Cho Nam-joo is a former television scriptwriter. In the writing of Kim Jiyoung, Born 1982 she drew partly on her own experience as a woman who quit her job to stay at home after giving birth to a child.
Kim Jiyoung, Born 1982 is her third novel. It has had a profound impact on gender inequality and discrimination in Korean society, and has been translated into 18 languages.
kalian pasti tahu kalau misalkan tangerine, identik dengan warna orange. Akan tetapi buku ini diberi nama Tangerine Green? artinya buahnya masih berwarna hijau? Pasti ada sesuatu yang relate dengan ini bukan? Ketika membaca cerita persabatan 4 orang ini, aku jadi mengerti kenapa buku ini diberi nama Tangerine green. you can find it also! this is a light reading, so no hard feeling.
Novel ini menceritakan tentang empat gadis yang sama-sama bergabung dalam klub film yang hendak lulus SMP dengan masing-masing masalahnya. Bukunya tipis, tapi sarat makna.
So-ran, Da-yun, Hae-in, dan Eun-ji sama-sama memiliki monster di hidupnya. Mereka bersahabat, tapi juga nggak merasa sedekat itu satu sama lain. Karakter di sini juga berkembang atas campur tangan para ibu.
Yang membuatku terperenyak—meski sedikit—adalah bagian dari novel ini yang mengingatkanku kembali bahwa manusia memang kompleks. Manusia bisa berubah, entah baik atau buruk.
Aku sendiri cukup kaget ternyata bakal menyukai novel ini. Dan jujur, ini novel Korea dengan terjemahan terbaik—versiku. Bahkan editing-nya pun bikin puas—selain saltiknya memang sedikit banget.
Terima kasih, LZD, aku cuma keluar kurang dari 30% dari harga asli novel ini. :))
"Tidak seorang pun tahu kapan atau bagaimana pikiran dan ucapan seseorang akan berubah."
Novel ini sejatinya berisi tentang arti persahabatan. Dengan sampul sederhana yang tetap menarik perhatian, aku dibuat hanyut dalam kisah di dalamnya.
Da-yun, So-ran, Hae-in, dan Eun-ji merupakan sahabat sejak SMP. Hingga ketika lulus, yang selalu jadi pertanyaan di benak mereka adalah ke SMA mana mereka akan pergi? Langkah apa yang harus mereka ambil? Mereka punya perhitungannya masing-masing.
Aku merasa sangat cocok dengan novel ini karena kebetulan umurku dengan tokoh-tokoh di sini tidak begitu jauh, sehingga menjadikanku kurang lebih mengerti perasaan dan apa yang ada di pikiran mereka.
Keempat sahabat ini punya latar belakang yang berbeda. Mulai dari Da-yun yang selalu menginginkan perhatian keluarga, ada So-ran yang begitu dingin, Hae-in dengan segala tekanan yang ditanggungnya, Eun-ji yang sabarnya bukan main.
Setelah dipikir-pikir lagi, kurasa So-ran yang lebih disorot. Mungkin karena ingin menguak alasan sikap dinginnya, atau karena So-ran yang selalu merasa dia tersisihkan dari ketiga sahabatnya. Meski begitu, aku rasa memang So-ran yang cocok.
Seperti biasa, terjemahannya mengalir. Alurnya maju mundur, tetapi tetap terlihat benang merahnya. Halaman tiap babnya juga tidak terlalu banyak, jadi mudah untuk menjeda.
Di sini kita akan diajak untuk merasakan bagaimana lelahnya menjadi sosok yang memendam masalah, berpura-pura baik-baik saja, dan perlu diketahui kalau semua itu menyesakkan.
Pelajaran yang bisa kuambil dari Tangerine Green adalah masa depan ada karena masa kini, jadi jangan sia-siakan hari ini. Kalau sudah berani berharap, maka harus berani pula untuk kecewa. Tidak semua bisa dipaksakan. Tidak semua yang terlihat adalah kenyataannya.
Ketika kesulitan, tengoklah sekitar karena pasti akan ada yang hadir untuk membersamai. Kalau mau menangis, menangislah. Setelah itu melangkahlah lagi perlahan. Perlahan, tapi pasti. Mimpi perlu diraih. Jadi, jangan diam saja!
Novel ini cocok dibaca siapa pun yang ingin kembali menyelam dalam arti persahabatan, ingin rehat sebentar untuk main ke masa-masa remaja. Kalau bisa dibilang, Tangerine Green ringan dan berat di saat yang bersamaan.
Cerita yang seharusnya ringan tapi cukup bikin mikir karena narasi yang lompat-lompat dan beberapa hubungan antarkejadian yang nggak begitu jelas atau serta-merta nggak ada jawabannya. Entahlah, mungkin karena terjemahannya yang kurang smooth juga. 2,75.
Sempet bertanya-tanya kenapa judul bukunya tangerine green, mana full warna hijau covernya. Karena memang umumnya tangerine warnanya orange. Ternyata alasannya karena tokoh-tokoh di buku ini memang masih di masa jeruk muda. Masih belum tau arah dan tujuan hidup. Masih terombang ambing sama pilihan yang ada.
Dan misal tangerine green ini asal dipetik saja dan dibiarkan matang waktu sudah di kotak (distirbusi) ya kayak manusia yang dipaksa dewasa, hasilnya ngak akan bagus. Sepeti kata ibunya Eun-ji, "jeruk-jeruk di pasar swalayan itu dipetik saat masih hijau dan dibiarkan matang selama tahap distribusi. Berbeda dengan jeruk-jeruk ini yang mendapat gizi dari pohon dan matahari sampai akhir".
Setiap org memiliki perhitungan dan rencana sendiri². Dan setiap org hanya mengambil pilihan yg terbaik bagi diri mereka sendiri. Tapi bagaimana kalau kita selalu tdk dapat memutuskan pilihan² hidup kita sendiri? 🍃
Tadinya aku hanya penasaran saja sm buku ini krn judul dan blurbnya menarik, tp aku tak berekspektasi tinggi. Dan setelah menutup bukunya, buatku buku ini berkesan. Bacanya cepet dan terjemahannya bagus.. 👌
#TangerineGreen bercerita ttg So-Ran, Da-Yun, Hae-in dan Eun-ji yg mjd dekat setelah bergabung dg klub film di SMP. Latar belakang mrk beragam dan masing² memiliki ketidakpuasan terhadap klg tp tdk ingin mengungkapkannya. Bentuk persahabatan mrk pun rumit utk dijelaskan. Mrk kemudian membuat sebuah janji utk menempatkan SMA yg sama di pilihan pertama nantinya. Janji sederhana tp diucapkan dg niat dan tujuan berbeda² dlm hati. Ketika suatu hari sebagian dr mereka mulai tdk yakin utk memenuhi janji, mrk pun diam² mulai merencanakan sesuatu agar janji tdk terlepas begitu saja. Ada keputusan yg dibuat demi menyakiti keluarganya.. dan ada pula yg diam² 'menyetir' keputusan lainnya agar tetap memikirkan teman²nya. Yg jelas, keputusan² itu memupus harapan org² dewasa di sekitarnya.
Rate 4⭐🌠 Suka bagaimana Cho Nam-Jo menggambarkan karakteristik tokoh² utamanya, masa lalunya, jalan pikirannya dan jg perasaan masing². Isu yg diangkat jg beragam. Ttg perundungan yg melibatkan Komite Anti Kekerasan Sekolah, arti persahabatan, juga ttg hubungan orangtua-anak yg diam² saling menyakiti.
Dari buku ini aku jd gugling terkait sistem pendidikan di Korea Selatan yg keras dan yg jg mendapat perhatian besar oleh pemerintah dan para idol di sana.
Eniwei, salah satu karakter di buku ini yg nekat membuat keputusan ekstrem krn klg nya adl seorang Army.. dia sedikit berbagi satu satunya kesenangan dlm hidupnya.. tp jgn tanya siapa biasnya krn tdk ada pembahasan spt itu di sini. Tebak saja.. 😅✌️💜
Ini buku chill banget. Seperti judulnya yaitu Jeruk Keprok Hijau, menceritakan anak-anak SMP yang masih muda, labil, kebingungan, dengan masalah masing-masing yang terlalu berat bagi seusia mereka. Dari keempat bocah ini, Soran seperti narasi utama yang sangat kokoh sebagai jeruk hijau yang terus merasa tertinggal dan tidak spesial. Aku dulu adalah Soran, jadi bocah cilik, hidupmu akan baik-baik saja meskipun tidak begitu spesial dibandingkan 3 sahabatmu yang lain 🩷
Cho Nam-joo has a way of writing that lingers long after the last page, and Tangerine Green is no exception. Where Kim Jiyoung, Born 1982 was a stark and unsettling mirror held up to gender inequality, Tangerine Green is a quieter but equally poignant meditation on grief, regret, and the invisible burdens women carry.
Unlike Kim Jiyoung, which seethes with frustration at systemic oppression, Tangerine Green is more introspective, lingering on personal sorrow rather than collective anger. Both novels expose the constraints placed on women, but while Kim Jiyoung felt like a wake-up call, Tangerine Green feels like a sigh—a slow unraveling of everything unsaid.
If Kim Jiyoung made you furious, Tangerine Green will leave you aching. It’s a book about the weight of unspoken words, the quiet suffocation of expectations, and the devastating realization of time lost. A somber, reflective read that lingers long after you close the book.
this is a new genre of the book for me to read. the slice of life with the unpredictable ending. I am shocked by the one who is responsible for the chaos caused by school registration failures. Although my situation is not related to the story in the book, because of the difference of educational systems between Indonesia and Korea, the book remains valuable with the life lessons it offers through its characters. It reminds us that everyone has their own struggles.
"Sering kali orang yang tidak melakukan apa-apa dan tidak punya pendapat apa-apa hanya akan bersikap sok pintar dan mentertawakan orang lain. Karena mereka tidak melakukan apa-apa dan tidak punya pendapat apa-apa."
"Ibu pernah berkata bahwa jeruk-jeruk yang kita beli di pasar swalayan dipetik ketika jeruk itu masih hijau, lalu dibiarkan matang sendiri selama tahap distribusi. Sedangkan jeruk-jeruk ini terus mendapatkan gitu dari pohon dan matahari sampai akhir."
"Setiap orang hanya mengambil pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri."
"Selalu ada barang-barang yang rusak walaupun digunakan dengan hati-hati. Setiap kali hal seperti itu, orang-orang pasti akan berkata itu kejadian yang "sial"."
"Kau tahu apa prasangka terbesar terhadap anak-anak yang sudah mendapat pelajaran-pelajaran yang lebih tinggi di akademi daripada di sekolah? Bahwa mereka tidak akan mendengarkan pelajaran di sekolah. Kaupikir anak-anak belajar tentang fungsi matematika dengan senang hati? Mereka hanya belajar karena disuruh. Belajar berhubungan dengan kebiasaan dan sikap."
Pas baca judulnya, honestly aku jadi bertanya-tanya, tangerine hijau? Hmmm, kecut, asam, belum matang! Itulah kira-kira first impression-nya hehe. Namun di sisi lain, tiap baca Tangerine aku jadi teringat sama persahabatan Tangerine-Lemon di novel Maria Beetle yang berakhir tragis, jadi serasa agak sad dan nostalgia dikit :)
Pas tau nama penulisnya, aku langsung gass melahap buku ini, bahkan aku nggak sempat mandang-mandang sinopsis lagi, haha. Empat jempol buat sampulnya karena minimalis banget dan perpaduan warnanya sreg sama judulnya. Paling enjoyable sama gambar seorang gadis kecil di tengah-tengah sampul yang aku rasakan punya kesan tersendiri, memancarkan aura feminisme yang tidak berontak namun menggelora dan ceria.
CUYY, INDONESIA WAS MENTIONED!! 😭😭 Aku agak ngakak di dialog "Hah, Jakarta di Filipina?", kayak deja vu gitu ntah kenapa, karena emang banyak orang luar yang nggak tau Jakarta di mana, taunya cuma Bali doang. Agak jengkel sih :')
Kira-kira, insight buku ini dapat dijelaskan oleh sepenggal paragraf oleh penulis, yang isinya sebagai berikut. "Tumbuh besar sepertinya adalah proses yang menakutkan dan sepi. Orang-orang akan berkata, "Semua orang juga mengalami hal yang sama" atau "Kau tidak kekurangan apa-apa." Aku ingin menjawab bahwa meskipun begitu, rasanya tetap sulit."
Buku ini mengangkat kisah murni sekawan remaja yang amat menyenangkan saat dibaca. Berkisar persahabatan antar empat anak perempuan yang duduk dibangku sekolah menengah pertama.
Tangerine Green, menggunakan alur campuran yang sangat ringan untuk dibaca, pada bagian setelah prolog akan diulas latar belakang keluarga 4 sekawan ini. Pertama ada latar belakang keluarga DaYun yang penuh perjuangan karena memiliki adik yang sakit-sakitan. Meski begitu DaYun dikenal sebagai anak yang rajin, pintar berbahasa Inggris, dan disukai banyak anak laki-laki sebayanya. Berikutnya ada SoRan sebagai anak yang dingin (read: kaku), namun memiliki keluarga paling cemara diantara ketiga anak lainnya, hanya saja SoRan sering kesepian saat kecil, karena kedua orang tuanya sibuk bekerja.
Kemudian ada tokoh HaeIn yang sedikit tempramen, HaeIn memiliki latar belakang keluarga yang patriarki ah iya, buku ini sedikit menyentil isu feminis, bagaimanapun bukunya juga ditulis oleh penulis yang sama dengan buku Kim JiYeong. Tapi feminisnya dalam konteks baik-baik saja, bukan feminis sjw dan radikal, jadi let's read again.. HaeIn tumbuh dengan sikap ayahnya yang begitu keras kepadanya, dari segi ekonomi keluarga HaeIn juga yang paling sulit diantara ketiganya.
Terakhir ada tokoh bernama EunJi yang ceria, EunJi hidup bersama ibu dan neneknya, dimana hubungan EunJi dan ibunya sangat akrab layaknya hubungan sahabat bukan ibu dan anak. Berbeda dengan tokoh DaYun dan SoRan, hubungan tokoh HaeIn dan EunJi sudah berlangsung sejak SD, mereka berempat dipersatukan oleh klub film yang mereka ikuti.
Bagi penulis remaja, saya merekomendasikan buku ini untuk menjadi refrensi tulisan yang mungkin cocok untuk usia remaja awal. Di sini diceritakan bagaimana awal persahabatan mereka terbentuk, fase naik turun dalam sebuah pertemanan, perasaan tersisihkan saat bersama teman, hingga fase pertama kali memahami kondisi teman satu sama lain, unsur romansanya nyaris tidak ada, kalaupun ada hanya dikisahkan seperti cinta monyet pada umumnya, tidak berlebihan, manis, dan sesuai usia.
Baca ini jadi berasa kembali ke masa-masa remaja, SMP-SMA. Masa di mana teman adalah segalanya, masa untuk belajar menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan orang lain, dan masa ketika diri ini mulai sadar kalau tidak ada keluarga yang sempurna. Segala jenis perasaan bercampur aduk, yang baik dan yang buruk, yang membuatku rindu untuk kembali ke masa itu.
Novel ini bercerita tentang empat remaja yang bersahabat saat SMP, yaitu Soran, Dayun, Haein, dan Eunji. Pada awalnya mereka belum saling mengenal, bahkan ada beberapa yang merasa saling tidak menyukai. Namun lambat laun mereka mulai tidak terpisahkan. Meskipun begitu, bukan berarti hubungan mereka mulus tanpa hambatan. Sebenarnya dalam hati mereka masih ada yang merasa minder, tersisih, tersinggung, cemburu, dan banyak perasaan negatif lain yang berusaha mereka tutupi. Selayaknya hubungan antar manusia, selalu saja ada naik turunnya.
Masalah di hubungan persahabatan ini kurasa berasal dari latar belakang mereka yang berbeda-beda, yang membuat satu sama lain jadi merasa bahwa hidup temannya lebih baik dari dirinya. Meskipun sebenarnya kurasa memang ada yang punya sifat menyebalkan dan ada yang punya sifat menyenangkan, terlepas dari kehidupan macam apa yang mereka jalani. Manusia memang kebanyakan begitu gak sih? Apalagi remaja, yang masih perlu banyak belajar untuk memandang segala sesuatu tidak hanya dari sudut pandangnya sendiri, tapi juga dari sudut pandang orang lain, juga belajar berempati dan menahan emosi. Ah... Jadi mengenang masa laluku juga :')
Latar belakang, pikiran, perasaan dari setiap tokohnya tergambar dengan jelas karena sudut pandangnya berganti-ganti untuk setiap tokoh. Dengan begitu kita diajak untuk masuk ke dalam kehidupan si tokoh, dan kita jadi paham kenapa si tokoh ini melakukan sesuatu atau merasakan sesuatu. Aku salut sama si penulis yang berhasil menggambarkan kehidupan tiap tokoh cukup detail di novel yang tidak terlalu tebal ini. Membaca novel ini kurasa bisa jadi pelajaran yang baik untuk pembaca remaja, dan bacaan yang menyenangkan untuk pembaca tua kaya saya.
"Tidak seorang pun tahu kapan atau bagaimana pikiran atau ucapan seseorang akan berubah."
Bercerita tentang empat remaja yang sama-sama tergabung di klub film di sekolahnya. Da-Yun, So-Ran, Hae-In dan Eun-Ji. Mereka berempat memiliki karakter yang berbeda juga permasalahan masing-masing yg berbeda pula. So-Ran yang sering merasa tersisih oleh teman-temannya, Da-Yun yg harus berbagi perhatian orang tuanya karena adiknya sakit-sakitan, Hae-In yg keadaan keuangan keluarganya kurang baik dan Eun-Ji yg pernah mengalami perundungan. Keempatnya bersahabat tapi tidak sedekat itu juga. Lalu saat liburan di Pulau Jeju mereka membuat janji untuk masuk ke SMA yg sama, apakah mereka semua bisa memenuhi janji tersebut ?
Diceritakan dengan alur maju mundur, kita akan diajak melihat kehidupan masing-masing tokoh, permasalahan yg mereka hadapi, awal mereka bertemu sampai bisa bersahabat dan membuat janji untuk terus bersama-sama.
Kisahnya bisa dibilang ringan tapi sarat akan makna. Bagaimana keempat remaja ini menjalani kehidupan dan berdamai dengan hal-hal yg membuat mereka kurang nyaman. Juga kebimbangan mereka untuk memenuhi janji atau ikut pilihan sendiri dan orang tua.
Pas awal baca aku ga expect apa-apa, jadi bacanya ya go with the flow aja. Tapi aku lumayan miris sama masalah-masalah yg dihadapi tiap anak, disaat remaja lain mungkin hanya memikirkan sekolah dan pelajaran, mereka harus mencoba berdamai dengan keadaan, terutama Eun-Ji, aku kasian banget baca kisah dia. Terus karena diakhir bab ada aja hambatan yg dialami mereka aku jadi menduga-duga siapa dalangnya. Dan pas tau siapa dalangnya, aku lumayan shock tapi juga pengen ketawa, ternyata ...... 😂😂
Overall aku menikamati baca novel ini. Novel yg ringan tapi sarat akan makna. Dan setelah baca aku jadi paham kenapa judulnya Tangerine Green. Jeruk yg masih hijau, pas sekali menggambarkan tentang kehidupan remaja yg ada dibuku ini. Yuk kenalan dengan Da-Yun, So-Ran, Hae-In dan Eun-Ji dan menyelami kisah persahabatan mereka. Recommended 👍.
BAGUS YA buku ini. Aku suka. Rasa penasaran dan ekspektasi terpenuhi. #TangerineGreen ini adalah buku kedua #ChoNamJoo yang aku baca. Buku pertama, “Kim Ji-Yeong, Lahir 1982” tentu saja aku suka (walaupun nggak pernah aku posting ulasannya).
Surprsingly, aku kagum dengan tema yang diangkat di buku ini dan bagaimana penulis mengeksekusi cerita ini. Kisah tentang 4 sahabat, yang punya latar belakang yang berbeda, kisah masa lalu yang mempengaruhi tindak tanduk dan perasaan mereka, dan bagaimana mereka berjanji untuk masuk SMA yang sama teteapi dengan motif yang berbeda-beda.
Buku ini berhasil menggambarkan rumitnya perasaan manusia dan hubungan manusia (terutama persahabatan).
Penulis pun berhasil menceritakan tentang perasaan rendah diri, perasaan merasa tertinggal dibandingkan orang lain, sulitnya mengambil keputusan, perdebatan antara keinginan pribadi dan keinginan orang lain, perasaan takut kehilangan, menepati janji atau mengingkarinya, perasaan ingin menjadi yang paling baik, perasaan bergantung kepada orang lain, dan juga perasaan manusia yang berubah.
Permasalahan (dan juga perasaan) yang dialami oleh keempat remaja ini dan bagaimana mereka menghadapinya terasa dekat, nyata, atau bahkan ada satu-dua hal yang pernah kita rasakan sendiri. Aku tidak bisa bilang menyukai atau sebal sama So-Ran, Da-Yun, Hae-in, ataupun Eun-ji.
Buku ini tipis, tetapi isinya menurutku padat. Banyak hal yang dijejalkan di sini yang porsinya pas tanpa ngeblend dengan sangat pas. Membaca buku ini mengingatkanku akan masa kecil dan masa remaja, ingat sama teman-teman bermain dan teman sekolah, dan juga bagaimana hubungan kami saat ini. Waktu dan pengalaman memang sangat mengubah hidup kita.
Dengan cover yang menarik, terjemahan yang bagus, dan juga isi yang keren, aku berani mengatakan aku suka banget buku ini. Salah satu bacaan berkesan di tahun ini. Semuanya terasa PAS termasuk judul “Tangerine Green” yang berasa di mulut - manis asam segar.
Kalimat pembuka di novel ini menurutku benar-benar menggambarkan keseluruhan isi novel. Menceritakan empat sahabat yang menjadi akrab setelah bergabung dalam klub film di SMP. So-ran, si overthinking yang sering merasa tersisihkan; Da-yun, si pintar yang selalu kesepian saat di rumah; Hae-in, yang mengalami kesulitan setelah keluarganya jatuh miskin; lalu ada Eun-ji, yang pernah mengalami trauma masa kecil.
Novel ini menyajikan kisah persahabatan yang 'beda'. Bukan kisah persahabatan yang mengharukan, karena memang keempat sahabat ini belum terbuka satu sama lain. Pada suatu malam saat liburan pertama mereka ke Jeju, mereka mengucapkan janji impulsif yang mungkin akan mengubah jalan hidup masa depan mereka.
Secara keseluruhan aku suka novel ini, selain karena covernya sangat eye catching, isinya juga banyak menyinggung isu-isu yang sebenarnya sudah tidak asing lagi di Korea sana. Mulai dari patriarki, orangtua yang tidak memperhatikan anak karena merawat anaknya yang lain yang sakit, sistem pendidikan korea yang bikin geleng-geleng kepala, sampai usaha sekolah berusaha menutup kasus pembullyan lewat Komite Anti Kekerasan Sekolah, belum lagi gimana orangtua pembully juga berusaha menekan orangtua korban untuk tutup mulut. Emang membagongkan banget sih. Hanya disinggung sedikit tapi berkesan.
Novel ini cocok untuk kamu yang suka korean literatur ringan dan nggak banyak mikir. Tapi novel ini juga menimbulkan pertanyaan setelah membacanya, "sebenarnya apa itu arti persahabatan?".
Kali ini, Cho Nam-joo mengangat kisah pertemanan empat murid perempuan, Da-yun, So-ran, Hae-in, dan Eun-ji, saat masa SMP ke SMA sekaligus keadaan keluarga mereka yang membentuk kepribadian masing-masing. Yeah, tokoh utama masih anak sekolah, jadi cerita juga akan berada di sekitar hiruk-pikuk anak-anak sekolah pada umumnya seperti belajar di akademik, ekstrakurikuler, dijauhi teman, masalah prestasi dsb.
Novel ini tersusun oleh sudut pandang masing-masing tokoh dengan menggunakan alur maju-mundur. Pembaca bakal tahu kenapa Da-yun dkk begini dan begitu tidak terlepas dari lingkungan keluarganya. Tapi, satu poin cerita yang membekas dari Tangerine Green ini adalah betapa berharganya momen masa sekolah dengan teman dekat kita. Rasanya waktu itu kalau punya teman dekat seperti So-ran dkk ini, keadaan seperti bergantung penuh sama teman-teman kita, ya. Rasanya seperti tetap sahabatan seterusnya padahal kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kemudian, aku juga suka bagaimana penulis memakai konflik yang biasanya terjadi di dalam pertemanan lebih dari 2 orang, misalnya pasti salah satu di antara mereka ada yang merasa tersisih atau tidak dianggap penting oleh satu sama lain. Atau diantara empat teman, pasti ada sebagian yang lebih erat dibanding ke yang lain. Perasaan ini membuat insecure, gak nyaman dan asing bagi anak-anak SMP ini.
Jeruk yang kita makan langsung dari kebun jauh lebih enak karena jeruk itu mendapat sinar matahari langsung dan tetap berada di tanahnya yang alami...
Aku kira ini cerita persahabatan bercampur misteri. Ini ceritanya empat sekawan bertemu di club film sekolah. Mereka beda kelas tapi akhirnya saling mengenal lewat club ini, dimulai dari mereka yg awalnya kelas 1 diminta utk jadi panitia festifal film dg keruwetan segala macam akhirnya bisa dibilang So-ran sbg pemberi ide awal berakhir sukses. Ada Da-yun yg pintar tapi punya adik yg sakit. Ada Eun-ji yg tinggal bersama Ibu dan neneknya. Ada Hae-in yg menurutku ibunya sunggu luar biasa pekerja keras dan harus pindah ke apartemen sempit. Setiap mereka punya cerita masing2 terkait keluarga dan ekspektasi ke kehidupan. Sebagai anak yg tumbuh remaja, mereka kadang bertengkar, baikan, saling mendiamkan, muncul rasa iri terhadap lainnya. Seperti pada umumnya, ada empat orang berteman, pasti ada satu yg merasa dia tersisihkan seperti So-ran yg merasa Hae-in dan Eun-ji sering asyik sendiri. Da-yun pun merasa begitu. Tapi pada akhirnya mereka belajar berdamai. Janji impulsif untuk masuk SMA yg sama, akankah terlaksana? Sedangkan setiap dari keluarga mereka mengharapkan sekolah2 selain itu? Da-yun kenapaa tidak mengikuti wawancara SMA Bahasa? Hae-in kenapa pihak sekolah SMA Putri itu tahu kalau dia memalsukan alamat? Eun-ji apakah ibunya jadi pindah ke Jakarta? Lalu So-ran yg tampaknya biasa2 saja bagaimana sikapnya?
Cerita ini mengalir begitu saja seperti melihat empat anak ini berangkat sekolah dan bermain bersama.
Ah mengingatkanku akan masa SMP yang selalu menyenangkan dengan teman-teman.
Tangerine Green bercerita tentang 4 sahabat yang sama-sama bergabung dalam klub film saat SMP, yaitu So-ran, Da-yun, Hae-in, dan Eun-ji. Kalau saya merasanya persahabatan mereka ini sebenarnya agak aneh, dibilang yang dekat banget juga bukan, tapi ya somehow mereka jadi sering bersama aja gitu karena tergabung di klub yang sama. Bukan persahabatan cewek-cewek khas film AADC gitulah :). Masing-masing dari mereka memiliki kisah dan masalahnya sendiri. So-ran yang sering merasa tersisih diantara teman-temannya, Da-yun yang memiliki adik yang sering sakit, Hae-in yang keluarganya jatuh miskin, dan Eun-ji yang pernah dibully temannya saat kecil. Suatu saat, mereka membuat janji untuk masuk ke SMA yang sama nantinya. Sebuah janji impulsif yang dibuat dengan niat yang berbeda-beda dari masing-masing mereka, mengingat SMA yang dimaksud bukan sekolah favorit dan tentu saja ini akan menentukan masa depan mereka. Akankah mereka menepati janji tersebut? Yang paling menarik dari cerita ini adalah penggambaran karakternya. Kembali diingatkan bahwa sifat manusia itu kompleks. Kadang kita memiliki pikiran-pikiran tertentu soal orang-orang di sekitar kita, sebagaimana pemikiran 4 sahabat tersebut terhadap satu sama lain. Latar waktu dari setiap bab di buku ini berbeda-beda, namun saling berkaitan. Ini kadang bikin bingung sih pas bacanya. Bukunya termasuk tipis, tapi banyak hal yang diangkat disini, persahabatan, hubungan anak dan orangtua, perundungan, kesulitan ekonomi, dll.
Jeruk yang dipetik ketika masih hijau dan dibiarkan matang sendiri, dan jeruk yang mendapatkan nutrisi dari pohon dan matahari sampai akhir. —Hal. 161
Jadi, mau menjadi "jeruk" seperti apakah kita?
Begitulah perjalanan dari 4 sekawan: Da-yun, So-ran, Eun-ji, dan Hae-in di masa SMP. Mereka membuat janji yang akan mengubahkan hidup mereka di kemudian hari.
Empat sekawan ini memiliki polemik masing-masing. Da-yun yang kesepian karena orang tuanya fokus mengurus adiknya yang sering sakit-sakitan. Da-yun pun jadi sering ganti-ganti pacar demi melawan rasa sepinya. Lalu, So-ran. Ia terkesan acuh tak acuh, tetapi dia lebih banyak mendengarkan. Dalam pertemanan ini, So-ran sering merasa tersisihkan. Kemudian, Eun-ji. Ia hanya tinggal dengan ibu dan neneknya. Sebelumnya, Eun-ji memiliki teman yang kemudian beralih menjadi merundungnya. Dan yang terakhir, Hae-in. Hidupnya banyak berubah sejak ayahnya terkena tipu. Dan mereka berempat berjanji akan masuk SMA yang sama.
Ceritanya memang bisa dibilang "sederhana" karena mengambil sudut pandang anak SMA, usia 15 tahun. Jadi, jika kita yang sudah dewasa membaca buku ini mungkin akan berpikir, "masa perkara gini doang?", "ya ga apa-apa sih sendiri juga, kenapa harus barengan?", ya karena kita sudah melewati fase itu. Namun, bagi 4 sahabat ini kebersamaan itu adalah hal yang mutlak. Entah karena rasa sayang satu sama lain, atau ada hal terselubung.
Buku ini melihat langsung dari cerita sudut pandang masing-masing 4 sahabat ini. Dan bagaimana mereka mempertanyakan dan mempertahankan persahabatan mereka. Premisnya unik, konfliknya khas anak sekolah dan dinamikanya, endingnya tidak ada twist, ya berjalan sebagaimana mestinya. Cocok untuk bacaan ringan bertema remaja.
Tangerine Green mengisahkan 4 orang sahabat, yaitu So-ran, Hae- in, Da-yun dan Eun-ji. Keempatnya bertemu di sebuah klub film sekolah. Masing-masing mereka memiliki kesusahannya sendiri-sendiri sebagai remaja SMP yang sedang bertumbuh. Suatu waktu saat liburan ke Pulau Jeju, mereka berjanji untuk tetap bersama masuk ke SMA yang sama.
Kisah yang sebenarnya sarat makna tapi disajikan dengan ringan. Saya sendiri teringat di masa lalu memiliki 5 orang teman-teman yang akrab di SMP. Seperti So-ran dan kawan-kawannya, kami pun berencana untuk tetap bersama. Tapi semua jadi tinggal rencana ketika orangtua masing-masing ternyata juga punya rencana atas kami. Kami pun sekolah di tempat yang berbeda, dan akhirnya jarak yang tercipta pun menjauhkan kami. Meski tidak sampai putus hubungan sama sekali, tapi rasanya sudah berbeda.
Mengapa tangerine green? Jeruk yang akan dipasarkan biasanya dipetik saat masih hijau. Lalu dibiarkan matang di dalam perjalanan distribusinya. Dalam novel ini, So-ran dan kawan-kawannya adalah jeruk hijau yang menghabiskan masa-masa sebelum menjadi matang bersama-sama.