Bekisar, unggas elok hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan, adalah Lasi yang berayah bekas serdadu Jepang; kulitnya yang putih dan matanya yang khas membawa dirinya menjadi bekisar untuk hiasan sebuah gedung dan kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta. Lahir dalam keluarga petani gula kelapa sebuah desa di pedalaman, Lasi terbawa arus sejarah hidupnya sendiri dan berlabuh dalam kemewahan kota yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Lasi mencoba menikmati kemewahan itu dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, seorang suami tua yang sudah lemah. Namun Lasi gagap ketika menemukan nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main. Longgar, dan di mata Lasi sangat ganjil.
Dalam kegelapan itu Lasi bertemu dengan Kanjat, teman sepermainan yang sudah jadi lelaki matang. Lasi ingin Kanjat menolongnya seperti dulu ketika keduanya masih sama-sama bocah. Lasi ingin Kanjat membebaskan dirinya dari kurungan bekisar di rumah Pak Han. Tetapi Kanjat sibuk sendiri dengan kegiatan kemasyarakatan dalam upaya memperbaiki kehidupan petani gula kelapa. Maka Lasi harus bisa memutuskan sendiri: tetap menjadi bekisar dalam kurungan kehidupan kota yang makmur tapi ganjil atau terbang untuk membangun kembali dunianya sendiri yang sudah lantak. Pada titik ini Lasi merasa berdiri di simpang jalan yang sangat membingungkan.
Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995.
His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala"
On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch.
Bibliography: * Kubah (novel, 1980) * Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) * Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985) * Jantera Bianglala (novel, 1986) * Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986) * Senyum Karyamin (short stories, 1989) * Bekisar Merah (novel, 1993) * Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995) * Nyanyian Malam (short stories, 2000) * Belantik (novel, 2001) * Orang Orang Proyek (novel, 2002) * Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004) * Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)
Thanks to Asrori for buying me this book. I love it so much...
Lasi, seorang perempuan desa dengan segala keluguannya. Terlahir dengan darah campuran Jepang dan Indonesia, menjadikannya seorang perempuan dengan kecantikan khas yang unik, yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan lain di desanya. Sayang nasib yang kurang beruntung selalu setia mendampinginya sepanjang masa kanak-kanak dan remajanya. Lasi kecil sering mendengar gunjingan yang menyakitkan hati dan telinga tentang perkawinan kedua orang tuanya. Label “Lasipang” pun melekat pada dirinya yang selalu menjadi bahan olok-olok teman-teman sebayanya. Hanya Kanjat-lah yang tak pernah mengolok-oloknya. Kanjat yang anak tengkulak gula terkaya di Karangsoga dan dua tahun lebih muda darinya, yang diam-diam menaruh hati padanya.
Pun ketika dewasa, label tersebut pula yang menyebabkan tak ada pemuda yang berani mendekatinya. Label yang menyebabkannya tak terpilih untuk lolos dalam penilaian babat, bibit, bebet yang sangat ketat dalam tradisi Karangsoga. Meski tak seorangpun menyangkal betapa kecantikannya mampu membuat hati setiap laki-laki yang memandangnya tergetar.
Adalah Darsa, lelaki keponakan ayah tirinya yang kemudian menikahinya. Namun kebahagiaan itu pun tak berlangsung lama. Darsa tertimpa musibah jatuh dari pohon kelapa ketika menyadap nira dan membuatnya tak berdaya selama 6 bulan. Setelah melewati masa sulit itu, ternyata Darsa malah mengkhianatinya dengan menanamkan benih pada Sipah, anak Bunek , tukang urut yang merawatnya.
Dalam keputus-asaan Lasi pergi membawa lukanya ke Jakarta. Ia terdampar di warung Bu Koneng, lalu beralih ke rumah mewah milik Bu Lanting. Lasi dimanjakan bak seorang putri, diberikan segala kemewahan yang tak pernah dimilikinya ketika masih menjadi istri Darsa di desa. Walau masih terasa gamang, perlahan Lasi mulai menikmati kehidupannya tanpa sadar bahwa ia tengah merangkak ke dalam sebuah perangkap yang telah disiapkan untuknya.
Ketidakmampuannya untuk menolak telah mengantarkan Lasi menjadi seekor bekisar pengisi sangkar emas bagi Handarbeni seorang purnawirawan kaya. Dunia yang sama sekali asing bagi Lasi. Gagap Lasi menyadari bahwa segalanya hanyalah sebuah permainan kotor ibukota. Jiwanya menjadi gelisah, segala yang dimilikinya sama sekali tidak memberikan ketenangan yang nyata. Meski hidup bergelimang harta, namun Lasi lebih menikmati hidup sebagai seorang petani gula di desanya. Dimana ia merasa mempunyai makna bagi kehidupan yang dijalaninya. Dimana setiap rejeki yang diterimanya benar-benar berasal dari keringat di tubuhnya atas kerja kerasnya.
Jauh di dasar hatinya, menghabiskan sisa hidupnya di Karangsoga adalah impian yang tak pernah pudar, meski ketakutan akan pandangan masyarakat di desanya tetap menjadi momok yang menyesakkan dada. Seandainya saja Kanjat berani mengambil tindakan yang lebih. Ya…, seandainya saja.
Seperti yang sudah-sudah, Ahmad Tohari selalu bertutur tentang kehidupan masyarakat kelas bawah dengan segala permasalahannya. Buku ini menjadi lebih menarik karena penulis mengangkat kisah kehidupan para petani gula di desa Karangsoga. Melukiskan betapa kehidupan mereka sebagai bagian terbawah dari mata rantai sebuah siklus bisnis gula yang mendulang rupiah cukup banyak dan mampu memberikan kemakmuran bagi mereka yang berada pada susunan rantai teratas, harus terpuruk hidup dalam keterbatasan. Jangankan untuk menikmati kemewahan, dapat memenuhi kebutuhan akan bahan pangan sehari-hari pun sudah merupakan suatu kenikmatan yang teramat sangat mereka syukuri. Seperti buku-buku Ahmad Tohari yang lain, suasana alam pedesaan pun sangat kental digambarkan dalam buku ini.
Tak berbeda jauh dengan Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah juga mengangkat kisah tentang keluguan seorang perempuan desa yang tak berdaya dipermainkan oleh nasib, dimana mereka harus memainkan peranan yang sama sekali tak dapat dinikmatinya betapapun mereka berusaha, betapa mereka harus merelakan cinta sejati yang seharusnya dapat mereka miliki.
Benarkah bahwa kita manusia hanya menjalani apa yang telah digariskan oleh YANG MAHA KUASA ?? Segala yang terjadi dalam hidup kita telah diatur oleh-NYA. Lalu untuk apakah manusia diberi hati dan akal pikiran ?? Bukankah kedua hal tersebut seharusnya mampu membuat kita sebagai manusia menentukan pilihan hidup yang tepat ?? Wallahualam…..
Buku yang sempat membuat gw dan panda tersesat hahahaha makanya kita gk boleh sok tahu hihihihihi
--------------------------------------------
Membaca "Bekisar Merah' setelah mengenal sosok penulis bernama Ahmad Tohari melalui karya triloginya "Ronggeng Dukuh Paruk". Saya melihat banyak kesamaan dari kedua buku ini, menjadikan sosok wanita sebagai tokoh sentral yang hidupnya dirundung banyak permasalahan kompleks. Kok, saya terkesan di kedua buku tersebut, wanita menjadi objek ya? Objek nafsu, objek penderitaan dan menjadi sosok yang lemah. Apa karena di buku ini, mengangkat kehidupan di zaman dahulu di mana wanita belum mempunyai banyak andil?
Tokoh Lasi dalam "Bekisar Merah", yang sejak kecil terus di-olok-olok hanya karena Lasi "berbeda"? Apa salahnya jadi berbeda? Apa karena Lasi tinggal di dusun bernama Karang Soga, sehingga perbedaan itu menjadi nyata?
Lasi selalu hidup di bawah gunjingan orang-orang Karang Soga bahkan saat Lasi sudah berusaha untuk tidak menjadi berbeda, menjadi sama seperti penduduk Karang Soga. Menjadi istri penyadap nira, yang ternyata tanpa Lasi sadari membawa Lasi kedalam keterpurukan yang lebih dalam dan menuntunnya untuk datang ke Jakarta. Lalu, Jakarta sama baik kah buat Lasi? Tidak, kecantikan fisik membuat Lasi menjadi "Bekisar Merah" yang menjadi hiasan dalam sangkar untuk orang-orang kaya. Dan, Lasi terlambat untuk menyadari semua itu, hidup dalam kebimbangan yang akhirnya hanya Lasi sendiri yang bisa menentukan kemanakan arah hidup yang akan Lasi inginkan.
Tambahan 1 bintang, untuk penggambaran alam oleh Ahmad Tohari yang detil. Membuat saya rindu akan keindahan alam pedesaan.
Bekisar Merah: Penindasan Tanpa Radikalisasi Perlawanan?
Bekasi News, Minggu, 16 November 2008 09:00 - Terakhir Diupdate Minggu, 16 November 2008 09:02
Ahmad Tohari adalah novelis yang dikenal piawai dalam melukiskan kehidupan desa. Dengan Trilogi Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menokohkan dirinya sebagai sastrawan Indonesia yang tak akan mudah dilupakan. Dengan mengambil tema kehidupan desa, setidaknya Ahmad Tohari akan berhadapan dengan kehidupan desa yang lugu dan sederhana. Dengan keluguan dan kesederhanaan itulah, orang-orang desa rentan dengan penindasan, penipuan dan perampasan orang-orang pintar terutama dari Kota. Tema inilah yang juga kembali diangkat Ahmad Tohari dalam novel Bekisar Merah. Dalam hal ini, setidaknya ada simpati dan empati dari Ahmad Tohari. Tapi bagaimanakah simpati dan empati itu diwujudkan?
Bekisar Merah pertama kali terbit tahun 1993. Sebelumnya, dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas, Februari -Mei pada tahun yang sama, 1993, 28 tahun sesudah Presiden Soekarno dijatuhkan. Presiden Soekarno, yang garang dan bertekad melawan penindasan nekolim, neokolonialisme dan imperialisme itu, semangatnya justru tak nampak dalam jiwa para penyadap pohon kelapa yang digambarkan Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah. Bekisar Merah bercerita tentang kehidupan para penyadap Nira dari pohon kelapa, yang miskin dan sengsara di desa Karangsoga, sekitar 400 km dari Jakarta, ibu kota Republik. Desa yang digambarkan dengan eksotis oleh Ahmad Tohari ini (h. 5-6) akhirnya kalah juga oleh proyek pembangunan tanpa perlawanan sama sekali. Beku dan pasrah mendekati gila, seperti yang ditunjukkan pada tokoh Darsa, ketika melihat 10 batang pohon kelapa dari 12 miliknya dirubuhkan demi instalasi listrik masuk desa (h. 303-306). Pun ketidakmampuan Kanjat, lulusan universitas dalam melakukan pembelaan bahkan dalam soal menuntut ganti rugi atas pohon-pohon kelapa yang ditebangi. Pertolongan karitatif diberikan oleh mantan istri Darsa, Lasi, yang kini menjadi kaya karena keberuntungan nasib hidupnya. Lasi, yang berdarah Jepang, cantik, menjadi kaya karena dijadikan istri hiasan layaknya Bekisar Merah di rumah orang-orang kaya. Walau menderita batin dengan perkawinan semunya itu, Lasi sadar dan tergerak untuk menolong orang-orang Karangsoga yang tak bernasib baik itu, termasuk Darsa mantan suaminya sendiri yang telah mengkhianati cintanya yang suci.
Membaca novel ini, tampak Ahmad Tohari menolak radikalisasi di desa, dan lebih memilih menyerahkan nasib dan berdamai dengannya, nrima ing pandum. Radikalisasi petani dan mahasiswa yang meluas di tahun 1980-an sampai 1990-an akibat pembangunan waduk yang menggusur tanah-tanah petani tanpa ganti rugi yang layak tampaknya tak menggerakkan tangan Ahmad Tohari untuk menjadikannya prasasti perjuangan petani dalam novelnya ini. Dengan begitu apakah Ahmad Tohari menghindari politik dalam sastranya yang eksotis ini?
Tidak juga. Setting novel ini di samping kehidupan desa dan para penyadap pohon kelapa adalah juga kehidupan moral yang dianggap bobrok dari para pejabat (birokrat) negara. Kebobrokan ini, diceritakan dalam novel ini dimulai dari Istana dengan masuknya seorang gadis geisha ke istana negara pada awal dasawarsa 60-an dan kemudian bahkan menjadi ibu negara beberapa tahun kemudian. (h.137-138). Dari sini, orang akan diingatkan pada tokoh besar bangsa ini Bung Karno yang mengawini perempuan Jepang yang kemudian terkenal dengan nama: Dewi Soekarno. Kita pun diingatkan pada novel Mochtar Lubis, Senja di Jakarta (1970) yang melukiskan juga kebobrokan birokrasi, kebejatan moral para politisi dan pelaku bisnis serta pelacuran jurnalistik selama berlangsungnya demokrasi liberal di Indonesia.
Ahmad Tohari dengan novel ini jelas menyadari mental korup birokrasi Orde Baru yang dipimpin Jendral Soeharto dan slogan pembangunannya, politik no ekonomi yes, yang telah semakin memiskinkan orang-orang desa. Tapi tak ada kesanggupan melawannya dan menerima nasib tentu sangat ironi dengan serangan moralnya terhadap Bung Karno yang telah 28 tahun tertinggal di belakang. Penindasan tanpa radikalisasi perlawanan dan menerima nasib kehidupan, begitulah pesan novel ini. Yang tentu saja tak sesuai dengan slogan orang paling lemah sekalipun: cacing diinjakpun melawan!
Sebelumnya mau kasih info, kalau dalam buku Bekisar Merah edisi ini, sudah disatukan juga buku Belantik yang sebelumnya dicetak terpisah.
Ahmad Tohari, penulis kesayangan yang lagi-lagi berhasil memotret secara lugas kehidupan masyarakat desa yang terpencil dan tertinggal.
Dalam buku Bekisar Merah dan Belantik, Ahmad Tohari mengisahkan seorang gadis cantik bernama Lasi, yang bisa dibilang kembang desa, namun semasa kecil termarginalkan, akibat parasnya yang campuran Jepang-Indonesia. Oleh karena wajahnya yang berbeda tersebutlah, ia kerap menjadi bulan-bulanan anak-anak Karangsoga, kampung halaman di mana Lasi tinggal dan berasal.
Lasi memanglah anak asli Karangsoga, tapi ia adalah buah pemerkosaan yang dilakukan tentara Jepang terhadap banyak perempuan Indonesia, termasuk Emak Lasi, pada masa pendudukan negeri Matahari Terbit tersebut.
Perlakuan berbeda terhadap dirinya membuat Lasi kerap bertanya, apa yang salah dengan dirinya? Ia sering dikecewakan oleh banyak sikap warga desanya, bahkan ia dikecewakan pula oleh suaminya, Darsa, seorang penyadap nira yang kemudian berkhianat.
Berbekal kekecewaan yang mengerak dalam dirinya, Lasi kabur meninggalkan Karangsoga, menuju Jakarta, dunia gemerlap yang sama sekali tidak dikenalnya. Di Jakarta, hidup Lasi berubah 180 derajat. Wajahnya cantiknya, yang di kampung menjadi bahan ejekan, rupanya malah menjadi daya tarik eksotis, yang membuat hidup Lasi serba mudah, bergelimang harta. Tetapi, bahagiakah Lasi di Jakarta? Di tengah gemerlap lampu Ibu Kota dan harta melimpah?
Dalam buku ini, aku melihat Ahmad Tohari berhasil memotret dan menyerukan penderitaan masyarakat miskin, yang sehari-hari menggantungkan hidup dari pohon kelapa dan tengkulak yang kerap tak kenal derita.
Masyarakat miskin, kerap dipaksa untuk nrima pandum, bahwa takdir miskin adalah garis hidup yang harus mereka terima dengan lapang dada. Pun untuk bisa mengangkat derajat hidup mereka, hal itu sangat sulit bahkan mustahil untuk dilakukan, dan satu-satunya cara yang paling mungkin adalah “menjual” paras cantik ke orang gedean di kota. Itu pun mereka tahu, sangat bersebrangan dengan norma kepatutan yang mereka anut selama ini.
Kegelisahan ini digambar dan dipadukan dengan kisah hidup Lasi secara luwes oleh Ahmad Tohari, ditambah ciri khasnya yang selalu menggambarkan latar tempat dengan sangat detail, sehingga pembaca bisa seolah berada di tempat dalam cerita sesungguhnya.
Tak hanya penderitaan rakyat miskin, dalam dua buku ini, Ahmad Tohari juga berhasil mengorek borok para “penggede-penggede” di Republik ini. Kecurangan, kejahatan, dan serba-serbi politik kotor dengan latar waktu masa Orde Baru digambarkan oleh Ahmad Tohari beriringan dengan kisah Lasi. Sentilan halus disisipkan, membuat pembaca tergelitik dan tak habis pikir oleh polah orang-orang penting negeri ini.
Di dua buku ini pun, aku merasa bahwa Ahmad Tohari ingin menyerukan, bahwa wanita pun manusia yang patut dihargai kehadirannya, keberadaannya, eksistensinya. Wanita bukan hanya sekadar pajangan pelengkap hidup pria. Bahwa pernikahan pria dan wanita adalah tentang saling padu, saling isi, bukan menjadikan satu pihak semata perhiasan sangkar madu.
Bekisar Merah dan Belantik, adalah juga tentang pencarian jati diri, pencarian makna hidup sejati, dan betapa hangatnya benar-benar bisa pulang ke rumah.
Butuh sebulan buat aku ngehabisin buku yang satu ini😂 cukup lama yaa karena emang bentrok sama bulan UAS dan emang lagi readinh slump :")
Bisa dikatakan karya Ahmad Tohari yang satu ini kurang lebih sama dengan Ronggeng Dukuh Paruk, lebih tepatnya tentang "perempuan" atau malah Bekisar Merah terasa lebih menyakitkan.
Lasi betul-betul perempuan desa yang bodoh dan lugu kataku. Dia naif karena ketidaktahuannya dan cukup mudah terbawa arus. Jadi di beberapa hal aku bener-bener greget sama dia😭 but despite that emang lelaki itu memang bejat. Apalagi jika seorang lelaki yang diberi kuasa. Bejatnya keterlaluan.
Seperti biasa, di buku ini Ahmad Tohari juga menyuguhkan ketidakmampuan kaum bawah akan kuasa kaum atas. Kaum bawah yang polos dan anyem adem seadem daun pisang hijau segar sehabis diguyur hujan, tiba-tiba jatuh pasrah dan tak berdaya terbentas kaum atas yang semaunya.
"Andaikan tidak mau menerima apa yang tak bisa kutampik, lalu kau bisa berbuat apa? Coba, seorang penyadap seperti ini mau apa? Mbalelo?"
Jika ditanya bagaimana alur cerita ini, mungkin bakal menanjak kecil di awal disuguhi pemandangan cantik di sepanjang jalan tapi tiba-tiba kelilipan sesuatu. Lalu, tanjakan jadi lebih menanjal dan berkelok-kelok. Pemandangan cantik yang kita lihat di jalan awal tadi mulai hilang. Setelahnya, kita turun dengan jalan yang cukup mulus dan rata tanpa ada jalan berlubang atau kena kelilipan😂
Ahmad Tohari bisa membawaku merasakan bagaimana hidup di Karangsoga, menyelami berbagai perasaan tokohnya terutama Lasi, bagaimana rasanya menjadi sangat miskin, dihianati suami hingga menjadi isteri simpanan orang kaya.
"Bekisar Merah" Bicara tentang karya Mbah Ahmad Tohari, secara keseluruhan tema-tema yang diangkat lebih pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan dengan mengambil setting zaman perjuangan kemerdekaan sampai dekade 60-an (PKI). Sebut saja misalnya karyanya Ronggeng Dukuh Paruk dan triloginya (Lintang Kemukus, Jentera Bianglala), Di Kaki Bukit Cibalak, Bekisar Merah dengan nuansa Jawa 'klasik' yang sangat kental. Dengan dibumbui sedikit alur yang 'rada mesum (saru), Ahmad Tohari berusaha menghadirkan kembali nuansa kehidupan desa pada tahun-tahun itu. .. Bekisar Merah, novel ini baru kubaca sekitar pertengahan 2008. Itupun tidak lewat buku asli ataupun PDF, tapi dari file dengan format Microsof Word 2003 yang kudapatkan dari sababat (Mas Muhammad Dzikron) ketika sedang bermain ke rumahnya di daerah Nasr City. Seperti halnya novel Ahmad Tohari yang lain, latar utama yang diambil untuk cerita ini memang sangat 'ndeso' banget. Dengan tokoh utama Darsa dan Lasi, cerita ini dimulai dengan penjelasan sosok masing-masing. Lasi, sebagai gadis keturunan Jepang yang menurut orang-orang kampung adalah 'anak haram' (lahir karena pemerkosaan oleh tentara NIPON), tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Berkulit putih, mulus, rambut hitam lurus dan gambaran kecantikan lainnya. Kemudian Darsa, suami lasi yang pekerjaannya mencari nira untuk dijadikan gula merah.
Titik awal permasalahan novel ini dimulai ketika si Darsa jatuh dari pohon ketika sedang mengambil nira. Setelah jatuh, Darsa mengalami 'lemah pucuk' (bagi yang tidak berkepentingan untuk membaca, dilarang memanipulasi arti kata ini..hehehe!). Meskipun begitu, Lasi tetap sabar merawatnya. Sampai suatu ketika, Darsa berobat ke 'Emak Erot' (aku lupa namanya..^-^), dan pada tahap akhir penyembuhan, Emak Erot 'iseng' agar Darsa mau 'mencoba' anak gadisnya yang tidak kunjung laku. (Pada plot ini, Ahmad Tohari memberikan gambaran tentang 'tidak adanya' nilai-nilai agama yang dipegang masyarakat setempat). Karena termakan budi dan ketidak tahuan Darsa tentang 'aturan-aturan agama', Darsa-pun mau menzinai anak gadis Emak Erot', dan tak lama kemudian anak gadis Emak Erot itu hamil (yaaa iyaaaa laahhhh..hehehe).
Lasi sangat shock mendengar kabar bahwa Darsa tega menghianatinya, Lasi kemudian 'minggat' dari rumah. Dari titik ini, cerita selanjutnya banyak terkonsentrasi pada perjalanan 'minggat'nya Lasi ke kota; mulai dari menjadi pembantu, sampai Lasi menjadi orang kaya karena diperistri pria kaya raya yang sudah tua bangka (hehe). (Si tua bangka itu juga 'lemah pucuk' lhoo,,^-^, baca sendiri di novel 'adegan ranjang' antara si Lasi dan si tua bangka ini,,lucu,,hehe)
Menurutku, klimaks novel ini berada pada bagian ketika Lasi akan 'ditiduri' pria hidung belang-belang. Lasi di'jual' oleh pria yang berjanji akan menikahinya (aku lupa namanya) kepada pria hidung belang-belang ituuu ^-^. Akhirnya, Lasi-pun gila karena menanggung derita hidup dengan 'cinta'nya yang tak berlabuh dan dikhianati.
Anyway,,dengan gaya bahasa sastra yang memikat, semua karya Ahmad Tohari berhasil menghipnotisku untuk selalu 'lembur' di depan monitor sampai subuh utk menyelesaikan baris-baris novelnya. So..you must read it..!!! ...
Oiaa....ketika dulu masih di SMA, aku punya kawan yang katanya masih memiliki 'hubungan darah' dengan Mbah Ahmad Tohari. Namanya Muhammad Sulaiman, pria gagah asli Kroya-Cilacap (dengar-dengar dia sudah bertunangan dengan gadis Palembang,,^-^). Sampai berita ini diturunkan, kebenaran 'hubungan darah' tersebut belum bisa dipastikan (karena Sulaiman tawadu' banget kali yaah..hehehe)..
Ibarat perwayangan. Dalam roman ini, pengarang sepenuhnya menjadi dalang yang berdiri di luar tanpa terlibat langsung sebagai salah satu tokoh dalam cerita. Seperti biasa, gaya khas Ahmad Tohari yg berpangkal cerita pada pendeskripsian suasana alam lestari pedesaan yg dituturkan silih berantai, kemudian bercabang atau berujung pada pengasosiasiannya ke peristiwa yg dialami para tokoh di dalamnya.
Penyajian kisah ironik yg tidak cuma melingkupi kehidupan personal, tetapi juga merambah wilayah kehidupan khalayak.
Secara personal, tiap tokoh seolah mewakili dunianya & perannya masing2, yang kemudian diperluas dalam kehidupan bersama, yang pada dasarnya sama-sama terjebak pada jaring-jaring siluman struktural kasat mata pada tatanan kehidupan masyarakat. Dimana mekanisme pasar bebas dengan leluasanya mempermainkan nasib lapisan masyarakat yg termarginalkan.
Satu hal yang mencolok dari novel ini adalah bagaimana Tohari mengisahkan kesengsaraan Darsa sebagai seorang penderes nira. Dengan deskripsi yang detail, saya dapat merasakan betapa "menawannya" hidup di tengah hujan dan angin badai. Darsa, yang seharusnya menjadi simbol perjuangan, lebih mirip dengan karakter yang terjebak dalam drama kehidupan yang absurd, berusaha mencari nira di tengah badai seolah-olah itu adalah panggilan jiwa. Tohari seakan ingin mengatakan, "Hei, jangan khawatir! Hidup ini penuh tantangan, seperti menanjak pohon kelapa di tengah hujan deras!"
Hubungan Darsa dan Lasi bisa dibilang romantis dalam pengertian yang sangat 'pedesaan'. Saat Darsa menatap Lasi dengan penuh cinta, saya tidak bisa tidak tersenyum (atau mungkin tertawa). Mengingat bagaimana Darsa lebih memikirkan pohon kelapanya ketimbang istri yang sedang berdandan, saya seolah ditunjukkan betapa "agungnya" cinta seorang penyadap. Lalu, Lasi, dengan segala daya tariknya, berusaha menjadi istri yang ideal di tengah kekacauan. Seakan-akan, semua itu adalah drama romantis yang terjebak di antara pertarungan melawan alam dan keinginan untuk memiliki keturunan.
Di balik semua kebisingan, Tohari menyisipkan kritik sosial yang halus. Keterbatasan Darsa dan Lasi dalam menghadapi tantangan hidup di desa—terutama saat harus berurusan dengan biaya pengobatan—menjadi refleksi nyata dari masyarakat yang terpinggirkan. Tetapi, alih-alih memberikan solusi, novel ini justru lebih banyak menggambarkan keputusasaan. Saya bisa melihat bagaimana tindakan "mencari pinjaman" dari Pak Tir menjadi jalan keluar yang pahit. Dengan cara ini, Tohari seakan berkata, "Inilah kehidupan pedesaan; berputar di sekitar hutang dan harapan yang tak kunjung terwujud."
Bekisar Merah adalah sebuah novel yang menyajikan kehidupan dengan segala absurditasnya. Tohari berhasil mengemasnya dalam bentuk yang membuat saya terhibur sekaligus merenung. Apakah saya tersenyum karena kehidupan Darsa dan Lasi yang tragis, atau malah merasa terenyuh? Mungkin keduanya. Di balik semua tawa dan air mata, tersimpan refleksi bahwa hidup, dengan segala kesulitan dan keindahannya, adalah panggung sandiwara yang tak pernah kita pilih.
Bekisar adalah ayam lokal hasil persilangan antara ayam hutan hijau jantan dengan ayam kampung betina. Kata tersebut digunakan oleh Ahmad Tohari untuk menggambarkan tokoh Lasi yang merupakan anak dari persilangan antara Indo dan Jepang. Bekisar, memiliki kokok yang merdu dan bulu yang eksotis. Begitu pun Lasi, sejak kecil ia menjadi pusat perhatian warga kampung Karangsoga. Matanya yang sipit dan tubuh yang bongsor, membuat ia tampil berbeda.
Pada awalnya, Lasi merupakan istri dari seorang penyadap nira bernama Darsa. Dengan Darsa ia hidup serba pas-pasan. Uang hanya cukup untuk makan hari itu juga. Hingga pada suatu hari musibah menimpa Darsa. Ia jatuh dari pohon kelapa. Hal itu membuat Darsa tidak lagi mampu menyadap nira untuk beberapa saat. Itu artinya, Lasi harus bersusah payah sendiri.
Ahmad Tohari dalam novel ini beberapa kali menyentil tentang kekuasaan yang saat itu dipimpin oleh presiden Soekarno. Pada masa itu, presiden Soekarno memiliki istri keturunan Jepang. Hal itu membuat para pejabat lain juga ingin memilikinya. Sebab, bagaimana pun, seorang pemimpin adalah patron bagi pengikutnya. Maka dari itu, orang-orang seperti Lasi sangat dicari oleh kalangan borjuis. Dan begitulah adanya, suatu hari Lasi dipertemukan oleh seorang hartawan bernama Handarbeni. Handarbeni memperistri Lasi hanya untuk mempertahankan simbol kejantanannya. Ia tahu bahwa dirinya sudah tak mampu lagi bermain ranjang. Maka kehadiran Lasi digunakan untuk menundukkan setiap kepala yang menganggap ia lemah.
Ini adalah novel kedua dari Ahmad Tohari yang saya baca. Novel pertama yakni trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Tak jauh beda, dalam Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari juga menciptakan tokoh sentral perempuan, bernama Srintil. Sama seperti Lasi, Srintil juga merupakan pusat perhatian bagi warga Dukuh Paruk. Srintil juga mengalami konflik batin yang serupa seperti Lasi, mempertanyakan eksistensi dirinya. Dan pertanyaan itu sama-sama meluncur di lingkup perkawinan.
Ahmad Tohari dengan penulisannya yang indah—terutama ketika mendeskripsikan keindahan alam—berhasil menarik perhatian saya. Saya juga senang ketika beliau menyinggung peran pemerintah dan orang-orang di atas sana dalam memelihara kemiskinan rakyat, serta bagaimana mereka membuat masyarakat miskin bergantung pada sistem yang jarang sekali menguntungkan mereka.
Kutipan favorit saya adalah: “...kemajuan yang bisa dinikmati masyarakat sesungguhnya tak sebanding dengan harga yang harus dibayar, berupa pengingkaran atas asas-asas republik demokrasi.”
Gagalnya usaha Kanjat—anak salah satu orang kaya di Karangsoga—yang ingin mempermudah pekerjaan penderes nira sekaligus menjaga kelestarian alam pun terasa sangat sesuai dengan realita. Dana yang terbatas, minimnya pengetahuan para penderes, dan keengganan mereka untuk meninggalkan sesuatu yang menurut mereka familiar, alias takut perubahan. Getir juga saya rasakan ketika memahami ketidakmampuan rakyat Karangsoga untuk berbuat banyak terhadap keputusan yang dibuat oleh orang-orang di pemerintahan—walaupun keputusan tersebut nyatanya tidak memperbaiki hidup mereka, dan malah merusak tanpa adanya kompensasi apa pun.
Satu hal yang membuat saya agak menyayangkan buku dengan isi seindah ini adalah tokoh Lasi. Tokoh utama perempuan yang semula hidupnya penuh kemiskinan dan kesengsaraan, dalam sekejap berganti dengan kemewahan—namun dengan hati yang kosong. Saya sangat tidak menyukai bagaimana Lasi digambarkan sebagai sosok yang seakan tidak punya kendali atas hidupnya sendiri dan selalu menggantungkan diri pada orang lain, sampai akhirnya dia berada dalam situasi dan lingkaran setan yang membuat hidupnya sangat rumit. Satu-satunya hal yang ditonjolkan dari Lasi dalam buku ini adalah kecantikannya, padahal perempuan seharusnya dilihat lebih dari sekadar hal tersebut.
Perempuan yang lahir dari kawin silang antara pribumi dengan penjajah Jepang. Lasi merupakan anak tunggal yang tidak pernah mengetahui ayahnya seperti apa. Dia tumbuh dengan banyak sebutan yang kasar seperti "anak haram" karena ayahnya memerkosa ibunya. Meskipun ayahnya kemudian bertanggungjawab dengan menikahi ibunya.
Lasi hidup miskin di sebuah desa dengan mata pencahariannya sebagai pembuat gula kelapa yang murah. Cara pembuatan gula tersebut sangat beresiko dan tidak nyaman bagi setiap pengolahnya, dan sangat sulit mendapatkan harga yang baik. Setelah hidup miskin, dia pun hidup sulit karena mendapatkan gunjingan dari tetangga, suami yang sakit, dan perselingkuhan.
Setelah itu dia kabur menuju Jakarta. Jakarta sebagai ibu kota menjadi tempat yang baru bagi Lasi untuk bertahan hidup. Cerita ini sebenarnya menjadi cermin sosial dari banyaknya perempuan yang datang dari kampung, tanpa berbekal ilmu pengetahuan, diberikan kebaikan oleh seseorang asing, dan berakhir menjadi perempuan yang dijual. Meskipun begitu, Lasi berada dalam posisi yang membingungkan. Segala hal yang sudah diberikan oleh majikannya, berakhir dalam posisi yang menjual dirinya.
Pada akhirnya Lasi tetap memilih hidup dalam kekayaan. Beruntungnya, suaminya bersikap baik kepada dirinya. Namun dalam dunia nyata, masih banyak seseorang yang membeli manusia untuk menjadikannya sebagai objek seksual, atau berujung pada penyiksaan.
Gaya kebahasaan Ahmad Tohari yang menjelaskan latar tempat cerita hingga beberapa paragraf, masih menjadi ciri khas yang saya sadari. Bagaimana hal tersebut menjadi foreshadowing hingga akhir cerita. Kebahasaan dengan menyempilkan bahasa Jawa dan beberapa bait pupuh, menjadi unsur unik dengan petuah-petuah dari kebudayaan Jawa.
Sungguh di luar dugaan! Aku sangat suka dengan sinopsis di sini, yang memberikan gambaran cerita utuhnya, tidak hanya diberi cuplikan dari salah satu chapter. Begitu membaca secara keseluruhan... waaah! Beneran deh, bikin geregetan mengikuti cerita Lasi yang terlunta-lunta, mulai dari hidupnya di Karangsoga bersama Darsa, lalu ada Handarbeni, urusannya dengan Bambung si elit, sampai Kanjat teman masa kecilnya. Dari novel ini diceritakan tentang dua latar kehidupan yang bertolak belakang. Kehidupan desa yang dengan berbagai macam kesusahannya namun terasa hidup dan kaya secara jiwa vs kehidupan kota yang jor-joran dengan segala kemaksiatannya tapi terasa tanpa esensi dan mati. Selain itu, di novel ini juga diceritakan mengenai problematika lapisan masyarakat dari tingkat yang berbeda-beda, yang tentunya akan menambah perspektif pembaca dalam memahami gaya hidup dari tiap lapisan masyarakat itu. Menurutku, ini novel cocok dengan pembaca yang suka genre drama (bukan drama ala sinetron, tapi drama semi realistis), banyak banget piwulang terutama dari Eyang Mus yang bikin pembaca ikutan 'eling' hehe.
SPOILER DIKIT: HAPPY ENDING KOKKKK HEHEHEHE 🌝
Lalu, novel ini sepertinya memang sedikit banyak mengungkapkan hal-hal dewasa ((iykwim)) tapi ya gak sevulgar itu sih, jadi mungkin agak bikin jengah, terlebih lagi yang menjadi objeknya ya perempuan. Ada rasa seperti direndahkan kalau baca betapa busuknya isi pikiran laki-laki yang katanya sudah dewasa itu. Tapi yasudah lah ya, cukup tau ajaaa
Rate: 9/10
This entire review has been hidden because of spoilers.
Akulah pembaca yang tidak pernah kecewa dengan bukunya Ahmad Tohari itu ><
Pas baca (jujur nih ya..) merasa gak nyambung antara isi buku sama judulnya. Judulnya soal ayam silangan, isinya soal kemiskinan penyadap nira. NAH, nemu jawabannya baru dihalaman 100+, menempuh jauh hanya untuk mendapat jawaban arti judul buku. pembaca yang dulunya pernah menjadi mahasiswa, pasti dihalaman 92 akan merasa minder sama Kanjat. Dia kepikiran banget apakah skripsi yang sedang dia kerjakan mengenai kehidupan para penyadap akan memberi dia label "sok moralis", sementara banyak pembuat skripsi (termasuk gweh) yang asal aja bikin skripsi yang penting lulus. Apa itu label si paling moralis? SAYA HANYA INGIN LULUS. kata dosen kanjat, "orang takut dibilang moralis, mereka lebih suka hanyut dalam kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu, pragmatisme menjadi benar-benar amoral. Mereka lebih baik amoral daripada dibilang moralis."
Sejauh ini Bekisar Merah benar-benar briliant sih menurutku. Judul soal hewan, isinya soal kemiskinan, sindiran terhadap salah satu tokoh nasional, dan juga bisnis lendir. Gak kalah menarik dari point tadi, dalam buku ini Ahmad Tohari mendeskripsikan hubungan seksual sebagai hal yang indah, sakral, untuk menyatu memahami arti penciptaan tiap-tiap manusia.
Saya sudah sangat cocok dengan gaya penulisan Pak Ahmad Tohari.
Dia seperti John Steinbeck milik Indonesia. Topiknya selalu topik grass root tapi diceritakan dengan seimbang, ya romantisme kehidupan alamnya, ya keburukan sistem yang menghimpit hidup mereka.
Begitu pula di buku ini.
(Spoiler Alert)
Dibuka dengan kehidupan para penderes/penyadap nira dan perkenalan pada kehidupan mereka yang mergulat dengan bahaya memanjat pohon kelapa setiap hari, mengolah nira di atas tenguli yang panas membara, dan masih saja menjualnya dengan harga rendah yang tidak pantas mengganti semua bahaya itu. Diceritakan pula mafia politik Indonesia di era awal Indonesia merdeka, bagaimana nepotisme sangat mendarah daging. Lucunya, orang Indonesia sendiri memuji administrasi orang Belanda yang lebih jujur. Selain itu, diceritakan pula bagaimana Indonesia pun punya trophy wife, di mana perempuan cuma dianggap barang untuk dipertontonkan.
Buku ini menceritakan Lasi, seorang perempuan dengan semua pengalamannya sebagai seorang perempuan desa yang tidak lepas dari pergunjingan; mulai dari asal usulnya sampai semua kesialan yang menimpanya. Hidup membawanya ke Jakarta di mana ia hidup dengan banyak kemewahan tapi di tengah kemewahan itu ia bertanya di mana letak arti hidup itu sendiri. Perjalanannya mengantarkannya menjalin cerita yang dia harap lebih berarti.
Tapi apa arti hidup ini? Bukankah kata Eyang Mus, kita hanya menjalankan apa yang sudah digariskan?
Bekisar Merah adalah istilah untuk tokoh utama dalam buku ini, Lasiyah. Perempuan muda, berusia antara 20-an hingga 30-an tahun selama cerita ini terjadi, tersebut menjadi pusat cerita. Mulai dari perjalanan dia menjadi istri seorang penyadap nira di desa kelahirannya hingga menjadi simpanan pejabat tinggi di Jakarta.
Lasi, blasteran Jawa-Jepang, berwajah oriental. Putih. Punya lesung pipi. Sintal. Cantik dan berbeda. Namun, kecantikan itu yang membuatnya justru menjadi incaran laki-laki sejak belia. Kisah hidupnya melesat cepat setelah menjadi "bekisar merah" peliharaan pejabat tinggi di ibu kota.
Namun, kemewahan tak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Termasuk bagi Lasi yang masih terjebak dengan masa lalunya. Dia tak bisa melupakan desa, mantan suaminya, dan teman kecilnya yang dia sukai, Kajat.
Meskipun demikian, novel ini tak melulu soal romansa, tetapi juga ketidakadilan terhadap penyadap nira, ketidaksetaraan posisi antara perempuan dan laki-laki, juga sekilas tentang amburadulnya mental elite di negara ini. Bagusnya, tokoh-tokoh dalam novel ini sangat manusiawi. Apa adanya. Tidak ada yang, misalnya, yang terlalu jahat atau hitam putih.
Buku ini sangat khas Ahmad Tohari, cerita-cerita dari desa juga berkelindan dengan kekuasaan di negeri ini.
Seorang gadis lugu yang bersuamikan seorang pengumpul nira. Mereka pasangan yang hidup sederhana dan bahagia. Suatu hari sang suami mengalami kecelakaan yang hampir dialami oleh para pengumpul nira, yaitu jatuh dari atas pohon. Mau tidak mau sang suami mengalami kelumpuhan dan tidak bisa mencari rezeki lagi. Disinilah awal kehancuran rumah tangga mereka.
Si gadis lugu yang telah mengalami berbagai macam kejadian pahit akhirnya berubah menjadi gadis kota yang sudah mengerti pahitnya hidup, dunia gelap ibu kota, dan kerasnya menjadi seorang perempuan.
Buku Bekisar Merah ini dibagi menjadi dua jilid: Bekisar Merah I dan Bekisar Merah II. Untungnya saat saya mendapatkan buku yang sudah all-in-one.
Penulis mengisahkan kisah si gadis lugu begitu menyedihkan, pembaca dibuat miris dan kasihan. Pasti banyak wanita-wanita di sana yang mengalami kejadian serupa.
Ada tokoh yang disinggung oleh penulis, seorang pejabat dengan jambang putih seperti kambing, mengingatkan saya dengan seorang pemimpin negeri...
Tak adil rasanya membandingkan novel ini dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Latar dan dunia yang dibangun berbeda. Menurut ukurannya sendiri, novel ini bagus, sangat bagus.
Pada edisi terbaru, dapat dilihat pada bagian kedua, kritik sosial disampaikan dengan sangat tajam. Kritik di bagian satu, sebaliknya, tersirat secara halus. Konteks kebebasan menyuarakan pendapat menentukan perubahan itu.
Menarik bahwa seperti di Kubah, surau di desa mendapat tempat yang istimewa. Surau jadi saksi bisu pergulatan berbagai karakter. Tak sedikit pun menghakimi, tapi sebaliknya, teduh dan mengayomi.
Novel ini diakhiri dengan perjalanan pulang. "Pulang" layak kita beri perhatian karena menunjukkan di mana rumah berada, tempat kita diterima secara apa adanya dan hati damai. Ahmad Tohari ingin menunjukkan bahwa keindahan pulang dan rumah tak selalu berasal dari gemerlap kota.
Ia sendiri mengalaminya. Pernah bekerja di kota dan kini bahagia tinggal di desa. Saya pernah berkunjung ke rumahnya dan sempat berbincang juga. Rumahnya yang sederhana tapi bersahaja adalah cermin dari dunia batinnya.
Baginya, urusan duniawi tidak mendahului urusan surgawi, sesuatu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Dalam novel ini, dengan cerdik ia bertanya, kurang lebih: "Untuk mulai memikirkan Tuhan, mana yang harus kamu alami terlebih dahulu: lapar atau kenyang?"
Lasi dan Darsa hidup serumah setelah menikah. Darsa adalah penyadap nira. Kehidupan pas pasan sudah menjadi teman mereka sepanjang waktu. Tetapi, hal itu berubah tatkala Darsa menikahi Sipah, anak dukun yang menyembuhkan penyakit Darsa. Lasi pun kabur ke Jakarta menumpang truk pembawa Nira yang dikendarai Pardi dan Sipon. Di Jakarta, Lasi dibantu Bu Koneng menjadi orang gedean. Lasi bertemu dengan Bu Lanting yang mengenalkannya kepada pejabat kelas atas. Ada Handarbeni yang tua dan tak mampu lagi memuaskan Lasi. Ada pula Bambung, hartawan kelas atas yang lobinya kelas nasional dan internasional. Lasi seolah menjadi mainan di ibukota. Cinta yang dirasakannya tidak seperti di Karangsoga. Setelah perjalanan panjang, ia bertemu Kanjat, sahabat masa kecilnya yang kini menjadi dosen. Keduanya menikah di hadapan Eyang Mus dan beberapa orang dari kedua mempelai. Mereka harus menghadapi keadaan yang tidak mengenakkan sebelum akhirnya bisa bersatu kembali lalu pulang ke Karangsoga.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Bekisar Merah, karya kedua dari Ahmad Tohari yang saya baca. Ini tentang kisah Lasi, seorang gadis yang penampilannya kontras dengan tempat desa dimana dia tinggal, Karangsoga. Lasi atau Lasiyah, sejak kecil jadi bahan gunjingan warga karena dia memiliki wajah seperti gadis Jepang. Setelah suaminya yang seorang Penderes atau pencari nira selingkuh, Lasi kabur ke Jakarta. Lasi terdampar kesana-kemari meski diperlakukan sangat baik oleh orang yang ditemuinya, tapi semua kebaikan itu ada harga yang harus Ia bayar. Lasi dinikahi oleh orang kaya yang menjadikannya hanya sebagai hiasan rumah seperti seekor bekisar. Ditengah pergolakan dan pernikahannya yang main-main itu, Kanjat sosok lelaki teman masa kecilnya selalu memenuhi isi kepalanya. Bekisar merah menceritakan latar belakang pedesaan Indonesia di masa orde baru yang serba kesusahan namun digambarkan dengan sangat indah dan kemegahan alam yang sukar ditandingi.
Pertama kali baca bukunya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, judulnya nampak kurang menarik tapi isinya WOOWWW GILA, rekomen banget buat dibaca, dan setelah baca buku ini, nama Ahmad Tohari langsung masuk list penulis favorit yang buku-bukunya wajib wajib dibaca.
Kedua novel Tohari yang saya baca berlatar pedesaan, alam dan kehidupan sederhana, cocok dengan gaya penulisannya yang indah, bernuansa Jawa klasik karena selalu menyisipkan istilah dan pepatah bahasa Jawa, bukunya Tohari, kalo jadi orang tuh kayak mas-mas Jawa hitam manis yang soft spoken gitu, bikin betah 🤭
Bekisar merah ini bercerita tentang kisah hidup seorang gadis keturunan Jepang yang cantik, hidup sebagai penyadap nira yang miskin tetapi takdir membawanya ke Jakarta untuk hidup dalam gelimpangan harta, cukup klise dan endingnya juga mudah ditebak tapi dengan gaya bahasa sastra ala Tohari yang memikat, sukses menghipnotis saya buat lembur sampe malam baca novelnya.
Dari semua penulis Indonesia yang pernah saya baca, Ahmad Tohari selalu yang menjadi favorit. Gaya penulisannya yang sederhana, apa adanya, justru menjadi pelengkap yang sangat cocok terutama ketika bercerita tentang alam dan penduduknya. Ia lebih sering menulis tentang alam desa yang asri dan alami membaur indah dengan sifat penduduk desa yang polos, sederhana dan sangat dekat dengan Sang Pencipta.
Hal tersebut juga sangat nampak dari buku ini. Namun ketika plot mulai menginjak puncaknya dan sedikit menurun, kegelisahan mulai muncul karena cerita ini sedikit keluar dari authenticity pengarang. Namun itu tidak terlalu overwhelming mengingat penuturan ceritanya yang lugas yang mampu membuat bagian yang saya kurang suka menjadi lebih enjoyable, apalagi dia juga pawai dalam menyelip karakternya yang asli di situasi plot tersebut.
Saya berniat untuk tidak menulis review sama sekali, tetapi untuk buku ini saya merasa harus menulisnya.
Buku ini pernah menemani saya tumbuh, di mana saya menemukannya di tumpukan koran usang di rumah nenek saya. Kertasnya sudah melewati fase menguning, berwarna coklat dan berbau khas buku yang sudah berumur. Penasaran, saya mencoba membaca. Apa sih maksud Bekisar Merah ini?
Dahulu saya tidak mengerti apa maksudnya takdir perempuan desa yang kecantikannya unik ini selalu diatur orang lain. Kalaupun tidak diatur, pasti bersinggungan dengan apa yang sudah dilakukan orang lain; yang berdampak pada dirinya. Setelah dewasa, saya menyadari bahwasannya buku ini adalah buku yang dapat menggambarkan kehidupan perempuan di Indonesia, di mana tindakan dan takdirnya terkadang harus dikontrol banyak entitas; keluarga, masyarakat, bahkan orang yang tidak dikenalnya.
Buku ini buku pioner saya dalam membaca buku karya Ahmad Tohari.Beberapa tahun silam secara tidak sengaja saya menemukan buku ini di rak perpustakaan tempat saya kuliah. Bukunya sudah lusuh seperti sudah banyak tangan yang singgah. Setelah di baca saya hanyut mengikuti alur ceritanya. Mengisahkan tentang hidup pelik seorang gadis peranakan bekas serdadu Jepang bernama Lasi. Latar cerita pedesaan yang asri . Tapi tidak se-asri hidup masyarakatnya. Setelah membaca buku ini saya mencari lagi karya Ahmad Tohari lainnya. Orang-orang proyek, senyum karyamin, ronggeng dukuh paruk, dibawah kaki bukit cibalak, kubah, mata yang enak dipandang. Masih ada buku Ahmad Tohari yang belum saya baca. Tapi beberapa buku Ahmad Tohari yang sudah saya baca memiliki kesamaan 1. Latar ceritanya pedesaan 2.Perempuan jadi tokoh yang selalu berakhir menyedihkan wkwkwkw
Cerita berlatar belakang seorang wanita kampung dari sebuah desa pengolah nira bernama Lasi yang berubah menjadi seorang nyonya besar di kota besar. Hal itu karena paras tubuhnya yang dominan Jepang dari ayahnya yang tidak tahu keberadaannya, layaknya ayam bekisar seperti judul buku ini.
Rasa kecewa, takut, berani dan menantang juga sangat terasa di buku inu. Beberapa tokoh punya karakter unik dan tidak terlalu dominan. Begitupun teman masa kecilnya, Kanjat yang tumbuh menjadi pria yang setia dan terus mencoba untuk tenang dalam menanti dan akhirnya bisa menemani Lasi.
Saya semakin nyaman membaca dengan suasana perkampungan nira dan perkotaan serta aktivitas kesehariannya, kumpulan syair Jawa yang bermakna pesan dan nasihat hidup, serta bumbu keadaan politik zaman orde baru memberi kesan lain saat membacanya.
Buku yang aku baca berisi Bekisar Merah dan Belantik yang digabung jadi satu (infonya sebelumnya kedua cerita ini ada di buku yang terpisah). Penggambaran alam ditambah dinamika budaya dan politik yang jadi cirikhas dari Ahmad Tohari masih kental sekali di buku ini, dan aku selalu senang bisa menikmati tulisan beliau. Menurutku rasa kekosongan, bingung, dan gamangnya Lasi bisa sampai ke pembaca dengan sangat baik. Terus juga gambaran suasana politik pada jamannya yang sebetulnya gak jauh beda dengan apa yang terjadi sekarang digambarkan dengan menarik meski terasa ironis. Banyak yang bisa aku petik dari berbagai kutipan di dalam buku ini, karena banyak sekali wejangan khas 'orang lama' tentang kehidupan yang rasa-rasanya sih masih sangat applicable di kehidupan sekarang ini. I enjoyed every bit of this book and I have to say I'm a fan of his work.
Seperti ciri khas karya-karya Ahmad Tohari yang mengangkat tema kemiskinan. Bercerita tentang Lasi - dengan nama lengkap Lasiyah - seorang perempuan keturunan Jepang yang tinggal di sebuah desa bernama Karangsoga.
Di novel ini, pembaca harus siap dengan kepedihan yang disajikan di ceritanya. Kepolosan orang-orang desa yang "menerima" takdir kemiskinan mereka, Lasi yang tak bisa mengelak takdirnya, sampai kisah cinta yang tak berakhir indah.
Tokoh Eyang Mus sebagai orang yang dituakan di Karangsoga setidaknya memberikan pembaca perasaan yang teduh di tengah kehidupan para tokoh yang penuh dengan kesusahan. Tetap saja, wejangan-wejangan itu hanya memberikan ketenangan yang semu untuk menerima takdir yang kejam.
entah ini buku keberapa nya ahmad tohari yang udah aku baca. selalu penasaran sama buku ini karena salah satu dosen ku (yang memang penggemarnya ahmad tohari) selalu mention judul buku ini.
Bekisar Merah adalah novel klasik yang masih relevan dengan kehidupan saat ini. Cerita tentang cinta, pengkhianatan, dan pencarian kebahagiaan yang dikemas dengan apik oleh Ahmad Tohari. Cocok dibaca oleh semua kalangan yang ingin merasakan sensasi drama pedesaan yang penuh makna.
kebanyakan yang aku tangkep dari buku ini ya tentang bagaimana si perempuan di salam sebuah hubungan, atau kayak "jadi perempuan tuh harus kuat!!". btw kalo mau di bandingin sama yang ronggeng dukuh paruk jelas beda siih, tapi udah mulai familiar dengan gaya penulisannya ahmad tohari 🍤🧃
I'll give it 3.8! Baca ini gara - gara novel ini dijadiin thesis sama dosen. Overall suka sama penulisannya yg buat throwback ke masa muda simbah yg mirip, entah suasana desa, masyarakat dan ignorance nya, standar nikah dan stigma janda, eksistensi perempuan sebagai kelas kedua, bahkan seorang perempuan yg mengobyetktifikasi diri sendiri. Novel ini menyajikkan gambaran perempuan sebagai "dapur, sumur, kasur." Sebagai perempuan yg hidup di zaman sekarang, pastilah selama baca gedeg "duh gimana sih si Lasi kok jadi perempuan cuma diem aja? Lawan kek! Maki maki tuh laki!!!" Tapi balik lagi ke setting cerita yg jarang ada perempuan bisa melampaui standar 'perempuan semestinya'. Otw baca Belantik!