Semakin dewasa kita semakin sulit menyadari emosi. Salah satunya karena kebiasaan menekan emosi demi menunjukkan betapa dewasa kita. Meski tengah marah atau sedih, kita terbiasa memasang wajah datar untuk meredam semua gejolak dalam diri agar orang lain memandang kita baik-baik saja.
Belum lagi jika kita ditempatkan sebagai manusia dengan segala kesibukannya: selalu fokus pada pekerjaan yang tak pernah habis dan masa depan tak terlihat. Lalu kita lupa untuk benar-benar hidup saat ini, untuk mendengar suara-suara dari dalam diri. Kita seolah tidak memiliki waktu untuk memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah emosi. Padahal, manusia merasakan 34.000 emosi yang silih berganti, yang selalu mencoba untuk berkomunikasi dengan sang pemilik emosi. Sayang, kita sering menganggapnya bisikan semata lantas mengabaikannya. Emosi-emosi itu lalu mengendap, membuat kita merasa ada yang salah dengan diri kita tetapi tidak tahu sumber penyebabnya. Tiba-tiba kita merasa sedih atau kosong.
Emosi adalah bagian kehidupan yang membantu manusia untuk bertahan hidup dan melestarikan keturunan. Ia pelindung paling setia tiap kali manusia bertemu situasi yang tak nyaman. Kewajiban kita adalah mengakui keberadaanya, lalu menyediakan waktu untuk bicara dengannya. Sebab ketidakmampuan mengenali emosi akan membuat kita menderita.
Ayu adalah seorang perawat kesehatan jiwa yang bekerja merawat keadaan psikologis serta emosional pasien-pasiennya. Semua lapisan emosi adalah lapisan tempatnya bekerja. Ayu membantu setiap orang untuk mengenali, berhadapan, dan mengendalikan emosi. Tulisan di buku ini merupakan bagian dari komunikasi terapeutik yang selama ini ia praktikkan, yang berguna untuk membuka pintu pemecahan masalah dan mendorong setiap orang menuju jalan pemulihan. Sebab kita kerap mengalami masalah emosi, tetapi tidak pernah menyadarinya.
Bagi sebagian orang, membaca buku self-help mungkin membosankan dan tidak merasa terbantu karena isinya kurang lebih sama semua. At some point, memang beberapa buku self-help premisnya sama. Di buku ini pun demikian. Berisi tentang artikel-artikel singkat berdasarkan pengalaman empiris penulis, buku ini tidak membuat saya merasa digurui, tetapi memberi kesan mengobrol dengan teman dekat. Cara-cara yang disampaikan penulis untuk mengenali dan mengendalikan emosi apapun yang mendatangi diri membuat saya kilas balik dan merefleksi pengalaman-pengalaman dan keputusan-keputusan yang telah saya ambil. Yang paling membekas dari buku kecil ini adalah topik tentang kesepian. Data yang dipaparkan penulis membuat saya menyadari bahwa kesepian bisa datang kapan saja dan bertamu pada siapa saja. Loneliness is a dangerous thing. Karenanya, saya mendapatkan sebuah afirmasi kalau sangat tidak apa-apa mengatakan kepada orang lain bahwa saya sedang kesepian dan membutuhkan orang lain untuk merasa terkoneksi dengan dunia.
Buku ini merupakan buku pengembangan diri yang secara khusus membicarakan mengenai emosi yang dibagi ke dalam lima bagian, yaitu: Bab I: Menerjang Badai, Membakar Matahari (tentang kesedihan dan kesunyian) Bab II: Dalam Bayang-bayang Invisible Tigers (tentang kecemasan dan ketakutan) Bab III: Berpegang pada Untaian Benang-benang Rapuh (tentang kepercayaan) Bab IV: Pot Api (tentang kemarahan) Bab V: Teratai yang Mekar di Kubangan Lumpur (tentang kebahagiaan)
Emosi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sejak dulu kala. Meski begitu, banyak dari kita yang tidak menyadarinya. Kita seringkali memilih abai terhadap emosi yang dirasakan.
Emosi bukan hanya tentang kemarahan. Kesepian, kecemasan, ketakutan, kepercayaan, dan kebahagiaan merupakan beberapa dari sekian banyak bentuk emosi. Manusia dapat mengalami hingga 34.000 emosi yang datang silih berganti dalam hidupnya. Namun kita seringkali abai terhadap emosi-emosi yang dirasakan. Kita terbiasa untuk menahan emosi dengan dalih 'kedewasaan'.
Dalam buku ini, penulis berkali-kali mengatakan bahwa kita adalah manusia. Segala emosi yang kita rasakan merupakan sesuatu yang valid. Merasakan emosi merupakan hal yang normal dan dapat dialami oleh siapa saja. Sesuatu yang berbeda ialah respons terhadap emosi tersebut. Untuk dapat merespons keberadaan emosi dengan cara terbaik, kita harus terlebih dahulu mengenali emosi yang dirasakan.
Proses mengenali emosi bukanlah proses yang instan dan dapat dilakukan dalam sekali kedipan mata. Mengenali emosi artinya upaya mengenali diri sendiri. Untuk melakukannya kita butuh waktu seumur hidup. Artinya, untuk mengenali emosi dan memberikan respons terbaik terhadapnya, kita harus berlatih setiap waktu.
Sebagai buku psikologi yang ditulis oleh perawat kesehatan jiwa, buku ini tidak terlalu banyak berbicara mengenai hal-hal teoritis. Agnosthesia lebih banyak menceritakan mengenai pengalaman dan pemahaman penulis sebagai praktisi dalam mengenal emosi, baik emosi yang dirasakannya sendiri maupun emosi yang dirasakan oleh pasien-pasiennya.
Dalam buku ini, penulis mencoba memberikan berbagai upaya yang dapat dilakukan pembaca guna dapat memilih caranya sendiri untuk mengenali emosi. Ketika emosi secara tiba-tiba menghampiri, kita dapat memberi jeda pada diri sendiri untuk memahami situasi yang sedang terjadi.
Buku ini sangat mudah untuk dipahami. Bagi saya, buku ini dapat menjadi teman perjalanan dalam upaya mengenali emosi. Dan, selayaknya seorang teman baik, buku ini tidak akan memanjakan kita dengan terus menerus menyerah ataupun menyanggah pada setiap emosi yang dirasakan.
Buku ini mendorong kita untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang kita butuhkan, baik itu beristirahat sejenak, mempersiapkan dan mencoba sesuatu, hingga nantinya kita dapat berjalan kembali.
Salah satu kutipan favoritku dari buku ini: “Bayangkan kamu sedang di pinggir sungai, duduk dan mengamati aliran air di depan mata. Ada riak air, pusaran-pusaran kecil yang ditimbulkan oleh interaksi antara air dan bebatuan, juga lompatan-lompatan kecil gelombang yang menawan. Kau tetap diam di tempatmu berada, duduk tenang dan mengamati. Begitulah caramu memperlakukan emosi dan riak-riaknya dalam hidup.” —Agnosthesia, hlm. 159
This entire review has been hidden because of spoilers.
Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2021
3 dari 5 bintang!
Buku ini lebih menjabarkan mengenai respons emosional manusia menjadi tujuh hal yaitu penolakan, kesendirian, kehilangan dan trauma, rasa bersalah, kegagalan, rumination, dan harga diri yang rendah. Setiap babnya membahas bagian-bagian dari respons emosional tersebut yang menjadikan buku ini bagian dari buku self-help
sebenarnya saya sudah berekspektasi lebih terhadap buku ini mengingat penulis adalah perawat kesehatan jiwa mungkin ingin share keahliannya atau suatu kasus yang bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua (*mungkin ini menyangkut masalah consent juga kan ga bisa seenaknya dipublikasikan meski nama disamarkan).
Bukunya lebih kayak sharing mengenai respons emosional yang berisi kata-kata bijak untuk kesehatan mental kita
Emosi tidak hanya sedih, marah, bahagia... Saat merasa tidak nyaman ketika menghadapi sesuatu dan kita tidak bisa mendeskripsikan apa yang terjadi, itu juga emosi. Kenali semua emosi yang hadir, identifikasi penyebab datangnya, dan terima semua emosi yang datang. Jangan lupa berdamai, agar seimbang atas kondisi diri.
Buku ini mengajarkan untuk mengenali emosi di berbagai aspek kehidupan. Yang menarik dari buku ini, penulisnya adalah perawat kesehatan jiwa. Sangat ringan dan mudah dipahami. Terkadang kita sering mencari kebahagiaan. Tapi sebenernya ketika damai menyelimuti diri disanalah kebahagiaan berada.
Perasaan cemas, khawatir, dan tidak nyaman adalah perubahan. Kadang perubahan adalah hal yang menakutkan dan mengasyikan. Jawabanya TERGANTUNG, tergantung kita memandang perubahan dan memaknai apa itu perubahan.