Jump to ratings and reviews
Rate this book

Orang-Orang Oetimu

Rate this book
Oetimu: suatu wilayah kecil di pelosok Nusa Tenggara Timur. Masa itu adalah paruh kedua 1990an, dan kejadian-kejadian di wilayah Indonesia selebihnya mau tak mau berdampak kepada kehidupan sosial orang-orang di kampung yang terpencil itu. Kolonialisme Indonesia di Timor Timur kian disorot dunia internasional, sementara warisan kekerasan antara militer Indonesia dan gerilyawan Fretilin ikut menyebar ke wilayah sekitarnya, demonstrasi menentang Soeharto kian marak di kalangan mahasiswa, dan Brazil berhadap-hadapan dengan Prancis di final Piala Dunia.

Novel mengasyikkan yang menggambarkan masyarakat Timor Barat dengan segala kepelikannya, di mana gereja, negara, dan tentara berperan besar dalam kehidupan sosial. O ya, juga sopi dan seks.

***

“Sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik”
—Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2018

220 pages, Paperback

First published July 16, 2019

68 people are currently reading
1751 people want to read

About the author

Felix K. Nesi

7 books20 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
489 (36%)
4 stars
644 (47%)
3 stars
194 (14%)
2 stars
20 (1%)
1 star
3 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 324 reviews
Profile Image for raafi.
919 reviews449 followers
October 12, 2024
Usai menutup halaman terakhir, sebuah pertanyaan muncul di benak: Kenapa sih manusia butuh seorang pemimpin? Lebih tepatnya, kenapa manusia butuh seorang (sebentuk) panutan yang disegani, dielu-elukan, atau bahkan diagungkan? Nyatanya, manusia akan selalu mencari hal itu. Dan itu satu hal yang kupikirkan selama membaca buku ini: kuasa.

Buku yang sebagian besar ceritanya berlatar 90-an ini memberi kesan pada betapa kuatnya pengaruh Soeharto. Antara takut dan salut, orang-orang di Timor menganggap kemalangan yang menimpa mereka adalah karena banyak orang yang mulai berani melawan Soeharto. Belum lagi perihal inferioritas suku mereka yang menganggap bahwa Soeharto adalah raja Jawa, yang mana Jawa adalah pusat Indonesia atau nusantara, yang dulunya termasuk dalam wilayah Majapahit. "Kalau raja Jawa diapa-apakan, seluruh Indonesia harus siap menanggung akibatnya." (hlm. 215)

Negara dan suku mungkin sebagian kecil dari apa yang disampaikan Nesi dalam karyanya. Isu agama dan sosial lebih-lebih membalut cerita masyarakat di Timor terutama Oetimu. Seorang Romo yang "diasingkan", seorang guru yang patuh dan licik juga bodoh, serta para perempuan yang menderita entah karena kebiadaban para pria ataupun karena nasib yang menimpa. Dan itu semua terjadi sebagai dampak dari seseorang (sesuatu) yang kuat, yang kuasa, yang kaya.

Dari buku ini, aku dibuat tertegun tentang program makan nasi. Betapa orang Timor yang makanan pokoknya jagung dan singkong harus diganti dengan nasi karena disebut-sebut membuat "nenek moyang bodoh dan punya gizi yang buruk". Aku yakin ini sebuah program dari pemerintah tapi sebagai orang Jawa yang selalu makan nasi, aku tidak begitu merasakannya.

Narasi yang dipilih penulis dalam buku ini begitu rapi dan runut tapi terkesan konyol. Di sana sini aku dibuat berpikir: "Sebegitu lugunyakah orang-orang ini?" Salah satunya perihal penggunaan bahasa asing yang tidak mereka tahu tetapi begitu diagung-agungkan karena terlihat keren dan berpendidikan.

Bersamaan dengan itu, penulis menggandeng kegetiran mendalam dari setiap kekonyolan itu. Para jemaat gereja yang begitu hormat kepada para romo, politisi kaya yang dijuluki Muder Teresa dari Timor karena menyantuni anak pencopet yang piatu, orangtua dibohongi anaknya yang kuliah memberikan uang untuk biaya smoking dan drunken student, dan banyak hal-hal getir lainnya.

Bila harus kurangkum buku ini dalam satu kalimat: ini adalah cerita tentang hegemoni yang meracuni.
Profile Image for Arif Abdurahman.
Author 1 book71 followers
December 2, 2019
Felix begitu lihai mengejek orang Indonesia, lebih tepatnya orang yg tinggal di Jawa, yg sok tau dan ngatur-ngatur orang lain, seperti mengubah jagung jadi nasi sebagai makanan pokok, atau menyebar budaya korup dalam birokrasi, dan tak lupa tentaranya yg seenaknya main bunuh.

"Satu jam sebelum para pembunuh itu menyerang rumah Martin Kabiti, di malam final Piala Dunia, Sersan Ipi menjemput Martin Kabiti dengan sepeda motornya. Itu adalah sepeda motor RX King yang telah ia modifikasi knalpotnya, sehingga raungannya menggelegar membelah rumah orang-orang miskin, membikin anjing melolong dan kelelawar beterbangan dari pucuk-pucuk bunga kapuk."

Novel Indonesia yg menyenangkan, tanpa meromantisasi lokalitas, tapi memotret keseharian yg bikin saya senyum, dari fenomena Piala Dunia sampai aparat yg seenaknya jotos orang.
Profile Image for Mikael.
Author 8 books84 followers
April 2, 2020
could probably be read as a mini cantik itu luka: generations of timorese struggling to deal with the effects of rampaging dutch, japanese then javanese colonialism (the deadly unimog running down hapless motorists/pedestrians is an apt metaphor) without fully understanding what's happening to them since history and historical events mostly reach them piecemeal, already transformed/transmogrified/mythologized into folklores.

but not without its problems. the claim by dkj judges that this is a "fiksi etnografis yang digarap dengan baik" (sayangnya website mereka lagi down jadi pertanggungjawabannya ga bisa dibaca zzz) needs to be scrutinized: how are the timorese actually ethnographically represented in this novel? i feel sometimes there's an element of punching down on the characters that turn them into caricatures stripped of their dignity. maria the student activist who loses all purpose in life when her husband and son are killed (run over by said unimog) and jumps off a bridge (how quickly she loses her feistiness!); silvy who turns so quickly from a proto-virginia woolf with an entire library of her own into a horny abg; mad laura who keeps herself alive just long enough after she was repeatedly raped only so she could deliver her baby (who would later grow into another tragic anti-hero sersan ipi); am siki the shaman/idiot savant who thinks "bangsa" is the name of a neighbor undeserving of his accidental pahlawan local wisdom heroism; warrior-hero ipi (complete with oversize cock, which reminds me of sony corleone, a symbol of virility and power) who can only rise to become a timorese chief wiggum, etc. etc.

it's that parasite dilemma: should these unfortunate characters be read as a metaphor for the suffering of a colonized people, or are they the result of an author punching down on his own people so much that they are now not much more than caricatures to be mocked? and what about the ethnographic claim (this might actually come from the dkj judges, not necessarily from the author) – are all timorese fools who can be easily hoodwinked to sacrifice themselves for bangsa dan negara? their only reward to be turned into mythical heroes in their own folklores?

is oetimu a work of self-ethnography, which requires an acknowledgement of the author's positionality? from what vantage point does the author tell his story? to me nesi in this book veers from good-natured, self-deprecating warkop barracking to self-hating, perhaps subconscious inlanderism. did the dkj judges think this over when they said this was a piece of ethnographic fiction that was "digarap dengan baik"? inquiring minds want to know.

and then there are the hyper-heteronormative sex scenes. penis sekeras gagang pintu, sperma yang memenuhi setiap sudut vagina (as if that matters for women, read "vagina yang haus sperma", katrin bandel's essay on latent heteronormative tendencies in ayu utami's saman (https://wp.me/p11AL4-f)), netta bermulut besar yang jago ngisep, silvy yang suka masturbasi kemudian suatu saat pas dia melakukannya malah diperkosa, and all those vaginas bahkan tetap ga cukup buat penis oversized sersan ipi karena "terlalu lembek", dia lebih memilih tangannya yang kasar (preference for macho symbolism? ditto his rx king bike, the classic symbol for male virility in indo fiction). gives blue is the warmest colour's hetero gaze a run for its money!

the most disappointing thing about these sex scenes is that they're so common in sastra indonesia. dari cil, raden mandasia, kura-kura berjanggut, and now this, supposedly a woke work by the next bright young thing of sastra indo. would it hurt if the sex scenes weren't so sexist in oetimu? i don't think so, in fact, if the sex is to be read as a metaphor for colonization, all that penetration!, wouldn't it be more interesting if the cock is also mocked once in a while (or more often, one character who's an intel is described as infertile, but he fucks dozens of women after drugging them!)? after all, almost all aspects of colonization comes in for ridicule in this book (the tonggos javanese!), so why not the supremacy of the cock too (if it is a metaphor for the might of the colonizers)?

felix can definitely write, his prose sparkles with cinematic brilliance and deft details (eg, telor gosong silvy pas sersan ipi datang pedekate). if only in this book he could make up his mind whether to write a historical novel or a satire, which probably would've suited his (self-?) mocking style more.
Profile Image for miaaa.
482 reviews419 followers
July 27, 2019
We are all storytellers, our ancestors shared their stories verbally and non-verbally. We all also have stories. But how many of us actually able or want to write down our stories? Felix is a storyteller who can do both and that's extraordinary.
Profile Image for yun with books.
701 reviews243 followers
May 14, 2021
“...apakah doa hanya cara kecil melipur lara hati yang perih.”


[TW: sex, suicide, rape, assault, excessive violence]

Orang-Orang Oetimu berkisah tentang kehidupan masyarakat di desa Oetimu, pelosok kecil di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1990-an. Dinamika politik pada saat itu adalah ketika Timor Timur ingin melepaskan diri dari Indonesia dan pemerintahan Soeharto diambang keruntuhan. Dengan keunikan dan kemurnian nilai-nilai masyarakat di timur Indonesia, buku Orang-Orang Oetimu memberikan gambaran begitu chaos-nya keadaan di Oetimu, dengan balutan cerita seks nan kocak.

me after finished this book:


Sebenarnya saya amat sangat menyukai buku ini, di awal.
Buku ini kocak dan "unik", pun penggambaran settings cerita di timur Indonesia yang membuat saya intrigued menjadi semangat saya untuk melahap habis buku ini. Orang-Orang Oetimu tentu menjadi salah satu buku dengan plot yang tidak akan mudah saya lupakan.
Jika dilihat dari cara penulisan, Felix K. Nesi sangat rapi dalam mendeskripsikan setiap situasi beserta karakter-karakter uniknya. Mulai dari Sersan Ipi, Silvy, Am Siki, Maria, Romo Yosef dan Linus. Mungkin satu hal yang saya ingin jelaskan bahwa membaca buku ini kudu fokus, karena buku ini 90% berisi cerita latar belakang masing-masing karakternya. Jadi, plotnya flashback dan saling menyambung.
Cerita flashback Maria dan Romo Yosef adalah favoritku, Maria adalah salah satu karakter favoritku. Read it, and you'll know why Hehehehe...

Orang-Orang Oetimu adalah jenis buku dengan isi kritik yang tajam tapi dibalut dengan kekhasan masyarakat Oetimu yang tidak akan kalian dapat pada masyarakat Pulau Jawa. Bagaimana masyarakat Indonesia di timur tidak begitu peduli dengan yang terjadi di Pulau Jawa, tidak peduli terhadap dinamika pemerintahan Indonesia. Istilahnya.... "they don't give two shits about what happened!, dan itu lucu bagiku. Karena, memang terkadang orang-orang dari Pulau Jawa jika sudah keluar dari wilayahnya, selalu merasa paling benar dan pintar sendiri. Padahal ya, tidak ada yang meminta mereka untuk bersikap seperti itu.

Orang-orang Oetimu be like:


Saya begitu menyukai buku ini, menghibur tetapi sekaligus juga tajam.
Namun, mengapa saya berikan bintang 3? Yap.... expectation kills you. Aku berekspektasi buku ini akan "segarang" dan begitu "mematahkan hati" seperti buku-buku fiksi sejarah Indonesia lainnya. TETAPI ternyata buku ini isinya "seks...seks...seks... dan seks", seriusan! Gak ada habisnya.. HAHAHAHAA... I mean, aku berekspektasi sesuatu yang lebih insightful seperti diceritakannnya latar belakang Timor Timur lepas dari Indonesia dan lain-lain sebagainya.
Iya, memang awal buku diceritakan mengenai perebutan kekuasaan antara Indonesia, Portugis, Belanda terhadap tanah Nusa Tenggara, mengenai Fretilin dan lain-lain dan sebagainya.
Itu cuma diceritakan sebanyak ±75 halaman. Selebihnya, seks.

But, overall aku sangat amat merekomendasikan buku ini untuk kalian yang berusia di atas 20 tahun. not recommending for the “sex” part, tapi lebih karena alasan buku ini emang patut dibaca untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai budaya di luar Pulau Jawa. Sebuah buku yang sangat insightful tapi dibalut dengan kesederhanaan cerita dan penulisan.
Profile Image for Delasyahma.
242 reviews126 followers
September 21, 2020
Buku tipis tapi sangat pada. Awalnya aku melihat banyak teman-teman pembacaku memosting buku ini di instagram story mereka benar-benar belum melirik. Sampai aku tahu buku ini merupakan fiksi sejarah yang berlatar di Indoensia, aku langsung mencari tahu informasi lebih dan memasukan buku ini kedalam wishlist-ku.

Berlatar di Timur Indonesia buku ini menceritakan kehidupan pelik masyarakat di sana. Setiap tokoh saling bertautan satu dengan yang lain, konflik berkembang dari karakter satu ke karakter lainnya. Membuat saya sebagai pembaca sangat menikmati gaya bercerita tokoh. Bahkan saya sendiri seperti tidak diberi jeda untuk bernapas.

Buku ini pun mbanyak menceritakan isu-isu penting seperti agama, rasisme, etnis, budaya dan seksualitas di Timur Indonesia. Bahkan hingga kejatuhan Soeharto tahun 1998 juga berdapak bagi rakyat Oetimu. Penulis enceritakan secara blak-blakan dan sangat apik.

Jujur saja di awal aku memang agak kesulitan masuk kedalam cerita, tapi semakin kesini aku semakin memasuki ceritanya, mulai mengikuti alur dan konflik yang dibangun penulis.
Aku sangat merekomendasikan buku ini untuk teman-teman yang menyukai fiksi sejarah dengan latar Indoensia Timur.


Profile Image for Rotua Damanik.
140 reviews6 followers
July 26, 2019
Aku sudah menantikan buku ini sejak diumumkan sebagai pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Membaca dua bab pertamanya saja aku merasa bahwa gaya bercerita novel ini sungguh juara.

Dalam sebuah acara bincang buku yang diadakan Post Santa di hari aku membeli buku ini, entah Mas Yusi Avianto Pareanom entah salah satu juri DKJ yang kebetulan hadir kala itu mengatakan bahwa Orang-orang Oetimu merupakan kabar gembira untuk sastra Indonesia. Namun Felix, penulisnya, masih harus membuktikan dirinya juga sebuah berita baik. Rasa-rasanya aku tak dapat tidak setuju dengan pandangan itu.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews42 followers
September 16, 2019
Selalu menggembirakan membaca buku dengan topik yang baru ditemui. Oetimu, Nusa Tenggara Timur—tidak pernah saya dengar sebelumnya—memiliki cerita yang sangat menarik di buku ini. Gereja, negara, tentara, kepercayaan lokal, politik, ,kesukaan terhadap Brazil di Piala Dunia, kekesalan pada Soeharto, hasrat seksual, dengan kepelikan yang manusiawi. Saya merasa diajak keliling Oetimu, dengan rentang waktu yang panjang, dan dikenalkan dengan sangat dekat pada semua penduduknya. Polemik Indonesia yang tidak hanya Jawa.

Menurut saya Felix K Nesi ini pandai sekali bercerita. Gaya berceritanya bikin saya tidak bosan dan selalu penasaran dibuatnya. Dia bisa melompat ke sana kemari, mengenalkan seorang tokoh dengan kisah hidupnya yang lengkap sembari mengenalkan tokoh baru lain lagi yang akan dikisahkan hidupnya selanjutnya. Begitu terus. Tapi kesemuanya saling berhubungan dan menjelaskan sebab musabab kejadian-kejadian terjadi. Apik sekali terjalin. Dibikin deg-degan, miris, tertawa, dan adegan-adegan erotis serta traumatis.

Senang bisa tahu cerita sebagus ini. Sepertinya mendongeng sudah mendarah daging di sana. Bikin mau datang ke Oetimu untuk ikut mendengarkan dongeng Am Saki di lapo semasa hujan—biar tidak digigit kalajengking.
Profile Image for Habibi Hidayat.
9 reviews
July 18, 2019
Harapan saya adalah bisa membaca gambaran tentang suatu keadaan di daerah Timur sana saat masa2 Orba berakhir, tapi penceritaan penulis begitu melebar-lebar ke hal2 lain, bahkan cenderung terjebak dalam penceritaan konflik pribadi, entah itu soal percintaan, seks, atau balas dendam. Cenderung membosankan jadinya. Di bagian awal ada hal-hal menarik & lucu, tapi menjelang endingnya, agak mengendur. Penceritaannya memutar dengan segala macam latar belakang, yg pada akhirnya mempertemukan bagian awal & bagian akhir. Sebagai novel debutan & pemenang dkj 2018, saya yakin penulisnya akan menghasilkan novel yg lebih baik lagi.
Profile Image for Venerdi Handoyo.
Author 2 books38 followers
July 20, 2019
Seperti surat dari Timur yang tidak disensor. Lincah, juga biadab, juga jenaka, dan seksi.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books333 followers
July 16, 2019
Benar-benar berkisah tentang orang-orang Oetimu--yaiyalah, judulnya aja begono. Tetapi dalam beberapa hal, sedikit menjemukan. Kebanyakan berkisah latar belakang tiap tokoh. Sersan Ipi, Pastor Josef, Silvy, dll..... Terlalu banyak soal pribadi-pribadi yang dikisahkan.

Memang ada tema-tema soal 98, PKI, dan tentu dekolonisasi Timor Timur.
Yang harus diacungi jempol adalah novel ini tidak terjebak untuk menjadi novel yang menjual kekayaan daerah--baik bahasa, adat, maupun tempat wisata. Seperti kebanyakan novel lokalitas pada umumnya.

Dan entah mengapa hubungan asmara "panas" dalam novel ini. Nggak visual, tapi cukup detail. Dan yang paling aku suka adalah hubungan panas Pastor. Andai yang dibeginikan adalah imam sebuah masjid, bisa dipastikan akan geram semuanya. Tapi karena --dunia pastor adalah dunia yang sangat rahasia, maka saat membaca adegan itu langsung mencuri perhatian. Dan jangan salah, adegan handjob saat mau sunat itu adalah adegan yang penuh simbol. Kemudian adegan itu membuat trauma yang cukup membekas, "vagina lembek, tidak sekeras tangan." Pas kalimat ini langsung ketawa saya di kereta.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
April 19, 2021
Ada dua garis besar yang saya tangkap dalam tema novel ini, pemutarbalikan narasi sejarah nasional dan relasi antar masyarakat dan negara. Kedua nya dipadukan dengan alur cerita yang saling berkait kelindan berbalut ragam tokoh yang kaya karakter.

Pemutarbalikan narasi sejarah nasional begitu terasa ketika hampir seluruh masyarakat Oetimu gagap dalam menerjemahkan fakta-fakta sejarah, mereka ini dengan keterbatasan informasi sejarah, masih harus digempur dari segala sisi oleh agitasi dan propaganda pemerintah.

Selanjutnya yaitu relasi antar masyarakat dengan negara, dalam kasus daerah yang jauh dari ibukota maupun kota-kota besar, kehadiran negara hanya diwakilkan oleh institusi keagamaan dan institusi militer. Dibuktikan dengan banyaknya porsi untuk bagian Gereja dan Tentara maupun polisi, kehadiran negara direduksi menjadi urusan agama dan militer semata.
Profile Image for Utha.
821 reviews395 followers
October 20, 2019
Gaya bernarasi penulis menyenangkan dan enak dibaca. Plot stagnan dengan fokus tokoh-tokoh Oetimu ini jadinya enak buat diikuti. 😄

Padahal penceritaannya loncat-loncat lho. Setelah menceritakan sersan ini, ke kisah perempuan itu, lalu ke pastor anu. Tapi ya betah aja dibaca biar langsung tuntas. Nuance-nya juga "dapet" banget buat sebuah novel "lokalitas". Dan adegan seksnya cukup kocaq. Fufu.

Yah, tapi sayang banget si Ipi nasibnya begitu ya.

Benar-benar novel lokalitas yang menceritakan tentang orang-orang Oetimu. Layk.
Profile Image for A.A. Muizz.
223 reviews22 followers
February 15, 2021
"𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘴𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘱𝘦𝘫𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱, 𝘥𝘪𝘭𝘪𝘯𝘥𝘶𝘯𝘨𝘪 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘳𝘦𝘻𝘪𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱, 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱, 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘥𝘶𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘪𝘫𝘪𝘬𝘬𝘢𝘯. 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘯𝘥𝘶𝘯𝘨𝘪 𝘬𝘦𝘣𝘶𝘴𝘶𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪 𝘣𝘢𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘺𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘪𝘴𝘬𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘦𝘭𝘪𝘮𝘱𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯."⁣
—𝘩𝘭𝘮. 153⁣


Sesuai prediksiku, aku menyukai novel ini dan merasa puas ketika menyelesaikannya.⁣

Sesuai judulnya, novel ini menceritakan orang-orang Oetimu pada tahun 1990-an. Kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh "kebijakan" politik, militer, gereja, dan seks. Membacanya, membuatku banyak menghela napas dan geregetan, betapa hegemoni saat itu sangat berbisa, apalagi dihadapkan dengan masyarakat yang banyak polosnya. Mudah banget dibodohi. 😥⁣

Novel ini membawaku menyelami kehidupan satu tokoh ke tokoh lainnya yang saling berkaitan. Latar belakang tokohnya diceritakan dengan segala macam persoalan yang perlu dikritisi. Kadang diceritakan dengan jenaka nan ironis. Apalagi tentang pemerintah Orde Baru yang ... ya, begitulah. Aku baru tahu kalau orang di Timor disuruh mengonsumsi beras dengan alasan singkong membuat mereka bodoh dan tertinggal. 🙄⁣

Oh ya, novel ini banyak memuat kehidupan seks beberapa tokohnya. Bahkan kadang dijabarkan dengan begitu detail. Jadi, yang merasa terganggu dengan hal semacam ini atau yang masih di bawah umur, tunda dulu bacanya, ya. 😅⁣

Udah, ah. Terlalu banyak yang menarik. 😂


Profile Image for Adham Fusama.
Author 9 books71 followers
August 10, 2019
Aduh ini memang buku bagus, ditulis dengan bagus dan lancar, pantas saja dapat Juara 1 DKJ. Felix membawa kita bertemu dengan orang-orang Oetimu seperti Sersan Ipi, Silvy, Romo Yosef, Maria, dan lainnya, dan membuat kita menyaksikan kehidupan mereka yang saling terkait, berkelindan, tak lepas dari pengaruh politik, militer, gereja, dan nafsu seksual.

Bagi yang berharap bahwa di buku ini ada cerita tentang konflik atau insiden di Timor pada era Orba (seperti di Saksi Mata, misalnya) mungkin akan kecewa karena Felix memang lebih fokus menceritakan latar belakang serta nasib para tokoh-tokohnya. Cerita tentang konflik dan perang cuma muncul di bagian awal buku, ketika Felix mengisahkan tentang Laura. Selebihnya, ia lebih senang membawa kita jalan-jalan mengitari Oetimu, ke gerejanya, ke rumah-rumah, ke kebun lontar, sesekali berkuda di savana. Yah, semacam novel slice of life yang ditulis dengan sangat bagus.

Tapi pada akhirnya, ada beberapa bagian yang terasa monoton. Pembaca lagi-lagi dikenalkan dengan tokoh anu, mengetahui latar belakangnya, lalu mengetahui nasibnya, lalu diperkenalkan lagi dengan tokoh lain, begitu terus. Adegan-adegan seksnya juga menurut saya terlalu banyak, beberapa bahkan tidak terlalu penting.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, novel ini tetap bagus, bahkan menjadi novel yang menghidupkan kembali gairah membaca saya setelah sempat redup selama beberapa bulan terakhir ini.

Terima kasih dan selamat buat Felix atas karyanya yang bagus.
Profile Image for Dedi Setiadi.
289 reviews24 followers
August 14, 2020
Akhirnya sempet juga baca buku ini!!!!
Wew sekali....!!!!!

Awalnya saya kira novel ini akan sangat serius (dan berat) sekali dengan bahasan politiknya, ternyata saya salah besar!!
Sesuai judulnya, novel ini bercerita tentang orang-orang di Oetimu dengan segala konfliknya mulai dari politik, agama, sosial, pendidikan sampe seks segala.
Iya, banyak karakternya dan juga banyak plotnya, tapi ditulis dengan rapi, menyentil, lucu, eye-openee dan page-turner (!!!!) 🤣
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
242 reviews36 followers
September 26, 2019
Semacam novel Fredy S. yang digarap dengan serius.

Saya suka cara bertutur Felix; sinis dan frontal. Namun, sepanjang cerita saya bertanya-tanya, dimana pengaruh gonjang-ganjing Timor Timur tahun 1998 terhadap kehidupan orang-orang di Oetimu? Bukankah segenting apapun situasi negara, lubang yang mengerami burung akan tetap terjadi? Jadi, ada tidaknya setting Oetimu sebenarnya tidak berpengaruh banyak. Intinya cuma cerita cabul belaka.
Profile Image for Mandewi.
570 reviews10 followers
March 18, 2020
4,5 bintang untuk sopi kepala dan kisah penjajah di NTT. Segar buatku. Menambah variasi pengetahuanku mengenai daerah-daerah di Indonesia.
Profile Image for Safara.
413 reviews69 followers
October 18, 2020
Sedikit background kenapa aku baca buku ini karena aku penasaran apa sih yang terjadi sama kota-kota di luar Pulau Jawa. Sebelum baca ini, aku baru pernah baca tulisan Pram, Ahmad Tohari, Leila, fokusnya kalo ga di Jakarta ya di Pulau Buru.

Trigger warning: buku ini ratenya 19+, jadi hati-hati ya, banyak kejadian kerusuhan dan kekerasa seksual yang digambarkan secara visual. Aku tidak menyarankan untuk dibaca kalau sedang sedih.

Latar waktu novel ini di Oetimu 1998, Lisabon 1974, dan Kupang 1994. Jadi alurnya maju mundur gitu. Tiap bab paling fokusnya 2-3 tokoh ketemu, ga semua tokoh ketemu di 1 bab.

Tokoh utama yang memorable (menurutku)
• Sersan Ipi
• Am Siki
• Romo Yosef
• Maria
• Silvy

Hm, buku ini unik sih cara nulisnya. Kesannya seperti novel stensilan, tapi Felix Nesi berhasil membungkus masalah-masalah agamis dan politis menjadi masalah yang "biasa saja". Ya, sama biasa sajanya kalau orang melihat kasus pelecehan seksual atau kalau orang melihat orang miskin tidak disantuni.

Topiknya disusun dengan sentilan ringan per kejadian, seolah-olah "perang" atau "rusuh"nya hanya ada di background. Kondisi yang digambarkan lebih ke masalah personal yang ada di kehidupan sehari-hari. Cara menulisnya beda sama novel dengan latar sejarah lain yang "wow banget" ditulis soal pemerintahnya. Kalau suka All the Light We Cannot See, mungkin akan suka juga dengan novel ini.

Ada beberapa isu yang diangkat
Perang sipil. Ada cerita seputar Timor Timur diperebutkan 3 partai, yaitu Indonesia, Portugis, dan yang mau merdeka sendiri. Yang mau merdeka sendiri ini kemudian ditawan sama partai Indonesia.
Orang kaya benci orang miskin. Ada SMA Santa Helena. Awalnya, sekolah ini menampung orang2 miskin yang anak nelayan dan pekerja serabutan. Tapiii mereka berubah sistem, mau menarik anak-anak pinter doang. Uang sekolah jadi berkali-kali lipat. Jadi ngetrend. Dilematis sih, buat yayasannya mereka jadi lebih ternama. Yang awalnya sekolah disana jadi harus pada pindah sekolah ke kota yang jaraknya jauh atau bahkan berhenti. Beberapa anak cewek malah harus menggoda supir angkotnya biar mau dianter huhu.
Pembangunan yang Jawa-sentris banget. Pemerintah Indonesia "memaksa" orang-orang Timor buat makan nasi. Akibatnya, nasi jadi mahal banget. Orang-orang dateng bawa singkong buat dituker nasi, soalnya dibilang kalo makan jagung dan singkong bikin bodoh. Saya masih belum nemu referensi propagandanya yang aslinya gimana.
Kekerasan seksual.Kekerasan seksual yang gabisa diungkap, karena yang berseragam gamau memproses. Bahkan, mereka ngasih tau salah satu tokoh gimana caranya biar membius supaya bisa ditiduri.
Sex education.Sex education itu penting banget. Ada tokoh yang pinter banget namanya Silvy. Dia belajar sex education dari buku-buku di perpustakaan, digambarkan kalo dia tau gimana cara menghitung masa subur. Sayangnya, ga ada orang-orang / guru-guru yg lebih tua yang bisa membimbing dia. Jadinya waktu dia kena masalah, dia mikir solusi satu-satunya ya nikah.
Suara dari orang-orang akar rumput. Ternyata apa yang kita bayangkan karena ga selalu sesuai dengan apa yang kita tau. Ini masih berkaitan sama poin soal partai-partai di Timor Timur sih. Kadang2 orang tu ga peduli mereka di bawah pemerintah mana, yang penting masih punya tempat tinggal dan masih bisa makan minum.
Cerita "pahlawan" ga selalu sesuai sama kejadian sebenernya. Disinformasi / hoax sudah ada banyak dari sebelum adanya internet, bisa juga dari gosip mulut ke mulut. Contohnya ada cerita tentang Am Siki yang melawan Jepang dan menyelematkan Timor Timur. Padahal, Am Siki berantem sama tentara cuma karena dia mau menyelamatkan diri dan kudanya. Dia dikasih tanda medali dari pemerintah Indonesia, tapi dia bilang "ngapain, medali gabisa dimakan". Wkwk
Simpati pemerintahan.Rasa simpati pemerintah bukan beneran rasa simpati, tapi ya yang penting sekedar mejeng aja. Digambarkan bahwa pemerintah Indonesia udah punya pejabat khusus yang ngasih pidato di pemakaman kalo misalnya ada orang yang meninggal karena ditabrak kendaraan proyek (unimog). Jaman itu, Timor Timur banyak proyek. Yang supirnya sih nyalahin orang katanya ga liat-liat jalan, padahal diliat dari angka kecelakaannya, ya sebanyak itu yang meninggal.
Kebanyakan birokrasi. Bapaknya Silvy mau jadi TKI demi menyambung hidup. Ngurus suratnya harus dari kelurahan lah, kecamatan lah, pokoknya muter-muter dan butuh uang. Mendingan pake biro jasa pemalsuan dokumen, lebih cepet, dibandingin nyari-nyari dokumen resmi tapi kelamaan.


Kesimpulan: 5/5 lah pokoknya.
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books96 followers
August 22, 2024
Oetimu yang berada di pelosok Nusa Tenggara Timur, dalam novel ini dijadikan poros—tempat bertemunya orang-orang dengan masa lalu yang kelam, menyedihkan, dan penuh dendam. Masa itu pada paruh kedua 1990-an, saat kolonialisme Indonesia di Timor Timur semakin parah dan penentangan atas pemerintahan Soeharto semakin marak.

Ada banyak fragmen latar peristiwa yang memunculkan sejumlah tokoh yang berbeda dalam kisah Orang-Orang Oetimu, yang pada bab-subbab berikutnya saling berkelindan dan melantarkan cerita baru. Mulai dari penyerangan rumah Martin Kabiti; kisah Am Siki yang percaya jika leluhurnya tercipta dari pohon lontar; Siprianus Portakes Oetimu sebelum menjadi Sersan Ipi; Silvy Hakuak Namepan si gadis cantik nan cerdas; Romo Yosef dan cintanya yang kandas dengan Maria Goreti Naleok; hingga Linus Atoin Aloket yang suka berburu selangkangan perempuan.

Melalui tokoh-tokohnya itu, Felix K. Nesi berulang kali mencemooh otoritas dan tradisi masyarakat Timor dekade lalu. Dengan gaya bahasa yang seolah-olah enteng saja, ia membiarkan masing-masing karakternya menceritakan apa yang menurut mereka benar. Untungnya, Felix adalah pencerita andal dan punya selera humor yang baik. Maka, ketika membaca kisah Sersan Ipi dan tokoh lainnya, kita sebetulnya dibuat bingung harus meringis atau malah menertawakannya.

Kemudian alih-alih meromantisme budaya dan lokalitas masyarakat Timor kala itu, tak jarang Felix justru menuliskan bagaimana sikap inferioritas orang-orangnya yang masih terdoktrin Orde Baru. Betapa mereka rela menjual hasil panen ubi dan jagung demi menukarnya dengan beras, seakan mempertegas bahwa rezim otoritarian Soeharto bukan hanya membuat masyarakat Timor Timur meninggalkan aneka pangan yang telah menghidupi mereka selama berabad-abad, tetapi juga membuat mereka merasa malu kalau tak makan nasi seperti orang Jawa.

Tentu akal-akalan pemerintah Orba tak hanya berhenti pada upaya berasisasi. Perihal bahasa, orang-orang Timor yang terbiasa hidup dengan bahasa lokalnya pun harus dicekoki lagi dengan bahasa Indonesia; bahasa yang sejatinya tak pernah mereka gunakan. Kutipan berikut dapat mewakili: “Maka sesaklah dada Am Siki. Ia menjadi bersedih hati, sebab orang-orang asing itu selalu datang silih berganti, tetapi tak ada satu pun yang mau belajar berbicara dengan bahasa yang baik dan benar. Selalu saja orang Timor yang dipaksa untuk mempelajari arti dari bunyi-bunyi aneh yang keluar dari mulutnya; mulai dari Portugis, Belanda, Jepang, sampai Indonesia.”

Namun, yang paling parah tentu upaya dekolonisasi Indonesia atas Timor Timur itu sendiri. Ketika Timor Timur merdeka dari jajahan Portugis pada 30 November 1975, hanya selang beberapa hari terjadilah Deklarasi Balibo yang dilakukan oleh tiga partai politik yang prointegrasi Indonesia. Gerakan yang kemudian menjadi legitimasi pemerintahan Orde Baru—yang saat itu menentang keras gerakan komunisme di bawah rezim Fretilin yang berhaluan kiri. Upaya penentangan ini dikenal dengan Operasi Seroja.

Sayangnya, integrasi hanyalah bahasa halus dari invasi atau aneksasi yang dilakukan oleh pemerintah karena ketakutan kalau-kalau Timor Timur menjadi negara komunis. Kedatangan truk-truk Unimog—kendaraan taktis yang diandalkan untuk mendukung setiap operasi militer TNI—yang melaju sambil menggilas warga sipil, hanya satu contoh upaya pemerintahan Soeharto menduduki wilayah tersebut. Maka jangan heran jika kita nyaris tak pernah mendengar sejarah penjajahan bangsa Indonesia terhadap Timor Timur karena alih-alih mengatakan "penjajahan", orang-orang yang menulis sejarah itu lebih suka menyebutnya "pendudukan" atau dengan eufemisme yang lebih sopan seperti "kembali ke pangkuan ibu pertiwi".

“𝙄𝙖 𝙩𝙖𝙝𝙪 𝙗𝙖𝙝𝙬𝙖 𝙗𝙖𝙣𝙜𝙨𝙖-𝙗𝙖𝙣𝙜𝙨𝙖 𝙖𝙨𝙞𝙣𝙜 𝙨𝙪𝙠𝙖 𝙙𝙖𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙚 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝𝙣𝙮𝙖, 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙚𝙠𝙡𝙖𝙞𝙢 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙚𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞 𝙠𝙚𝙥𝙪𝙣𝙮𝙖𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖, 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙣𝙪𝙝 𝙨𝙞𝙖𝙥𝙖 𝙥𝙪𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙬𝙖𝙣.”

Apa-apa yang fiksional terkadang menghidupkan yang faktual. Kisah orang-orang Oetimu dalam novel ini tentu hanya miniatur dari banyaknya kisah tragis yang benar-benar terjadi di Timor Timur dan wilayah sekitarnya.

Namun yang kita tahu kemudian, operasi militer penaklukan Timor Timur mendapatkan kecaman dari dunia internasional atas kekerasan yang dilakukan oleh TNI. Maka, di bawah kepemimpinan B.J Habibie setelah digulingkannya rezim Soeharto, diadakan referendum pada 30 Agustus 1999 untuk menentukan apakah Timor Timur lepas dari Indonesia atau tidak. Hasilnya, mayoritas rakyat Timor Timur ingin memerdekakan diri. Pada 20 Mei 2002, akhirnya Timor Timur mendapat pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Profile Image for Moon.
204 reviews3 followers
March 17, 2024
Brutal. This is... brutal.

I started this book thinking that this would be a light read story setting in a remote village in Indonesia, since one of my sweetest and dearest friend gift me this book last year. But boy, I've never been so wrong in my life.

Gruesomely captivating is the adjective I choose for this book. It has no main character. It's disguised into a short story collection that made you thought it has no correlation, until you read further and realized that they all interwined into a big brutal story about... reality. It slapped me so hard I was so deeply sad and scared and disgusted and helpless because, despite how I know that this book is only fiction with a fictional character, I also know that all of the problems in this book is real. The world is ugly. Humanity is ugly. And life is never fair for everyone.

I am captivated and awed, but at what cost??? Because now I'm for sure scarred for life 😭 I'm gonna watch a lot of kitten video after this.

PS. Be warned!! You better aware of all the trigger warning in this book because it has a LOT of trigger warnings. Damn.
Profile Image for Mardyana Ulva.
75 reviews3 followers
December 4, 2020
Banyak yang merekomendasikan novel ini bilang bahwa novel ini vulgar. Alih-alih merasa vulgar karena adegan seksnya, saya justru merasa deskripsinya tentang peristiwa mematikan yang lebih bikin bergidik.

Penulisnya jago menciptakan kesan-kesan suasana di tiap adegan. Deskripsinya bagus. Transisi antar bagian dan antar adegannya rapi bukan main, membawa pembacanya masuk lebih dalam ke belantara hidup Orang-Orang Oetimu yang diceritakannya. Jadi penasaran, akan seperti apa kisahnya kalau diadaptasi ke medium film.
Profile Image for Widya Rafifa.
4 reviews2 followers
February 2, 2020
Melalui tuturan yang mudah dicerna, Felix K. Nesi sungguh sukses membuat saya tak henti-hentinya turut mengolok banyak hal sepanjang buku ini. Kolonialisme, militerisme, negara, agama, hingga aparat saja pada umumnya. Diksi sederhana yang digunakan Felix sama sekali tidak menurunkan kualitas sarkasme dan ironi yang berusaha disampaikan. Cerita yang ajaib, brutal, juga jenaka. Seks dan darah. Informan tolol dan aparat sok jagoan.

Selebihnya, saya menyukai bagaimana Felix menuturkan cerita tanpa mendikte ekostisme komunitas tertentu belaka. Saya mendapati ia mengejek orang-orang “kota” (dan Jawa) yang kepalanya kadung orientalis di satu fragmen, (“Nenek moyang kita bodoh dan punya gizi yang buruk, sebab mereka hanya makan jagung dan singkong. Sudah ada penelitian dari Barat, bahwa dua makanan itu memiliki zat yang bikin otak menjadi lemah,”) sedangkan di bagian lainnya saya ikut meratapi keadaan masyarakat di bawah kolonialisme. (“Ia menjadi bersedih hati, sebab orang-orang asing itu selalu datang silih berganti, tetapi tak ada satu pun yang mau belajar berbicara dengan bahasa yang baik dan benar.”)

Saya sampai terpikirkan untuk memberikan buku ini kepada beberapa kawan saya saking menyentuhnya. Saya sungguh berharap buku sebagus ini dibaca oleh lebih banyak orang, khususnya mereka yang memendam hasrat untuk mengumpati negara dan martir-martirnya.
Profile Image for Qonita .
304 reviews99 followers
November 26, 2022
TW: pemerkosaan

Bagus sih cerita dan penulisannya. Tapi aku ga seneng sama adegan-adegan perkosaan yang baru bentar, cewenya ikut enak, trus ya udah jadi dianggap hampir ga ada masalah. POV yang dipake adalah POV orang ketiga. Jadi respon itu digambarkan sebagai perasaan cewe itu sendiri, bukan cuma dugaan(/tuduhan) dari pelaku yang sekiranya bias. Ada sih bagian di mana salah satu cewe bilang, percuma ke polisi karena nanti dituduh cewenya juga menikmati diperkosa kaya di atas. Tapi kok pas kejadian dibikin seakan-akan responnya begitu juga.

Aku pikir itu ga bener, harmful buat pendapat publik soal perkosaan, dan kurang sensitif kalau bukan agak jahat sama pembaca yang korban kekerasan seksual. Menurutku adegan-adegan kekerasan boleh masuk ke fiksi, tapi harus jelas framing dan nalar wajar yang berlaku di dunia fiksi tersebut. Kalaupun cowo-cowonya ditokohkan kurang sensitif sebagai penggambaran masalah yang ada di dunia nyata, seharusnya dampak ke cewe-cewenya tidak digampangkan, sebagaimana yang akan penulis temukan di dunia nyata pula jika diriset dengan lebih perhatian. Dalam kasus ini, aku jadi kurang nyaman membayangkan posisi penulis sendiri terhadap isu ini. Terlepas dari konten lain, bagian itu ganggu banget dan ga bisa aku kesampingkan. Jadi galau mau ngasih dua bintang aja.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Erni  Aladjai.
10 reviews7 followers
August 2, 2019
Saya sudah membaca novel ini. Bagus sekali. Sangat bagus. Beberapa kali saya harus mengambil napas panjang lantaran getir akan kehidupan tokoh-tokohnya. Dialog yang keren antara tokoh. Betapa manusia dikupas sedalam-dalamnya : pahlawan yang sangat orde baru yang sesungguhnya baik hati (Sersan Ipi), kesalehan dan kemunafikan (Romo Yosef), kemarahan yang dibawa mati lantaran berhadapan pada sesuatu yang tak bisa dikendalikan (Maria) dan Silvy ( Kecantikan yang Oportunis) dan kehidupan yang sungguh tidak (menimpa Laura). Terima kasih sudah menulis novel sebagus ini.
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
August 19, 2019
Sudah lama tidak baca fiksi lokal yang bagus, dan akhirnya terbayarkan oleh pemenang Sayembara Novel DKJ 2018 ini. Memang pantas jadi juara. Novel dengan tema lokalitas masyarakat Timor dan NTT dituturkan dengan sarkas dan jenaka. Dibuka dengan teknik foreshadowing tentang para pembunuh yang menyerbu rumah Martin Kabiti di malam final Piala Dunia 1998. Lalu cerita bergulir mundur ke belakang menyibak latar semua tokoh2. Endingnya pun luar biasa, tak terduga.
Tokoh favorit saya; Sersan Ipi dan si cantik Silvy.
Profile Image for Lantip Sukaswanto.
36 reviews9 followers
September 18, 2019
Di luar tema seks yang berlebih-lebihan—kadang malah menjemukan daripada menimbulkan hawa ngaceng, buku ini sangatlah yahud. Teks sangat rapi, keliaran yang dibungkus dengan santun, teknik etnografi yang meyakinkan, enak dibaca, dan di setiap paragraf diakhiri dengan kalimat yang bersinar terang.
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews68 followers
July 12, 2020
Sebuah bacaan segar tentang Indonesia bagian Timur, di tengah gempuran tulisan roman yang tak ada habisnya. Rasanya akan jauh lebih segar jika membaca sambil ditemani sopi kepala dan kudapan dendeng rusa.
Profile Image for Tommy Bevevino.
36 reviews
April 30, 2025
This was really excellent.

It’s a novel that follows the modern history of Timor with a satirical tone that felt similar to One Hundred Years of Solitude. This book is much, much darker than that one but still an enjoyable read.
Displaying 1 - 30 of 324 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.