Arian, anak seorang seniman Kurinding asal Kalimantan Selatan, mungkin tidak pernah menyangka pertemuannya dengan Bunga, seorang gadis penderita Cerebal Palsy, dan Kejora, seorang gadis dari Gunung Meratus, membawanya menghadapi petualangan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Arian yang selalu mendapat nasihat dari sang Abah melalui Kurinding merasa bertanggung jawab menjaga dua gadis tersebut ketika mereka berpetualangan. Nasihat Kurinding dari Abah juga menjadi pedoman Arian untuk menjalani hidup dan bergaul dengan teman-temannya. Arian, Bunga, dan Kejora adalah anak yang berasal dari tempat berbeda, budaya berbeda, tapi mereka memiliki semangat sama dalam mewujudkan mimpi masing-masing.
Buku ini mengusung tema pertemanan antara tiga anak seumuran dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda. Buku ini menjelaskan antropologi warga Kalimantan Selatan dan Banjarmasin, kota seribu sungai. Urang Banua, begitu sebutan untuk warga. Buku ini begitu kaya dengan kosakata dan istilah daerah selama kita membacanya. Walaupun, amat sayang sebenarnya, lirik-lirik atau ucapan mantra yang diucapkan di buku ini tidak ada terjemahannya. Akhir buku ini cukup tidak tertebak dan saya cukup kaget. Buku ini juga sedikit membicarakan psikologi dan kesehatan mental. Penulis juga berusaha menjelaskan kepada pembaca apa itu cerebral palsy. Secara kesuluruhan, saya menikmati novel ini. Terima kasih untuk penulis buku ini.
"Orang yang memiliki impian adalah tokoh utama di muka bumi ini, Arian. Itu karena ia memiliki mimpi sehingga hidupnya menjadi indah dan berani. Mimpi yang terwujud tidak berbeda dengan sebuah keajaiban. Karenanya, orang yang bisa mewujudkan mimpinya terlihat indah dan bebas."
Cerita tentang mimpi dari anak-anak dengan latar belakang yang berbeda. Seorang anak seniman kuriding, seorang anak balian dari pedalaman Meratus, dan seorang anak pengidap cerebral palsy.
Suka banget sama penulisannya!!! Cerita ini mengangkat tema persahabatan, kerja keras, psikologi, petualangan, dan lain-lain. Salah satu yang menarik dari buku ini adalah bagaimana penulis menonjolkan antropologi Kalimantan Selatan dengan menunjukkan kebiasaan warga, keberagaman adat, penulisan percakapan dengan bahasa Banjar, sampai mantra-mantra yang digunakan oleh balian.
Melihat latar belakang penulis, aku senang dengan pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu jiwa yang disisipkan di cerita ini. Bagaimana penulis mengenalkan metode flooding untuk penyembuhan fobia dan penulis juga mencoba menjelaskan kondisi Bunga pada pembaca dengan bahasa yang mudah dimengerti melalui tokoh Bu Sheila yang menjelaskan pada Arian dan Kejora.
Buku ini juga dilengkapi dengan beberapa terjemahan di catatan kaki dan glosarium. Aku kasih ⭐4 karena bukunya berhasil bikin aku ngerasa mau cepat-cepat pulang kampung, apalagi di setiap pembahasan tentang makanan 😆😭
Naaah untuk filmnya ada beberapa bagian yang beda dan dipotong dari novel yaa. Walaupun memang ada beberapa bagian yang disayangkan karena nggak masuk di film, tapi alur ceritanya tetap bisa dimengerti kok. Tambahan beberapa karakter juga cukup menghibur, khususnya Paman Daim yang bikin ngakak sekaligus bikin kesel pas jagain Bunga 😂 Aku juga suka pemilihan pemain yang memerankan Ganang, pas bangettt.
7/10 untuk filmnya, terlihat jelas di film ini keindahan kota Banjarmasin dengan sungai-sungai dan kehidupannya, Pasar Terapung, Pasar Ujung Murung, sampai Pegunungan Meratus, bungas banar 🥹🫶 Tapi cukup kaget di akhir-akhir cerita, saat mereka sudah beranjak dewasa, air sungainya jadi berubah warna 👀
This entire review has been hidden because of spoilers.