Agus Vrisaba adalah pengatrang yang sangat memperhatikan watak. Cerita-cerita yang terkumpul dalam Dari Bui Sampai Nun ini, membuktikan ia seorang pengamat yang sangat cerdas terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar tempat hidupnya. Manusia-manusia yang menjadi obyek analisisnya tak lain adalah manusia-manusia dengan watak sederhana, tetapi menjadi tampak kompleks, karena relasi-relasi yang macet. Hubungan ayah dengan anak, ibu dengan anak, suami dengan istri, kakak dengan adik, individu dengan komunitasnya, serta profesi dengan individu dan komunitas, seringkali menimbulkan persoalan.
Disitulah cerita-cerita Agus seperti menemukan ruang hidupnya. Ia digerakkan oleh hubungan antar watak yang tidak berjalan mulus. Kendati beberapa cerita berakhir dengan penyelesaian mengejutkan, tetapi sebagian besar mengisyaratkan bahwa ending tidak lagi menjadi kunci dari sebuah pengungkapan gagasan. Dalam kemacetan hubungan antarmanusia itu, Agus bisa bercerita begitu banyak tentang kesombongan, dan tentu saja tentang kecintaan yang keras kepala.
Cerpen-cerpen yang keren dari seorang cerpenis yang hampir terlupakan. Dibanding aneka cerpen zaman sekarang yang cenderung ribet dan kompleks, karya Agus Vrisaba sangat mengagungkan esensi dari kesederhanaan. Walaupun beralur yang linear dan bertema sehari-hari, namun dengan kecerdikannya mengolah gaya bahasa menjadikan karyanya ringan dan enak dibaca.
Yang paling menonjol dari cerpen-cerpen di buku ini adalah karakter yang matang. Setiap cerpen pasti mencerminkan sebuah karakter manusia yang tajam. Dari keramahan hati hingga kesombongan. Dari penyesalan hingga keserakahan.
Akhirnya bisa membaca buku Agus Vrisaba Dari Bui Sampai Nun, dulu pernah sekelebatan melihatnya di pameran buku. Sekarang setelah usai "merampok" di rumah teman, akhirnya bisa merampungkan buku ini.
Bui si tokoh 'aku' merasa mengenal sosok mayat dengan tato kuda di dada. Dalam benak 'aku' itu adalah kawan dulu di bui. Mulailah diceritakan bagaimana kondisi bui menurutnya. Tetapi yang menarik adalah alasan mengapa aku masuk bui yang tidak pernah disebutkan. Hanya disinggung bahwa ia dimasukkan secara paksa. Dalam logikaku mungkin ini adalah potret dimana banyak aktivis dipenjarakan, terlebih ada kalimat yang mendukung Aku butuh membaca...(hal.7) saat aku protes mengapa bukunya ditahan sipir. Dan seperti kebanyakan orang masuk bui ia tetap merasa kegelapan yang pekat dan berkesimpulan bahwa dipenjara adalah sempurnalah kegelapanku (hal.5). Agus Vrisaba menyimpulkan bahwa Tidak ada orang di dunia yang mau disalahkan. Semua orang pasti mengaku baik. .
Apa jadinya kalau aku jadi Pak Aji dalam cerpen Darah Putih Dan Rampok ini? Menghadapi perampok benar-benar seperti menghadapi tamu. Dan saya suka bagaimana sikap Pak Aji (mungkin juga sikap penulis) dalam memandang dunia.
'Di dunia ini saya tidak pernah memiliki apa-apa. semua orang dilahirkan dalam keadaan sama. Semuanya telanjang.'(Hal.14) 'Di waktu dilahirkan pikiran saya kosong dan badan saya telanjang. Di waktu mati pikiran saya kembali kosong dan badan saya kembali telanjang'. Sungkem!!!!
Kisah Dayu Rahmi sangat manusiawi. Kekayaan masa muda tanpa pengelolaan yang baik hanya akan mendatangkan kerugian. Kisah Dayu Rahmi yang bertanah banyak harus menjadi miskin di masa tua. Catat ini. Benar kata bang Rhoma, judi itu menyesatkan.
Membaca cerpen Nyoman Tidak Mendapat Alamat yang berkisah tentang Nyoman Dastra yang melakukan perjalanan dengan bus dari Tabanan ke Jogja yang mulai dari awal merasa ada firasat buruk. Dan diakhiri dengan adegan seram. Ternyata yang menjadi alamat adalaha roma mayat. Heeem
Di cerpen Fordata aku belajar bagaimana menghargai orang dan terus berbuat baik. Orang baik itu dinilai dari sikapnya kepada orang lain.
Tokoh aku dalam Mancing benar-benar berlaku sederhana. Cukup sederhana dan nrimo dengan hidup hanya bersumber dari memancing saja. Karena menurutnya memancing membuatnya bahagia dan tertawa. Orang tertawa tidak membutuhkan modal banyak, cukup dengan hati gembira. Kalau aku sudah puas dengan apa adanya, mengapa hatiku tidak gembira?(hal.48). Tetapi sikap aku menjadi buruk ketika diketahui bahwa jumlah ikan menipis akibat poltas dan strom. akhirnya ia pindah ke Bali, dan berencana pindah ke Maluku Tenggara.Jadi apa aku sudah berubah menjadi tidak nrimo lagi?
Kisah Gigolo di pantai Kuta bernama Komang Pirang yang menderita kanker darah. Tetapi nyatanya dia mati bukan karena kanker, melainkan menabrak truk karena mabok saat naik motor. Miris. Sooo kematian itu rahasia Allah, dan kita tidak tahu kapan dan bagaimana itu diturunkan kepada kita. sungkem.
Kisah Ayah yang konflik dengan anaknya. Masalahnya warisan. Tetapi satu hal yang kemudian menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu, ketika ayahnya sakit dan menjelang mati.
Jangan sembarangan memberikan Tembakan, bisa-bisa bernasib kurang bagus mirip Nyoman Giring.
Setelah membaca kumpulan cerpen ini saya lanjut berpikir, mengapa cerpen2 dari penulis yang sekarang sangat "melangit"? Agus Vrisaba tidak membuat cerpen dengan tokoh sebuah pohon di loftus road, atau salju yang tiba2 turun di jogja, atau setting-setting sok luar negeri. Agus Vrisaba menuliskan apa ayng dilihat apa yang mengganggu pikiran dan ketenagan tidurnya dengan sederhana dan apik. Diksi yang dipakai Agus Vrisaba pun tidak "melangit" bahasa sehari-hari.... Apa kebaruan dalam tema yang imajinatifa dengan jungkir baliknya teknik penulisan sebagai penanda kemajuan sastra?
Mungkin demikianlah seharusnya karya sastra yang adiluhung (menurutku) Sungkem.