Sebuah ruang yang lapang. Dipenuhi Oleh barisan dokumentasi yang rapi tentang perjalanan partai politik sejak zaman Hindia Belanda hingga kini. Hari demi hari. Mulai dari kliping koran, video, foto, suara, hingga alat-alat peraga yang representatif. Terakses oleh publik luas yang ingin mengetahui detail peristiwa politik dalam kisahnya yang panjang.
Di manakah ruang dokumentasi politik seperti itu di Indonesia saat hajatan politik tiap tahun digeber dan dirayakan? Barangkali ada yang menjawab ruang itu sudah ada dengan merujuk pada peristiwa pada Maret 2005, saat Ketua Komisi Pemiilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin meresmikan Pusat Dokumentasi Pemilu 2004 (PDP) di Jakarta. Yang kemudian digadang-gadang sebagai Museum Pemilu.
Ada juga masyarakat sipil dengan bantuan donatur asing yang sudah membuat portal rumahpemilu.org lantaran situs KPU tidak bisa diharapkan sebagai pusat utama data pemilu. Mereka gelisah bagaimana mungkin negara dengan eksperimen demokrasi yang terkadang berbahaya ini tak memiliki pusat dokumentasi politik yang lengkap, representatif, dan terakses.
Muhidin M Dahlan lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada tahun 1978. Sempat beberapa waktu mengampuh ilmu di Teknik Bangunan Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jogjakarta dan Sejarah Peradaban Islam IAIN Kalijaga Jogjakarta. Kedua-duanya tak selesai. Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Menulis empat novel dan terlibat sebagai tim editor buku-buku Pramoedya Ananta Toer di lentera Dipantara sejak 2003, spesial penulis "Pengantar Penerbit" dan sampul belakang.
Sekarang menjadi kerani menengah di Indonesia Buku (I:BOEKOE) dan pernah ditugasi sebagai koordinator penulisan riset, seperti Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Kronik seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008), 1001 Saksi Mata Sejarah Republik.