Kumpulan cerita pendek yang kubaca tanpa ekspektasi apa-apa, tapi ternyata cukup oke untuk selingan bacaan ringan. Terdiri dari cerita-cerita gloomy —sebab kurang tepat disebut sebagai cerita sedih.
Pada intinya, rangkaian kalimat dan diksinya sederhana, tidak berusaha keras untuk mendayu-dayu atau menggalau-galau tak karuan seperti tren buku-buku remaja belakangan ini, tapi vibes sedih dan terlukanya tetap terasa. Makanya menurutku lebih tepat disebut sebagai sekumpulan cerita gloomy ketimbang sedih mendayu-dayu gitu.
Sayangnya, kalau diibaratkan grafik, 5-10 cerpen pertama adalah yang tertinggi. Semakin ke belakang grafiknya semakin turun lalu jadi datar. Efek ledakannya udah keluar di awal, jadi beberapa cerpen terakhir cenderung terasa flat dan biasa banget. Meski demikian, menurutku buku ini lumayan cocok dibaca sekali dua kali duduk.
To be honest, aku beli karena judulnya unik —Mati di Jogjakarta, tapi sayang banget cerpen dengan judul yang sama seperti judul bukunya malah ternyata kurang greget ceritanya. Jadi kebanting sama cerpen lain.
Kumpulan cerpen yang ditulis dengan bahasa-bahasa galau (bukan puitis) yang tidak cocok untuk aku. Sepertinya lebih cocok untuk remaja atau dewasa muda yang masih senang mencari soundtrack buat kisah cintanya, meskipun substansi ceritanya kurang pas juga rasanya untuk kelompok usia itu. Alur masing-masing cerpennya kurang jelas. Ada beberapa cerita yang tidak jelas pergantian sudut pandangnya. Mungkin karena percakapan langsung dibuat dengan tulisan miring yang biasanya dipakai untuk percakapan dalam hati bukan dengan tanda petik. Bahkan ada yang mengombinasikan kedua polanya sehingga memnuat bingung ini percakapan langsung atau bukan. Membaca ini selain karena penasaran kok banyak yang antri di iPusnas, juga untuk istirahat sejenak dari buku tebal yang sedang dibaca. Untung tipis, kalau tidak mungkin akan aku dnf-in aja.
Cerita pertama lumayan menarik tentang perempuan yang merasa kekasihnya masih mencintai masa lalunya, kecemburuan tinggi, rasa bimbang, dan rasa takutnya seorang yg merasa kalah akan masa lalu orang lain. Awal baca sedikit emosi karena wanita ini yang selalu menyangkal dan nyari setiap celah untuk menuduh kekasihnya masih memiliki rasa. Bisa dirasain gimana pedihnya udh berjuang dan tulus tapi masih dituduh ga setia.
Cerita lanjutannya mulai bikin sesek. Banyak membahas kepergian, keraguan, apalagi kematian. Banyak cerita tentang kisah cinta yang tak pernah ada akhir bahagia, dikemas dengan emosi yang merasa "Pasangan ini harus berlabuh" namun ternyata tidak. Sayangnya hanya diawal dan pertengahan, bagian cerita-cerita akhir sedikit kurang. Ngerasa klimaks di awal namun ke akhir justru malah menurun. Tapi masih cukup bagus karena beberapa cerita yang tetap dengan pembahasan kepergian dan penyesalan. Apalagi banyak kalimat dialog yang ngerasa sangat tajam maknanya. Kelebihan dari buku nya ini adalah bahasa penuh makna yang sederhana dalam setiap dialog. Contohnya bagian, "Jangan berharap pada jawaban ku, Galam" "Jika berharap adalah kejahatan maka aku siap dihukum Tuhan" Dialog yang membuat perasaan sangat berdebar karena memang ketika kita berharap pada jawaban akan perasaan seseorang itu sangat mendebarkan.
Aku suka dengan buku ini karena memang cerita dengan ending yang tidak bahagia. Seru, beberapa bagian terasa relate tapi ada juga yang bikin emosi karena kesannya seperti menyindir. Setiap cerita memiliki kesedihannya masing-masing, agama yang berbeda, kematian yang datang, kehilangan yang panjang, kekurangan yang juga kelebihan, sampai sosok yang sama namun berbeda.
Favorit part: Dimensi Romantis Picisan, Fatamorgana Prabu, Gie, Karami, Merah
Bagi ku yang senang dengan isi cerita pendek dan tidak panjang. Buku ini benar-benar membawa perasaan yang "aarrggh", seperti mengingat beberapa kenangan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
A book that explores many stories of separation. Some are divided by two worlds. Some lose their loved ones in the mountains. Some simply leave without a trace or a word. And my favorite chapter is: "I'm not afraid of dying, I'm just afraid of being alone."
actually have no idea that it was a bunch of short stories instead of chapters and the way that i realized it after reading 3 stories and wondering why the heck do they changed their name
Buku dengan tampilan keseluruhan yang estetik dan menarik, tapi ternyata saya perlu waktu sedikit lebih lama untuk menyelesaikannya.
Awalnya saya tertarik dengan desain kover yang minimalis dan lukisan-lukisan Egha De Latoya yang dijadikan ilustrasi dalam buku ini. Namun, begitu membacanya lebih jauh, saya mulai merasakan kejenuhan. Hal ini dikarenakan penulis terkesan kurang piawai dalam mengelaborasi dan mengeksplorasi konflik dalam cerita-cerita pendeknya, khususnya pada bagian pertengahan, sehingga cerpennya kerapkali terasa kering dan menjemukan. Bahkan, dalam cerpen yang berjudul sama dengan buku ini, menurut saya, kisah yang diangkat dan penuturannya kurang menggigit. Sangat disayangkan.
Beruntung, menjelang bagian akhir, yaitu pada cerpen berjudul Malaala, penulis dapat kembali menaikkan daya tarik cerpennya. Belakangan saya tahu bahwa kisah Malaala ini pun ia buat menjadi lagu dengan judul yang sama. Cemerlang sekali.
Di atas segalanya, saya mungkin akan tetap membaca buku-buku Egha De Latoya yang lain dan ingin ikut serta menyaksikan pertumbuhannya sebagai penulis, karena saya pikir, ia memiliki potensi yang cukup besar untuk melahirkan karya-karya yang indah. Menulis, melukis, dan bermusik. Perpaduan yang berbahaya.
Kehilangan dan menemukan, menurutku itu kata yang tepat untuk menggambarkan buku ini. Kumpulan cerita pendek dengan penulisan yang halus, dan cukup membuat saya menyukainya. Meski pada dasarnya saya agak sulit membaca buku kumpulan cerita pendek yang akhirnya saya pasti butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya.
Buku ini cukup membuat senyum-senyum sendiri, namun tak pernah gagal juga membuatmu menangis. Penggambaran kota Jogja dan cerita didalamnya. Didalam buku ini saya menyukai cerita Sore Hari dan Waktu Kita Tidak Banyak (dialog antar tokoh membuatku merasa tenang). Untuk selebihnya bacalah, dan temukan hal yang tak kau duga ^ - ^
dan ya tak lupa :
"Jangan sampai mati di Jogjakarta" - Egha De Latoya