Ajip Rosidi (dibaca: Ayip Rosidi) mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastera Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Pendidikan formalnya SD di Jatiwangi (1950), SMP di Jakarta (1953) dan Taman Madya di Jakarta (tidak tamat, 1956), selanjutnya otodidak.
Ia mulai mengumumkan karya sastera tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).
Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya kl. seratus judul.
Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bungarampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll. Bukunya yang dalam bahasa Sunda, a.l. Kanjutkundang (bungarampai sastera setelah perang disusun bersama Rusman Sutiasumarga, 1963), Beber Layar! (1964), Jante Arkidam (1967), DurPanjak! (1967), Ngalanglang K.asusastran Sunda (1983), Dengkleung De’ngde’k (1985), Polemik Undak-usuk Basa Sunda (1987), Haji Hasan Mustapajeung Karya-karyana (1988), Hurip Waras! (1988), Pancakaki (1996), Cupumanik Astagina (1997), Eundeuk-eundeukan (1998), Trang-trang Kolentrang (1999), dll.
Ia juga mengumpulkan dan menyunting tulisan tersebar Sjafruddin Prawiranegara (3 jilid) dan Asrul Sani (Surat-surat Kepercayaan, 1997). Ketika masih duduk di SMP men-jadi redaktur majalah Suluh Pelajar (Suluh Peladjar) (1953-1955) yang tersebar ke seluruh Indonesia. Kemudian men-jadi pemimpin redaksi bulanan Prosa (1955), Mingguan (kemudian Majalah Sunda (1965-1967), bulanan Budaya Jaya (Budaja Djaja, 1968-1979). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).
Sejak 1981 diangkat menjadi gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehi-dupan sastera-budaya dan sosial-politik di tanahair dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan hadiah sastera tahunan Rancage yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.
Berisi kisah-kisah sederhana seputar masa kecil, keluarga, dan pertemanan. Ajip menceritakan keluarganya yang punya banyak 'tiri': ibu tiri, bapak tiri, saudara tiri, sampai kakek-nenek juga tiri. Selain itu, kisah pertemanannya yang mengharukan dengan seorang anak semasa SD, dan kenakalannya mandi di sungai, meski tahu tak bisa berenang, bersama bocah-bocah kampung. Meski sederhana, disampaikan dengan sedemikian rupa hingga meninggalkan kesan yang dalam.
(Saya baca di Ipusnas. Kover dan ISBN di sana sama dengan yang di sini. Edisi elektronik, 2018. ISBN PDF 978-979-419-659-5.)
Cerita-cerita dalam buku ini dikelompokkan menjadi dua bagian.
Bagian pertama, yang dijuduli "Hari-hari Punya Malam", terdiri dari 5 cerita. Bagian ini tampak menyoal kerumitan keluarga yang memiliki banyak "tiri". Bukan cuma ayah dan ibu yang bercerai kemudian menikah lagi (bahkan yang ayah lebih dari sekali), melainkan juga kakek dan nenek sampai uyut. Si "aku" alias Ayip (sebagaimana yang juga diceritakan dalam autobiografi Hidup Tanpa Ijazah) memang memiliki kakek tiri yang memanjakan, tetapi dalam cerita-cerita ini kerap mengeluhkan ibu tiri yang mementingkan keluarganya sendiri hingga kurang memerhatikan keperluan anak tiri dan mertua. Memang ini cerita klise sampai sudah berkali-kali difilmkan bahkan dilagukan, tetapi membaca cerita-cerita yang tampak berdasarkan pengalaman nyata tetap saja terasa mengharukan lagi menegaskan pelajaran hidup bab adab menantu-mertua. Bagian ini mengingatkan saya bahwa bukan cuma pengarang perempuan yang jago mengeksplorasi persoalan domestik, melainkan ada juga lo pengarang lelaki yang oke dalam hal itu.
Bagian kedua, "Hari-hari Punya Siang", ada 4 cerita. Bagian ini tampak mengenai orang-orang di luar keluarga mulai dari orang asing (serdadu Jepang), teman-teman, sampai orang-orang lainnya yang punya urusan dengan keluarga. Cerita yang paling berkesan buat saya ada dalam bagian ini, yaitu "Koja". Seketika judul itu mengingatkan saya pada nama daerah di Jakarta Utara yang akhir-akhir ini entah kenapa terdapat banyak kasus tragis. Namun Koja yang ini bukan Koja yang itu. Adegan paling menarik sekaligus lucu dalam cerita ini adalah ketika Ayip membuat neneknya jadi maling tebu, hingga kepergok centeng yang justru mendukung aksi pencurian itu mentang-mentang kenal (saudaranya bekerja untuk si nenek). Adegan ini seperti menyiratkan bagaimana KKN itu merupakan budaya bangsa, akibat dari ikatan yang kuat dan saling mengasihi dengan orang yang dikenal baik diselubungi pula oleh keramahtamahan. Dalam bagian ini pula, buku ditutup dengan cerita "Hari Ini Aku Punya", cengkerama Ayip dan kawan-kawan yang terasa bagai romantisisme masa kanak di pedesaan yang kini sepertinya sudah langka; anak-anak zaman sekarang kala nongkrong bareng jangan-jangan malah cuma terpaku pada gawai elektronik masing-masing alih-alih beraktivitas yang literally aktif seperti memanjat pohon jambu, mandi di kali, atau menunggui kerbau. Untuk itu, saya berterima kasih kepada Pak Ajip yang telah merekamkan masa kecilnya dalam sebentuk tulisan yang lancar dibaca ini sehingga dapat menjadi kenangan bersama yang tak mesti dialami langsung oleh semua.
Ada hal-hal lain yang terpikirkan. Setelah melewati bagian yang mana keluarga kekurangan uang untuk mengadakan tahlilan paman dalam "Kutukan", timbul pikiran bahwa tradisi yang mana keluarga mendiang mesti kasih suguhan kepada orang-orang yang melayat--sekalipun katanya tidak ada landasannya dalam ajaran Islam--jangan-jangan mengandung motivasi agar orang meninggal dalam keadaan kaya raya sehingga yang ditinggalkan pun masih berkelebihan untuk berbagi kepada orang-orang lain; walaupun, kenyataannya, yang bisa meraih pencapaian tersebut mungkin hanya sebagian orang saja sedangkan sebagian yang lain tidak sehingga justru keberatan dengan itu. Dalam cerita-cerita melalui sudut pandang kanak-kanak ini pun sesungguhnya diterangkan perikehidupan orang dewasa, kesukaran mencari nafkah di suatu daerah pada suatu masa. Saya diingatkan agar tidak meromantisasi suatu kehidupan tanpa tahu gambaran sebenarnya; bersyukurlah dengan yang ada sekarang.
Entahkah masuk kategori fiksi atau nonfiksi, buku ini memang bisa dikatakan sebagai kumpulan cerpen. Namun cerita-cerita di dalamnya pada mengandung elemen autobiografis, sebagaimana yang terdapat dalam buku autobiografi penulisnya, Hidup Tanpa Ijazah. Si pencerita pun alias si "aku" dirujuk oleh orang-orang di sekitarnya dengan nama penulis sendiri, yaitu "Ayip". Kiranya buku ini merupakan memoar, seperti penulis mengambil fragmen-fragmen dari pengalaman hidupnya kemudian dikembangkannya menjadi sebentuk cerita pendek demi cerita pendek--mungkin juga ada bagian-bagian yang diimprovisasikan supaya lebih hidup. Pengalaman hidup itu terutama dari masa kecil. Lagian, buku ini terbit pertama kali ketika penulis belum genap 20 tahun (1956-1938)--bisa dibilang masih cukup remaja. Kalau buku ini latarnya kira-kira semasa Pak Ajip SD atau lebih kecil lagi, berarti Anak Tanah Air boleh dibilang adalah kelanjutannya. Soalnya, bagian pertama novel tersebut banyak mengambil dari masa remaja Pak Ajip; walaupun tokohnya agak dibedakan, latarnya kurang lebih persis.
Dengan kesederhanaannya, baik dari inspirasi bahan yang mengambil kenangan sendiri maupun cara tutur yang walau khas lawas nan mendayu-dayu tetapi mudah diikuti dan nikmat dibaca, rasanya buku ini memang ditujukan untuk anak-remaja. Dengan begitu pula, cerita-cerita di dalamnya dapat dijadikan contoh bagi yang baru belajar mengarang: ambil 1 kenangan yang berkesan lalu kembangkan sehingga dapat dianggap sebagai sebuah cerpen utuh. Kalau menggunakan istilah yang naik belakangan buku ini mungkin tergolong "slice of life", dengan mengandung kejadian-kejadian yang antara mengharukan dan heartwarming.
Penulisan cerita bisa dibilang tidak begitu rapi. Contohnya dalam "Jati Tak Berbunga Lagi", timbul kesan poin-poinnya rambang kurang saling mengikat; cerita yang pada awalnya tampak seperti mau menjelaskan tentang fenomena bahasa dan toponimi di suatu kota kecil tahu-tahu jadi merenungkan keadaan buyut yang sudah terlalu tua tak bisa apa-apa. Dalam "Temanku Pergi Belajar" pun awalnya tampak seperti kampanye antirokok, tetapi ternyata merupakan kisah persahabatan agak bromance(??) yang mengharukan. Jadi awal cerita tak menentukan akan dibawa ke mana nantinya. Dalam "Kutukan", ada informasi yang diulang-ulang, yang sekiranya tulisan ini ditata lagi bisa dipangkas saja. "Koja" yang merupakan cerita paling menghibur pun beberapa kali terasa melar. Narasi dalam kumpulan cerita ini mengalir saja apa adanya seakan-akan tanpa upaya keras.
Buku ini dibahas di Klub Buku Laswi (Instagram @klubbukulaswi) pada 8 November 2023. Mendengarkan sudut pandang yang lain, saya baru memafhumi bahwa bagian pertama "Hari-hari Punya Malam" berisikan cerita-cerita yang cenderung berwarna kesedihan, duka dan derita, sedangkan bagian kedua "Hari-hari Punya Siang" adalah cerita-cerita bernuansa keberlimpahan, kegembiraan, dan semacamnya.
Ajip Rosadi dalam bukunya "Di tengah keluarga" menceritakan serpihan-serpihan kisahnya dari pengalaman kehidupan pada dasawarsa 1950-an. ketika membaca ini saya merasa dibawa oleh buku ini kembali ke kampung halaman pengarang dengan sawah yang luas, bau padi yang menguning dan kesusahan rakyat indonesia ketika hidup dalam kemiskinan dikampung, penulisan tokoh "Aku" memberikan kesan tersendiri seperti kita yang mengalami langsung kejadian-kejadian yang terjadi dalam buku itu. buku ini seperti dekat dan memberi kesan familiar bagi pembacanya, juga sebagai obat bagi hati yang beku akibat gemerlapnya kota-kota metropolitan.
Cerita Pak Ajip waktu kanak-kanak hingga remaja. Pak Ajip lahir dalam sebuah keluarga besar yang rumit karena perceraian - perkawinan kembali dengan pasangan lain. Dalam lingkungan masyarakat agraris, Pak Ajip semacam "bocah terpelajar" yang ga terlalu ndeso. Ga bisa renang, masih bisa bajuan, makan dendeng, lulus sekolah, dan melanjutkan sekolah bahkan sampai bersekolah di Jakarta. Walaupun di Jakarta dia hidup seadanya karena ayahnya tidak mengirim uang untuk biaya ini itu, gara-gara ibu tiri Pak Ajip yang tidak perhatian ke anak-anak tirinya, bahkan ke mertuanya sendiri yang hidup melarat dan susah menyambung hidup karena saking tuanya T_T.
Mungkin jangkaan aku terlampau tinggi untuk buku ini, tapi bagiku, cerpen-cerpen yang terkandung kurang kejituan yang kucari. Kurang rasa tersentap. Boleh nampaklah gaya ala-ala "Human Comedy" karya William Saroyan itu, cuma aku tak rasa teruja, atau mengambil berat, terhadap kebanyakan watak-watak di dalamnya. Entahlah. Aku kurang penglibatan emosi.
Ada dua cerpen yang aku suka: Pertama, 'Kodja'. Aku suka babak apabila si Nenek dan watak narator, Ajip, berjalan-jalan di ladang tebu. Tiadalah yang luar biasa berlaku. Tetapi aku tertarik pada kualiti nostalgik babak ini - tentang kenangan manis seorang anak kecil manja dengan neneknya. Macam cerita zaman kanak-kanak yang makna kemanisannya hanya mampu dirasakan seseorang, sebaik manapun ia dikongsi.
Cerpen kedua aku suka adalah 'Seorang Jepang'. Aku suka sebab cerpen ini kelakar dan sedih. Cerpen ini fasal usaha seorang askar Jepun untuk memikat hati ibu Ajip yang janda itu. Usahanya ditertawakan penduduk setempat, tapi orang Jepun itu tak mengerti. Yang mengerti, dan merasakan kepahitan diejek, adalah Ajip sendiri.
Rasanya aku perlu baca buku ini buat kali kedua. Pembacaan pertamaku terlampau laju dan kurang ketelitian. Mungkin banyak kehalusan buku ini yang tak kutangkap.
Mengenal ajip rosidi lbh dekat... Tyt ada drama jg dikehidupan seorang ajip. Ditulis dgn gaya penulisan masa lalu, yg mungkin kalau jaman skrg msk kategori krg efektif dan amburadul tata bahasanya (menurut gw lho ini). Tp bagus n love it...
Sempet agak bosan d cerita2 awal, tapi lanjutannya bagoeeeees... Agak miris pas cerita orang Jepang, Sedih pas cerita temen sekolahnya dan Ngakak pas cerita gembala (minum d kali? O M G !!!)