Amelia, si bungsu, anak yang paling kuat. Buku pertama sekaligus terbit terakhir dari Serial Anak-Anak Mamak.
"Kau anak paling kuat di keluarga ini, Amelia. Bukan kuat secara fisik, tapi kuat dari dalam. Kau adalah anak yang paling teguh hatinya, paling kokoh pemahaman baiknya. Kau menyayangi sekitar, dan sungguh-sungguh mau membantu orang lain."
Buku ini tentang Amelia, kisah anak yang memiliki mimpi-mimpi hebat untuk kampung halamannya.
"Jangan mau jadi kritikus buku, tapi TIDAK pernah menulis buku."
"1000 komentar yang kita buat di dunia maya, tidak akan membuat kita naik pangkat menjadi penulis buku. Mulailah menulis buku, jangan habiskan waktu jadi komentator, mulailah jadi pelaku."
Akhirnya setelah menunggu sekian lama, Amelia terbit juga.. Segera setelah ada pemberitahuan pada Facebook Tere Liye, langsung pesan online. Dan mumpung kemarin hari libur, selesai pulalah Amelia..
Ada satu comment penting, yaitu cover bukunya.. Haduh, tidak menarik sama sekali. Jika tidak tahu Tere Liye itu siapa, dan belum baca karya2 Tere Liye mungkin tidak akan fizah lirik buku ini.. :D
Menurut fizah, dibandingkan dengan serial kakak2nya Amelia inilah yang paling menarik, dia yang paling penurut.
Sebagai si bungsu penunggu rumah, Amel sadar, setelah menamatkan pendidikan doktor dalam dua bidang sekaligus, dia kembali ke kampung halaman, sesuai janjinya pada mamak.
Menjadi guru merupakan cita cita terbaik yang penah dimilikinya saat menatap wajah tulus Pak Bin dan Nek Kiba. Dia berjanji tidak akan ada lagi keterbatasan di kampungnya.
Amelia si bungsu yang kuat
"Karena kau harus tahu, air mata dari seseorang yang tulus hatinya, justru adalah bukti betapa kuat dan kokoh hidupnya. Tidak ada yang keliru dengan tangisan kau, Amell. Kau selalu adalah anak Bapak dan Mamak yang paling kuat di keluarga ini."
Kalian tahu, namaku Amelia, semua orang memanggilku 'Amel'. Tapi sejak sore itu, sejatinya aku selalu ingin di panggil dengan sebutan lain. Bukan 'Meli', bukan 'Lia', melaikan 'Eli'. Aku selalu ingin dipanggil seperti panggilan Kak Eli. Bukan karena nama itulah yang menyuruh-nyuruhku, bisa mengatur semua orang, sangat berkuasa di rumah. Melainkan aku tahu sekarang, karena aku ingin persis seperti Kak Eli, yang selalu menyayangi adik adiknya. Kakak terbaik sedunia yang aku miliki. Kakak sulungku yang amat pemberani.
Wak Yati benar, seorang ibu selalu menyimpan misteri besar dalam hidup ini.
Bagaimana kalau akhirnya kami semua pergi dari rumah? Kak Pukat. Kak Burlian. Dan akhirnya aku. Bagaimana jika esok lusa, kepergian itu tidak sekedar hanya ke Kota Kabupaten yang dekat? Dan itu tidak hanya hitungan bulan bisa pulang, bagaimana jika bertahun-tahun? Rumah panggung yang ramai ini hanya menyisakan Bapak dan Mamak berdua. Apakah Mamak akan selalu bilang dia baik baik saja, membiarkan kami pergi, tapi sebenarnya ia amat sedih?
Cinta itu tidak harus memiliki, tidak harus mengekang. Karena dengan begitu kita justru membuat arti cinta itu jadi dangkal. Semua orang tua selalu bersedia melepas anak-anaknya pergi, meski itu membuatnya amat sedih, kehilangan.
Amel tahu, Mamak orang yang terakhir bergabung di meja. Dialah orang terakhir yang menyendok sisa gulai atau sayur. Yang kehabisan makanan. Mamak yang terakhir kali tidur, setelah semua tidur. Mamak yang terakhir beranjak istirahat, setelah semua istirahat. Mamak selalu yang terakhir dalam urusan. Dan mamak juga yang selalu pertama bangun. Dia yang pertama membereskan rumah. Dia yang pertama kali mencuci, mengelap, mengepel. Dia yang pertama kali ada saat kami terluka, menangis, sakit. Dia yang pertama kali memastikan kami baik baik saja. Mamak yang selalu pertama dalam urusan itu. Amel tahu itu semua. Amel memperhatikan kok.
Ini adalah novel pertama dari serial anak-anak mamak yang kubaca. Dulu, aku mengira serial ini bercerita tentang dunia anak-anak. Ternyata memang benar. Hanya saja mereka anak-anak yang spesial.
Jika dilihat dari sisi jalan cerita, boleh dibilang novel ini --dan mungkin beberapa novel lainnya-- sebenarnya memiliki cerita yang sederhana. Tapi entah kenapa, aku selalu menyukainya. Dan dari cerita yang sederhana itu, Tere Liye selalu mampu menyelipkan hal-hal baik yang sudah sepantasnya kita resapi benar-benar.
Oh berbaloinya penantianku selama beberapa tahun. Hanya untuk buku terakhir dari serial anak-anak mamak ini. Dari bersifat keanak-anakan dipenuhi lelucon dari Burlian, Tere Liye berjaya menasimilasikan dari dunia kanak-kanak yang hanya bermain kepada anak-anak yang cerdas berfikir.
Benar, saya tidak pernah mengalami kehidupan anak yang susah seperti anak-anak mamak, namun tulisan ini membuatkan saya rasa teharu bercampur aduk seolah-olah berada di dunia mereka. Cerita yang dapat membawa saya merempuhi zaman persekolahan anak-anak yang penuh semangat, cekal walaupun serba kekurangan tetapi barangkali itu hanya secebis. Yang lainnya, cerita keberanian, cerita tidak mudah putus asa, cerita menghormati orang yang lebih tua - itulah nilai yang dipaparkan sepanjang cerita ini. Saya tertawa menangis seperti watak-watak di dalam cerita ini. Saat-saat yang membuat saya tertawa adalah diperkenalkan sahabat Amel, diberi nama Chuck Norris ataupun reaksi Burlian & Pukat diberitahu bakal disunat. Tidak kurang juga rasa sedih bergumam di dalam hati membaca pengorbanan Eliana.
Ohoi, saya mahukan anak saya seperti Amelia, ataupun Eliana, ataupun Burlian ataupun Pukat, dalam kenakalan ada otak geliga mereka dan kepantasan berfikir.
Banyak yang menganggap bahwa menjadi anak bungsu adalah idaman para kakak pertama, ke dua, atau pun ketiga, dan seterusnya. Nyatanya memang benar, menjadi anak bungsu memang enak. Lebih disayang dan dimanja karena dianggap masih kecil dan tidak tau apa-apa. Namun, ternyata menjadi anak bungsu juga mempunyai konflik batin, terutama kepada kakak-kakaknya. Mereka, para yang lebih tua, bisa meninggalkan rumah dan bebas dari tugas mengasuh orang tua kelak ketka semua pergi dengan keluarga masing-masing. Iri hati pun membuat diri menentang tradisi bahwa anak bungsu kelak takdirnya hanya akan menjadi "penunggu rumah" saja. Impian sekolah tinggi pun berasa punah. Iri hati kian membesar hingga membawa emosi tinggi. Namun, Tuhan nyatanya telah menulis cerita-Nya. Pandangan seram mengenai masa depan malah menjadi sangat cerah. Bahkan tidak hanya pada diri sendiri, namun juga pada banyak orang di desa. Itulah garis besar kisah dalam novel "Si Anak Kuat". Menceritakan seorang anak bungsu yang khawatir akan masa depannya, namun Tuhan malah membawa kisahnya menjadi seorang anak bungsu yang kuat secara fisik, emosi, dan perasaan akan peduli terhadap sesama. Di balik suramnya pandagan akan masa depan menjadi anak bungsu, ternyata malah membawa keberkahan bagi diri sendiri dan banyak orang.
Oke, pertama-tama... saya mau ngelampiasin emosi yang mengganjal sejak pertama melihat bentuk buku ke-satu dan terakhir serial ini, "Siapa yang punya ide genius ngeganti style desain covernya jadi ekren kayak gini, haaaaah!!?" *ROAAARRR!!*
oh goat.. berasa liat ilustrasi di buku pelajaran Bahasa Indonesia dulu. Buat satu cerita. Buat satu contoh potongan adegan. Tapi buat cover...? My eyes... you poor things... (/A\)
Ditambah dengan premis, "Halo semua, kenalkan, namaku Amelia." yang bikin saya geli sendiri("Iya, halo juga, namaku*--PIIIIIP--*", pfft), buku ini bisa dibilang tidak dimulai dengan start yang baik kalau menurut saya.
Mulai dari cover yang bikin.. eww... fontnya apa pula itu... lebih cocok buat cerita di dalem, apalagi nama pengarang ma judul dengan size yang sama, trus desain plus gambarnya juga nggak mengesankan "owwh deep".Coba kalau Eliana misalnya, ada gambar ikan buntal, truk, pohon, dll. Atau Pukat misalnya, ada kereta, binatang, naga, dll. Atau Burlian misalnya, ada kapal, dll... kayak gitu kan lebih menjajikan, lebih wah, lebih bercerita, daripada ilustrasi satu orang gadis lagi lompat berusaha metik sesuatu dari pohon... yang setelahnya saya ketahui, mungkin itu kopi. Simpel emang bagus, tapi terlalu simpel mah jadinya apa. Iya, emang, saya juga tahu cerita Amelia sendiri adalah cerita yang paling sederhana, tapi kan bisa dikasih gambar peta misalnya, pohon kopi, scenery kampung, dsb. Tambahan: buku yang baik emang nggak cuma dinilai dari sampulnya. Tapi desain itu ada untuk menarik perhatian dan mengesankan pembeli(balasan untuk kalimat yang ada di buku Eliana). Kalau pake quote dari salah satu novel yang saya baca, "All books are judged by their cover until they are read." It's a Fact, dengan kapital F.
Habis itu prolognya yang berasa kayak maksa pengen terkesan anak kecil. Oh. Saya inget banget tulisan pertama saya waktu nyoba word pertama kali, "Halo. Namaku *--PIIP--*. Kelas 1 SD di.." Meh. Prolog perkenalan bisa dibilang adalah tipe awalan yang paling saya nggak suka. Ditambah dengan gaya bahasa sok anak kecil begini, awww~~ dear, you are so lovely banget deh ah.
Lanjut baca ke bab setelahnya, cerita tentang Amelia dan Eliana. Oh yay. Saudara itu kalau nggak pernah bertengkar, nggak pernah baikan, mah nggak seru kan? iya tapi harus ada baikannya juga :p cuma di sini saya ngerasa agak gimanaa gitu pas Eliana bilang, "Bukan karena Mamak akan marah kalau blablabla...". Yaelah. Ni anak bisa baca pikiran apa... kok tahu kalau adeknya pernah mikir gitu. Tapi kan ga usah dibilang juga kali... cukup, "Kau adikku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Amel." aja.#banyakprotes
Dan pertengkaran dia dan kakaknya ini, mungkin, adalah pengganti buat adegan pertengkaran dengan Mamak yang selalu ada di tiga buku sebelumnya. Oh yesh. Amel nggak pernah bertengkar atau ngambek dengan Mamaknya. Tapi sayang... jadi nggak muncul lagi kalimat khas, "Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian."
Trus baca lagi... beberapa bagian ada yang saya rasa.. "this is boring! spare me please", ada juga yang cukup mengharukan dan lucu. Dan setelah saya hampir sebagian besarnya, saya baru nyadar kalau cerita Amelia mengambil jalur yang berbeda dengan kakak-kakaknya. Kalau misalnya(CMIIW) di buku Eliana ada cerita soal melawan kontrator pasir, di Pukat ada soal perampok dan errm... banjir kah, di Burlian ada... ketika dia ketemu nihonjin dan kapal kah?(okay, saya lupa cerita di Burlian, sebenarnya. Karena anaknasi gorengspesial ga gitu saya suka kalau dibandingin Pukat dan Eliana), jadi... mereka masing-masing punya petualangannya. Tapi kalau Amelia? Ceritanya bener-bener lebih ke kehidupan sehari-hari. Soal pohon kopi sendiri.. emang proyek yang besar dan penting, tapi bukan suatu petualangan yang menegangkan(hanya mencemaskan#hihi). Jadi saya ngerasa agak... kurang aja tensinya kalau dibandingin yang lain-lain.
Selain itu, satu yang saya kurang sukai lagi dari buku ini adalah karakter Amelnya yang terlalu kuat. Dia emang anak yang kuat. Dewasa. Pengertian. Tapi... ngeliat tingkah polahnya, ...erm.. dia umur berapa sih? Di buku ini rasanya nggak ada penjelasannya(padahal kalau yang lain selalu disebutin mereka kelas berapa, tingkat berapa pas cerita berlangsung), tapi karena Eli disebutin kelas 6 dan 7 nantinya, saya kira paling gedenya dia kelas 3 dan 4 kan? Biarpun saya curiga dia kelas 2 dan 3 ._. oh well, anggaplah kelas 3 sd. Tapi ya itu, saya ga bisa nganggep dia kelas 3 sd, sekecil-kecilnya kelas 5 sd. Udah susah payah make gaya bahasa sok imut tapi kalau jadinya dewasa gini mah kesannya maksa banget kan. Iya. Sebetulnya mungkin aja, kalau cuma dibilang mungkin. Tapi... eghh. Coba bandingin sama novel lain(Evolution of Calpurnia Tate) yang saya baca bersamaan dengan Amelia, di buku itu tokoh utamanya, Calpurnia, berumur sekitar 11-12 tahun. Lebih besar daripada Amel. Bagusnya, saya bisa ngerasain sifat anak-anak di tokoh Calpurnia. Penasarannya, sifat nggak mau ngelepasin kakak tersayangnya, ketakutannya, ketidaksukaannya dengan beberapa hal, ketertarikannya, dll. Kalau Amel...? Nothing. Dia kuat. So, dia dewasa. Satu-satunya hal yang nunjukin kekanakannya cuma pas dia bertengkar dengan Eli, dan cuma satu di awal itu doang. Habis itu udah, dia anak kuat, dia dewasa, dia penurut, dia perhatian, dll.
...'kay. ._. Iya aja deh. Mungkin kok, mungkin.
Setelah itu, yang paling saya suka dari buku ini adalah interaksi Amelia dengan Eliana. Fyi, tokoh yang paling saya suka dari empat bersaudara ini adalah Eliana. Bukan karena saya dan dia anak sulung(karena saya bukan), tapi karena buat saya, Eliana adalah yang paling keren dari semuanya#sungguhsangattidakobjektifsekalibangetdeh. Jadi semakin banyak peran Eli, semakin saya bisa melupakan berbagai macam hal lain yang mengganggu.#gyahahaha
Keseluruhan sih, saya masih bete dengan covernya, masih geuleuh sama kalimat, "Halo, namaku Amelia", masih ngerasa aneh dengan dia ngedit kalimat di cerita yang ia buat untuk PR Bahasa Indonesia(hello~? Mr. Author? ini Amel, apa anda ya maksudnya? dia masih SD loh~?), tapi juga cukup terharu dengan cerita dia dengan kakaknya, Bapak-Mamaknya, dan ketawa juga pas cerita Pukat dan Burlian disunat, tertarik dengan revolusi yang mau dijalankan, dll. So. Meskipun covernya ga worth(masih ngerese), buku ini worth buat dibeli dan dibaca. Cukup interesting, yeah.
Menurut saya, penggambaran latar, tokoh, dan diksinya pas untuk mewakili cerita anak-anak. Selain itu, cerita dan nilai kehidupannya juga cocok untuk dinikmati orang dewasa. Banyak hal yang akan kita pelajari dari buku ini. Hal-hal sepele pada saat kita mengalami fase kanak-kanak, namun berpengaruh pada kehidupan kita kelak. Satu hal yang terpenting, saya membayangkan latar tempat dan kehidupan dalam cerita ini tidak jauh berbeda dengan tempat saya PKL. Saya pikir cerita ini merepresentasikan tentang latar kehidupan beberapa tahun silam, uniknya hal itu masih ada sampai sekarang. Naturlich!
Saya lebih dulu menonton serialnya baru membaca seri anak-anak mamak ini. Baru tau pula ternyata serial yang kalau tidak salah 12 episode itu berasal dari buku karangan Tere Liye. Walau memang tidak semua apa yang ada dalam buku ditampilkan dalam karya visualnya.
Amel menjadi tokoh favorit saya. Anak bungsu dengan segala kelucuaannya, keluguannya dan segala anggapan orang-orang mengenai dirinya (seperti cengeng, manja dan lainnya). Tapi benar pula apa yang selalu dikatakan orang-orang, Amelia adalah anak bapak dan mamak yang memiliki hati kuat dan teguh.
Dalam kisah Amelia, saya jadi teringat akan dulu ketika kecil, bermain bersama teman, ditegur ketika tidak mau membantu atau terlalu asik dengan bacaan, ingin tau segala hal dan tentunya tidak mau dilihat sebagai anak kecil.
Dalam kisah Amelia ini, beberapa kali saya menitikkan air mata. Ketika mengetahui kisah Noris (sahabat Amelia), ketika Amel marah pada Eli dan sadar akan kasih sayang kakaknya dan ketika mamak yang menangis mengingat Eli.
Dalam kisah Amelia pula saya terpesona dengan Paman Unus. Seperti apa dia jika benar ada. Saat membacanya saya membayangkan wajahnya mirip River Pheonix. Entah kenapa wajah aktor itu yang terlintas, hahahaha.
Ada satu kalimat yang saya kutip dari buku ini dari berbagai kalimat yang tentunya saya sukai: Cinta itu tidak harus memiliki, tidak harus mengekang. Karena demgan begitu kita justru membuat arti cinta itu jadi dangkal.
This entire review has been hidden because of spoilers.
si Peka. Dari awal menerka-nerka dia bakalan jadi guru atau yg bikin penyuluhan.
Oh pantes terus-terusan Bang Darwis bilang kalau serial anak mamak ini lebih ngena daripada novel-novel dia yg lain ketika aku berulang minta ttd. Terus kenapa aku baru baca sekarang?
Buku ini mengisahkan cerita keseharian seorang anak perempuan bernama Amel atau Amelia. Ia tinggal di sebuah kampung di Sumatra Selatan. Amel adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Yang pertama Eliana atau biasa dikenal sebagai Eli si Pemberani. Yang kedua Pukat yang disebut Pukat si Jenius. Yang ketiga adalah anak paling jahil sedunia, Burlian. Yang terakhir Amel sendiri, si bungsu yang paling disayang. Tetapi, Amel tidak senang menjadi anak bungsu, yang berarti ia harus mengkuti tradisi ‘menunggu rumah’. Keseharian Amel diisi dengan belajar di sekolah dengan Pak Bin, bekerja di ladang, dan bermain dengan sahabatnya, Maya. Tetapi, ia juga harus menghadapi omelan Kak Eli, ledekan Kak Burlian dan Kak Pukat, dan ulah si biang ribut kelas, Chuck Norris. Cerita ini sangat menarik. Cara penulisannya juga bagus. Tetapi, bahasa yang digunakan mengandung bahasa Melayu dan daerah, jadi ada beberapa istilah yang sulit dimengerti. Meskipun demikian, buku ini dapat menginspirasi kepada generasi muda Indonesia. Salah satunya mengajarkan kita bahwa anak-anak pun dapat membuat perubahan di masyarakat. Buku ini memang menarik. Kisah ini menceritakan kehidupan seorang anak yang berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain walaupun banyak ditentang oleh orang-orang lain di sekitarnya. Meskipun gagal ia kembali bangkit dan berusaha lagi. Novel ini layak untuk dibaca. Alur yang digunakan adalah alur campuran. Latarnya adalah rumah Amel, ladang, sekolah, dan lingkungan kampung. Sudut pandang yang digunakan penulis adalah sudut pandang orang pertama. Jadi saat membaca novel ini kita seolah-olah mendengarkan Amel bercerita tentang kehidupannya sendiri. Novel ini banyak menyisipkan nilai-nilai agama dan sikap sabar serta pantang menyerah.
Pasca baca Eliana yang lebih banyak seriusnya, baca Amelia ini menyenangkan sekaliiii!!!
Anak bungsu yang dibanggakan, sekaligus disebut paling kuat di keluarga. Yes, she is! Kuat banget perjuangin mimpi buat kemajuan desanya, kuat ngadepin Norris yang (sempat) menyebalkan, kuat ngadepin omelan-omelan Kak Eli, juga sindiran Kak Pukat dan Burlian perkara "anak bungsu itu anak penunggu rumah"... kuat semuanya!
Gaya cerita yang gambarin Amelia sebagai anak bungsu, nyaris tanpa cela. Kadang mikir juga, sih, anak bungsu kok mikirnya bisa begitu? Tapi cerita lanjutannya bikin kesan itu hilang.
Nah! Yang paling disesalkan, ada beberapa typo yang mengganggu, dan yang "fatal", ada kesalahan penggunaan kata "di". Untuk sekelas Tere Liye, bagiku, ini aneh. Kok bisa? Entahlah.
Well, empat bintang, rasanya cukup. Mungkin kalau tanpa typo dan kesalahan itu, bisa lah... dikasih lima bintang.
Ada buku- buku tertentu yang saya baca lebih dari satu kali, sementara ada juga buku yang hanya saya baca beberapa halaman. Buku ini termasuk bagian pertama. Kisah tentang Amelia, si bungsu di keluarga Syahdan ini memang luar biasa.Dan Tere-Liye berhasil menyajikannya dengan baik. Cara berceritanya mengalir lancar, tidak membosankan.Mengulik tentang kearifan dan hal- hal baik yang dilihat dari kaca mata seorang bocah, yang cara berpikirnya jauh melampaui umurnya.Penulis juga menyelipkan banyak pesan moral, kearifan lokal juga upaya konservasi lingkungan serta kuatnya hubungan kekeluargaan.Diibaratkan makanan, buku ini adalah seporsi nasi rames lengkap yang menyehatkan.Terlepas dari beberapa pengulangan istilah, buku ini layak dibaca oleh semua golongan umur, bahkan tanpa pendampingan.Bintang 5 layak buat buku ini..(review lengkap menyusul)
Cerita dalam novel ini sebenarnya sederhana. Tentang seorang anak perempuan bernama Amelia yang berstatus anak bungsu dari 4 bersaudara. Di antara ketiga kakaknya, ia satu-satunya yang memiliki keteguhan dan kepekaan hati. Dan ia punya keberanian untuk menunjukkannya. Ini memang kisah yang sederhana tentang kehidupan anak-anak di sebuah kampung di lembah Bukit Barisan. Namun, ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari kisah ini. Tere Liye seolah-olah mengingatkan saya bahwa betapa langkanya ketulusan dan kesabaran di hati orang-orang saat ini. Kisah ini membawa saya ke masa kecil saya sendiri. Ketika hati saya masih seputih dan sepolos Amelia. Meski ada beberapa pengulangan kalimat di sana sini, tetapi bagi saya pribadi itu tidak terlalu mengganggu. Saya tetap suka Amelia.
i described this book as buku baik! :) suka. banget. buku yang gapernah salah, plot nya bagus (ga heran soalnya ini tere liye) gatau udah ngulang baca berapa kali karena punya buku ini udah agak lama dan aku akan selalu memaksa otakku untuk menghapus ingatan tentang buku ini supaya bisa ku baca ulang.
Tere Liye menghantarkan pesan keren dan teladan baik. Tapi saya ngga nyaman membaca cerita dengan tokoh anak kecil dengan pemikiran amat dewasa. Ceritanya jadi tidak natural lagi. Kemudian saya teranggu dengan panggilan 'sigung' untuk kedua kakak laki-laki Amelia, rasanya kok jadi lancang.
Review pertama untuk serial Si Anak. Dulu, saya mengira ini hanya bercerita tentang dunia anak-anak. Yaa, ternyata tidak salah. Hanya saja, dari 2 novel serial si anak yang sudah saya baca, memang menyajikan jalan cerita yang sederhana namun spesial dan saya cukup menikmatinya. Mungkin akan saya lanjutkan ke buku yang lain. Dan bahkan dalam ceritanya, kita jadi banyak meresapi pemikiran 'polos' anak-anak. Pikiran mereka yang sederhana, apa adanya, yang seringkali tidak serumit pikiran orang dewasa.
Si Anak Kuat menceritakan Amelia, anak bungsu dari empat bersaudara. Banyak yang menganggap bahwa menjadi anak bungsu adalah idaman para kakak pertama, kedua, dst. Nyatanya, menjadi anak bungsu memang enak. Lebih disayang dan dimanja karena dianggap masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Namun, di balik itu, menjadi anak bungsu juga memiliki konflik batin tersendiri, yang mana dalam tradisi kampungnya, anak bungsu ditakdirkan untuk menjadi "penunggu rumah". Itulah yang menyebabkan Amel kerap kali iri kepada kakak-kakaknya yang nantinya bisa bebas meninggalkan rumah.
Khawatir terhadap masa depan, juga kadang iri, ternyata membuat Amel menjadi pribadi yang kuat secara emosi, fisik juga perasaannya. Kuat banget memperjuangkan mimpi untuk kemajuan kampungnya, kuat menghadapi Norris yang (sempat) menyebalkan, kuat menghadapi omelan Kak Eli, juga sindiran Kak Pukat dan Kaka Burlian perkara anak bungsu itu anak penunggu rumah.
Jalan ceritanya ringan, konfliknya juga tidak rumit. Karena memang pangsa pasarnya mulai dari anak-anak. Mengambil latar di sebuah perkampungan. Suasana kehidupan sehari-harinya membuat kita seakan bernostalgia dengan kehidupan di masa lalu. Rumah panggung, sekolahan, ladang, kebun kopi, kayu bakar, dll. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama, jadi saat membaca novel ini seolah-olah mendengarkan Amel bercerita tentang kehidupannya sendiri. Novel ini juga banyak menyisipkan nilai-nilai agama dan sikap sabar serta pantang menyerah. So, sangat layak dibaca. Anyway, kayaknya part epilog adalah bonus, ya. Meskipun sedikit ga sesuai dengan ekspektasi saya di ending, tapi tetap bangga dengan Amel.
Kutipan yang saya sukai - Dunia orang dewasa tidak selurus dunia anak-anak yang lima menit bertengkar, lima menit kemudian sudah kembali bermain bersama. Kau tahu, dunia orang dewasa bagai sebutir bawang merah, berlapis-lapis oleh ego, keras kepala oleh argumen, bertumpuk pembenaran dan hal-hal yang boleh jadi tidak akan kaupahami sekarang. - Selalu menyenangkan setiap kali berhasil mengusir pergi perasaan itu, perasaan bersalah. - Hidup ini dipergilirkan satu sama lain. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Kadang kita tertawa, lantas kemudian kita terdiam, bahkan menangis. Itulah kehidupan. Barang siapa yang sabar, semua bisa dilewati dengan hati lapang. - Apakah doa bisa mengubah sesuatu? Apakah doa bisa terwujud menjadi sebuah bala bantuan tidak terbilang yang langsung dikirim dari langit? Maka jawabannya adalah iya, Nak. Doa adalah benteng pertahanan terbaik. Doa juga sekaligus senjata terbaik bagi setiap muslim. - Niat baik kadang berbalik arah menikam diri sendiri Sepanjang kau tahu persis apa yang kau lakukan, cakap orang lain tidak perlu terlalu dimasukkan ke hati. - Kita tidak perlu mengerti untuk setuju. Sepanjang itu datang dari orang yang lebih berilmu.
BLURB “Kau anak paling kuat di keluarga ini, Amel. Itu benar sekali. Bukan kuat secara fisik, tapi kuat dari dalam. Kau adalah anak yang paling teguh hatinya, paling kokoh dengan pemahaman baik.” Buku ini tentang Amelia, kisah anak yang memiliki mimpi-mimpi hebat untuk kampung tercintanya. Dari puluhan buku Tere Liye, serial buku ini adalah mahkotanya.
Buku ini bercerita tentang Amel, yang mempunyai nama lengkap Amelia. Amel adalah anak bungsu dari Bapak Syahdan dan Ibu Nurmas dan mempunyai tiga orang kakak yaitu, Kak Eli (Eliana), Kak Pukat dan Kak Burlian. Ketiga kakak Amel ini juga memiliki cerita di bukunya masing-masing dalam satu serial.
Amelia, si gadis bungsu yang kuat dan teguh hatinya. Terlahir menjadi anak bungsu membuatnya tak terima dengan kenyataan , selalu ingin bertukar posisi dengan kakak sulungnya. Baginya menjadi bungsu hanyalah korban perintah kakak-kakaknya, selalu disuruh-suruh dan selalu menjadi penunggu rumah.
…..” Air mata seseorang yang tulus hatinya , justru menjadi bukti betapa kuat dan kokoh hatinya, justru menjadi betapa kuat dan kokoh hidupnya.”……….. (hlm.144)
Pada novel ini tergambarkan bahwa tidak selamanya anak bungsu berprilaku manja dan cenggeng. Salah satu karakter dalam novel yang diajak untuk berpikir bahwa anak bungsu terlahir dengan perangrai kuat, tidak menyerah, sekalipun situasi menyadarkan bahwa anak bungsu akhirnya akan tetap menjadi penunggu rumah dan sejauh apapun ia pergi, takdir akan membawanya kembali.
……banyak hal di dunia ini yang memang tidak kita ketahui. Maka saat kita tidak tahu, bukan berarti kita berhak menyimpulkan semau kita. Ada banyak hal di dunia ini yang terlihat jahat, menyakitkan, tetapi itu mungkin karena kita tidak tahu, belum mengerti…… (hlm.172)
- Buku ini mengisahkan tentang Amelia, anak bungsu dari 4 beradik, anak paling kuat kepada Syahdan dan Nung.
- Buku ni mengandungi 393 muka surat dan 33 bab tidak termasuk prolog dan epilog.
- Amelia mengajar aku untuk berani bermimpi serta tabah dan kuat untuk merealisasikan mimpi. Bagi aku, untuk anak sekolah rendah yang mampu untuk meyakinkan seluruh marga kampung merupakan satu pencapaian paling tinggi.
- Amel ni bagi aku dia budak yang jenis berfikiran ke hadapan, fikiran dia lain daripada budak sebaya dia. Mempunyai sikap yang sangat matang, memahami ibu bapa, seorang kawan yang mempunyai semangat setia kawan dan tidak pernah kenal erti putus asa dalam diri.
- Satu benda penting yang aku dapat, proses perubahan tu tidak akan berlaku sekiranya kita tidak berani untuk memulakan perubahan tersebut. Tidak ada permulaan, maka tidak terjadilah proses.
- Oh ya, sedikit sinopsis, Amel ni dia nak bantu penduduk kampung daripada sikap bercucuk tanam yang langsung tidak efisien kepada yang lebih baik sebab sejak dulu penduduk kampung ni guna teknik lama dan hasil pun tak memberangsangkan. Tapi, penduduk kampung taknak berubah dan taknak ambil risiko. Jadi, dia usulkan cadangan besar untuk cuba semai bibit kopi yang baik. Tapi cerita dia bukan pasal bibit kopi tu je, ada je cerita-cerita yang lain.
- Senang kata buku ni macam diari Amel. Gaya bahasa yang santai, tak membebankan. Banyak ilmu pasal pertanian yang kita boleh dapat.
- Haa buku ni ada siri tau, siri si anak. Ada 6 siri dan siri ni merupakan mahkota untuk penulis.
- Jadi, kalau nak tahu berhasil ke tidak projek besar Amel dan rakan-rakan, kena baca buku ni.
SUKAKK BANGETTTT cinta mati sama Tere Liye kwkwkw.. ini udah buku ketiga atau keempat yg aku baca dari Tere LIye dan selalu sukaa.. bener-bener ngerasa dunia literasi Indonesia tuh ada harapan (maap lebay banget tapi emang ngerasa akhir-akhir ini jarang sreg sama banyak penulis Indonesia yang terlalu menye-menye kadang).
Yang aku suka dari buku ini tuh bikin ngerasa calming gitu karena settingnya di lembah, alam banget jadi ikutan ngerasa kayak lagi di alam juga. Karakter-karakternya juga lucu, bikin ketawa apalagi anak kecil suka nyeletuk hal-hal random. Terus, bener-bener seimbang gitu antara masalah dan having fun. Tere Liye juga mengkritik pemerintah yang suka nutup mata soal kondisi rakyat yang di pedalaman, terus juga bahas tentang poverty trap, mindset masyarakat yang sangat susah untuk diubah padahal mereka seharusnya bisa lebih maju dari sekarang ini.
Walaupun suka mikir, emang anak seumuran Amel bisa ya mikir se detail itu, cuma ngeliat juga cara didik orang tua nya sih ya ga heran juga Amel bisa kayak gitu. Berasa women empowerment juga karena disini seorang anak cewe bisa membawa perubahan ke lingkungannya itu keren banget apalagi di pedesaan yang biasanya lebih utamain cowo.
Dannn novel ini informatif banget. Keliatan banget Tere Liye ini pinter, ga males research. Ga cuma dari segi writing style atau cara menulis yang baik dan benar, tapi juga misalnya ada tentang penanaman kopi bisa dibahas sedetail itu keren banget sih. Sebagai reader ngerasa bisa belajar hal baru juga, ga cuma have fun membaca.
buku keempat dari serial anak mamak ini menceritakan si bungsu, Amelia, yang mempunyai kekuatan hati yang baik dan peduli sesama sehingga disebutlah Si Anak Kuat.
di awal, Amelia sering diolok olok Kak Pukat sama Kak Burlian soal anak bungsu yang takdirnya adalah ‘menunggu rumah’. Amel tentu aja gak mau, Amel juga ingin keliling dunia saat besar nanti. Bapak dan Mamak juga memperbolehkan, apalagi Wak Yati.
tapi pikiran pikiran soal “nanti siapa yang menjaga Mamak dan Bapak ketika semua anak pergi?” lalu ketika Kak Eli pergi ke kota kabupaten untuk melanjutkan sekolah dan melihat Mamak sedih, Amel berpikir, “nanti kalau semua anak pergi, apakah Mamak akan lebih sedih dari ini?”
mungkin anak bungsu dianggap manja, cengeng, pengadu, tapi sebetulnya anak bungsu lah yang lebih memperhatikan orang tuanya.
aku paling suka part anak anak membuat bibit kopi yang baik untuk warga kampung. aku jadi ikut nunggu, apakah hasilnya akan baik atau tidak. terus part Amel yang gak suka sama Kak Eli gara gara Kak Eli suka marahin Amel.
Amel ini ternyata banyak yang dia suka, terus sikap suka membantunya itu betul betul dijelaskan dalam banyak cerita di buku ini. Amel peduli dengan kampung, yang berarti sangat baik, sampai sampai ada yang pernah bilang bahwa Amel ini sebaik Mamaknya yang pernah membuat kampung bercahaya karna kebaikannya.
“Ada pepatah bijak, ‘Siapa pun yang tidak mengambil langkah pertama untuk memulainya, dia tidak akan pernah melihat hasilnya.’ Tidak akan pernah.” —Paman Unus (hal. 389)
Apakah kisah kanak-kanakku berakhir bahagia? Jawabannya, tidak. Bahkan berakhir dengan air mata kesedihan. Aku menangis terisak, terduduk di atas tanah becek, mencekram lumpur, tidak peduli kalau bapak memelukku, menghiburku. Tidak peduli saat mamak berbisik menenangkan.
paman Unus berbisik "Kau baru saja memulainya, Amel. Kau baru saja memulai perjalanan panjang itu, Nak. Ini bukan akhir. Ini justru awal segalanya. Kau adalah Amelia, anak bungsu keluarga ini. Amelia, si penunggu rumah. Kau selalu kembali. Dengan kekuatan yang lebih besar.
Aku menyeka air mata. Paman Unus benar. Akulah Amelia, anak bungsu keluarga. Akunpenunggu rumah. Kampung ini adalah duniaku. Jika ada orang yang bertanya apa cita-citaku, aku memilikinya. Tidak besar, tidak megah, sederhana saja, tapi itulah pilihan hidupku. Aku memilihnya sndri dg kesadaran terbaik.
Liatlah, setelah mimpi2nya hancur berantakan. Setelah semua usaha terbaik telah di lakukan. Namun, misteri hidup telah membantingnya dalam sekali. Merangkak tak mampu berdiri. Paman unus benar, ini bukan akhir, ini adalah awal catatan hidupku di tuliskan. Lihatlah, Aku kembali, setelah 20 tahun tangisan itu ku genggam erat sekali. Pak bin benar soal sabar. Kemenangan akan datang pada orang2 yang sabar pada waktu yang tepat. Di sini aku pernah menangis krn seluruh mimpi2ku telah di bawa lari. Kini, aku kembali. Aku telah kembali membawa mimpi2 itu. Aku akan mengabdi untuk pendidikan negeri ini!
Amelia merupkan serial ke tiga dari empat serial anak-anak mamak karya salah satu penulis kenamaan negeri ini -Tere Liye-. Di novel ini, Tere Liye kembali meramu potret keluarga mamak dengan segala kompleksitasnya dan memasukkan pengajaran-pengajaran penting dalam sebuah keluarga dan masyarakat. Tentang sikap orang tua, tanggung jawab anggota keluarga, tentang hukuman, tentang disiplin, kerja keras, dan banyak hal penting lainnya.
Novel ini lebih khusus bercerita tentang kehidupan Amel yang merupakan anak bungsu mamak dan bapak. Kehidupan sederhana di lembah bukit barisan. Selain Amelia, 3 anak lain juga punya ksiah masing-masing. Eliana si pemberani. Pukat si anak pintar, dan Burlian si anak spesial.
Jujur saja, membaca cerita ini beberapa kali mampu meneteskan air mata. Ceritanya sebenarnya sederhana namun pesan-pesan yang disampaikan, pengajaran mamak dan bapak, terlebih pada bab “kasih sayang mamak” selalu sukses meloloskan butiran-butiran air mata. . . Selain keluarga inti Amelia, tokoh-tokoh seperti Pak Bin, Nek Kiba, Wak Yati juga menyajikan pengajaran-pengajaran sederhana namun dengan efek yang tidak sederhana. . . Ya, "kisah sederhana dengan efek yang tidak pernah sederhana". Demikian kesan yang kurasakan kala melahap serial ini. Novel ini meski dibaca berkali-kali tidak menimbulkan kebosanan. Cocok untuk anak-anak, orang dewasa maupun orang tua. .
Amelia itu imut dan rada bandel. Seperti tokoh bungsu dalam buku lain, aku menyayangi Amel seperti adikku sendiri. Petualangannya bisa dibilang paling memble, tapi toh aku soft spot untuk anak model Amel, jadi kita lewatkan saja pasal itu.
Nah, sebenarnya yang membuatku khawatir adalah plot hole dari hubungan Amelia dengan kakak-kakaknya (terutama Pukat dan Eliana), di buku Burlian, Pukat, dan Eliana, Amel dikatakan paling dekat dengan Pukat, karena dia yang paling sering pasang badan untuk melindungi Amel terutama dari Eliana yang galak. Tapi di buku Amelia sendiri dia malah bilang paling dekat dengan Eliana, karena Pukat dan Burlian sering jahil. MANA YANG BETUL?
Memang sepele, tapi kesannya kayak Pacc Tere kepingin Amelia 'dekat' dengan Eliana, karena sama-sama cewek, dan dia baru kepikiran plot seperti itu pas proses nulis buku Amelia. (Yaudah, ganti aja dah. Semoga gak ada yang sadar, H3h3 ...)
(Catatan tambahan : Pacc Tere memutuskan untuk melanjutkan seri ini dengan judul dan sampul yang berbeda. BUT!!! Bagiku Serial Anak-Anak Mamak berhenti di sini! CUKUP SAMPAI SINI! Jangan sampai jadi gak jelas juntrungannya macam Serial Bumi!)
“Nah, meskipun kalian berdua anak laki-laki, besok lusa kalian tetap harus bisa menyetrika pakaian sendiri. Ingat baik-baik, mencuci pakaian, menjemur, menyetrika itu jelas bukan pekerjaan anak perempuan” (Amelia, 126)
Syahdu dan tenteram. Mungkin dua kata ini yang bisa mewakili perasaan setelah selesai membaca Amelia. Walaupun terkesan telat membacanya, di usia dewasa, tapi benar-benar mengubah perspektif. Siapa bilang cerita anak-anak berkisah kebahagiaan dan khayalan belaka? Bacalah novel ini untuk tahu seberapa kuatnya gaya bercerita Tere Liye dari sudut pandang anak-anak buat membangun daya imajinasi, cita-cita, bahkan perspektif berbeda. Siapa sangka dalam novel ini tersirat kesetaraan gender? Hanya dari ucapan seorang ibu yang menasihati anaknya. Menariknya, cara ini benar-benar lebih mengena untuk diresapi. Buku pertama dari seri anak-anak mamak yang diselesaikan. Sekaligus menggugah keinginan untuk membaca buku lainnya. Meskipun ada beberapa cerita rumpang yang menurut saya butuh didetailkan lagi, tak tak mengurangi esensi berceritanya. Secara penulisan, saya tidak menemukan typo sedikitpun.
kemudian kepikiran, gimana caranya mendidik anak-anak luar biasa kayak Amelia dan kakak-kakaknya ini, ya? nanti saya bisa nggak, ya? saya bisa nggak, ya, jadi ibu-ibu yang berpendirian teguh, tetep bagai malaikat meski ada marah-marahnya, sabarnya luas, supporting system yang terbaik. bisa nggak ya, anak-anak saya nanti kayak anaknya Mamak Nung?
memasuki bagian akhir buku, saya mulai merasa demikian. gimana sih, caranya, kok Amel bisa punya pemahaman yang sebaik itu? sekritis itu dalam menanggaoi sesuatu, dan selalu berikhtiar menuntaskannya. saya kecubit sama tingkahnya Amel, dia berani, melakukan hal hebat, memulai, meski penuh kekhawatiran dan keraguan, tapi tetep disikat. salut sama Norris, salut banget. sama Paman Unus apalagi, haha. sama Wak Yati, ini lagi.
novel ini bukan cerita anak-anak biasa. kalau hati jernih, banyak banget yang bisa dipetik. tentang keteguhan, mimpi-mimpi, melampaui keterbatasan, kesabaran, dan tentunya keluarga. hangat pisan.
Tere Liye gak pernah gagal 😭😭 Sama seperti tulisan di belakang bukunya, dari sekian banyak buku Tere Liye, serial ini adalah mahkotanya.
Apalagi kalau bukan buku serial anak mamak, Si Anak Kuat yang berscerita tentang Amelia sebagai anak bungsu dari empat bersaudara merupakan buku pertama dari seri anak mamak ini. Ceritanya ringat banget, aku baca ini pelan-pelan karena jadi salah satu buku yang aku baca bebarengan dengan genre yang agak serius, jadi semacam bacaan refreshing.
Meskipun ringan tapi isinya ga kaleng-kaleng, ceritanya seputar kehidupan sehari-hari Amelia sebagai anak bungsu yang sering dijuluki kakak-kakaknya sebagai penunggu rumah, tapi meskipun anak bungsu amelia merupakan anak yang paling kuat, bukan fisiknya tapi hati dan pemahamannya. Amel bahkan melakukan hal - hal hebat di kampung ini.
Ada banyak cerita yang memuat pelajaran hidup dari kisahnya Amelia ini, dan tentu aja ada banyak kutipan-kutipan hebat ciri khas Tere Liye.
Aku paling suka bab yang menceritakan Chuck Norris, menguras air mata sekaliiii.
Amelia adalah favorit saya dari serial anak-anak mamak. Harus aku akui, aku curiga Tere Liye berasal dari daerah yang sama denganku, sebab budi pekerti, dan lagak bapak, mamak dan tetangga mereka sungguhlah mirip dengan apa yang aku pribadi alami.
Senang betul rasanya membaca Amelia, sebab saya bisa menilik kehidupan dari mata seorang bungsu, si bungsu yang paling muda, namun juga paling punya mimpi di tengah kepolosannya.
Sungguh, membaca novel ini melontarkan saya kembali ke masa kecil di mana cerpen-cerpen majalah yang saya baca sarat dengan budi pekerti, namun tidak menggurui. Rindu rasanya
Amelia dan Eliana sungguh berbeda, Bila Eliana si sulung penuh dengan keras kepala dan kasih sayang, Amelia penuh dengan ketulusan dan pengharapan. Dan harapan adalah titik balik dalam novel ini.
Dan seperti apa yang dikatakan abang-abangnya, Amelia si Bungsu akan pulang ke rumah. Tapi Bungsu bang Tere yang ini bukan sekedar 'pulang' , dia pulang sambil membawa harapan.