Perempuan bisa menjadi apa saja: ibu, anak, karyawati yang baik, hingga boneka porselen. Namun dalam buku yang menghadirkan 11 cerita pendek ini, peran-peran yang seharusnya nyaman justru diteror oleh lanskap kelam penuh hantu gentayangan, vampir, dan pembunuh. Di sinilah perempuan dan pengalamannya yang beriak dan berdarah terpintal dalam kegelapan.
Sihir Perempuan adalah kumpulan cerpen pertama Intan Paramaditha yang mengolah dongeng, mitos, genre horor, dan perspektif feminis. Buku ini masuk ke dalam nominasi 5 besar Khatulistiwa Literary Award/ Kusala Sastra Khatulistiwa di tahun 2005. Setelah 12 tahun, Sihir Perempuan diterbitkan ulang dengan tampilan baru dan ilustrasi oleh Muhammad Taufiq (Emte).
Intan Paramaditha menulis buku Sihir Perempuan, kumpulan cerita pendek yang masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2005; Kumpulan Budak Setan (2010), sebuah tribut untuk penulis horor Abdullah Harahap yang ditulis bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad; naskah drama Goyang Penasaran (Intan Paramaditha & Naomi Srikandi, ed, KPG 2013), diadaptasi dari cerpennya dan dipentaskan oleh Teater Garasi di Yogyakarta dan Teater Salihara, Jakarta. Ia mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik Kompas 2013 lewat cerpen "Klub Solidaritas Suami Hilang." Pada tahun 2017 ia menerbitkan Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, novel dengan alur beragam yang terpilih sebagai karya sastra bidang prosa terbaik pilihan Tempo 2017. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan Harvill Secker (Penguin Random House UK) dengan judul Apple and Knife dan The Wandering.
Intan Paramaditha juga seorang akademisi, banyak menulis tentang gender dan seksualitas serta kajian budaya, khususnya film. Ia mendapat gelar doktor dalam bidang Kajian Sinema dari New York University setelah sebelumnya mendalami sastra Inggris di Universitas Indonesia dan University of California San Diego. Saat ini ia tinggal di Sydney dan mengajar Kajian Media dan Film di Macquarie University.
"Jubah orang-orang rupawan ini menjadikan mereka bagian dari hidup yang selalu dibicarakan sekaligus mengisolasi mereka di langit. Mereka harus disalib di tengah taburan bintang agar tidak kehilangan kemilau." (Misteri Polaroid hlm. 83)
Kalau tahun lalu hanya enam cerpen yang saya suka, lain dengan tahun ini. Pada baca ulang kali ini, ada tujuh cerpen yang jadi favorit saya, yaitu Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, Mobil Jenazah, Mak Ipah dan Bunga-Bunga, Misteri Polaroid, Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah, Darah, dan Sang Ratu. Tujuh cerpen yang berhasil membuat saya merinding, tidak nyaman, ngeri, terkesan, tercengang, dan tersentuh.
Membaca Sihir Perempuan membuat saya makin menyadari bahwa setiap perempuan memiliki sisi gelapnya sendiri dan memiliki caranya masing-masing dalam menahan atau menunjukkannya. Bagaimana cara mereka menyikapi kekuasaan, kesewenang-wenangan, tradisi/kebiasaan, aturan yang mengekang mereka dari keadaan bebas. Bagaimana mereka berperilaku di tengah-tengah keadaan yang memaksa mereka untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang seharusnya. Bagaimana dan apa yang menyebabkan mereka menjadi tidak patuh.
Saya pikir yang membuat setiap cerita menarik adalah topik dan isu yang diangkat tidak cuma satu. Pembaca akan menemukan topik dan isu yang berbeda dalam satu cerita. Topik-topik dan isu-isu yang diangkat dalam buku ini begitu gelap, begitu dekat dengan keadaan sekitar kita, dan membahas persoalan hidup yang secara sadar atau tidak sadar (pernah atau baru saja atau bahkan masih) dialami oleh para perempuan.
Edisi cetak ulang dengan ilustrasi baru untuk antologi cerpen Intan Paramaditha, maestra horor modern Indonesia.
Ada beberapa cerita di antologi ini yang plotnya tidak begitu menarik bagi saya, tapi cara penuturannya terasa istimewa. Gaya narasinya Intan P sangat khas dan mampu meninggalkan kesan tak terlupakan bagi pembaca. Penggunaan kosa katanya tidak berlebihan, tapi tajam menusuk dan senantiasa membangun atmosfer mencekam tanpa perlu banyak adegan 'awas hantu!' atau momen eksplisit lainnya. Saya juga kagum dengan kemampuan beliau bersimbolisasi dan menyampaikan makna mendalam melalui narasi yang tidak 'boros'.
Benang merah darah antar tiap cerita adalah tokoh wanita dan peranan yang mereka mainkan. Yang paling berkesan bagi saya adalah hubungan seorang anak perempuan dan ibunya sang Pemintal Kegelapan.... wanita sukses yang melihat Mobil Jenazah.... wanita teluh yang menyimpan Jeritan Dalam Botol.... dan pengakuan si Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari.
Saya sangat bias kepada Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari karena semasa kuliah, pernah ditumbalkan dipercaya memimpin pementasan drama yang mengadaptasi cerita tersebut. Berkali-kali saya membacanya dalam proses persiapan, dan setiap kali saya dibuat kagum dengan cerita yang mendekonstruksi kisah Cinderella melalui perspektif si kakak tiri itu. Berkat cerita ini, saya belajar banyak tentang cara mengadaptasi cerpen, konstruksi cerita, sudut pandang, dan visualisasi konsep narasi seperti si Gagak dari Neraka (*akhirnya saya merangkap main jadi si Gagak dan sukses membuat penonton anak SD nangis ketakutan hahaha)
Gagak dari Neraka, pemintal kegelapan, vampir perkantoran, dan siluman kalajengking peliharaan sang Ratu Pantai Selatan adalah sebagian makhluk yang ditampilkan di antologi ini, dipadukan secara apik dengan isu feminin seperti pengobjekan tubuh wanita, perlontean, dan menstruasi. Sepuluh tahun yang lalu, saya tersihir oleh semua itu.... dan sekarang pun, saya masih belum lepas dari jeratan para pemintal kegelapan.
Disebabkan daya tarik tulisan Okky Madasari pada kumcer terbarunya, Yang Bertahan dan Binasa Perlahan, akhirnya tersasar pada tulisan-tulisan Intan Paramaditha yang ternyata sempat menjadi bahan diskusi.
Sihir Perempuan memberikan cerita mengenai kaum perempuan, kaum yang sampai saat ini masih dinomorduakan, bahwa mereka berdaya. "Berdaya" bukan sebagai sosok yang inspiratif, melainkan Intan menampilkan bagaimana mereka juga memiliki sisi gelap. Dimana sebenarnya semua orang pun tahu, bahwa perempuan bisa melakukan hal seperti itu. Namun seringkali hanya dianggap sebagai suatu gurauan, atau malah suatu untuk menakut-nakuti.
Yang bisa dimaknai ketika membaca Sihir Perempuan ialah bahwa Intan menyajikan gambaran perempuan yang bisa menjadi ancaman. Kita masih saja menomorduakan mereka padahal kita tahu sendiri bahwa mereka memiliki "sihirnya" sendiri. Sesuatu yang hendaknya menjadikan manusia tidak melihat gender sebagai dasar untuk memperlakukan seseorang.
Sedangkan untuk sesuatu yang personal, ternyata menyelami penulisan sastra horor seperti tulisan milik Intan ini cukup menyenangkan. Banyak yang mengatakan kalau cerita di dalamnya bisa membuat bulu kuduk berdiri, tapi menurutku, kisah yang ada memberikan pandangan yang baru akan bagaimana melihat perempuan.
Memberikan 4 bintang untuk buku ini adalah sesuatu yang wajar. Syukurlah, Gramedia memutuskan untuk menerbitkan ulang buku ini. Setidaknya, kembali mengangkat buku ini untuk tetap menjadi sebuah perbincangan.
Sebelas cerpen yang bernuansa gelap dan horor dengan wanita menjadi tunjang cerita, atau setidaknya kisah menurut sudut pandang wanita.
Tidak ada kisah yang benar-benar boleh dijadikan favorit namun ada satu yang serasa lebih enak dan punya kelebihan daripada yang lain: Mak Ipah dan Bunga-Bunga.
Apa pun, wajar dipuji naratifnya menggunakan langgam bahasa dan jalin aksara yang enak amat. Tidak ada ragu untuk menikmati karya lain sang penulis.
11 Cerpen yang semua tokohnya menceritakan perempuan. Paling suka cerita Perempuan buta tanpa ibu jari (Retelling Cinderella dari pov kakak tirinya), Mak ipah dan bunga-bunga (suka twistnya) dan mobil jenazah. Dan kumcer horror favorite setelah punya Mr. Poe.
Melalui 11 cerpen yang tertuang dalam Sihir Perempuan, Intan menegaskan kalau menjadi perempuan itu spesial, membius dan tentunya mampu menyihir siapa saja. Nuansa kelam mencekam dan feminis yang terbalut dengan manis mau tak mau mampu membuat pembaca tenggelam dalam kisah-kisahnya.
Beberapa favorit saya : 1. Vampir, ngeri-ngeri sedap. Saya teringat quote favorit di buku A Monster Calls, "Because humans are complicated beast". Indeed, Mbak Intan. 2. Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari. Mengadopsi kisah Cinderella menjadi Sindelarat yang memang mirip dengan dongeng, hanya saja pembaca akan berharap mudah-mudahan tidak mimpi buruk setelah membacanya. Dan perkara happily ever after? Ah, adakah itu? 3. Mobil Jenazah, entah suasana Bali yang hujan kelabu akhir-akhir ini sungguh pas saat saya membaca kisah ini, bergidik! 4. Darah. Ceritanya lumayan membuat saya merasa tidak nyaman saking sungguh terasa nyata adanya. Hangat, lengket, basah.
Oia, ilustrasinya juga keren! Saya paling suka dengan penggambaran Sang Ratu.
Perasaan horor, ngeri dan mencekam bercampur aduk menjadi satu! Buku yang bagus untuk mengurangi reading slump saya saat ini *salahkan semua kepada I'll Give you the sun by Jandy Nelson =__=a
Akhirnya bisa membaca kumpulan cerpen yang dijadikan sebagai kumpulan cerpen terfavorit oleh Guntur Alam. Sudah lama mencari di toko-toko buku Jogja, baru nemu minggu kemarin. Akhirnya bisa dilahap dengan hawa teror. Intan Paramadhita memang khusus membuat cerpen thriller dan mencekam. Sihir Perempuan menjadi bukti kerja untuk mencekam pembaca, dan diapresiasi dengan masuk shortlist KLA, bahkan dijadikan drama oleh Naomi Srikandi di tetater Garasi.
Hidangan pertama adalah Pemintal Kegelapan, yang berkisah kehidupan anak-ibu. Rasa mencekam dari Intan Paramadhita ditandai dengan bertebarnya kata-kata yang mewakili itu: hantu,gelap, mayat, merah, api,dll. Tetapi ending di cerpen ini mengingatkanku pada cerpen Haruki Murakami, The Mirror. Bedanya di cerpen Haruki tokoh utama melihat bahwa hal paling menakutkan adalah dirinya sendiri yang terpantul dalam cermin. Sedang di cerpen ini ibu yang disamping si anak, terpantul dalam cermin sebagai pemintal kegelapan. sereeeem euuy!
Katanya cerpen-cerpen ini juga berhawa feminis, meski diurai dengan gaya yang seperti film horor. Sangkaan pertamaku adalah dengan menghadirkan tokoh-tokoh utama adalah perempuan dengan aneka peran. Misal di cerpen pertama, adalah seorang ibu, janda dengan ratusan pacar, lalu di cerpen Vampir adalah permepuan metropolitan sebagai sekretaris. Laiknya sekretaris ia mengerti posisinya, harus berbuat ini-itu termasuk waspada ketika si bos mengajaknya "bekerja" di ranjang. Lalu apa hubungannya dengan vampir? Vampir adalah makhluk yang diceritakan sebagai pengisap darah manusia. Dan menurutku, vampir adalah 'rasa jahat' yang ada di tubuh manusia. Dengan ending yang lumayan bikin merinding disko.
Ternyata dongeng yang selama ini kita dengar kalau diubah sudut penceritaan, bakal memiliki kesan yang berbeda. Misal dalam cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, yang didasari pada dongeng Sinderela. Intan mengubahnya menjadi Sindelarat. Di dongeng yang biasa kita dengar, Sindelaras adalah tokoh utama, protagonis yang cantik dan selalu dianiaya. Ternyata di cerpen ini diubah. Justru keburukan yang diberika saudar tiri Sindelarat adalah bentuk balas dendam, yang merasa tidak diperlakukan adil selama ayah Sindelarat ada. Tetapi apa benar Sindelarat berbuat sekejam itu? Bukankah ini hanya bentuk sudut pandang? Siapa tahu apa yang dikisahkan oleh kakak tiri Sindelarat, hanya bentuk kecemburuan kelas kakap? Bukankah orang iri itu akan berpandangan kalau perbuatan baik musuh saja dianggap buruk. Ini soal sudut pandang! Kata Guntur Alam, jempol ini punya makna tersendiri. Tapi aku belum tahu makna jempol yang terpotong dan tumit yang diiris. Tetapi soal burung gagak yang mematuk mata hingga buta, bisa kuartikan sebagai mata orang syirik bisa dibutakan dengan apa pun. Benar kata hadist bahwa iri dengki bukan bikin happy tetapi justru menggelisahkan.
Meskipun Mobil Jenazah mirip-mirip film horor di televisi, karma akan tiba. Tetapi tetap saja merinding kaku. Dan diskripsi Intan luar biasa detail dan bikin serem. Intan pandai memotret bagian-bagian yang menyeramkan. Pun di Pintu Merah, yang memang sebenarnya adalah biasa-biasa saja ceritanya, tetapi bikin seram. Diskripsi menyeramkannya. Lalu, ada sesuatu yang meyerang pikiran, anak gadis manis itu belum tentu manis. Jangan-jangan ada pikiran buruk yang dipupuk. Macam Intan, perempuan semanis ini bisa menulis horor. Untung Intan tidak nulis macam Djenar. Tetaplah menulis thriller yang membuat kita seram, Intan!
Mak Ipah dan Bunga-bunga kok seseram pembunuhan di film Rumah Dara. Dibunuh, dicincang, dan dikubur di antara rimbunan bunga wangi. Kalau boleh dianggap ini feminis, mungkin iya. Intan ini menunjukkan bahwa wanita yang lemah bisa berbuat lebih kejam ketimbang laki-laki pada umumnya. Di balik kelembutan dan kelemahan fisik Mak Ipah, tersemai kekejaman dendam. Di balik aroma bunga-bunga di halaman, ada aroma busuk mayat.
Salah satu adegan di Misteri Polaroid, mengingatkan saya pada film The Shutter (Versi Thailand), Pada bagian ini: Secara kesetanan, ia memotret studionya sendiri, tanpa model, dari berbagai sudut.(h.90). Jeritan Dalam Botol, menurutku bukan hanya cerita misteri tentang pembunuhan ibu dan bayinya yang kemudian di simpan di botol selai dengan tutup keemasan saja. (Jujur adegan ini mengingatkan saya pada film-film dulu, yang tuyul disimpan dalam botol). Tetapi Intan secara jelas ingin bersuara atau menyuarakan kisah-kisah permepuan yang harus menerima takdir dikucilkan masyarakat, entah lepra, gila, atau terpasung. Coba tengok kalimat ini: Mereka tak lagi mampu lagi berusara karena tidak akan ada yang mau mendengar. Mereka adalah orang-orang berpenyakit lepra yang meresahkan. Jeritan itu hanya akan menguap di udara dan meninggalkan perempuan bisu untuk selamanya. (h.100)
Hal senada bisa ditafsirkan dari kisah boneka porselen merah Yin Yin, dalam cerpen Sejak Porselen Berpipi Merah itu Pecah. Kisah perlawanan Yin Yin, meski hanya diketahui secara beanr oleh si Manis (kucing), menjadi tafsir sebuah aroma feminis. Bagaimana perempuan tidak hanya ingin dipajang? Mereka ingin bebruat sesuatu. Mereka ingin eksistensinya diakui oleh sekitar.
Dua cerpen terakhir Darah dan Sang Ratu, menjadi pungkasan aku dijebak Intan dalam kegelapannya. Darah di sini simbol dari wanita. Haid dan kekejaman. Sedang di Sang Ratu, logika kita diobrak-barik. Mulai dari logikan Ratu Pantai selatan yang justru digambarkan menyaru sebagai istri yang gembrot dan tidak menarik. Lalu siapa memanfaatkan siapa kita tidak tahu? Lalu mengapa jari tengah yang dipotong? Misteri.
Pantaslah kalau buku ini masuk 5 besar KLA. Bagus banget! Dan satu dari sekian banyak (yang banyak itu belum kutemukan lagi) bahwa Intan Paramdhita menulis dengan aneka teknik. Misal dalam percakapan, Intan tidak selalu menuliskannya dalam bentuk kalimat langsung. Kadang menulis terus saja tanpa ada tanda "..." (seperti ini pernah dipakai Pramoedya dalam novel Midah, Simanis Bergigi Emas), atau dengan menandai (-). Ah keren. Kabarnya buku ini jadi buku bacaan wajib anak sastra indonesia UI. Mantab!! Aku benar-benar terkena Sihir Perempuan.
Ini adalah salah satu buku yang saya masukkan dalam daftar "must-read" sebagai referensi perkembangan fiksi horor terbaru di Indonesia. Agak sulit untuk mendapatkan buku ini. Setelah gagal menemukannya di berbagai toko buku, akhirnya saya memesan langsung ke penerbitnya via Facebook dan langsung tiba di rumah 2 hari kemudian.
Ketika akan membaca buku ini, tentu saya tidak berharap akan menemukan cerita horor murni. Lagipula tidak ada yang menyebutkan secara eksplisit bahwa buku ini berisi cerita horor, meski banyak yang menyebutnya sebagai cerita hantu. Nirwan Dewanto menulis di sampul belakang bahwa "... Penulis ini berhasil menjadikan cerita hantu sebagai genre terhormat ....", yang seolah mengatakan bahwa tadinya cerita hantu adalah genre yang tidak terhormat (hina atau memalukan?). Entah, tetapi kalau melihat film-film horor dan buku-buku horor lokal yang banyak beredar di pasaran selama ini, cara pandang tersebut bisa dimaklumi.
Seperti yang bisa ditebak dari judulnya, tema dari kumpulan cerpen ini adalah tentang perempuan dan hal-hal gelap yang mengelilinginya. Ini adalah sebuah tema yang sangat menarik, mengingat betapa besarnya peran tokoh perempuan dalam cerita-cerita hantu. Dalam kisah-kisah horor dan misteri, perempuan memang kerap menjadi sosok yang emosional, misterius, bahkan menakutkan. Komik Gareng dan Petruk karya Tatang S. yang sering saya baca saat SD hampir selalu mengisahkan seorang lelaki hidung belang yang menggoda perempuan, lalu perempuan itu pura-pura meladeni, hingga akhirnya terungkap bahwa perempuan itu ternyata adalah kuntilanak/sundal bolong yang membuat si pria hidung belang lari terbirit-birit. Mulai dari cerita Si Manis Jembatan Ancol hingga film The Ring, kurang lebih menempatkan hantu perempuan pada "trope" yang sama: hantu yang penuh tipu daya, emosional, dan pendendam--seolah mereka masih mengalami PMS bahkan setelah mati.
Intan Paramaditha sedikit banyak masih mempertahankan kesan misterius dari sosok perempuan, bahkan dalam beberapa cerpen ia tampak mengamini peran hantu perempuan sebagai penghukum dan pembalas dendam. Misalnya pada cerpen "Sang Ratu" yang menceritakan bagaimana seorang lelaki playboy mendapatkan hukuman dari Ratu Pantai Selatan.
Dalam cerpen "Darah", Intan membahas mengenai sisi psikologis perempuan yang berhubungan dengan kondisi biologisnya. Ia menceritakan bagaimana menstruasi menjadi suatu pengalaman yang traumatik sekaligus menjadi stigma terhadap tubuh perempuan (mungkin ini termasuk tema favorit para feminis). Penggambaran sesosok hantu perempuan yang menjilati darah mens dari pembalut yang tidak dicuci sebelum dibuang menurut saya sangat mengerikan.
Satu cerpen yang menurut saya memiliki selera humor adalah "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari". Cerita ini pada dasarnya adalah bentuk parodi dari dongeng Cinderella, hanya saja tokoh Cinderella di sini bernama Sindelarat. Berbeda dengan dongeng aslinya, dalam cerpen ini Intan berusaha melihat dari sudut pandang sang kakak tiri. Meski dari segi alur cerita sudah bisa ditebak, tapi dari segi penokohan sangat menarik.
Walaupun memiliki benang merah tema perempuan, tetapi gaya penceritaan dalam buku ini bisa dibilang beragam. Beberapa cerpen memiliki gaya yang sastrawi, misalnya "Jeritan Dalam Botol" yang tidak menggunakan tanda kutip untuk dialog (stream of consciousness?), begitu pula dengan "Vampir" yang terasa gothic dan sensual. Sebagian cerpen lainnya terasa sangat sederhana, misalnya "Mobil Jenazah" yang bisa dibilang sebagai cerpen paling biasa-biasa saja di dalam buku ini. Cerpen "Misteri Polaroid" juga sebenarnya sederhana, tetapi memiliki kesan yang kuat dan cukup memenuhi syarat untuk digolongkan dalam genre horor.
Secara keseluruhan, buku ini adalah kumpulan cerpen yang sangat menarik, terutama bagi mereka yang menyukai tema gothic atau horor--dan mungkin juga penikmat karya sastra. Sebagaimana fenomena yang belakangan sering dibahas dalam forum-forum fiksi horor, bahwa adanya gejala "main mata" antara genre horor dengan fiksi literatur/sastra. Sebagian menganggap hal ini sebagai peningkatan derajat, sementara sebagian lagi menganggapnya sebagai bentuk pelarian yang salah langkah. Tentu ini tergantung bagaimana kita memahami hubungan antara karya sastra (sebagai sesuatu yang luhur) dan genre populer terutama horor(sebagai sesuatu yang ... berasal dari dalam kubur?).
I've wrote two critics on two stories in the book, one of them has been published in an Indonesian Literary Journal, Aksara. What I love the most from this book is that it brought up the women issues, without much exposing the sexual vulgarism of women. I am bored by lots of Indonesian women writers who expose sexuality and weird unconventional symbols without having the big theme of feminism (gender)or humanism in it.After Ayu Utami, its hard to find an Indonesian female writers that brought up the issues of feminism in a complex symbolic language that not only talking about women sexuality, but also about gender as a power relation system.
The weak point of this book is, if you join Ms. Paramaditha's feminism class or her gothic literary class, (mind you, she's one of my favorite lecturer), is the obvious intertextuality in some of the stories. My subjective opinion is that the works could be more fascinating if only she found her own paradigm in making the stories (I believe that she has it now, because i've read her late essays on the movie 'Pasir Berbisik'). But that's not really a problem, because all those intertext is being put up nicely and aesthetically in the stories' context.
I remember reading an old book by Iwan Simatupang named Ziarah which use J.P. Sartre quotation directly. I dont see the point of doing it, because Mr. Simatupang didn't applied Sartre's Theory of existence and Phenomenology in the story. What he did just quoting it. This is a problem for many writers. Fortunately, i find Sihir Perempuan as a book that, amazingly, give new reasonable meaning in the western feminist thoughts by placing it in Indonesian cultural context.
Konon ada sebuah film komedi gelap dari Norwegia berjudul The Ugly Stepsister (2025), yang dalam premis dan plot ceritanya seakan-akan ingin melempar narasi pertanyaan tentang siapa yang jahat dalam kisah klasik Cinderella. Bagaimana jika saudari tiri Cinderella bukanlah gadis jahat, melainkan korban dari standar kecantikan yang diciptakan oleh masyarakat?
Emilie Kristine Blichfeldt membalik sudut pandang dengan menjadikan Elvira, kakak tiri si Upik Abu, sebagai tokoh utamanya. Ia mendekonstruksi kisah Cinderella seraya mempertanyakan mengapa hanya ada satu tokoh "baik" dalam cerita, dan mengapa perempuan harus saling menjatuhkan demi mendapatkan cinta seorang pria. Dalam versi pembalikan cerita itu, Cinderella bisa jadi sosok yang manipulatif, dan saudari tirinya justru ialah korban dari sistem yang menuntut perempuan saling bersaing.
Namun, jauh sebelum film itu dirlis, Intan Paramadhita sudah lebih dulu menggubah ulang kisah usang Cinderella tersebut—pun dari sudut pandang saudari tirinya—dalam cerpen berjudul "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" (Koran Tempo, 2004). Karakter Cinderella pun dipelesetkan menjadi Sindelarat.
“Oh, ya, Larat tidak hidup bahagia selama-lamanya seperti yang dikira banyak orang. la meninggal saat melahirkan putrinya yang ke-6. Hampir setiap tahun ia hamil karena kerajaan membutuhkan putra mahkota. la tak lagi cantik—pahanya ditimbuni lemak dan perutnya lembek seperti tahu. la mati karena pendarahan berkepanjangan, sebagai penutup cantik kisah yang banjir darah ini.”
Dalam cerpen tersebut, baik Sindelarat maupun sang kakak tiri, pada akhirnya tak ada yang hidup bahagia selamanya, sebab budaya patriarki sudah lebih dulu merebut kebahagian mereka.
Melalui kisah "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" dan juga sepuluh cerpen lainnya yang dimuat dalam kumcer Sihir Perempuan, Intan Paramadhita berusaha merebut narasi-narasi misoginis yang telah lama hidup dalam masyarakat. Dengan mengusung tema-tema gelap, ia menyampaikan pelbagai kritik terhadap ketimpangan gender serta bagaimana upaya perempuan untuk mendobrak perilaku seksisme yang mengusik mereka.
Misalnya, dalam judul "Mak Ipah dan Bunga-Bunga", ia menceritakan pembalasan dendam seorang ibu yang kehilangan anak perempuannya akibat kebejatan nafsu laki-laki pedofilia. Lalu, dalam "Pemintal Kegelapan" dikisahkan tentang kesengsaraan seorang perempuan yang ditinggal cerai suaminya. Meski bukan laki-laki yang menjadi penyebab utama derita, melainkan status janda yang melekat pada dirinya.
Banyak pula kisah tentang hantu-hantu dalam kumcer ini. Seperti kisah hantu penasaran dalam "Misteri Polaroid" yang bermula dari riwayat seorang gadis yang bunuh diri dengan membakar dirinya sendiri setelah dipaksa menikah dengan pedagang kaya akibat keluarganya terlilit utang. Lantas, ada juga hantu pengisap darah menstruasi dalam cerpen berjudul "Darah".
"Pintu Merah" yang sering kali dijadikan simbol mistis dalam kisah-kisah horor pun diejawantahkan Intan sebagai bentuk eskapisme dari seorang gadis yang dijadikan putri kesayangan oleh sang ayah yang sedang sekarat. Cerita-cerita kelam itu terus hadir hingga "Sang Ratu", satu-satunya judul yang memakai sudut pandang orang pertama laki-laki dalam kumpulan cerpen ini, kendati tetap menjadi bentuk kritik atas pengkhianatan kaum dominan dalam hubungan domestik suami-istri.
Sihir Perempuan adalah kumpulan cerpen yang penuh dengan simbolisme gelap, reaksi dari tubuh perempuan, dan resistansi terhadap ketidaksetaraan. Intan Paramaditha sangat piawai menyajikan kisah-kisah yang memadukan unsur gotik, horor, dan feminisme dalam balutan sastra yang puitis dan menggugah.
Sebelas cerita dalam buku ini tidak hanya menghadirkan tokoh perempuan sebagai pusat narasi, tetapi juga sebagai subjek yang menggugat, menantang norma sosial, dan sering kali menempuh jalan sunyi untuk merebut kuasa atas tubuh dan takdirnya. Dengan penuh imajinatif, Intan Paramadhita menunjukkan bagaimana "sihir perempuan" dalam kumcer ini bukanlah sekadar kekuatan supranatural, melainkan bentuk perlawanan yang lahir dari luka dan kemarahan itu sendiri.
4.8/5 yang didasari dengan alasan bahwa aku suka banget gaya nulisnya, narasinya, dan cerita-ceritanya. Emang sih ada beberapa yang aku belum begitu ngeh maksudnya gimana, tapi disitulah menurutku yang bikin seru. Buku ini bisa aku kelarin sehari karena nagih banget!
Kumpulan cerita pendek yang berfokus kepada perempuan. Keberadaan mereka di masyarakat, standard yang sering dipakaikan, perjuangan yang disepelekan, serta kekerasan dan pelecehan yang diterima. Dengan tema horror, yang penuh dengan plot twist dan kengerian tersendiri aku sangat enjoy mencari maksud dan makna terpendam di setiap ceritanya. Penulisnya berhasil menampilkan existensi perempuan yang unik, beda, kuat dan aneh di cerita ini. Membuat para perempuan dalam buku ini dapat berdiri sendiri dan dan menyatakan perannya. Aku cukup cepat yah menyelesaikan buku ini, karna penulisannya yang bagus dan kadang puitis juga. Kebanyakan cerpennya aku suka, walaupun ada beberapa yg membingungkan juga dan terbuka ke banyak interpretasi.
Selesai baca "Sihir Perempuan", kumcer Intan Paramaditha. Saya pertama kali tahu nama Intan Paramaditha di buku "Kumpulan Budak Setan" terbitan Gramedia, kumcer tribute to Abdullah Harahap penulis cerita misteri Indonesia. Di buku itu ada Eka Kurniawan, Ugoran Prasad, dan Intan Paramaditha. Saya langsung tertarik dengan cerita-cerita Intan yang cenderung gelap dan suram. Di buku Sihir Perempuan, nuansa itu pun kerap muncul. Intan mengolah dan menjelajahi tema perempuan dengan bungkus yang suram. Cara berceritanya tidak tergolong baru buat saya, namun tetap menarik untuk dinikmati. Saya mencari dan menunggu cerita-cerita lain lagi dari Intan.
Well written, but... I find the plots are too ordinary. I keep comparing these stories with Ravenloft books I've read when I was a teen. So the endings of the short stories didn't really wow me. (For surprising endings, I have to bow down to Edogawa Ranpo-sensei).
"Sihir Perempuan" adalah sebuah tulisan subversif tentang perempuan, yang secara implisit menunjukkan keberatan terhadap kodrat yang ditetapkan bagi perempuan-perempuan - yang mana lebih membawa derita dan duka bagi perempuan-perempuan tersebut dibandingkan sukanya. Bagi saya, buku ini seakan menyuarakan sisi tersembunyi, sisi gelap, sisi yang tidak pernah perempuan tunjukkan - terhadap status sosialnya, suaminya, anak-anaknya, keluarganya. Perempuan yang bisa menjadi "lain" dan "liar" di saat ambang batasnya tercapai. Perempuan yang bisa memilih, yang tidak menyadari akan hak-hak yang sesungguhnya ia berhak miliki. Perempuan yang mematahkan stigma tentang perempuan.
Melalui kisah-kisah yang disuguhkan Intan Paramaditha di buku ini, kita akan mendapati sosok perempuan yang "melawan" stigma yang melekat terhadapnya. Sesuatu yang kontradiktif dengan apa yang sudah menjadi tatanan masyarakat terkait perempuan. Perempuan yang rentan terhadap respons negatif, sekecil apapun hal yang dilakukannya. Perempuan yang diiming-imingkan adalah tulang rusuk lelaki, yang menjadikannya dipandang dengan sebelah mata dibandingkan bagaimana stigma terhadap laki-laki terbentuk.
Intan Paramditha, melalui sentuhan mistis dan horornya, menyelipkan protes-protes terhadap stigma perempuan yang terkesan "menuntut" dan "memaksa". Penuh dengan sindiran naratif lewat balutan kisah fiksi, sebagai bahan kontemplasi yang membuat kita merenung dan mengernyitkan dahi - sebelum kita benar-benar memahami apa yang berusaha disampaikan penulis dan stigma apa yang berusaha dipatahkannya.
Penulis menggunakan elemen horor lengkap serta gaya bercerita yang "gelap" untuk menyampaikan kisah para perempuan. Terselip di dalamnya dengan apik, adalah isu-isu sosial menyangkut perempuan. Di setiap cerpen diselipkan berbagai isu sosial yang realistis dan dekat dengan kehidupan, yang terkait dan terkadang memberatkan perempuan. Tidak hanya satu isu dalam 1 cerita, bisa beberapa yang diungkit dalam 1 kisah.
Terdapat 11 kisah dalam buku ini. Mari kita jabarkan satu per satu (SPOILER ALERT).
> "Pemintal Kegelapan" berkisah tentang sosok 'Aku' sebagai narator yang tidak menyebutkan namanya, yang memiliki misteri yang ingin ia ungkap sejak ia masih kanak-kanak. Misteri yang diceritakan oleh ibunya, tentang sosok wanita pemintal yang tinggal di loteng. Isu yang terselip di sini, secara implisit digambarkan oleh gunjingan tetangga terhadap "janda" yang diceraikan suaminya, yang kerap kali membawa teman lelaki ke rumah. Pertanyaan menyudutkan mereka seperti "Apa ibumu benar-benar bisa menghidupimu hanya dengan bekerja di kantor?" seolah-olah menganggap remeh dan enteng sosok perempuan mandiri yang bekerja keras menghidupi dirinya dan anaknya. Seolah-olah, di sini ada stigma "perempuan tidak bisa hidup tanpa laki-laki" atau "perempuan haruslah, sejatinya, bergantung pada laki-laki". Mengapa perempuan tidak bisa mandiri? Stigma lain adalah, perempuan yang membawa teman laki ke rumahnya adalah perempuan murahan. Bagaimana jika dibalik, laki-laki yang membawa teman perempuan ke rumah? Pastilah, perempuan yang sebagai tamu itu disebut sebagai perempuan murahan. Secara keseluruhan, kisah ini menceritakan tentang perempuan yang digambarkan begitu 'kuat' dalam menyerap segala derita: kehilangan, kesedihan, kerinduan, hancurnya bagian-bagian jiwanya, di saat perempuan tersebut haruslah tetap menegakkan jalan hidupnya dan memenuhi tuntutan masyarakat untuk menjadi "perempuan", menjadi "ibu".
> "Vampir" berkisah tentang dua orang narator yang bergumul di dalam satu tubuh perempuan (Saras). Dua sisi yang berbeda, dalam 1 tubuh dan jiwa yang sama - di mana sisi yang terlihat oleh pihak luar berusaha sedemikian rupa untuk menutupi sisi gelap yang lainnya, yang tidak terlihat. Hal ini dapat kita lihat dengan bagaimana sisi gelap berusaha menyanggah apa yang dipikirkan dan dikatakan sisi yang terlihat oleh orang lain, karena sisi gelap berusaha mematahkan kemunafikan dan kepura-puraan sisi yang terlihat tersebut - dengan hal-hal yang sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang menjadi hasratnya. Kisah ini menggambarkan lelaki yang sangat diidamkan (kebanyakan, atau beberapa) perempuan, hingga menjadikan perempuan sebagai "alat bermain" yang bisa dengan gampangnya digunakan laki-laki saking berkuasanya mereka. Irwan adalah bos si Saras, yang tidak hanya tampan, tapi juga dari keluarga kaya dan berkuasa atas banyak hal. Di sini, Irwan yang sudah beristri berusaha menggoda dan menjadikan asistennya (yaitu si karakter utama - Saras) sebagai alat mainnya yang akan ia ganti ketika ia bosan, melalui sederetan kalimat-kalimat imperatif yang menuju hal-hal berbau seksual. Dengan menggunakan elemen horor "vampir", pesan yang saya dapat dari penulis adalah Saras tidak ingin tidak berdaya di depan laki-laki walau betapa besar kuasa laki-laki itu. Perempuan bisa melawan, dan menaklukan, tanpa dalam arti secara seksual.
> "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" adalah pelesetan kisah Cinderella yang sudah terpatri di benak kita sedari kecil. Kisah ini sebagai tamparan di wajah kita, sebagai penikmat dongeng happy-ending, untuk bangun dari imajinasi dan iming-iming dongeng - untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang benar-benar berakhir bahagia. Di kisah ini, hanya saja, perempuan buta tanpa ibu jari yang dimaksud adalah salah satu saudari tiri Cinderella, atau Cindelarat (Larat). Di sini, cerita menyoroti kisah beliau yang sering kali kita anggap "angin lalu" atau "karakter minor" dalam cerita Cinderella. Walau sesungguhnya, tanpa kita sadari, karakter ini jugalah seorang perempuan yang berhak bahagia seperti Cinderella. Apa yang sudah dialaminya-lah yang membentuk karakter jahatnya, tapi sepertinya kita sebagai penikmat dongeng dengan akhir bahagia sulit untuk menerima kenyataan tersebut. Di sini, isu atau stigma yang diangkat adalah perempuan sebagai alat reproduksi, sebuah rahim masyarakat yang harus menghasilkan keturunan. Dengan latar belakang kerajaan, keturunan yang dihasilkan haruslah laki-laki. Hal ini sesungguhnya fakta, yang benar-benar terjadi pada sejarah kerajaan manapun (bahkan, sampai saat ini). Perempuan yang tidak bisa menghasilkan keturunan laki-laki adalah perempuan yang gagal memuaskan suami, sehingga membenarkan tindakan suami untuk memperistri perempuan lain sampai ia berhasil mendapatkan laki-laki. Perempuan yang tidak bisa melahirkan anak, adalah perempuan yang gagal. Perempuan bukanlah perempuan jika ia tidak memiliki rahim. Seoalah-olah alasan diciptakannya perempuan oleh Tuhan adalah hanya untuk menghasilkan manusia-manusia lainnya, bukan sebagai makhluk Tuhan yang derajatnya sama dengan laki-laki. Apa yang direlakan seorang perempuan ketika ia menjadi istri dan melahirkan, selain nyawa dan prioritas dirinya sendiri? Nama belakangnya, kebahagiaan dan keinginannya, bentuk fisik tubuhnya, kecantikannya. Bahkan, di cerita ini, Larat tidak berakhir bahagia karena ia meninggal akibat pendarahan karena terus-menerus melahirkan karena tak kunjung mendapatkan anak laki-laki untuk meneruskan tahta kerajaan. Keadaan Larat pun digambarkan dengan menyedihkan oleh si karakter utama, "Ia tak lagi cantik - pahanya ditimbuni lemak dan perutnya lembek seperti tahu".
> "Mobil Jenazah" bercerita tentang Karin, sebagai ibu dan istri yang sempurna. Atau, begitulah yang ia kira. Ambisinya adalah menjadi istri yang sempurna, memiliki pernikahan yang kokoh dan romantis, abadi, dan mesra (atau begitulah yang ia ingin perlihatkan kepada dunia) sehingga ia mengabaikan perasaannya sendiri dan ketidakadilan yang ia alami akibat pengkhianatan suaminya. Ia juga ingin menjadi ibu yang sempurna, yang memerhatikan anak-anaknya, yang membuat kehidupan anak-anaknya sempurna. Dengan bekerja sebagai dokter, ia semakin mendapatkan cap sempurna dari lingkungan sosialnya: bagaimana bisa dengan kesibukan seperti itu semuanya bisa sempurna di tangan Karin? Hingga ia tahu bahwa apa yang berusaha ia bangun dengan segala pengorbanan dan sedikit sekali kebahagiaan di dalamnya, tidak bermakna sama sekali. Di sini, "Mobil Jenazah" digunakan sebagai elemen horor yang menjemput Karin dari kenyataan yang ia miliki, yang penuh dengan kepura-puraan yang perlu ia sadari dan akhiri. Isu yang diangkat tentunya perempuan yang harus dituntut selalu sempurna sebagai ibu dan istri. Suami selingkuh, istri yang disalahkan. Anak nakal dan bodoh, ibu yang disalahkan. Selain itu, ada juga isu tentang parenting di sini. Terkadang, orang tua tidak benar-benar tahu apa yang terbaik untuk anak-anak mereka. Orang tua harus membiarkan anak-anak mereka memilih jalannya sendiri. Peran orang tua hanya membimbing mereka agar tetap berada di jalan yang lurus.
> "Pintu Merah" berkisah tentang Dahlia yang harus merawat ayahnya yang tua renta dan sakit-sakitan sendirian, sebagai anak bungsu. Dahlia yang hanya bisa diam tanpa pilihan saat kakak-kakaknya tidak mau merawat ayahnya dan hanya menyumbang uang untuk membungkam rasa berat hati Dahlia, yang masih belia dan seharusnya memiliki kehidupannya sendiri seperti kakak-kakaknya dulu. Ayahnya yang dulu berkuasa, walau kini telah tak berdaya, tetaplah berkuasa atas hidupnya. Membuatnya tidak memiliki pilihan lain selain menurut dalam diam, dengan kebebasan yang terkungkung. Yang tidak diketahui ayahnya, Dahlia sangat memberontak dari dalam jiwanya terhadap apapun yang dikatakan, dipikirkan, dan diinginkan ayahnya. Di balik "Pintu Merah"-lah Dahlia menemukan kehidupan sejatinya, yang benar-benar menggambarkan jiwanya. Kita seakan diberitahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa memahami jiwa seseorang yang lain. Kita tidak tahu apa yang mereka alami, mereka inginkan, mereka pikirkan - dan kita tidak berhak untuk berkuasa di atasnya.
> "Mak Ipah dan Bunga-Bunga" adalah kisah yang dibuka oleh karakter Marini, yang sedang "ngunduh mantu" setelah pernikahannya dengan suami yang memiliki latar belakang adat istiadat yang kental. Isu yang diangkat di awal cerita adalah betapa kentalnya patriarki yang berlaku di tradisi adat tersebut. Para lelaki yang bisa haha-hihi dan bersantai, dilayani oleh perempuan yang harus mengurus dapur. Perempuan yang harus bisa masak. Perempuan yang bekerja tak kenal lelah, mengurus rumah, mengurus anak, dan harus melayani suaminya tanpa pernah suami terjun membantunya (dalam kebanyakan kasus). Lalu Marini mengenal Mak Ipah, yang mana sangatlah mencengangkan kisah di balik bisunya Mak Ipah. Mengangkat kisah kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak kecil, pedofil lelaki yang menyebabkan 1 nyawa tak bersalah melayang.
> "Misteri Polaroid" menghadirkan Jose, pemilik studio foto dan seorang photographer, yang belakangan memiliki kejadian mistis di studionya. Seorang hantu perempuan kerap kali mengganggu model-model yang ia foto, dan hasil foto polaroid-nya menampakkan sosok hantu perempuan tersebut. Isu yang diangkat adalah, bagaimana perempuan adalah "boneka" yang fisiknya harus sempurna, tidak boleh ada cacat. Kalau harus menderita dan tersiksa, itu adalah jalan yang benar bagi perempuan agar tetap menarik di mata laki-laki. Istilahnya, "beauty is pain". Ada si model yang masih mengeluh wajahnya gembul, padahal sudah diet mati-matian. Lalu ada model yang diganti karena wajahnya flat - yang dimanfaatkan kaki dan sepatu yang dikenakannya saja. Isu lain adalah tentang sosok hantu perempuan ini, bahwa ia adalah gadis sangat cantik yang dijadikan "alat pembayaran hutang" oleh ayahnya sendiri - yang memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri dengan cara bakar diri.
> "Jeritan dalam Botol" adalah kisah yang masih tidak saya pahami dari sekarang, dengan karakter bernama Gita. Kalau interpretasi saya tidak salah, kisah ini mengangkat isu perempuan yang mengaborsi anak-anak yang dikandungnya, yang tidak ia kehendaki, dengan ketakutan akan persepsi negatif masyarakat dan penghakiman tak bernurani terhadap anak "haram" yang ia kandung serta dirinya yang "murahan" yang dipermainkan laki-laki. Di sini ada Sumarni, karakter tukang teluh (yang tampaknya juga dukun beranak) yang menampung suara-suara perempuan yang terpaksa membunuh bayi-bayi mereka dalam botol.
> "Sejak Porselen Berpipi Merah itu Pecah", setelah interpretasi saya, berkisah tentang perempuan dalam wujud boneka porselen berpipi merah - yang dituntut sebagai pajangan. Bukankah perempuan terkadang dijadikan pajangan oleh laki-laki? Laki-laki kebanyakan mencari istri atau perempuan yang cantik yang bisa membuatnya bangga saat membawa perempuan itu ke luar ke tempat umum. Perempuan yang nilainya tak lebih dari "properti", "boneka", dan kecantikan sebagai pajangan. Ketika terdapat cacat dan rusak, maka layak dibuang. Porselen di sini digambarkan hidup, meminta tolong kepada si Manis (kucing rumah itu) untuk membiarkannya "bunuh diri" (menjatuhkan diri) karena ia tidak suka dipajang.
> "Darah" bercerita tentang Mara, dan bagaimana ia berhadapan dengan darah menstruasi. Isu yang diangkat di sini adalah bagaimana darah menstruasi adalah hal yang menjijikkan dari seorang perempuan - yang padahal hal tersebut adalah siklus biologis yang memang harus terjadi. Isu lain, adalah bagaimana Mara dibekali petuah dari guru ngajinya bahwa perempuan adalah penyebab terjadinya perzinahan, perempuan adalah penggoda laki-laki. "Maka tundukkan kepalamu saat melihat lelaki. Miliki rasa malu. Jangan bicara keras-keras. Kau tahu, perempuan tidak seharusnya menjadi penyanyi. Suara perempuan bisa menggoda, mengundang zina. Jangan duduk dengan kaki terbentang sebab yang ada di antara pahamu adalah harta karun. Ia sumber malapetaka." Di sini digambarkan sederetan peraturan tak tertulis tentang bagaimana seorang perempuan harus berprilaku. Seolah-olah jika terjadi pemerkosaan, pelecehan, dan perzinahan - perempuan lah yang harus disalahi karena ia mengundang birahi laki-laki. Seberapa besar persentasi dari kasus-kasus tersebut yang menyalahkan laki-laki? Pasti kebanyakan menyalahkan cara berpakaian perempuan! Darah yang keluar dari tubuh perempuan dianggap menjijikkan dalam pandangan banyak orang dan oleh karena itu haruslah ditutupi (dalam hal ini menggunakan pembalut). Darah juga dapat menandakan kesucian perempuan, bisa memisahkan mana perawan dan pelacur. Seolah-olah perempuan yang layak adalah perempuan yang perawan sebelum pernikahan. Darah di saat berhubungan adalah yang diincar laki-laki untuk pemuas nafsunya, sebuah trofi yang gemar dikoleksi dan diincar laki-laki.
> "Sang Ratu" berkisah tentang Herjuno, laki-laki yang menurut saya tidak pernah puas dalam pencariannya akan perempuan walau ia sudah punya istri. Di kisah ini, kita mendapati bebeapa referensi dari mitologi Yunani dan Jawa: dari Medusa, Siren, hingga Nyi Roro Kidul (permaisuri abadi raja-raja Jawa dari alam lelembut). Tentang "Sang Ratu" yaitu perempuan yang bisa membantu dan menyukseskan laki-laki, seperti kisah Ratu Pantai Selatan dengan Panembahan Senopati.
Kisah favorit saya adalah "Mak Ipah dan Bunga-bunga" karena membahas hukum patriarki yang menurut saya sungguh memuakkan dan kekerasan/pelecehan seksual yang mana pelaku haruslah diberi hukuman seberat-beratnya, "Perempuan Buta tanpa Ibu Jari" karena merupakan bentuk dekonstruksi kisah Cinderella yang terlalu tidak realistis, "Misteri Polaroid" karena begitu relate dengan stigma perempuan haruslah sempurna dan wajar jika harus tersiksa untuk menjadi sempurna, "Sejak Porselen Berpipi Merah itu Pecah" karena menyinggung stigma perempuan sebagai pajangan, dan "Darah" karena kentalnya hubungan perempuan dengan darah.
Terdapat berbagai ilustrasi yang menggambarkan tiap kisah di awal halaman tiap kisah tersebut. Ilustrasi ini membuat kisah tersebut semakin menarik untuk diulik, membuat kita jadi merenung tentang kisah yang barusan kita baca dan mengapa ilustrasinya digambarkan seperti itu.
Hanya saja, terdapat beberapa kisah yang sepertinya harus kita resapi maknanya dan pahami akhir ceritanya, karena bersifat sangat implist dan penuh dengan metafora.
Saya salut dengan penulis, mampu menuangkan buah pikirannya tentang perempuan dan gender-roles yang berlaku secara tidak tertulis di masyarakat sosial - dan mampu menyampaikannya dengan gaya cerita mistis, horor, dan gelap seperti ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Awalnya ku kira, membaca cerita yang ada unsur horrornya bukan seleraku. "Lebih baik menonton film saja" Pikirku. Namun, cerita di buku ini sama sekali tidak menakutkan meski memasukan unsur-unsur seperti hantu, vampir, lelembut dan sejenisnya. Lebih menakutkan adalah apa yang dialami oleh karakter-karakter perempuan dalam 11 cerpen ini.
Tentang perempuan yang dipandang negatif karena janda, perempuan yang mengalami diskriminasi karena rupa, perempuan yang dituntut serba bisa, sempurna, penurut, dibungkam suaranya, dan perlakuan keji lainnya. Perlakuan itu membuat sihir menyeruak dan terus tumbuh pada perempuan-perempuan yang tak mau patuh. "Sihir perempuan". Energi yang mereka gunakan untuk merebut kebebasan sebagai seorang perempuan, seorang manusia.
Sempat tertunda beberapa waktu, akhirnya ada kesempatan untuk menyelesaikan kumpulan cerita ini. Entah kenapa semakin ke sini, aku semakin tidak bisa fokus pada kumcer. Mungkin karena ceritanya tidak utuh atau terasa sambil lalu, sehingga dijeda pun tidak masalah. Tapi semakin terjeda, semakin terbengkalai.
Buku ini mengingatkanku pada Bahaya Merokok di Ranjang yang baru dibaca beberapa waktu lalu. Dalam balutan nuansa horor dan perasaan-perasaan mencekam, pembaca diajak melihat sisi-sisi getir perempuan yang dikisahkan dengan tidak-baik-baik-saja.
Ada seorang perempuan yang dianggap "gila" setelah belasan tahun lalu mengetahui anaknya jadi korban pelecehan. Seorang perempuan lainnya mendiami sebuah rumah kosong dan mengganggu pemotretan karena beberapa tahun berikutnya dijadikan studio foto. Seorang perempuan berbeda didoktrin bahwa ia penuh dosa saat sedang menstruasi sehingga harus melakukan ini dan itu berkedok syariat agama.
Yang paling menegangkan dan "mengasyikkan" adalah cerita terakhir tentang seorang pria yang bermimpi bertemu dengan seorang perempuan. Setelah dicari tahu, yang ada di mimpinya konon adalah Ratu Pantai Selatan. Akhir ceritanya sungguh tragis bagi si pria itu.
Perihal cerita-cerita yang dirasa kurang atau sukar dipahami adalah hal yang wajar. Tapi, secara garis besar, aku suka dengan tema dan konteks cerita yang diangkat. Tentang perempuan yang disiksa dan tersiksa karena "dikodratkan" sebagai yang lemah. Namun, di balik itu, perempuan-perempuan ini punya daya yang jauh lebih dahsyat.
Ada sebelas cerita pendek dalam buku ini. Semua ceritanya berhubungan dengan wanita, terutama sisi gelap yang menarik untuk dikembangkan menjadi sebuah cerita. Pemintal Kegelapan merupakan cerita pembuka yang mengisahkan misteri loteng di rumah si tokoh utama. Konon, kata Ibunya, ada Hantu di loteng rumah mereka. Hantu ini memintal kegelapan demi lelaki yang ia cintai. Sebagian besar memang cerita cerita di buku ini berhubungan dengan kisah kisah hantu Cerita ini bersama dua cerita lain, Mobil Jenazah dan Misteri Polaroid merupakan cerpen cerpen favorit saya di buku ini. Kisah kisah dalam buku ini cukup mencekam, bahkan tak jarang bikin jiper juga karena mengungkit kisah kisah hantu. Namun di balik tokoh tokoh hantu tersebut, ada rahasia rahasia yang disimpan oleh si perempuan dalam cerita. Tentang penantian, pengorbanan, pengkhianatan, juga balas dendam
Aku suka! Ini kali pertama aku baca karya kak Intan Paramaditha dan i like ittt! Penceritaan setiap cerpen yang lugas, tema yang menarik ditambah unsur mistis, hantu dan supernatural, yang sering digunakan buat umpama. Seru seru
Beberapa cerpen yang kusuka: 1. Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari 2. Mak Ipah dan Bunga-Bunga 3. Sang Ratu
Kenapa 4.5 karena ada beberapa cerita yang aku kurang nangkep aja sih tapi so far all good!
Kumpulan cerpen dengan tema feminisme. Tertarik bagaimana setiap idea dipersembahkan dan membawa kita melihat dari satu sudut yang berbeza tidak seperti kebiasaannya.
[3.5 bintang] Kumpulan cerpen horor yang kelam dan menarik dengan perspektif feminis melalui karakter-karakter dari dunia alam maupun gaib. Gaya tulisan juga bagus, tapi kadang alurnya sedikit lambat.
Cerpen favoritku Darah, Pemintal Kegelapan, Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, dan Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah.
JATUH CINTA DENGAN INTAN PARAMADITHA, AAAAAAAA ❤️❤️❤️
Bener-bener mengobati rasa hausku terhadap cerita gelap dan horror, tapi tetap kritis. Sungguh puas baca Sihir Perempuan ini. Novel ini mengangkat tentang isu kehidupan sebagau perempuan dan kegelapan yang mengerumuninya. Aku suka bangetttt!!!
Beberapa cerpen kesukaanku sebagai berikut:
1. Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari: tentang standar kecantikan yang gak masuk akal dan demonisasi perempuan yang gak masuk ke dalam standar tersebut.
2. Mak Ipah dan Bunga-Bunga: dendam seorang ibu dan isu kekerasan seksual yang sungguh menyakitkan.
3. Jeritan dalam Botol: nuansanya sangat magis. Aku masih meraba-raba makna dari cerpen ini sebenernya. Tapi aku menangkap tentang aborsi dan penderitawaan awal perempuan sebagai seorang Ibu.
4. Darah: ini juaranya menurutku. Gimana kita selama ini mendemonisasi tubuh perempuan dan menstruasi.
5. Sang Ratu: edan, plot twist dan ide ceritanya beneran bikin kaget sih. Kupikir akan jadi cerita mistis klasik, gak taunya seru!
Aku selalu takut mau mengawali baca ini, tapi ketika udah mulai baca, aku tahu kalau aku diejek juga sama Intan. Ngomongin perempuan identik dengan dosa, merah, darah, dan setan. Hampir semua cerpennya aku suka (it is rare for me when reading kumcer?!). Ternyata semua cerpen tentang perempuan ini hampir semuanya sangat dekat denganku, misalnya tentang penggambaran setan dari ustazah ketika perempuan pertama mens, sosok pemintal kegelapan yang seorang pelacur, bahkan sosok dukun aborsi! Ada banyak cerita tentang perempuan-perempuan yang “nggak penting di masyarakat, jahat, dan menyalahi norma. Intan berani sekali (dan mengeksekusinya dengan baikh mengambil sudut pandang kontradiktif dari cerita-cerita yang selama ini kita dengar di mana-mana.
Jangan membacanya waktu tengah malam kalau tidak mau bulu kuduk meremang heboh, saya serius! Saya suka semua cerpennya, tapi ada beberapa yang sangat berkesan di hati:
1) Mak Ipah dan Bunga-Bunga 2) Jeritan dalam Botol 3) Darah
"Lihat, wajahnya mahal," komentar Jose. "Tapi kalau salah angle dia bisa mirip kuda."
Sebelumnya, saya tak pernah menyangka bahwa kumpulan cerita pendek bergenre horor akan membuat saya tergelak lepas. Tapi itulah yang membuat saya terpikat pada Sihir Perempuan, karya pertama Intan Paramaditha. Kisah-kisah di dalamnya tidak membuat saya merasa ditakut-takuti oleh dongeng yang dipenuhi kegelapan dan lolongan. Yang saya temui justru potongan-potongan kehidupan yang demikian manusiawi dan nyata, sebagaimana kutipan di atas, yang dicuplik dari cerita berjudul Misteri Polaroid. Sebagai mantan jurnalis majalah gaya hidup yang tak luput dari tugas mengurusi pemotretan, saya seperti diajak membayangkan sebuah kemungkinan akan berhadapan dengan keganjilan yang tak terduga, karena ia tak kasat mata, saat sedang bekerja.
Ternyata, begitu mudah untuk tenggelam dalam kehidupan perempuan-perempuan yang tak patuh (dan diam-diam saya sedikit bangga, karena saya sendiri semacam seorang pembangkang). Di tengah membaca cerita ketujuh dari total sebelas yang ada, saya tidak lagi bisa menahan diri, saya harus mulai menulis resensi ini. Kalau tidak, kepala saya bisa terlalu penuh, dan saya akan bingung mau mulai dari mana.
Sampul belakang buku ini menerangkan bahwa Intan Paramaditha mengolah genre horor dengan perspektif feminis. Lewat cerita-cerita di dalamnya, Sihir Perempuan mengingatkan pembacanya agar jangan lekas terjerat dengan kesalahpahaman yang kerap melekat pada istilah feminisme dan feminis, karena ini bukan perkara perempuan belaka. Pun, perempuan bukanlah semata pengejawantahan mitos-mitos akan segala godaan duniawi yang siap menjerat.
Cerita-cerita ini berlatarkan kehidupan yang terasa begitu nyata, sekalipun dalam beberapa di antaranya terselip penokohan makhluk jadi-jadian atau dongeng tentang perempuan baik-baik yang konon hidup bahagia selamanya. Terbit rasa getir setiap kali saya mendapati karakter dalam cerita mengalami ketidakadilan yang kerap dialami perempuan: dinyinyiri tetangga karena berstatus janda, rasa malu yang dipupuk mengiringi gelombang darah menstruasi, diselingkuhi suami, bertaruh nyawa demi tuntutan melahirkan anak laki-laki, dipaksa menikah oleh keluarganya sendiri, hingga diperkosa dan dibunuh dengan keji. Semuanya sungguh nyata, nyata sekali, sebagian di antaranya bahkan pernah saya saksikan sendiri.
Beragam ketidakadilan yang terjadi pada perempuan-perempuan dalam buku ini menyalakan insting mereka untuk bertahan hidup dengan cara-cara yang mungkin tak lazim di mata masyarakat. Tetapi, sebagaimana diutarakan tokoh Marini setelah mendengar rahasia seorang tetangga di kampung halaman suaminya dalam Mak Ipah dan Bunga-bunga, ketidaklaziman itu justru amat masuk akal, dan "Kupikir kau waras, teramat waras."
Sihir Perempuan mengingatkan saya, bahwa hal yang tidak kita ketahui, atau hanya dengar desas-desusnya sepintas lalu, kadang bisa jadi begitu menakutkan. Di sisi lain, bila rasa penasaran bisa membunuh, saya rasa sekarang saya sedang gentayangan.
Bagaimanapun, nyatanya perempuan-perempuan dalam buku ini telah menyihir saya dengan cara mereka masing-masing.
Memandukan horror dan feminisme dengan cerdas, buku ini menyajikan tragedi dan sisi gelap wanita (sebenarnya sisi gelap kehidupan secara luas imho) secara apik . Tidak terlalu seram tapi vibe eerie itu ada. Cerpen kesukaan saya ialah vampir, mobil jenazah dan foto polaroid
Benar kata teman saya, membaca buku ini saya merasa menjadi perempuan itu melelahkan. Buku ini mengangkat kisah perempuan dalam setiap cerpennya. Tema yang biasa sebenarnya. Sudah banyak penulis yang bercerita tentang perempuan, perempuan yang tertindas, perempuan yang menjadi korban, perempuan yang selalu kalah. Tapi di sini Intan menghadirkan perempuan dengan sisi-sisi tergelapnya. Perempuan yang kuat berpura-pura seperi yang diceritakan intan dalam Pemintal Kegelapan, Mobil Jenazah. Bukan cuma perempuan rapuh dan mudah pecah seperti dalam cerpen Sejak Porselen Berpipih Merah itu Pecah.
Cerpen yang menjadi jagoan saya, Perempuan Buta tanpa Ibu Jari. Intan memelintir dongeng yang dulu terlihat sangat cantik di mata kanak-kanak saya. Saya pun sempat hidup dalam dongeng itu, bermimpi menjadi beruntung seperti cinderella, kelak dipinang lelaki yang melabeli diri sebagai pangeran. Di negeri kita sendiri, ada dongeng serupa dengan versi yang sedikit berbeda, seperti bawang merah dan bawang putih. Ah, mengapa anak-anak dijejali cerita yang tak masuk akal, padahal kenyataan hidup tidak pernah sesempurna itu.
Saya juga menyukai Sang Ratu. Di cerpen ini Intan menyatakan bahwa perempuan biasa yang mungkin terkesan membosankan seperti dewi ternyata titisan Ratu Pantai Selatan yang menunggang perempuan berwujud kalajengking besar dan melakukan pembalasan pada Herjuno.