Jump to ratings and reviews
Rate this book

Perempuan dan Anak-anaknya

Rate this book
Perempuan dan Anak-anaknya merupakan kumpulan cerpen yang pernah terbit di majalah Horison dan Sastra pada 1966–1970. Dua belas prosa yang dipilih di sini memberi gambaran atas suatu periode penting dalam sejarah bangsa Indonesia: peristiwa berdarah pasca-30 September 1965.

Beberapa cerpen merupakan buah pena para penulis mapan seperti Umar Kayam, Martin Aleida, Satyagraha Hoerip, Gerson Poyk, dan Ki Panjikusmin. Ada kekasaran dan bahkan kenaifan dalam karya-karya ini. Banyak tokoh atau pencerita yang tampil membawa beban rasa bersalah karena keterlibatan dalam penyiksaan dan kematian orang lain, sering kali orang-orang yang dikenal dengan baik.

Dalam buku ini juga ditawarkan cara untuk menjadikan cerita-cerita lama sebagai sarana menumbuhkan kepedulian akan hak asasi manusia: hak untuk hidup, kebebasan, dan rasa hormat.

*******

“Ini adalah sebuah buku yang berani, bahkan juga untuk masa kini. Atau sebenarnya ini adalah dua buku: kumpulan cerita pendek dan kerangka untuk menafsirkan cerita secara kritis. Dan kerangka penafsiran ini mengagumkan! Apakah kerangka tersebut ‘menjinakkan’ cerita-cerita yang ada atau justru membuat pesan mereka semakin nyaring dan bersinar? Jawaban ada pada masing-masing pembaca.” —Harry Aveling, Kritikus dan penerjemah sastra Indonesian Translation Studies, Monash University .

“Buku ini menjadi istimewa karena mendorong diterapkannya fungsi edukasi (dari) sastra dan seni. Bahkan pembaca dituntun untuk merumuskan perspektif dalam menegakkan kemanusiaan yang berkeadilan.” —Putu Oka Sukanta, Sastrawan.


, Gerson Poyk, , Umar Kayam, , , ,

364 pages, Paperback

Published March 10, 2021

20 people are currently reading
168 people want to read

About the author

Gerson Poyk

24 books8 followers
Dilahirkan di Namodele, Pulau Rote (Timur), Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931. Pendidikan terakhirnya SGA Kristen Surabaya, tamat 1956. Pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) dan Bima, Sumbawa (1958). Terakhir menjadi Wartawan Sinar Harapan (1962-1970). Antara tahun 1970-1971, ia mendapat beasiswa untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat. Sempat mengikuti seminar sastra di India pada tahun 1982.

Cerpennya, Mutiara di Tengah Sawah mendapat Hadiah Hiburan Majalah Sastra tahun 1961. Sedangkan cerpennya yang lain, Oleng-Kemoleng, mendapat pujian dari redaksi majalah Horison untuk cerpen yang dimuat di majalah itu tahun 1968. Karyanya yang berupa novel antara lain Hari-Hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982). Karya kumpulan cerpennya adalah Matias Akankari (1975), Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Rajagukguk (1975), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Jerat (1978), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requim untuk seorang perempuan (1981), Mutiara di Tengah Sawah (1984), Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988) dan Poli Woli (1988).

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
28 (40%)
4 stars
35 (50%)
3 stars
7 (10%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 20 of 20 reviews
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
July 25, 2021
Kumpulan cerpen ini lebih dari antologi biasa. Ia tidak hanya menyajikan kisah '65 yang ditulis dalam rentang 5 tahun setelahnya, tetapi juga menganalisis cerita secara sistematis dan tujuan akhirnya adalah mengajak pembaca untuk ikut bersuara tentang pelurusan sejarah tahun '65. Buku yang tergolong "berani" meski terbit saat ini.

Buku ini adalah mutiara tersembunyi sastra Indonesia. Karya-karya otentik untuk melihat lebih dekat peristiwa genosida dari sudut pandang sastra. Para penulisnya ada yang cukup dikenal seperti Satyagraha Hoerip, Gerson Poyk, Umar Kayam, Martin Aleida, tapi lainnya adalah nama samaran yang riwayatnya pun tak tercatat di mana-mana.

Keduabelas cerpen mengisahkan gejolak batin orang-orang yang dekat dengan PKI. Sebagai keluarga, simpatisan, algojo, tapi tidak ada yang benar-benar dari anggota PKI sendiri. Seperti yang diutarakan pada bab Gagasan Lebih Lanjut, hal ini terjadi karena para penulisnya beraliran liberal dan bukan simpatisan PKI. Meski demikian, saat itu menulis karya-karya ini diperlukan nyali yang sangat tinggi.

Cerpen favorit saya karya Usamah "Perang dan Kemanuasiaan: Sebuah Catatan Pengalaman Pribadi". Tokoh utamanya adalah seorang interogator yang ditugasi menangani orang-orang yang ia kenal. Seorang guru kerabat sahabatnya, seorang dokter yang telah menyembuhkan bibinya, dan teman kuliahnya sendiri. Betapa perang batin bergejolak keras sewaktu mereka berhadap-hadapan. Adegan yang menyayat hati adalah ketika muka korban bertatapan dengan interogator sebelum "diangkut". Memakai gagasan Emmanuel Levinas bahwa Wajah orang lain menuntut tanggung jawab kita, sang interogator sesungguhnya tak tahan menatap dalam-dalam Wajah korban. Ia seperti ditelanjangi. Wajah itu mengusik nurani. Dan ketika tak bertabir, orang lain akan melihat Yang Tak Berhingga di Wajah itu.

Saya sangat berterima kasih kepada editor yang telah mengetik ulang dan saya yakin juga memperbaiki ejaan dan gaya bahasanya sehingga cerpen-cerpen ini dengan mudah saya nikmati.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
March 11, 2021
Ada kata-kata yang sungguh mengerikan dalam diskripsi beberapa penulis dalam buku ini: gorok, cincang, bakar. Dan bila karya sastra pada masa itu yang terbit di Majalah Horison dan Sastra sedemikian mengerikan dalam menggambarkan tragedi berdarah dalam sejarah Indonesia, maka sangat mungkin (dan sepertinya demikian) yang tumbuh di masyarakat tidak jauh-jauh atau bahkan lebih mengerikan. Orang terbiasa dengan dengan pembantaian, pembunuhan.

Saya membeli buku ini jelas sebab dua alasan, sebab ini cerpen dari nama-nama yang saya kerap dengar dan kemudian ini bisa menjadi cara pandang dari segi bahasa sekaligus pengungkapan sejarah pada masa itu. Sebagaimana diungkapkan dalam pengantar, bahwa 12 cerpen dalam buku adalah bagian dari riset khusus soal sastra terutama cerpen yang terbit di Majalah Horison dan Sastra tahun 1966-1970 -- sungguh spesifik bukan.

Ada nama-nama yang saya sendiri tidak asing, Gerson Poyk, Satyagraha Hoerip, Umar Kayam, Ki Panjikusmin, dan Martin Aleida. Sisanya adalah nama-nama yang cukup asing, bahkan beberapa adalah nama yang tidak diketahui identitas sejatinya.

Ada cerpen soal kakak ipar yang ditugasi membunuh adik ipar ("Pada Titik Kulminasi"--Satyagraha Hoerip), ada seorang yang berniat membantu janda dan anak-anak korban pembantaian ("Perempuan dan Anak-anaknya--Gerson Poyk), seorang yang lari ke Bali ketika terjadi tragedi ("Bintang Maut" Ki Panjikusmin), dll.

Dan saya tertarik membahas cerpen "Maut" karya Mohammad Sjoekoer. Cerpen ini terang benar bagaimana orang pada masa itu merasa begitu "biasa" dengan pembantaian. Tokoh dalam cerpen ini dipaksa untuk menjadi saksi bagaimana prosesi pembantaian. Mereka menggiring, menyusun 20-an orang di tubir galian, kemudian dieksekusi.

Anggap saja kita sedang menyembelih kambing binal.(hal.179)


Duh, kok ngeri sekali. Saya coba mencatat beberapa ungkapan yang unik menggambarkan kengerian pada masa tersebut. Antara lain:

Lahar yang dimuntahkan dari Lubang Buaya. Lahar yang menimbulkan reaksi berantai seperti bom atom. Lalu matilah beribu-ribu orang. (hal.35)

Komunisme terasa lebih menjijikan daripada kotoran manusia. Sedang kemarahan pada orang-orang yang ditempeli barang yang menjijikan itu menjangkitkan penyembelihan dan pembunuhan di mana-mana. (hal.59)

Semua manusia, binatang, dan bahkan benda-benda di seputarku seakan-akan membenciku (hal.89)

...pembunuhan manusia oleh tangan manusia (hal.181)

dan yang lainnya.....

Buku ini menurut saya menarik dikaji yang mau meneliti bagaimana sastra merespons kejadian penting ketika tidak terlampau jauh. Bahkan boleh dibaca cerpen Usamah yang menurut saya sangat dekat bahkan lebih mirip seperti laporan jurnalistik.
Profile Image for Shafira Indika.
303 reviews233 followers
November 9, 2021
4.8/5✨

Wah buku ini gila, sih. Butuh waktu lama bagiku utk menyelesaikan buku ini soalnya ya... gila. Penyiksaan dan kebiadaban sejenisnya digambarkan dgn begitu brutal, begitu sadis, sekaligus begitu nyata. Tertulis bahwa tujuan keberadaan buku kumpulan cerpen ini adlh sbg bacaan alternatif terkait peristiwa 1965, yg memindahkan fokusnya dari kekejian PKI (seperti yg diajarkan dlm buku2 sejarah di sekolah) menjadi kekejian yg dialami orang2 yg berhubungan dgn PKI itu sendiri. Tidak jarang cerpen2 ini mengungkapkan pergolakan batin tokoh utamanya yg bekerja utk menumpas org2 yg berkaitan dgn PKI ini—yg sama artinya dgn menginterogasi teman/kenalan sendiri dan juga menggiring sahabat sendiri menuju pembantaian.

A must-read book! Sayangnya ada bbrp istilah yg ga dijelaskan artinya (terutama yg dlm bahasa Belanda—ada di cerpen berjudul "Bawuk")

Oiya personal favorites:
- Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi
- Perang dan Kemanusiaan: Sebuah Catatan Pengalaman Pribadi
- Maut
Profile Image for andra.
415 reviews22 followers
August 11, 2022
perempuan dan anak-anaknya is a short story collection consisting of 16 stories that focus on shedding a light about the human rights’ violations that came after the tragedy of 1965.

i’m not sure on how to review this book because it doesn’t feel like a book that i am able to judge the content of it as i’m only now really learning the brutality and horrificness of the 1965 aftermath as these were not taught to me when i was in school. these stories really made me think about what i was taught and how a lot of it were left out.

what i can say though, is that reading this was difficult. i appreciated how this book is also encouraging the readers to read the stories critically and not just take everything it says by heart. there were no glamors added on both sides too as the stories do focus more on raising questions about human rights in the aftermath but also not glossing over the tragedy itself.
Profile Image for Tyas.
Author 38 books87 followers
May 28, 2021
Bagi saya, ini sebuah buku penting. Tidak hanya memuat sejumlah cerpen yang berkaitan dengan Tragedi 1965 (dan sesudahnya) dan ditulis pada periode waktu yang tidak lama setelah kejadian, buku ini pun menawarkan cara untuk memanfaatkan cerpen-cerpen ini sebagai sarana belajar, wahana untuk mengubah cara pandang menjadi lebih berempati, dan bagian dari upaya rekonsiliasi bangsa.

Isi cerpen-cerpen ini mungkin sangat mengiris. Sangat ingin membuat kita memalingkan wajah karena ngeri. Sesak. Bergidik. Tetapi bagi saya, seharusnya kita berusaha sekuat mungkin untuk menatap lembar demi lembar halaman yang masing-masing menampilkan secuil-secuil sejarah gelap bangsa ini, dan mengajukan berbagai pertanyaan kepada diri sendiri. Berusaha memahami. Berusaha tidak melupakan. Berusaha, sebaik-baiknya, untuk tidak pernah mengulangi lagi tragedi serupa.
Profile Image for Ardhias Nauvaly.
63 reviews3 followers
November 22, 2023
Saya suka bukunya, namun tidak dengan beberapa cerpennya.

Di berbagai tempat, saya sering bicara soal perasaan bersalah seniman-seniman "anti-Kom" setelah melihat "Orde" yang mereka usung ramai-ramai berlaku kelewat brutal. Buktinya, kata saya, mereka tidak berani menuliskan "kemenangan" itu secara masif. Praktis, masih kata saya, hanya Taufiq Ismail yang getol betul menyuarakan kemenangan besar atas Kiri lewat buku puisi "Tirani dan Benteng". Atau AD Pirous dengan lukisan "Mentari Setelah September 1965". Nyatanya saya yang cetek.

Willy Alfarius, katolik taat sekaligus kamerad yang rakus membaca, menyarankan saya kumcer ini ketika saya ajak ngobrol soal perkara "guilty" tadi. Kumcer yang segera membuktikan dua hal: saya masih selalu bodoh dan pengarang-pengarang memang merasa bersalah, namun, dalam banyak tulisan, PKI lebih salah.

Saya suka buku ini. Suka sekali. Memotret pandangan pengarang, yang asumsinya adalah potret realitas wacana saat itu seputar "Gestok", dalam periode 1966-1970 yang disebut sang editor buku sebagai "Hegemoni Separuh". Periode ketika Orde Baru masih baru, belum tegak sebagai bangunan, sebagai penjara atau menara sniper.

Di sini saya disodorkan wujud atas imajinasi saya tentang lansekap sospol tahun 60-an. Tentang santri dan kyai Marxis, tentang Marxis yang avonturir, tentang perempuan ningrat yang jadi kader jagoan komunis. Menunjukkan, betapa berwarnanya kehidupan sejak kapan pun, termasuk di periode yang sering dilukiskan simplistik itu.

Saya suka buku ini. Namun saya tidak suka beberapa cerpennya. Cerpen yang masih menggunakan "pencincangan" para jenderal di Lubang Buaya sebagai pembenaran pembunuhan ratusan ribu orang. Tentang tokoh-tokoh komunis yang digambarkan ateis, tidak pandai di sekolah, dan bodoh dalam ilmu pasti (fa-fi-fu thok!). Ah, tapi setelah saya pikir-pikir, mereka toh adalah korban propaganda Orde Baru. Saya membayangkan ketika saat itu "Cornell Paper" sudah bisa diakses, buku babon Geoffrey Robinson, Jess Melvin, dan John Roosa sudah beredar, tidak akan ada pikiran picik seperti yang tertuang dalam cerpen-cerpen itu.

Satu cerpen yang saya pikir paling kuat adalah "Maut" karya Muhammad Sjoekoer. Tentang pemuda yang disuruh komandan Koramil untuk menyaksikan eksekusi tapol. "Untuk pengalaman, Dik," kata komandan. Dan tokoh kita pun mendapatkan pengalamannya: menggiring tahanan dan menyaksikan mereka tumbang berpuluh-puluh oleh berpuluh-puluh pistol yang menerangi malam selama 3 detik milik berpuluh-puluh algojo.

"Saya mau dibawa kemana, Den," kata tahanan dengan mata tertutup kain.
"Pindah penjara saja, Pak"
"Kenapa tanahnya begitu becek?"

Saya langsung menangis. Tanah gembur itu hanya dua kemungkinan: ladang subur atau lahan kubur.
Profile Image for Yuliza Husnizar.
34 reviews3 followers
December 3, 2021
Asyik nih cerpen-cerpennya. Karna dari awal sudah diwanti-wanti dari editor buat baca melalui perspektif hak asasi manusia, aku sedikit banyak tau tentang beberapa pelanggaran pada peristiwa 1965.

Dulu, sewaktu aku kecil aku tak mengerti kenapa ibu & ayah setiap malam 30 September selalu menantikan film G30S PKI walaupun kami tinggal di negeri jiran. Aku sendiri tak pernah menonton film itu, soalnya seingatku dulu film ini diputar sekitar tengah malam. Aku baru menontonnya ketika aku berumur 20an & sudah tau sedikit banyak tentang peristiwa itu (sampai aku SMP kupikir pengetahuanku tentang Indonesia & sejarahnya masih terbatas sekali😁).

Dan ternyata benar atau tidaknya semua yang dipaparkan di film tersebut masih menjadi tanda tanya besar buat sebagian orang. Menurut buku ini setelah Soeharto jatuh, terbuka ruang & kesempatan bagi para mantan tahanan politik (tapol) 1965 untuk bersuara. Mereka menampilkan secara rinci bagaimana penumpasan PKI yang "sampai ke akar-akarnya itu" menimpa mereka. Ada sebagian dari mereka yang tidak bersalah. Bagi kelompok ini, tragedi 1965 bukanlah G30S dan peristiwa Lubang Buaya, melainkan pelanggaran hak-hak asasi mereka pada operasi penumpasan anggota PKI terhadap mereka yang dituduh PKI.

Buku ini sengaja mengambil salah satu judul dari cerpen-cerpen di buku ini yang berjudul Perempuan dan Anak-Anaknya mengingat dalam suatu peristiwa seringkali yang menjadi korban adalah wanita & anak-anak padahal terkadang mereka tidak tau apa-apa.

Dari 12 cerpen di buku ini yang paling aku suka ada 3 cerpen yaitu Pada Titik Kulminasi, Musim Gugur Kembali di Connecticut, dan Malam Kelabu.

Yang aku kurang sreng dari buku ini cuman pengulangan kata-kata 'cara membaca dengan perspektif hak asasi manusia'. Tau sih ini yang mau ditekankan tapi terlalu banyak pengulangan jadinya bosan..hehe.
Profile Image for tan amerta.
15 reviews
January 1, 2023
buku ini menarik banget! isinya kumpulan tulisan tentang '65 yang ditulis di tahun 1966-1970. periode waktunya memang ga jauh pasca peristiwa G30S itu sendiri. jadi, kita membaca tulisan-tulisan dari penulis yang memang secara ga langsung jadi saksi peristiwa tersebut.

di buku ini, saya menemukan sudut pandang baru di tiap ceritanya. lebih bervariatif dari kebanyakan cerpen/novel tentang '65 yang setidaknya pernah saya baca. di kucer ini, ga hanya melihat sudut pandang dari korban, tetapi juga dari sudut pandang keluarga, simpatisan, hingga algojo! bahkan, ada bagian menarik yang membahas tentang bagaimana perasaan yang dihampiri seorang eksekutor ketika harus mengeksekusi para korban yang ga jarang, merupakan orang terdekat mereka.

btw, di akhir buku ada kuisioner supaya kita bisa merefleksikan diri setelah membaca buku ini. karena, bukunya memang bertujuan sebagai sarana edukasi dan bacaan alternatif terkait '65. jadi, memang kita yang harus banyak cari tau karena banyak banget perspektif dalam memandang peristiwa ini.

tulisan favorit saya: "Perang dan Kemanusiaan: Sebuah Catatan Pengalaman Pribadi" dan "Maut".

saya merekomendasikan ini untuk dibaca karena bisa sebagai sarana belajar sejarah.
Profile Image for Rei.
366 reviews40 followers
June 29, 2021
Perempuan dan Anak-anaknya. Diedit oleh Yoseph Yapi Taum dan Antonius Sumarwan, SJ.

‘Berdasarkan hegemoninya, Orde Baru dapat dibagi menajdi tiga periode yakni periode hegemoni minimum (1965-1970), hegemoni total (1971-190), dan hegemoni dekaden atau merosot (1980-1998). Karya-karya sastra yang terbit pada masa ini masih memiliki kebebasan mengekspresikan pikiran dan perasaan sastrawannya.’ Prakata hal. xvi.

Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang terbit antara tahun 1966-1970 di majalah Horison dan majalah Sastra, dengan tema yang sama yaitu Tragedi 1965. Nama-nama penulisnya di antaranya yaitu Umar Kayam, Martin Aleida, Gerson Poyk, dan lainnya. Melihat tahun terbit cerpen-cerpen ini, aku sangat tertarik karena pada saat itu, Tragedi 1965 masih ‘panas-panasnya’. Kira-kira apa yang bisa disampaikan para sastrawan ini melalui cerita pendek mereka?

Kebanyakan cerita dalam buku ini berkisah dari sudut pandang karakter yang ‘anti-komunis’ atau ‘anti-PKI’. Nurani mereka menggeliat, tercabik dalam bimbang karena seringkali mereka harus mengincar, menangkap, bahkan membunuh keluarga dan teman-teman mereka sendiri. Mereka terutama bersimpati kepada keluarga aktivis dan simpatisan PKI; istri dan anak-anak yang tak berdosa kini telantar tanpa ayah dan dikucilkan oleh masyarakat. Ada beberapa cerpen yang bagiku sangat menggugah, Perempuan dan Anak-anaknya karya Gerson Poyk; Maut karya Mohammad Sjoekoer tentang seorang yang penasaran sangat ingin menyaksikan proses eksekusi, dan Bawuk karya Umar Kayam, tentang seorang perempuan lincah pemberani yang menjadi istri aktivis PKI.

Seperti disebutkan dalam Bab Gagasan Tindak Lanjut, cerpen-cerpen ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperjuangkan kebenaran dan rekonsiliasi terkait pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada Tragedi 1965. Buku ini menurut saya salah satu sumbangan penting terkait Tragedi 1965 dari sisi yang jarang dibahas; sisi korban yang tidak pernah terlibat dalam kudeta namun merasakan dampak dahsyat yang mengguncangkan kehidupan mereka.
Profile Image for Abiyasha.
Author 3 books14 followers
January 11, 2025
Sebuah kumpulan cerpen yang sangat berat, baik secara tema serta emosi yang dibawa di tiap cerpennya. Namun saya bersyukur menemukan buku ini dan membacanya, sekalipun perlu waktu yang cukup lama. Cerpen-cerpen di buku ini menunjukkan sisi lain dari peristiwa 1965, yaitu dari sisi sastra, yang menurut saya sangat gamblang menggambarkan situasi politik saat itu tanpa harus terasa seperti sebuah reportase. Satu yang pasti, ada begitu banyak emosi yang muncul dalam diri saya membaca setiap kisahnya. Terlepas ini adalah sebuah fiksi, saya yakin penulis-penulisnya membuat cerita-cerita pendek ini berdasarkan sebuah kenyataan.

Buku yang wajib dibaca oleh siapa saja yang memang ingin mengetahui lebih dalam mengenai Peristiwa 1965 melalui sudut pandang karya sastra yang bukan novel. Beragamnya penulis yang ditampilkan dalam buku ini menunjukkan betapa bervariasinya keadaan yang terjadi waktu itu, tetapi tetap memiliki benang merah yang sama.
Profile Image for Nabila Puspita.
21 reviews5 followers
November 15, 2021
Di buku ini kita bisa dapet gambaran tentang gimana situasi dan ketegangan pasca kejadian tahun 1965. Secara keseluruhan pilihan cerpennya bagus-bagus banget, meskipun ada satu dua yang kurang bisa saya nikmati. Selain itu yang kusuka juga ada poin terkait ICCPR yang dijabarkan di akhir buku, sehingga kita bisa menilai secara personal apakah segala hal yang terjadi sebagai "pembalasan" itu melanggar HAM atau tidak.

Semoga banyak generasi muda yang tertarik baca buku ini karena meskipun sudah puluhan tahun, semoga tidak tutup mata agar tidak terjadi kejadian yang sama lagi
Profile Image for wrtnbytata.
204 reviews3 followers
November 5, 2022
Short stories collection that illustrate the condition during 1965 in Indonesia — the vengeance that results in the disappearance of many young innocent souls, the degradation of women's worth, separated families, children who lost their parents and humans who lost their humanity. Each story provides various perspectives which aimed to give the readers every point of view to judge the situation and not only blaming one specific party.
12 reviews
January 17, 2023
Terima kasih karna sudah mengenalkan saya kepada sisi lain dari peristiwa 65. saya yang lahir di akhir tahun 90an selama ini hanya tau kulit luar mengenai salah satu peristiwa kelam yang juga menjadi catatan hitam sejarah Indonesia. Kumpulan cerpen ini juga sedikit banyak menjawab pertanyaan saya mengenai kenapa ideologi komunisme begitu dimusuhi di Indonesia. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih
Profile Image for Sheeta.
214 reviews18 followers
January 6, 2025
Ini buku yang bikin aku selalu menghela napas lelah, pengap dikit rasanya, dan terasa berat di setiap lembarnya. Makanya, untuk menghabiskan satu buku yang berisi cerpen ini juga sangat lama.

Semua cerpen di buku ini menceritakan tentang isu 1965—5 tahun setelah peristiwa terjadi. Sehingga, pembawaan cerita disini cukup berat, dekat, dan sangat amat relevan. Bahasa yang digunakan juga masih bahasa-bahasa para penulis di tahun 1960an-1970an.
Profile Image for amaaa.
24 reviews
October 30, 2021
Menarik sekali rasanya membaca satu timeline sejarah dari sudut pandang yang berbeda-beda. Selain itu, buku ini bisa terbilang komprehensif untuk dicerna, karena disertai dengan pembuka, penutup, kuesioner-kuesioner, dan referensi yang sangat lengkap. Sehingga semakin efektif untuk meningkatkan kesadaran terhadap sejarah yang seringkali dilupakan atau bahkan tidak pernah dibahas di ruang publik.
Profile Image for Arief Ramadhan.
71 reviews
January 31, 2022
Kumpulan cerpen tragedi '65 yg terbit di tahun 1966-1970.

Kisah-kisahnya keji dan mengiris, menghadirkan kembali suasana kelam yang pernah terjadi di negeri ini. Membacanya membuat saya mempertanyakan batas-batas apa saja yang dapat ditembus manusia atas dasar fanatisme dan kebangsaan.

Saya berharap buku ini meningkatkan kesadaran kita pada sejarah, agar tidak terjadi lagi tragedi yang serupa.
Profile Image for Jeyaa.
96 reviews
March 2, 2022
Lumayan membutuhkan waktu yang tenang untuk menghabiskan bacaan ini. Saranku jangan mencampurkan segala bentuk "pengisian" narasi dalam buku ini dengan berbagai media lain yang gambaran atau secara garis besar memiliki inti yang sama ke dalam kepala. Terutama pemilik
"energi cepat habis" ketika membaca cerita yang didominasi emosi negatif.
Profile Image for Ms.TDA.
234 reviews3 followers
September 7, 2024
Dua belas cerpen ini mengisahkan apa yang terjadi pada lika liku masyarakat kecil yang banyak bukan merupakan anggota PKI itu sendiri. Tapi inilah bagian dari SEJARAH yang seharusnya diturun temurunkan! Bukan dihilangkan dan dipelintirkan ke generasi yang mendatang agar tragedi yang sudah terjadi tidak berulang kembali. ⚠️
Profile Image for Marliyanti Yanti.
19 reviews2 followers
December 29, 2021
Maka Sempurnakanlah Penderitaan Saya di Muka Bumi dan Dawuk adalah dua cerpen favorit saya di buku ini.
Profile Image for Astala.
100 reviews
December 30, 2023
Perempuan dan Anak-anaknya
editor Yoseph Yapi Taum & Antonius Sumarwan, SJ

⭐4,8
Bukunya insightfull. Menceritakan kisah-kisah tahun 1965-1970an dengan sudut pandang yang menggambarkan korban keluarga para tapol utamanya perempuan (istri) dan anak²nya. Penggambaran bagaimana hukuman tanpa penghakiman yang diberikan kepada tapol juga menghukum semua keluarganya yang bahkan buta akan politik itu apa, dan bagaimana dendam membutakan rasa kemanusiaan yang berujung pada penumpasan² tanpa ampun yang diberikan, cukup membuat kosong perasaanku setelah membaca akhir cerpennya

Didalam bukunya juga ada angket untuk pre test dan post test setelah baca bukunya. Karena ini buku juga dijadikan riset oleh editornya, dan proses penerbitannya juga dikarenakan editor mengalami kesulitan saat menyusun disertasinya yg membahas mengenai representasi tragedi 1965 dlm karya sastra indonesia. Menarik!

Narasi² seperti ini yang dihapus dari sejarah sejak jaman orba. Padahal sangat menarik untuk dikulik sejarahnya, Tragedi pasca tragedi lubang buaya.

Buku kumcer yang bagus!
Displaying 1 - 20 of 20 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.