«Vivo in una vecchia casa umida con un fantasma che cammina rumorosamente in quella stanza in soffitta dove noi non siamo mai entrati (“credo” che sia murata), e la prima cosa che ho fatto quando ci siamo trasferiti qui è stato disegnare simboli magici a carboncino sulle soglie e sui davanzali delle finestre per tenere fuori i demoni, e in generale ha funzionato. In cantina crescono i funghi, e le mensole di marmo dei caminetti hanno l’inspiegabile abitudine di cadere in testa ai figli dei vicini. «Nelle notti di plenilunio mi si può trovare in giardino a raccogliere la mandragora, che coltiviamo in piccole quantità insieme al rabarbaro e alle more. Di solito non vado pazza per quelle ricette con le erbe o le ali di pipistrello, perché non si può mai essere certi della loro riuscita; mi affido quasi completamente alla magia delle immagini e dei numeri. La mia esperienza più interessante è stata con una ragazza che mi ha offesa e in seguito è caduta nella tromba dell’ascensore e si è rotta tutte le ossa che aveva in corpo, tranne uno di cui ignoravo l’esistenza».
Shirley Jackson was an influential American author. A popular writer in her time, her work has received increasing attention from literary critics in recent years. She has influenced such writers as Stephen King, Nigel Kneale, and Richard Matheson.
She is best known for her dystopian short story, "The Lottery" (1948), which suggests there is a deeply unsettling underside to bucolic, smalltown America. In her critical biography of Shirley Jackson, Lenemaja Friedman notes that when Shirley Jackson's story "The Lottery" was published in the June 28, 1948, issue of The New Yorker, it received a response that "no New Yorker story had ever received." Hundreds of letters poured in that were characterized by, as Jackson put it, "bewilderment, speculation and old-fashioned abuse."
Jackson's husband, the literary critic Stanley Edgar Hyman, wrote in his preface to a posthumous anthology of her work that "she consistently refused to be interviewed, to explain or promote her work in any fashion, or to take public stands and be the pundit of the Sunday supplements. She believed that her books would speak for her clearly enough over the years." Hyman insisted the darker aspects of Jackson's works were not, as some critics claimed, the product of "personal, even neurotic, fantasies", but that Jackson intended, as "a sensitive and faithful anatomy of our times, fitting symbols for our distressing world of the concentration camp and the Bomb", to mirror humanity's Cold War-era fears. Jackson may even have taken pleasure in the subversive impact of her work, as revealed by Hyman's statement that she "was always proud that the Union of South Africa banned The Lottery', and she felt that they at least understood the story".
In 1965, Jackson died of heart failure in her sleep, at her home in North Bennington Vermont, at the age of 48.
Terjemahan berbahasa Indonesia dari salah satu buku kumpulan cerpen Shirley Jackson, Dark Tales. Sayangnya versi terjemahan ini hanya memuat 7 cerpen dari 17 cerpen yang ada.
Aku suka gaya penerjemahannya yang cukup mudah untuk dipahami (walau sayang ada beberapa kesalahan pengetikan). Pesan dan nuansa cerita bisa tersampaikan dengan sangat baik. Membaca versi orisinil dan terjemahan sama-sama memberikan efek bergidik ngeri dan mind-blowing yang sama! Memang membaca karya Shirley Jackson tidak akan pernah membosankan. Bahkan walau sudah dibaca berulang kalipun, masih tetap membuat terkejut dan terkagum!
Cerpen-cerpen di kompilasi Paranoia ini kebanyakan lebih membahas tentang pergolakan psikologis para tokoh yang terlalu unik, dan tentu saja dengan ciri khas Shirley Jackson yang masih membahas tentang betapa menyeramkannya manusia itu sendiri daripada hantu. Akhir cerita yang penuh dengan plot twist bahkan dipadu dengan dark humor. Membaca awal-awal cerita memang terkadang terasa cukup membosankan, namun pembaca akan dibuat terkejut di kalimat akhir cerita. Shirley Jackson memang sangat jenius!
Adapun semua cerpen dalam kompilasi ini adalah favoritku. Namun Paranoia, Yang Dia Katakan Hanyalah Ya (All She Said was Yes), dan Sebuah Pikiran (What a Thought) adalah yang paling membekas bagiku. Sangat amat ku rekomendasikan!
Masih dengan kisah-kisah yang kerap membuat kening pembaca berkerut, mau tidak mau mempertanyakan kaitan antara satu hal dengan hal lainnya, Shirley Jackson dalam antologi Paranoia, menghadirkan 7 cerita pendek yang selalu butuh untuk dibaca berulang-ulang agar dipahami maksud tersiratnya.
^Kalimat pamungkas pada sinopsis bukunya ini tak urung membuat saya penasaran juga untuk memperkaya khasanah baca Shirley Jackson, setelah dulu baca novelnya tentang kakak adik suram di rumah gedong dan cerpen The Lottery yang pernah jadi tugas bacaan di zaman kuliah. Memang kesannya merepotkan ya kalau harus dibaca berkali-kali baru bisa paham, apalagi di zaman serba pengin instan begini, haha... tapi menurut saya, deskripsi itu agak hiperbolik. Dalam artian, sebenarnya tiap cerita di sini tidak seruwet benang kusut (apalagi bahasa penuturannya tergolong gamblang dan tidak muluk-muluk amat, yang juga mempermudah alih bahasanya)... asalkan pembacanya sudah siap mental masuk ke dunianya SJ yang absurd, tak terduga, dan pelit memberi jawaban atas 'kenapa' dan 'bagaimana'nya.
Yang paling penting, ini asyik dibaca. Benang merah (atau lebih bisa dibilang... benang hitam?) kisah-kisahnya ada pada karakter-karakter yang dibilang jahat tidak juga, dibilang tokoh antagonis juga bukan, tapi nyeleneh dalam berbagai bentuk:
-ada ibu-ibu sepuh terhormat yang hobinya merongrong orang-orang di kota kecilnya dengan surat kaleng (Kejahatan yang Tersembunyi); -anak perempuan yang sukses kabur dari rumah dan hidup santai sampai akhirnya (Louisa, Ibu Mohon, Pulanglah); -seorang mas-mas karyawan yang maunya cepat-cepat pulang ke istri tercinta, tapi malah dirongrong sosok misterius yang mengikutinya ke mana-mana (Paranoia); -seorang pengantin baru yang adem ayem menikahi laki-laki yang dicurigai sebagai pembunuh berantai (Bulan Madu Mrs. Smith); -seorang ibu rumah tangga berfantasi membayangkan suaminya itu orang asing (Orang Asing Yang Menawan); -seorang ibu-ibu harus membatalkan rencana liburan gara-gara tetangganya tewas kecelakaan, lalu menjagai anak tetangganya itu yang adem ayem saja dan berkomentar kalau dia sudah 'menerawang' kecelakaan itu (Yang Dia Katakan Hanyalah Ya); serta -seorang istri yang berdialog damai nan mesra dengan suaminya sambil berkhayal menghabisi sang suami tersebut (Sebuah Pikiran Yang Mengejutkan).
Sekali lagi, karyanya SJ memang ladang subur untuk dianalisis dari segi tema, simbolisme, dll. Namun, buat sekedar dinikmati juga sebenarnya amat bisa.. dengan asumsi kalau si penikmatnya doyan yang 'mendadak dangdut nyeleneh' dan bisa ngekek melihat sisi humor gelap dari masing-masing cerita. Sayang, hanya 7 cerita yang disadur di edisi ini (aslinya ada total 15 cerita dari kumpulan asal berjudul Dark Tales), tapi yang ada di sini pun sudah cukup mengenyangkan. Tiga favorit saya mungkin adalah Kejahatan yang Tersembunyi; Louisa, Ibu Mohon, Pulanglah; serta Bulan Madu Mrs. Smith, meskipun bisa dibilang semua cerita punya akhiran yang 'ekstra nendang'... dan bikin saya ketagihan pengin 'ditendang-tendang' lagi oleh mbak Jackson.
At first glance it's a weird story but then you analyze it and think about what's really happening. The depth of this is actually impressive. Theres a first layer of Mr. Beresford being following being someone. Then it goes to "is he just paranoid or is someone going after him?" This was also written near wwII where there was a lot of paranoia about "foreigners" and that plays into this story both from just the whole plot, to the man on the bus. There are also some good articles out there analyzing it that you should check out :D
I admit, I've listened to this because of Thomas Gibson. At least at first. The second time I listened for the story... and Thomas Gibson. This is a delight. I still haven't figured all of it out, but I'll definitely give it another listen.
Shirley Jackson does her minimalist horror very well here. The title “Paranoia” introduces a layer of doubt, although Jackson provides a compelling immersion into the thoughts of the character.