Satu lagi buku yang mengajakku melihat sejarah dari sudut pandang lain. Bicara tentang tragedi 65 memang tidak ada habisnya; propaganda, sentimen PKI, pelanggaran HAM. Buku ini justru memanusiakan sosok-sosok seperti Bu Utati. memberi mereka sebuah potret kehidupan yang bukan hanya sebatas label "eks tapol".
Suka sama hubungannya Bu Utati & Pak Koesalah. Romansa era jadoel yang gak berbunga-bunga, tapi sebagai pembaca bakal langsung notice "They were made for each other ini mah" :)
Di sini digambarkan secara detail keseharian Bu Utati selama penahanannya di Lidikus hingga rutan Bukit Duri. Ada beberapa bagian yang menyesakkan, tapi banyak juga yang terasa hangat dan justru menujukkan eratnya solidaritas antara para tapol. Jadi miris saat ingat bahwa banyak dari mereka yang "ditahan" tanpa keadilan. termasuk Bu Utati sendiri.
Beberapa kali disebutkan juga mengenai tokoh tapol perempuan, seperti Salawati Daud dan Carmel Budiardjo. Sempat riset dikit, dan PROFIL MEREKA KEREN BANGET.
Aku jujur kurang sreg dengan gaya penceritaan buku ini. Ada banyak kalimat yang kubaca berulang-ulang biar paham. Namanya biografi pasti mayoritas narasi yaa, dan berpotensi bakal membosankan, apalagi aku bukan tipe pembaca non-fiksi. Ada detail yang justru menurutku bisa lebih dipersingkat. However, I got so many historical insights from this book. Highly recommended, apalagi kalau mau tahu sejarah 65 dari sisi narasi perempuan.
Feel membaca buku ini sama seperti membaca buku 'Mencintai Munir', I just really love it. Terima kasih sudah berkenan untuk membagikan kisahmu, Bu Utati. Bu Magdalena Sitorus juga sangat berhasil dalam menulis pengalaman Bu Utati juga situasi pada saat itu ('65) dengan sangat detail, mudah dipahami serta mendorong pembaca untuk mencari tahu lebih dalam dengan membaca referensi-referensi bacaan yang disebutkan di buku ini.