator is none others than one of the workers that they hire to construct a new building in that school. Although the learning activities were suspended following the incident , there was no police reports and no news nor even in the mass media. Some do not call it as a tragedy but as kesialan perempuan – a bad luck of being a woman.

In another part of that city, a girl is struggling because she doesn't wear any head scarfs. Another girl also suffers because she is somehow "forced" to wear a head scarf while she is a part of the minor ethnicity.

Around the city, the so-called informal officers start targeting women who walk around in public with no proper outfits and no head scarfs. Those people will scald the ladies’ hair to bald in the public place. Everyone in that place tries to become morality police officers in order to purify certain belief. Even the customers who keep coming to barbershop start telling the girl’s father to reduce the use of products which contain alcohol.

Those are some of the stories written in Raisa Kamila’s Bagaimana Cara Mengatakan “Tidak”? The novel comes as a proof that a literary work can be used as a tool to resist social injustice and intolerance. It provides the readers with insight on valuing humanity and brings different perspectives in seeing diversity among the Indonesians particularly in Aceh where she sets the novel. It also empowers the subjected women who are unable to articulate the oppressions they experience. The novel is a light but an entertaining read which takes on the real-life experience of oppressed women and ethnic minority and adds it to our Indonesian literature.

I thank Ucha @enthalpybooks for recommending this book. Makasih, Mas Ucha! 🙏
Profile Image for May.
62 reviews16 followers
November 11, 2020
Awalnya saya kira ini adalah buku esai, tapi ini ternyata Kumcer. Selain ini, saya sudah baca buku Raisa sebelumnya, Tank Merah Muda, yang ia tulis dengan perkawanan penulis perempuan.

Cerita-cerita Raisa dekat dengan saya, karena latarnya di Aceh dan peristiwa di dalamnya (mati lampu, rok dalam celana) juga pernah saya alami ketika kecil, baik tentang konflik, awal mulanya syariat diberlakukan, dan bagaimana perempuan selalu yang dipersalahkan di masyarakat kita.

Seringnya, Raisa meninggalkan kita semua menebak-nebak ending ceritanya. Malah di cerita 'Pengantar untuk Kunjungan Rutin ke Jalan Kakap' saya 'terganggu' karena penasaran kelanjutannya.
Saya senang, cerita-cerita di dalamnya jujur dan mengalir seperti adanya. Menurut saya, Raisa sedang membuat catatan dari ingatannya sendiri.

Apapun, terima kasih karena menulis buku ini.
Profile Image for Esti Larasati.
27 reviews
January 10, 2021
Bagian cerita "orang asing" mengingatkan saya pada masa remaja ketika berusia 14 tahun. Dan cerita "Bagaimana cara nengatakan tidak?" Membuat saya merinding karena tokoh Hawa yang harus rela dpindahkan ke pondok karena dia menjadi korban kekerasan seksual hingga hamil dan akhirnya keguguran akibat stress. Cerita yang sungguh mengejutkan karena related dengan kehidupan sehari2.
Profile Image for Annas Jiwa Pratama.
126 reviews7 followers
Read
December 27, 2020
Kumpulan cerita pendek ini kebanyakan menceritakan tentang perempuan di dalam berbagai kondisi “kesialan”. Sama dengan cerita-ceritanya Raisa yang saya baca di buku Tank Merah Muda, saya sangat menyukai penggambarannya akan gejolak sosial melalui perspektif anak-anak. ”Cerita dari Belakang Wihara” adalah yang paling saya suka. Transisi menuju masyarakat yang semakin konservatif digambarkan diantaranya melalui teman yang satu per satu pergi, peraturan sekolah, komentar-komentar guru. Hal-hal kecil yang jarang terpikir kalau bukan jadi pihak yang terdampak. ”Cerita dari Sebelah Masjid Raya” punya konteks yang serupa. (Keduanya juga terbit di Tank Merah Muda.) Cerita terakhir, ”Bagaimana Cara Mengatakan Tidak, menggambarkan konsep-konsep pemerkosaan dan consent dalam berbagai aspek. Dari apa yang dipelajari saat kecil, disaksikan saat remaja, dan seterusnya.

Bagi saya, cerita-cerita ini cukup mengerikan, sih. Atau, lebih tepatnya mungkin menimbulkan kegelisahan. Kadang saya takut karena saya pria-Jawa-berKTP Islam (tambah segala privilise lain), hal-hal seperti ini luput dari kesadaran saya. Walau kalau tidak luput juga sejujurnya kadang bingung, mesti ngapain.

Ada hal di kumcer ini yang tidak cocok dengan saya. Mungkin sebagai anak yang kurang banyak main dan bergaul di luar Jabodetabek, saya tidak bisa menangkap dengan mudah kapan dan di mana latar dari sebagian cerita-cerita ini (walau kebanyakan cukup jelas di Aceh). Kadang ini membuat saya kesulitan dalam membayangkan cerita-cerita tersebut, walau mungkin tidak begitu signifikan. Karena sepertinya semuanya juga memiliki latar yang berdasar fakta, mungkin ini juga jadi menarik kalau dibuat lebih eksplisit. Saya juga jadi sering bertanya-tanya “ini bener nggak sih konteksnya A/B/C…” Walau saya juga tidak tahu sih apa ini kewajiban penulis mencantumkan atau pembaca mencari tahu sendiri, haha.

Selain itu, saya sangat suka bagaimana walaupun kebanyakan cerita di kumcer ini memiliki topik yang serius, tapi gaya Raisa sangat “sedang” (erh, ini maksudnya temperate) dan tidak basa-basi. Mungkin bagi saya, hal ini yang membuat cerita-cerita ini sangat mudah dibaca. Agak seperti membaca laporan.

Catatan lain
Saya menikmati gambaran kekecewaan dan kesepian dewasa-muda di ”Kamar Mandi”. Rasa-rasanya ini ketakutan yang sangat dekat di masa seperti ini, walau ya kadarnya tidak se-ekstrim di cerita ini.

Dari semua cerita-cerita di buku ini, saya paling merasa berempati dengan si petugas sensus di ”Cerita dari Cot Panglima”. Mungkin karena ini satu-satunya yang mengambil perspektif seorang laki-laki, tapi rasa-rasanya saya bisa berempati karena saya juga pernah sendirian ke daerah agak terpencil sebagai peneliti, walau jarang. Sebagai orang yang sangat kaku dan lebih cocok bekerja di belakang meja, membayangkan maghrib-maghrib, mobil mogok, diminta mengaji (!) oleh orang asing, ya itu mungkin ketakutan terbesar saya kalau mesti tur-lap.
Profile Image for Faisal Chairul.
266 reviews16 followers
February 8, 2021
Buku ini bukanlah buku pengembangan diri seperti yg kita kira saat membaca judulnya. Buku ini merupakan kumpulan cerpen yg berisi 10 cerita pendek yg kesemuanya menyinggung soal kehidupan perempuan. Selain itu, cerita-cerita dlm buku ini mengambil latar di daerah Aceh.
.
Jujur, membaca cerita-cerita awal hingga pertengahan membuat gw bingung. Bingung kenapa ceritanya ngegantung. Di beberapa cerita gw bahkan gak bisa menikmati ceritanya. Di sisi lain, di satu atau dua cerita ketika gw baru mulai menikmati dan mengerti maksud cerita yg disampaikan, cerita pun diputus. Ngegantung begitu saja.
.
Gw berulang kali membaca blurb yg tertera utk memahami konteks keseluruhan cerita yg disampaikan. Tertulis,

"Sepuluh cerita pendek di dlm buku ini merupakan bundelan kisah para perempuan yg hidup dlm situasi serba tdk pasti. ... . Sebagian besar kisah para perempuan ini dituturkan oleh suara bocah dan remaja yg trs bertanya, bernegosiasi dan berdamai dgn situasi yg tdk pasti."
.
Ketika kembali mencoba memahami konteks penyampaian cerita yg nanggung, gw akhirnya baru memahami, penulis ingin pembaca utk fokus 'merasakan bagaimana rasanya berada dlm kondisi tdk pasti', sehingga cerita dibiarkan putus di 3/4 jalan.
.
Favorit tentu cerpen berjudul sesuai dgn judul buku ini. Menggunakan sudut pandang seorang anak perempuan usia sekolah dasar utk menggambarkan efek traumatis korban pelecehan dan/atau pemerkosaan. Cerita ini jg berupaya menggambarkan ketidakadilan dlm proses penegakan hukum kasus pelecehan atau pemerkosaan. Di satu sisi, perempuan sbg korban selain mengalami efek traumatis, tdk jarang jg mengalami pressure dr masyarakat. Di sisi lain, laki-laki dibiarkan bebas (tukang bangunan dlm cerita ini) atau hny menerima hukuman yg rasanya tdk akan pernah setimpal dgn efek traumatis yg dihadapi perempuan (dihukum membersihkan toilet selama seminggu). Cerita ini buat gw merupakan kritik sosial yg sangat dalam, terlebih menggunakan sudut pandang anak perempuan.
.
Seperti yg disampaikan di blurb:
"... sebab menyajikan hal2 ganjil dlm keseharian yg tdk melulu dialami dan dipahami oleh orang2 dewasa".
.
Recommended!
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews46 followers
August 7, 2021
Hal yang paling menyenangkan buat saya dari buku ini adalah cara Raisa Kamila menyelesaikan cerita: kisah-kisahnya berhenti di titik yang saya tidak sangka, terasa tidak sepenuhnya berakhir--seperti kehidupan, tidak semuanya terjawab tapi cukup, dan membebaskan saya untuk melanjutkan (dan menebak-nebak) sendiri. Beberapa betulan bikin termenung, menyisakan rasa mengganjal yang cukup dalam.

Hampir seluruh cerita di buku ini menggunakan sudut pandang anak kecil atau remaja perempuan dan juga sebagai liyan atau orang luar. Ceritanya terasa datar karena disampaikan dengan kepolosan anak kecil bercerita, dan hanya berdasarkan fakta atau data yang ketahui saja, tetapi setelah dilihat dari kaca mata pembaca dewasa terasa dalam. Dalam cerpen pembuka buku ini, "Mati Lampu", misalnya. Nuansa dan Yasmin, meski berada di pusat konflik, pandangan mereka tetap terbatas oleh apa yang mereka rasakan dan dibilang keluarganya saja. Atau "Kubus Hitam" yang bercerita tentang anak-anak yang melihat orang tuanya beribadah. Juga cerita-cerita lain yang menggunakan kacamata pendatang dan minoritas. Latar belakang Raisa Kamila, yang lahir dan besar di Aceh, memberikan konteks menarik cerita-cerita tentang konflik yang tidak menyebutkan nama tempat latarnya.

Raisa Kamila juga pandai sekali memainkan emosi pembaca. "Cerita dari Cot Panglima" membuat saya berdebar hebat dan dengan tega mengakhiri ceritanya di titik tertinggi. Cerita pamungkas yang menjadi judul buku ini, bikin saya berpikir banyak, tentang kerepotan para wanita untuk mempertahankan diri mereka (seperti pakai celana pendek yang bikin susah kalau mau buang air) dari hal yang bukan kesalahan mereka. Apakah saya salah satu sumbernya juga?

Saya suka semua ceritanya. Topik-topik yang sebenarnya berat, diceritakan dengan menarik menggunakan sudut pandang sederhana anak-anak, tanpa meninggalkan PR untuk berpikir lebih jauh.
Profile Image for dea.
4 reviews
November 5, 2020
Aku tidak pernah menyangka bisa menyelesaikan buku ini begitu cepat. Aku baru tahu buku ini telah sampai rumah sekitar pukul 24.00 dan saat melihat bukunya yg ternyata cukup tipis langsung saja aku mulai membacanya sembari menunggu emyu berlaga.

Kisah-kisah dalam cerpen ini sederhana mulai dari kisah pengalam trauma terhadap mati lampu, peri gigi, dan ban angkot yg bocor di tengah jala. Hal ini membuatku sangat menikmatinya dan tenggelam di dalamnya. Ini mengingatkanku saat aku tenggelam membaca cerpen-cerpen Alice Munro.

Meski sederhana cerpen-cerpen dalam buku ini berkisah tentang berbagai peristiwa-peristiwa yang tak pasti dan cukup rumit. Konflik sosial, pindah rumah, peralihan rezim. Yang menarik lagi sebagian besar cerpen dikisahkan dari sudut pandang seorang anak atau remaja yang polos dan selalu ingin tahu. Tokoh yg polos dan ingin tahu sepertinya adalah salah satu ciri khas dari cerpen dalam buku ini. Cerpen-cerpen di sini juga sebagian diakhiri dengan ending yang menggantung dan ini menurutku cukup menyenangkan.

Salah satu cerpen favoritku adalah Cerita dari Sebelah Masjid Raya. Lewat cerpen ini aku jadi tahu bagaimana pandangan orang kecil terhadap perubahan sosial di Aceh yang akan dibawa oleh kekuatan politik pada masa itu; yang mengarah pada masyakat menegakkan hukum agama tertentu. Dalam cerpen itu terlihat bagaimana di anak dan ayahnya yg berkerja sebagai tukang cukur bersikap seperti orang kecil lainnya saat menghadapi perubahan apapun yg dibawa rezim politik: menerima saja apa yg ada. Memang kebanyakan seperti itu sikap rakyat kecil kalau berkaca dari desa tempat tinggalku atau desa yg kutempati saat aku KKN terhadap perubahan sosial apapun yg dibawa rezim politik; menerima saja dan berusaha untuk tetap survive.
Profile Image for Willy Alfarius.
92 reviews7 followers
January 3, 2021
Satu hal yang menarik dari kumcer ini adalah ingatan saya yang kembali terpanggil untuk menyimak lagi tentang Aceh. Sewaktu SD saya adalah penyimak berita yang cukup tekun, selain karena memang sangat kecanduan menonton televisi. Ketika itu Aceh statusnya masih Daerah Operasi Militer sehingga di beberapa acara berita, terutama Seputar Indonesia di RCTI selalu ada segmen khusus yang memberitakan tentang baku tembak antara TNI versus GAM. Hingga kini ingatanku tentang Aceh hanya sebatas berita-berita perang itu, dengan nama-nama daerah seperti Bireuen, Pidie, Lhokseumawe, Sigli, dll. yang terus terngiang di kepala tiap mendengar kata Aceh disebut.

Kumcer ini memberikan suara-suara keresahan, yang dalam penilaian saya cukup nyaring terdengar, mengenai keseharian di daerah ujung utara Sumatera ini. Entah kenapa saya menduga ini adalah refleksi sekaligus kisah nyata penulis sendiri, yang tentunya lantas dimodifikasi untuk dijadikan sebuah fiksi dengan mayoritas mengambil sudut pandang seorang anak/remaja. Dari sepuluh cerita yang ada, saya paling suka dengan cerpen berjudul “Cerita Dari Belakang Wihara” di mana penulis menggunakan sudutp pandang dua orang remaja putri dari kelompok minoritas yang tinggal dan menghadapi realitas sosial di Aceh yang kental sekali dengan Islam. Kalopun ada yang kurang, saya rasa hanya kumcer ini kurang panjang alias ditambahi lagi cerita-ceritanya kak heuheu.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
November 10, 2024
SAYA MEMBACA EDISI MIZAN: CERITA DARI SEBELAH MASJID RAYA. Pada edisi terbaru, 2024 ini, ada satu cerpen terbaru Raisa Kamila yang terbit di KOMPAS pada Oktober 2023.

Menarik adalah mencermati "kaledioskop" cerpen-cerpen Raisa di buku ini. Kalau kita cermat, kita akan melihat bagaimana Raisa memainkan tema dan bentuk yang berubah pada setiap masa penciptaan (seperti disampaikan dalam pengantar Raisa).

Cerpen yang paling saya sukai:
- ORANG ASING
- CERITA DARI BELAKANG WIHARA
- CERITA DARI SEBELAH MASJID RAYA
- BAGAIMANA CARA MENGATAKAN "TIDAK"?

Ketubuhan perempuan ditelanjangi. Ada satu kalimat yang aku suka banget:

Tapi, lauk makan siangnya menguarkan aroma tajam setelah dihangatkan. (hal.48)


Sebuah kalimat dengan simbol yang snagat kuat, untuk menggambarkan bagaimana dia orang asing (makanan dia berbumbu medok dan menyengat). AKu sukkkkkaaaa! Mengingatkan saya pada cerpen How to Pronounce Knife: Stories, yang simpel tapi simbol dan konfliknya sangat kuat.

Sangat berbeda dengan cerpen terbaru Raisa Kamila, yang menurutku Raisa sudah mulai mengolah "jiwa-psikis" lebih dalam.
6 reviews
Read
May 22, 2021
Bagi orang-orang yang hanya mengetahui tentang Aceh dari berita-berita sekadarnya dan laporan-laporan NGO yang kebanyakan hitam-putih seperti saya, kehidupan orang-orang Aceh seperti sesuatu yang tidak terjamah. Kamila memberikan solusi untuk orang-orang seperti saya ini dengan menyajikan sudut pandang anak-anak, yang konon belum ditumbuhi oleh benih-benih bias. Mayoritas tokoh utama dalam sepuluh cerita di buku ini adalah anak-anak, remaja, atau orang dewasa yang mengenang kembali hidup mereka sebagai anak-anak/remaja. Mereka pun menyederhanakan konteks-konteks politik besar menjadi sesuatu yang sangat banal: konflik senjata diganti dengan mati lampu, Islamisasi dengan perubahan cara potong rambut, proses pencarian suaka dengan mitos peri gigi, ketidakadilan gender diganti dengan bagaimana memakai celana di dalam rok dan merasa gerah karena proteksi yang seharusnya tidak perlu ini. Cerita-cerita ini memang tidak akan membawa pembaca untuk mengetahui apa yang menyebabkan Aceh menjadi seperti sekarang. Tapi, setidaknya, mereka bisa memberikan nuansa tentang suatu lokasi geografis yang sejarahnya sudah padat-riuh sejak zaman kerajaan, kolonial, dan poskolonial dengan semua orang yang singgah, berdagang, berpolitik, bertengkar, dan bertahan di atasnya.
Profile Image for Gita Swasti.
322 reviews40 followers
January 3, 2022
Dina, temanku saat SMP, pernah mengatakan bahwa selain menstruasi dan melahirkan, setiap perempuan dalam hidupnya pasti akan mengalami perbuatan tidak menyenangkan dari laki-laki. Ia menyebutnya sebagai "kesialan perempuan": mulai dari disentuh dengan sengaja di payudara, paha, atau bokong, dicium paksa di pipi atau bibir, dipeluk tiba-tiba, dipaksa memegang atau melihat penis, hingga yang paling buruk seperti pemerkosaan.


Bagi sebagian orang, kumpulan cerpen ini terasa datar karena tidak menawarkan keberpihakan pada siapa-siapa. Namun, sebagai pembaca, bisa saja kita menemui sesuatu yang mengganjal. Secara garis besar, Raisa memusatkan ceritanya pada pengalaman seorang perempuan dengan berbagai latar. Perempuan yang harus mengalami trauma, perempuan yang dikucilkan temannya, perempuan yang menerima tekanan dari masyarakat.

Saya menyukai Raisa Kamila mengambil perspektif anak kecil yang dianggap tidak tahu apa-apa dan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Tentang lokalitas, tentu lah saya senang karena menemukan fiksi berlatar bukan Jawa. Sebuah hal yang masih langka.

Cerpen kesukaan saya, Kamar Mandi dan Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?
Profile Image for Hamima Nur Hanifah.
46 reviews9 followers
March 19, 2022
cerpen-cerpen awal yang memperlihatkan sudut pandang anak-anak justru kurang menarik perhatianku, kebanyakan dari cerita itu berakhir menggantung dan rasanya aneh, kayak ada yang janggal aja, dan beberapa ada yang membuat hatiku dongkol ketika selesai membacanya hahahaha. atau mungkin aku merasa pikiran anak-anak sudah nggak relate lagi dengan pikiranku di usia dewasa yang sekarang? tapi justru aku suka sekali dengan 3 cerpen terakhir (Kamar Mandi, Cerita dari Belakang Wihara, dan Bagaimana Cara Mengatakan Tidak) yang dituturkan dari sudut pandang remaja. selesai baca 3 cerpen itu (kebetulan cerpennya disusun berurutan), hatiku kosongggggg sekaliiiiiiii dan rasanya pingin menangis, ternyata betulan menangis ketika sampai di cerpen terakhir. rasanya menyakitkan sekali, bikin pikiran mengawang, gelisah, dan jadi mempertanyakan banyak hal, salah satunya; kenapa jadi perempuan di dunia ini sial sekali ya rasanya? 😥🥺💔 selesai menamatkan buku ini, suasana hatiku langsung gelap sekali kayak ada awan hitam yang menaungiku, rasanya kayak hatiku digelayuti sesuatu yang sangatttttt menyedihkannnnn. Mbak Raisa Kamila banyak bicara soal isu perempuan, identitas & agama, konflik, dan kekerasan seksual, dengan latar tempat yang kebanyakan diambil dari daerah asalnya di Aceh.
Profile Image for Monika.
42 reviews5 followers
February 16, 2022
"Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?" merupakan kumpulan cerpen, yang di dalamnya ada 10 cerpen. Isinya lebih fokus kepada kisah para perempuan yang hidup dalam situasi serba tidak pasti. Seperti biasa akan aku bagi jadi poin" yaa :

#Poin 1 (Cover): demen banget sih sama cover minimalis ini. Ditambah ada coretan di beberapa kata buat menggambarkan bahwa banyak ketidak pastian juga dalam ceritanya. Ditambah warna biru langit yang bikin adem. Haha

#Poin 2 (Tema, Alur, Plot): Seperti yang ada di blurb, semua cerpen yang ada di buku ini memang mengambil banyak kisah mengenai perempuan yang berada di situasi tidak pasti. Mulai dari perjodohan, agama, budaya dll. Dan sebagai perempuan cukup relate dan bahkan jadi bisa melihat dari sudut pandang perempuan2 yg ada di buku ini. Ending di setiap ceritanya pun tidak dibuat tersurat tapi justru mengajak pembaca untuk mengambil kesimpulannya sendiri.

#Poin 3 (Cerpen Favorit):
- Cerita dari Belakang Wihara
- Bagaimana Cara Mengatakan "Tidak"?

Buat yg mau bacaan deep nan santai hehe tp singkat-singkat maunya boleh coba baca ini.

Sampai jumpa lagi!
Profile Image for Syakirina utami.
26 reviews1 follower
January 7, 2022
kumpulan cerpen dari Raisa Kamila yang ringan, tetapi sebenarnya tajam menuliskan persoalan-persoalan tentang perempuan, khususnya di Aceh. "Bagaimana Cara Mengatakan 'Tidak'?" merupakan salah satu judul cerpen dalam kumpulan cerpen ini. Alih-alih menggurui pembaca tentang persoalan ala-ala buku pengembangan diri. Raisa justru memberikan persoalan tajam terkait kalimat dari judul dari cerpen itu sendiri. Secara personal, persoalan yang dituliskan Raisa di cerpen terakhirnya membuat saya terdiam dan takjub, sekaligus membuat berpikir ulang tentang hal tersebut yang sepertinya hampir juga dirasakan oleh perempuan-perempuan lain dalam berbagai hal, misalnya tentang menentukan pilihan, membuat keputusan, dan lain-lain. Dunia patriarki secara tidak sadar membuat perempuan selalu tampak "kecil" dan tidak berdaya.
Profile Image for B-zee.
578 reviews70 followers
February 25, 2022
Sudah lama rasanya tidak membaca buku dalam sekali duduk. Sebelas cerpen tentang perempuan-perempuan dalam keterasingan dan ancaman. Sebagian besar berlatar di Aceh, tempat kelahiran si penulis. Rasa-rasanya penulis ini seharusnya bisa membuat sebuah atau beberapa novel utuh, ketimbang cerita pendek yang sebagian diakhiri dengan agak kurang ajar, karena terlalu membuat penasaran. Ada banyak hal yang bisa diceritakan, latar belakang yang bisa diuraikan, dan kisah-kisah yang bisa dibagi. Terlebih kisah yang jarang dibicarakan dari sastra kita yang kebanyakan berpusat di Jawa.

Ada deskripsi yang agak janggal, dan typo yang sepertinya bukan typo karena diulang dua kali pada halaman yang berbeda, mungkin masalah di editingnya. Terlepas dari itu, suasana dan perasaan yang dibangunnya cukup apik, meski kebanyakan tidak menyenangkan.
109 reviews
November 23, 2020
Perempuan memang punya cara yang berbeda dan cenderung unik dalam memandang realitas, utamanya tentang perpindahan, perubahan, perbedaan. Seringkali perempuan dibentuk dan dipersepsikan oleh laki-laki; untuk menjadi tunduk, tertutup, teratur. Namun, dalam cerita-cerita Raisa, perempuan dibiarkan berpegang kuat pada pirsa, rasa, dan karsanya. Dalam kepalanya, perempuan mampu untuk menjadi seliar apapun, melebihi bayangan siapapun. Dan seringkali, hanya dalam kepalanya sajalah ia mampu menjadi dirinya sendiri. Sebab perempuan sudah terlanjur dibentuk dan dipersepsikan oleh dunia yang begitu sesak dengan laki-laki. Sebab kita, para perempuan, sudah dibiasakan untuk mengatakan iya, bukan tidak.

Dan ya, menjadi perempuan memang sesulit itu.
Profile Image for febriani.
109 reviews6 followers
January 12, 2023
Sebagian cerpen dalam buku ini menceritakan berbagai periode yang dilalui rakyat Aceh di masa lalu dari sudut pandang remaja dan anak-anak perempuan. Masa operasi militer, jelang referendum, hingga pasca referendum. Penulis juga memotret kehidupan dan sudut pandang perempuan dalam dunia di mana perempuan harus senantiasa menjaga diri untuk menghindari “kesialan perempuan”. Dunia yang juga dihuni kita semua. Kadang penulis bereksperimen dengan gaya bercerita tertentu yang menurutku dieksekusi dengan baik. Secara keseluruhan, aku menikmati kumpulan cerpen yang kerap mengingatkanku pada akar budaya asalku sendiri, Aceh. Sudut pandang perempuan yang ditulis oleh perempuan pun beresonansi dengan berbagai perasaan dan kekhawatiran yang kurasakan sebagai sesama perempuan.
Profile Image for Satvika.
579 reviews44 followers
June 26, 2023
Rating 4,7

10 cerita pendek berisi sindiran sosial budaya ditulis dengan cantik dan menggugah hati.

Dengan latar Aceh tahun 1990an dimana pada masa itu ada pergerakan Operasi Militer melawan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) , rasa ngeri dan mencekam-nya terasa sekali..ada juga cerita tentang sepinya hidup saat kita menjadi dewasa yang pasti bakal terasa relate sekali dan cerita paling bikin terdiam adalah cerita terakhir : cerita tentang "kesialan" perempuan.

Novel ini vibe-nya mengingatkan aku dengan vibe Buku "Subuh", kumpulan cerpen Selahattin Demirtas, pengacara HAM asal turki..isu2 yang diangkat di novel ini benar2 akan membuat kita berpikir..singkat, padat dan menohok.

Overall super recommended dan sangat berkesan.
Profile Image for Mido Ringo.
60 reviews8 followers
October 16, 2020
Awalnya, tahu buku dari Twitter, dan sudah tau bahwa buku ini adalah kumpulan cerpen. Saat pertama kali membaca sinopsis buku ini beserta cuplikan dari cerita terakhir berjudul "Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?" saya fikir buku ini akan banyak mengangkat kisah-kisah pelecahan perempuan dimana perempuan-perempuan ini tidak bisa mengatakan "tidak", tetapi rupanya lebih banyak yang mengambil latar Aceh sehingga unsur keagamannya kuat.
Buku ini sendiri ditulis dengan sangat baik sehingga nyaman dibaca, hanya saya sedikit kesal dengan akhir cerita yang terasa menggantung sehingga saya penasaran apa yang terjadi setelah ceritanya selesai, terlebih dengan "Cerita Dari Cot Panglima".
Displaying 1 - 30 of 52 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.