Jump to ratings and reviews
Rate this book

Semusim, dan Semusim Lagi

Rate this book
Berbekal sebuah surat yang datang pada suatu hari nan ganjil, seorang anak mendatangi kota asing demi bertemu ayah yang tak pernah dijumpainya sejak kecil. Selembar foto dan sebuah alamat memandunya menyusuri Kota S dan bertemu orang-orang yang tak pernah dia bayangkan: J.J. Henri, pria bertopi pet yang memberinya pelukan pertamanya; Oma Jaya, seorang nenek tetangga yang
meyakini suaminya telah bereinkarnasi jadi ikan mas koki; Muara, lelaki pertama yang membisikkan tentang cinta; Sobron, si ikan raksasa yang senang bertekateki—dan tentu saja, seorang ayah yang selama ini diam-diam selalu dia nanti.

“Jikapun masih ada hal yang kuinginkan: bertemu denganmu walau itu hanya untuk sedetik, dan kau memilih meludahi mukaku. Aku bahkan akan bercerita mengapa dulu aku harus pergi meninggalkanmu, jika kau ingin mendengarnya.”

***

“Dari sebuah sajak, seorang penulis memindahkan suatu baris dan menjadikannya suatu judul, lantas melanjutkannya dengan kalimat demi kalimat, yang akhirnya terbentuk menjadi roman ini. Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya.”

Seno Gumira Ajidarma

“...ditulis dengan teknik penceritaan yang intens, serius, eksploratif, dan mencekam.”

Dewan Juri Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012

240 pages, ebook

First published April 1, 2013

39 people are currently reading
542 people want to read

About the author

Andina Dwifatma

12 books61 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
133 (17%)
4 stars
293 (38%)
3 stars
270 (35%)
2 stars
60 (7%)
1 star
12 (1%)
Displaying 1 - 30 of 231 reviews
Profile Image for mollusskka.
250 reviews160 followers
October 6, 2016
Huaaaah, akhirnya bisa kelar baca buku ini!!! Masa baca ini aja perlu waktu sampe seminggu lebih? Padahal buku ini kan gak tebal-tebal amat. Dan bahasa juga temanya gak rumit dan serius banget sih sebenernya. Yah, aku memang lagi agak sibuk minggu ini... :p

Alasan pertama ambil buku ini tentunya karena sampulnya yang unik, terus judulnya yang cantik, dan terakhir karena ini ternyata novel pemenang Sayembara DKJ tahun 2012. Jadi aku gak sabar baca buku ini.

Buku ini sendiri bercerita tentang seorang perempuan bernama "Entah Siapa" karena dia nggak mau sebutin nama sepanjang cerita, tapi singkatnya dia adalah "Aku", yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Aku tinggal hanya bersama ibunya yang dingin dan memiliki alasan sendiri untuk tidak berkomunikasi dengan anak tunggalnya tersebut. Sementara ayahnya, Aku akan segera menemuinya di Kota S setelah hari itu ia mendapatkan selembar surat darinya. Di Kota S inilah kehidupan Aku yang secara sosial begitu tidak aktif, mulai mengalami perubahan drastis. Dari pertemuannya dengan orang kepercayaan ayahnya, J.J Henri, Muara, anak lelaki J.J Henri yang hampir kehilangan nyawa karenanya, dan yang paling menarik adalah pertemuannya dengan Sobron, ikan koki yang bisa bicara. Hingga akhirnya pertemuannya dengan ayah kandungnya sendiri.

Sebagai pemenang DKJ, aku memiliki harapan sendiri akan buku ini. Memang sih aku belum banyak baca karya-karya pemenang DKj, tapi kira-kira aku paham sedikit standarisasi novel pemenang DKJ. Untuk novel yang satu ini, intinya aku kurang menikmati. Aku bosan sama tema "orang gila" yang mengaku nggak gila seperti ini. Yang tak terima para pasien diperlakukan seperti bukan manusia. Masalahnya, aku baruuuuu aja selesai nonton film The Stonehearst Asylum di mana ada bagian terapi listrik gitu. Pokoknya aku udah keseringan nonton film tentang orang gila dan trik-triknya, termasuk menyembunyikan obat yang seharusnya dia minum di bawah lidahnya. Masalahnya, Aku ini kan baru aja masuk Rumah Putih tapi kok udah tahu trik itu? Jadi bete, deh. Dan aku pun kurang menikmati keberadaan Sobron, si ikan koki, yang mestinya jadi bagian paling menarik dari buku ini. Hal-hal surealis dalam buku ini, termasuk jalan ceritanya sendiri, aku rasa kurang mengikat. Intinya itu. Tambahan, aku nggak begitu merasakan apa yang Dewan Juri rasakan, seperti yang dikutip di sampul depan buku ini.

Dan menurutku buku ini terlalu banyak menyelipkan musik, judul buku, film, nama tokoh, dsb. Yah, mungkin karena aku udah baca 5 cm jadinya udah bosan untuk membaca yang seperti ini lagi, setidaknya untuk saat ini. Oke, mungkin karena Aku adalah orang yang penyendiri jadinya banyak membaca, nonton dan dengerin musik sehingga isi omongannya ya seperti itu. Setidaknya aku nyoba dengerin Miles Davis, makasih. Oh, tapi aku suka waktu penulis membicarakan soal Agama Bumi dan Agama Langit. Dan aku juga suka dengan ceritanya ketika Aku mulai digambarkan sedang menulis catatan harian. Itu jauh lebih nyangkut di hati. :D
Profile Image for Yuu Sasih.
Author 6 books46 followers
May 7, 2013
Dan akhirnya Sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2012 menghasilkan pemenang di ranah magical-realism/surreal-fiction. Yaaaaaaaaay!

Saya sangat suka novel-novel dalam genre ini, seperti novelnya Haruki Murakami, Kafka, Jostein Gaarder, etc. Saya menggilai genre ini, jadi tentu saja, begitu ada novel pemenang DKJ yang katanya dari genre ini, saya langsung memutuskan untuk beli seketika.

Novel ini bercerita tentang Aku, seorang anak tamatan SMA yang berencana melanjutkan kuliah di jurusan sejarah karena hobinya pada ilmu satu itu semenjak kecil. Tapi suatu hari, bersamaan dengan kedatangan surat penerimaannya di universitas tempatnya mendaftar, datang pula sebuah amplop yang ternyata berasal dari ayahnya yang belum pernah ditemuinya (atau sudah pernah, tapi tak diingatnya). Karena ingin menemuinya, akhirnya si Aku meninggalkan ibunya untuk pergi ke tempat ayahnya tinggal di kota S. Di sana, dia bertemu dengan orang-orang yang tak pernah dikenalnya, bersamaan dengan kejadian-kejadian aneh yang mulai terjadi di sekitarnya.

Sarat muatan (tokoh) filsafat, seperti Sartre, Nietzsche, dll. Ada banyak tokoh terkenal yang karyanya dipreteli dan dimaknai di dalam novel ini, meskipun mungkin membuat novel ini jadi terkesan sebagai filsafat yang dinovelkan, bukan novel yang difilsafatkan, dengan banyaknya quote-quote tokoh terkenal yang dimasukkan dan penjelasan-penjelasan yang (bagi saya) terkesan menggurui (atau sekadar menunjukkan bahwa yes, I've read all those books and listen all those songs I quoted while you don't). Juga ada berbagai macam simbolisasi yang, kalau bisa dimengerti, menjadi cues-cues kecil dari novel ini (terutama mas koki. Splendid!).

Sayangnya, ada satu hal utama yang menghalangi saya untuk menikmati buku ini secara utuh, yaitu tokoh utamanya. Mungkin ini masalah selera, atau mungkin karena saya terlalu terbiasa. Jika saya membaca novel dengan genre sejenis, entah itu Murakami, Kafka, atau Gaarder, saya selalu menemukan tokoh utamanya sebagai seseorang yang 'blank', alias hampa total. Tokoh utamanya benar-benar kosong dari prasangka ataupun penilaian macam apa pun terhadap dunia, kecuali observasi murni. Pun jika ada penilaian atau paradigma yang diberikan, biasanya itu datang dari pihak eksternal.

Saya, jujur saja, lebih nyaman membaca novel surreal/filosofis dengan tokoh macam itu. Bagi saya inti utama dari filosofi adalah dengan membiarkan semua hal menjadi dapat dipertanyakan (dan bukankah Sobron juga menyatakan demikian?). Jadi dalam novel dengan muatan filosofi (apalagi filsafat eksistensialis macam ini), bagi saya lebih pas jika karakter utamanya pun sudah disiapkan untuk berfilosofi. Dan yang membuat saya tidak menyukai tokoh utamanya adalah karena dia 'tidak siap berfilosofi'. Dia tidak benar-benar kosong (walau sepertinya diniatkan sebagai tokoh kosong) karena sejak awal dia sudah mempunyai sudut pandang tersendiri terhadap banyak hal (contohnya, terhadap orang-orang yang tidak mempertanyakan sejarah, terhadap rumah sakit jiwa, dll).

Kedua, tokoh Aku ini seorang pembaca buku. Ini murni selera pribadi, karena, aduh, saya sudah bosan sekali dengan formula pemikir ulung/perenung/filsuf yang adalah pembaca buku yang hobi mengurung diri di dalam rumah. Traveller juga bisa menjadi pemikir, penulis bisa jadi pemikir, pelacur juga bisa! (heck, bahkan Wittgenstein saja yang orang saklek matematika juga jadi filsuf/pemikir, bahkan disebutkan di dalam novel) Jangan salah, saya sendiri seorang kutu buku yang hobi mengurung diri di kamar untuk membaca, tapi yah, lagi-lagi ini masalah selera, karena buat saya formula filsuf/pemikir=kutu buku is kinda outdated for me. :/

Tapi saya akui, menulis novel filsafat, terutama eksistensialisme, itu susah . Jadi, tiga bintang untuk pencapaiannya. :D
Profile Image for Nufach.
49 reviews11 followers
January 29, 2015
Saya sepakat dengan resensi buku dari Satyo A. Saputro. Mengurai isi buku ini dengan sebutan "berisi". Berikut ulasannya saya posting kembali di sini.

Mengapa saya harus mempostingnya kembali? Satyo A. Saputro memberi nama tokoh "Aku" dengan nama "Nurul". Kebetulan? mungkin saja. Tapi terkadang, saya adalah anak gila itu. Menyendiri di sudut kelas dengan membaca novel ketika teman-teman sekelas sibuk mengerjakan PR Mate-matika atau Fisika.



***


Oleh Satyo A. Saputro.

Satu hal yang ingin saya katakan di awal sebelum saya bicara panjang lebar: bahwa membaca novel Semusim, dan Semusim Lagi (selanjutnya akan disebut: Semusim) karya Andina Dwifatma mengingatkan saya pada banyak hal. Salah satunya adalah pada novel Misteri Soliter karya Jostein Gaarder. Memang tidak persis sama dan bahkan ada banyak hal yang berbeda, tapi kemunculan Sobron (ikan mas koki yang bisa bicara itu) membawa ingatan saya akan kartu-kartu remi yang hidup di novel tersebut. Setidaknya: ada semangat surealisme yang serupa.

Sementara di sisi lain, entah sebuah kebetulan atau memang sesuatu yang disengaja, alur pembuka Semusim ini juga memiliki kemiripan dengan novel Jostein yang lain, yaitu Dunia Sophie: di mana pada suatu hari seorang gadis remaja menerima sepucuk surat misterius. Jika di Dunia Sophie, sang gadis menerima sepucuk surat yang berisikan sebuah pertanyaan, “Siapa kamu?” sementara tokoh di Semusim menerima sepucuk surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya.

Adegan di rumah sakit jiwa juga mengingatkan saya pada novel Veronika Decides to Die karya Paulo Coelho, di mana sang tokoh utama diberi berbagai macam obat yang tak perlu hingga keadaannya justru semakin memburuk dan pada suatu ketika melihat pasien lain yang sedang disetrum oleh petugas.

Lalu, apa yang salah? Tidak ada. Saya cuma mau bilang, bahwa novel ini mengingatkan saya pada banyak hal, termasuk pada seorang kawan sekelas saya waktu SMA yang gemar menyendiri dan tak suka bergaul dengan banyak orang. Ketika itu, sementara gadis-gadis lain suka membaca majalah remaja semacam Aneka Yess! atau Kawanku, kawan perempuan saya itu lebih suka membaca majalah Misteri dan Liberty. Mungkin, dia memang tidak benar-benar memiliki masalah kejiwaan seperti tokoh ‘aku’ di novel Semusim, tapi setidaknya (saat itu) saya dan kawan-kawan yang lain menganggapnya begitu. Untuk itulah, mulai dari sekarang, saya (secara semena-mena dan tanpa persetujuan penulis) akan menyebut tokoh ‘aku’ dengan nama kawan saya itu: Nurul.

Tentu saja tindakan kurang ajar ini boleh digugat. Namun, saya terinspirasi sang tokoh ‘aku’ di novel Semusim yang gemar mengganti nama orang lain yang dirasanya kurang menarik atau menyematkan nama sesukanya ke orang yang tidak dia kenal. Lihat saja bagaimana dia menyebut ayahnya sebagai ‘Joe’, hanya karena nama sang ayah ternyata tidak sekeren yang dia bayangkan, sementara semua lelaki hebat dan keren yang diketahuinya (pasti) bernama Joe (hlm. 58). Juga, bagaimana dia menyebut seorang polisi wanita dengan nama ‘Maria’, karena perempuan itu memiliki wajah sedih seperti ibu yang anaknya disalib orang (hlm. 146). Toh, kata Barthes: ketika sebuah teks terlahir, maka sang pengarang sudah ‘mati’, bukan?

Secara garis besar, ide dasar novel Semusim ini terbilang sederhana: yaitu tentang kondisi kejiwaan seorang remaja perempuan yang tak pernah mengenal ayahnya sejak kecil. Namun, berkat kepiawaian penulis dalam bertutur dan memainkan alur, ide dasar yang sebenarnya sederhana itu menjelma sebuah kisah yang menarik dan lumayan menyenangkan untuk diikuti.

Diceritakan di novel Semusim, saat mempersiapkan diri untuk memulai kuliah di jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta, Nurul menerima sebuah surat dari seseorang yang mengaku sebagai ayahnya. Memenuhi undangan sang ayah, dia meninggalkan rumah ibunya untuk kemudian tinggal di sebuah rumah yang dipersiapkan ayahnya di kota S. Di kota tersebut, Nurul bertemu sejumlah hal baru yang mengubah hidupnya, mulai dari jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan seorang mahasiswa bernama Muara, hingga bertemu seekor ikan mas koki yang bisa bicara.

Secara asyik, Andina memasukkan fakta-fakta di dunia nyata yang jarang diketahui orang menjadi bagian dari isi cerita. Lihat saja halaman 24 yang membahas tentang larangan berambut gondrong bagi para lelaki yang pernah diberlakukan pemerintah Indonesia pada tahun ‘70-an. Juga, bagaimana Andina menyisipkan referensi tentang buku atau musik bagus di dalam kisahnya. Menurut saya, itu menyenangkan, tapi seperti hal-hal lain yang ada di dunia: tak ada kesenangan yang sempurna.

Novel dan pembacanya ibarat sepasang kekasih yang menjalin hubungan cinta. Dalam sebuah hubungan, satu atau dua kesalahan kecil tentu bisa dimaklumi dan bahkan dianggap sebagai semacam bumbu penyedap. Namun, jika kesalahan-kesalahan kecil itu muncul terlalu sering, tentu saja tak sehat untuk masa depan kedua belah pihak. Begitu juga yang terjadi ketika saya membaca novel Semusim ini.

Sebelum bicara lebih lanjut, mungkin perlu dijelaskan bahwa apa yang saya sampaikan sama sekali bukan didasari keinginan untuk mencari-cari kesalahan. Bahwa semua yang nanti akan saya kemukakan adalah murni apa yang saya temukan. Saya harap kita semua bisa bersepakat, bahwa mencari dan menemukan adalah dua proses yang sama sekali berbeda.

Di halaman 42, Andina menulis:

Satu hal paling lucu tentang orang dewasa adalah: kau bisa mengatakan hal paling konyol atau kebohongan paling musykil dan mereka tidak akan tertawa, bahkan memercayai apa yang kau katakan, selama kau bicara dengan gaya yang teramat meyakinkan.

Tokoh Nurul di novel ini mungkin benar, tapi sepertinya justru Andina yang lupa: bahwa yang memiliki sifat ‘lucu’ semacam itu sesungguhnya bukan hanya ‘orang dewasa’, tapi juga ‘pembaca’. Sebagai penulis, siapa pun punya hak mutlak untuk berbohong sesuka hati, asalkan ia tampil meyakinkan. Salah satu contoh penggambaran yang tidak meyakinkan adalah yang tertulis di halaman 43, di mana Nurul menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan JJ Henri, seorang karyawan sekaligus kawan dekat sang ayah:

Mobil yang dikendarai JJ Henri adalah Peugeot berwarna biru tua. Aku selalu suka mobil Peugeot karena mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang, sehingga dengan plat mobil yang terletak di tengah-tengah bemper, ia seperti kumbang besar yang sedang nyengir.

Begini. Penulis kisah fiksi itu tak ubahnya tukang kibul. Ia boleh ngibul sesuka hati dengan menceritakan kisah yang paling absurd atau paling surealis, tapi (sekali lagi) intinya hanya satu: ia harus tetap meyakinkan, agar pembaca-pembacanya tersihir dan percaya dengan kibulannya. Sementara itu, yang saya temukan dalam kalimat-kalimat yang saya kutip tadi, tidak mencerminkan teori itu.

Sebagai produsen mobil, Peugeot berdiri sejak 1882 di Prancis. Sejak kelahirannya, tentu sudah berbagai jenis dan model mobil ini yang dilempar ke pasaran. Karena itu, jujur saja saya sedikit bingung: mobil Peugeot jenis apa yang sesungguhnya dikendarai JJ Henri—yang konon ‘mungil dan punya lampu depan seperti mata binatang’? Kebetulan saya bukan penggemar otomotif dan satu-satunya mobil Peugeot yang pernah saya tebengi adalah Peugeot 305 milik seorang kawan, yang menurut saya tidak lebih mungil jika dibanding mobil-mobil merek lain. Bahkan ketika saya nekat mencari-cari referensi di Google, ternyata saya tidak pernah menemukan alasan bahwa ‘sepasang lampu depan mobil Peugeot lebih tampak menyerupai mata binatang’ atau ‘lebih tampak seperti kumbang yang sedang nyengir’ dibanding mobil lain.

Tentu saja sebenarnya hal ini bisa diselamatkan andai Andina lebih detail dan spesifik dalam menyebut jenis dan tipe mobil yang dimaksud, atau memilih jenis mobil lain yang lebih memiliki karakter khas, seperti Cooper atau Morris yang memang berukuran mungil, atau Mercedes-Benz SLS AMG yang memiliki pintu layaknya sepasang sayap rajawali. Namun, tidak. Andina memilih mobil Peugeot berwarna biru tua. Itu saja.

Mungkin hal ini memang terdengar remeh dan sederhana. Namun, wajib diingat, bahwa tugas seorang penulis adalah terus-terusan memikat hati pembaca. Seorang pembaca punya kewenangan mutlak. Begitu dia merasa kecewa dan sadar sedang dikibuli dengan cara yang tidak meyakinkan, selalu terbuka kemungkinan dia akan menutup buku dan tak melanjutkan proses pembacaan. Padahal, kita sama-sama tahu, tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang penulis ketimbang sebuah karya yang tidak dibaca habis.

Menulislah buruk, lalu jadikan bagus saat proses penyuntingan. Saya pernah mendengar petuah ini dari seorang penulis handal (yang tidak saya ingat namanya). Jika kita pernah berusaha melahirkan sebuah karya tulisan, kita akan tahu bahwa ini adalah petuah yang sungguh bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketika kita sudah berniat untuk melahirkan sebuah tulisan bagus sejak awal mulai menulis, hampir bisa dipastikan bahwa tulisan bagus yang kita gadang-gadang itu hanya akan berhenti di pikiran dan tak akan pernah tercipta. Sebaliknya, jika kita nekat menulis tanpa pernah benar-benar memikirkan baik atau buruk, tulisan itu akan sungguh-sungguh bisa dibaca (meski mungkin buruk) dan selanjutnya bisa diperbaiki menjadi tulisan bagus (dengan penyuntingan yang bisa saja dilakukan berkali-kali). Lalu, kapan sebuah proses penyuntingan itu harus dihentikan? Adalah saat segala sesuatunya sudah tampak sempurna dan tak ada lagi celah yang bisa membuat pembaca tak yakin akan kisah yang kita ceritakan.

Secara membabi buta saya menuduh bahwa Andina memiliki masalah dengan persoalan kapan seharusnya berhenti menyunting, hingga akhirnya hal-hal remeh yang seharusnya bisa diperbaiki hanya dengan menambahkan atau menghapus atau mengganti satu kata dengan kata lainnya, justru menjadi pengganggu yang tak perlu. Salah satu contohnya adalah yang tertulis di halaman 44:

Setelah meletakkan tas punggung di jok belakang dengan hati-hati, aku duduk di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. JJ Henri memasukkan sekeping CD dalam stereo mobilnya. Sebentar kemudian terdengar alunan musik blues dan seorang kulit hitam menyanyi dengan nada memilukan:

Beberapa tahun lalu, sempat muncul kontroversi terkait metode aktivasi otak tengah, sebuah pelatihan berbiaya mahal yang dikhususkan bagi anak-anak kaum mampu. Dalam pelatihan yang belakangan terbukti penuh tipuan itu, anak-anak diajari teknik mencium warna: sebuah ilmu tingkat tinggi yang konon diadopsi dari kemampuan lumba-lumba (yang sebenarnya andaikan benar-benar bisa dipelajari manusia, tak pernah saya pahami apa fungsinya di kehidupan nyata). Dengan mata tertutup, sang anak yang sudah diaktifkan kemampuan otak tengahnya (yang konon secara medis, ‘otak tengah’ sendiri juga sekadar mitos) diharuskan bisa menyebutkan warna dari sebuah kertas yang ditempelkan di depan hidungnya. Dan rupanya, si Nurul di novel ini juga memiliki kemampuan yang kurang lebih sama: melihat suara. Dia bisa tahu apakah seorang penyanyi itu berkulit hitam atau tidak hitam hanya dengan mendengar suaranya. Mungkin saja hal ini bisa dibantah dengan pernyataan bahwa: mayoritas penyanyi blues adalah berkulit hitam atau orang kulit hitam punya karakter suara yang khas. Namun, tentu saja bantahan itu hanya sia-sia belaka.

Sebenarnya saya memiliki sekian catatan tentang hal remeh-temeh yang bisa saya permasalahkan di sini. Salah satunya adalah inkonsistensi kondisi sel di kantor polisi yang sempit berjeruji dan berisi sejumlah benda, termasuk di antaranya kasur tipis dan bantal yang belum-belum sudah menguarkan bau apak (hlm. 151). Sebuah kasur tipis, ditulis begitu. Namun, tanpa diduga, dalam penjelasan-penjelasan sesudahnya (salah satunya di hlm. 158), disebut bahwa di dalam sel itu ada sebuah dipan (benda yang tidak pernah ada dalam penjelasan sebelumnya).

Belum lagi perkara metafora yang terkadang terdengar berlebihan. Lihat saja yang tertulis di halaman 107:

Kepalaku berat dan mataku berkunang-kunang. Rasanya seperti ada rombongan gajah berlari-lari di dahiku.

Atau yang tertulis di halaman 116:

Kepalaku terasa sakit seperti ditusuk-tusuk dengan garpu panas.

Bahwa tak pernah ada batasan yang pasti terkait pemakaian metafora, itu benar. Dan mungkin banyak di antara kita yang pernah merasakan pening yang sungguh keterlaluan. Namun, menurut saya, dahi yang diinjak-injak sekumpulan gajah atau kepala yang ditusuk-tusuk dengan garpu panas sepertinya bukan perumpamaan yang tepat untuk kondisi sakit kepala (dan bahkan terdengar agak terlalu mengerikan). Namun, tentu saja saya tidak akan berlarut-larut dengan mengetengahkan kesalahan-kesalahan kecil semacam itu. Sekali lagi, saya tidak mau disebut-sebut sedang mencari-cari kesalahan orang lain: meski, jujur saja, saya sebenarnya mendapatkan sedikit kebahagiaan ketika melakukan itu.

Beruntung, kesalahan-kesalahan remeh itu diselamatkan dengan cara bertutur yang asyik. Andina sudah tidak memiliki masalah dengan hal teknik bercerita atau mengatur alur. Hal itu cukup membantu, membuat saya sebagai pembaca tak begitu menganggap serius kesalahan-kesalahan kecil yang sudah saya sebutkan tadi. Meski begitu, menurut saya ada satu lubang besar hingga agak sulit untuk ditambal dengan apa pun, yaitu penokohan sang tokoh utama sendiri.

Nurul di novel ini adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang sejak kecil memendam banyak tanda tanya di otaknya. Disebutkan bahwa dia adalah seseorang yang begitu ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu. Konon, ada sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatnya (yang akhirnya membawanya untuk mendaftar ke jurusan Sejarah di sebuah universitas swasta). Ketika kecil, setiap kali menemukan benda-benda baru, maka yang akan muncul pertama di otaknya adalah: siapa yang pertama kali menemukan dan memberinya nama?

Seperti yang dia ungkapkan di halaman 10, bagaimana ketika dia berkenalan dengan benda bulat dengan gagang di pinggirnya dan bisa dipakai untuk minum (yang kemudian dia kenal sebagai gelas), maka yang muncul di otaknya adalah: siapa yang pertama kali memiliki ide untuk membuat gelas dan bagaimana ide itu datang? (Sekadar catatan: sebenarnya saya lebih mengenal alat minum yang disebut tadi, yang konon ada gagangnya itu, sebagai cangkir. Namun, sudahlah, mungkin Nurul dan saya memang dibesarkan dalam dua budaya yang sama sekali berbeda.) Juga, bagaimana Nurul kecil yang tak begitu berminat ketika diajak bermain petak umpet. Menurutnya petak umpet itu sia-sia semata, sebelum kita mengetahui siapa yang pertama kali memiliki ide tentang permainan tersebut.

Nah, di sinilah saya menemukan sebuah lubang yang agak mengganggu. Adalah sesuatu yang menarik bagi saya, ketika ada seseorang yang demikian kritis dan dipenuhi rasa ingin tahu tentang sejarah benda-benda dan awal mula segala sesuatu, tetapi di sisi lain justru abai terhadap sejarahnya sendiri. Di halaman 20 dikatakan:

Seumur hidup aku hanya tinggal bersama ibuku, berpura-pura bahwa kata ‘Ayah’, ‘Bapak’, dan sejenisnya tidak ada dalam kamus, dan aku merasa baik-baik saja.’

Seperti yang saya bilang, ini adalah sesuatu yang menarik (atau lebih tepatnya: janggal).

Descartes pernah bilang: cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada. Gagasan tentang aku-diri-ego itu jugalah yang melandasi ajaran Buddha tentang vipassanā, praktik menyadari pikiran untuk mencapai kondisi lepas dari penderitaan-annata-tanpa aku. Artinya adalah, bahwa sesungguhnya eksistensi diri itu berangkat dari pikiran. Segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ ketika pikiran bergerak, dan sebaliknya: menjadi ‘tidak ada’ ketika pikiran berhenti. Ketika pikiran manusia mulai bergerak, maka yang kali pertama muncul adalah konsep ‘aku’—untuk kemudian membuat sebuah dinding tinggi yang membatasinya dengan ‘bukan aku’. Seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri, ‘aku’ yang lahir dari pikiran itu membuat sebuah pertanyaan pertama dan utama: siapa aku—dari mana kemunculanku? Hal ini bisa dibilang sebagai pikiran yang mempertanyakan pikiran. Untuk itulah, adalah sesuatu yang agak ganjil ketika tokoh Nurul bersedia repot-repot mempertanyakan sejarah benda-benda dan hal remeh yang ‘bukan aku’ semacam gelas dan permainan petak umpet, tetapi di lain sisi justru sama sekali tak mempertanyakan tentang ‘aku’: siapa sebenarnya ayahku, atau pertanyaan yang lebih besar: dari mana kemunculanku?

Apakah Nurul seorang religius atau tidak religius itu bukan sesuatu yang penting untuk dijawab. Yang jadi pertanyaan adalah: bagaimana bisa seorang Nurul yang terlahir dengan kapasitas otak berlebih untuk mempertanyakan asal muasal segala hal, justru sama sekali tidak mempertanyakan asal muasal tentang keberadaan dirinya sebagai manusia. Di halaman 187 hanya dijelaskan secara singkat, bagaimana Nurul cuma menggeleng ketika ditanya apa agamanya dan mengatakan bahwa ibunya tak pernah mengajarinya tentang Tuhan sehingga dia hanya belajar sendiri dari kitab suci. Tak ada penjelasan lebih lanjut tentang fase itu—tak ada bocoran kenapa dia akhirnya hanya percaya Tuhan kadang-kadang. Di titik inilah, saya merasakan suatu ketidakwajaran yang lumayan mengganggu.

Sejumlah pertanyaan yang sepertinya akan lebih baik jika dijawab ternyata juga dibiarkan mengambang begitu saja hingga akhir cerita. Alasan kenapa ayah dan ibu tokoh Nurul berpisah, misalnya. Atau berapa sebenarnya usia Nurul ketika Joe meninggalkannya? Tiga bulan atau 1,5 tahun? Lalu, apa hubungan novel ini dengan puisi Surat Kertas Hijau karya Sitor Situmorang yang ditulis di sampul belakang?

Jika ada yang bertanya kepada saya tentang novel ini, saya akan menjawabnya secara jujur: saya suka (meski sebenarnya tak pernah benar-benar membuat saya jatuh cinta). Ibarat sebuah bangunan rumah, novel ini dibuat dari bahan-bahan yang bermutu, dengan teknik pengerjaan yang mumpuni, dan desain yang indah. Namun, sayang, ada kekurangtelitian yang menyebabkan sejumlah paku masih menonjol di beberapa bagian sementara beberapa bagian lainnya justru lupa untuk dipaku. Cat yang kurang rata dan berlepotan juga tampak di beberapa sudut kamar, sementara ruangan utama yang seharusnya diberi jendela yang cukup lebar justru hanya diberi ventilasi kecil, hingga akhirnya agak terlalu gelap dan pengap. Namun, secara keseluruhan, rumah ini lumayan menyenangkan untuk dihuni. Sekarang masalahnya, tinggal bagaimana kita pintar-pintar memilih kawan serumah. Begitu saja.

Rawamangun, 29 September 2014

*Ditulis sebagai pemantik diskusi novel “Semusim, dan Semusim Lagi” karya Andina Dwifatma yang digelar oleh Para Penggerutu, Sarekat Pembenci Karya Buruk, dan Jumpa Lagi Book Club pada 30 September 2014.
Profile Image for Sadam Faisal.
125 reviews19 followers
September 16, 2017
Tidak terlalu istimewa & cenderung datar datar aja, tapi selipan humornya lumayan bikin senyum2 lah.

Suka sama kutipan

"Kafir! Kafir! PKI kamu, ya?" - Bu Berta, hal. 184

"Atas nama demokrasi, pura-puranya setiap orang dapat bebas mengemukakan gagasan. Tapi, jika gagasanmu tak sesuai harapan orang, maka kau bersalah" hal. 184

Masih relevan sama yg lagi rame di Indonesia sekarang sih.
Profile Image for Dodi Prananda.
Author 18 books41 followers
May 1, 2013
Tidak banyak novel yang dapat membuat saya betah untuk saat ini, beberapa ada yang berhasil: Nayla (Djenar) dan Na Willa (Reda Gaudiamo). Dan, buku ini masuk kategori berhasil. Untuk membaca teks dengan baik, kadang, saya merasa penting membaca pengarangnya. Kebetulan, Mbak Andina salah satu Endorser buku Waktu Pesta yang pernah saya jumpai langsung di acara #GatherinGPU, beberapa gambaran tentangnya muncul di benak saya (cantik, pintar, cerdas berkomunikasi, pemikiran yang menarik dst). Teks yang ia tulis juga tak jauh dari bagaimana sosok personalnya: benar-benar cerdas! Banyak muatan dan wawasan yang bahkan saya harus bertanya pada Om Google untuk keterhubungan, beberapa lain saya cerna dengan nikmat sebagai wawasan baru, walau pun kadang saya kerap merasa, terlalu banyak (tidak proposional) menjejali teks dengan subtansi-subtansi yang sarat wawasan terkesan 'pamer pengetahuan' aku pengarang, bukan lagi aku tokoh. Tapi toh itu tidak masalah, karena boleh jadi, memang kebutuhan (alasan) penguatan karakter.

Novel ini punya lem, sehingga ketika memegangnya, pantat dan tangan yang menjepit buku ini terasa menempel terus. Enggan melepaskan. Suspense yang dibangun memikat. Dan beberapa lainnya adalah uniknya gaya Kak Andina: misal, melakukan repitisi kata dan..dan..dan.. Unik lainnya, identitas dibuat samar (namaku).


Sementara itu, di halaman 112 dada saya mulai berdebar membacanya. Pengarang mulai menunjukkan taring nakalnya. Di beberapa bagian, juga ditunjukkan tak ada lagi istilah 'malu' untuk menuliskan kata-kata semacam: penis atau vagina, cium dan seterusnya. Berani, itu komentar saya!

Secara keseluruhan, novel ini menarik. Eksekusinya lancar, berhasil dan memesona. Saya jatuh cinta pada novel yang memang layak juara ini. Untuk Kak Andina, semoga lain waktu kita bisa diskusi panjang ya, dan kita sama-sama mendoakan agar bisa menulis dalam usia yang panjang...

Sukses!
(Salam untuk Sobron)
Profile Image for Anastasia Cynthia.
286 reviews
February 15, 2016
“Jawabannya tertiup di angin. Itu bisa bermakna bahwa jawaban yang kaucari telah begitu jelas, seolah-olah ada di depan wajahmu seolah-olah ada di depan wajahmu sedari tadi, hanya kau tak menyadarinya. Kebanyakan manusia seperti itu. Karena sibuk emncari di luar, ia tidak menyadari apa yang dicarinya sudah ada dalam diri sendiri.” –Semusim, dan Semusim Lagi, hlm. 102



Sehari setelah lulus SMA, aku menerima dua lembar surat. Yang satu adalah surat dari universitas swasta tempatku mendaftar sebagai mahasiswa jurusan Sejarah. Yang satu lagi adalah surat beramplop cokelat, dengan label namaku di bagian depan, namun tanpa nama pengirim di bagian atas.

Sayangnya, hari itu bukan hari yang tepat untuk bermain tebak-tebakan. Isinya membuatku mengerjapkan mata. Dari deretan kata yang tertulis di dalamnya. Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang mengaku sebagai ayahku. Dan dari mana aku tahu itu benar?

Laki-laki itu tinggal di kota S. Di dalam amplopnya ia juga menyertakan kartu nama seorang teman, yang mana aku bisa menghubunginya jika ingin bertemu dengan ayah.

Semenjak kedatangan surat itu, aku selalu penasaran dengan sosok ayah. Aku bertanya ke ibu, tapi ibu malah marah dan menjerit kesetanan. Ia ingin aku enyah. Raib dari kehidupannya, setelah pertanyaanku mengenai kota S, kota tempat tinggal ayah.

Aku dijemput J. J. Henri, bawahan ayah, seperti yang tertera di kartu namanya. Ia membawaku ke sebuah rumah, yang katanya dibeli ayah beberapa tahun lalu. Lantas, mempertemukanku dengan Muara, putranya yang mengambil kuliah arsitektur di luar kota.

Muara punya wajah yang mulus. Dan aku menyukainya. Beberapa kali kepala kami bersentuhan saat sedang berbaring, beberapa kali aku merasa sangat ingin menciumnya. Kala itu, ketika Muara menciumku dengan tidak sengaja. Lantas, hal-hal tidak sengaja lainnya pun terjadi padaku, termasuk ketika tak sengaja menemukan Sobron, si ikan mas koki perliharaan Oma Jaya, duduk di meja makanku.



Sebelumnya saya ingin berterima kasih dahulu kepada Kak Raafi dari blog buku Bibliough karena sudah meminjamkan bacaan liar ini. Seperti yang sudah saya katakan tentang ‘liar’, ada dua pilihan tentang ulasan ini, membacanya atau merasa terkejut seperti saya yang serta-merta terobsesi dengan ilustrasi ikan mas koki di sampul depannya. Pada mulanya saya enggan membocorkan kisah menarik ini sehingga pembaca lain pun memiliki impresi seperti saya sebelumnya.

Namun, mendengar pertanyaan seorang rekan mengenai “ikan mas koki” yang duduk di bangku taman itu. Apakah ikan itu adalah tokoh yang penting? Saya pun menjadi tertarik untuk menulis sedikit ulasan serta mengutip penggalan kalimat yang pernah saya dengar pada adaptasi “Pintu Terlarang” karya Sekar Ayu Asmara, setiap orang memiliki pintu terlarang di dalam pikirannya. Dan sebagaimana hal itu terjadi, aku pun diceritakan memiliki “ikan mas koki”-nya secara pribadi, yang mampu menyetirnya untuk melakukan hal yang tidak patut ia lakukan.

“Semusim, dan Semusim Lagi” bukan ditujukan untuk pembaca yang tidak sabar. Teknik berceritanya mungkin tidak terlalu ramah bagi pembaca dalam negeri, bukan termasuk sastra, tapi lebih kepada gaya menulis yang sangat eksploratif, sehingga sering kali kebingungan menebak, apa yang sesungguhnya menjadi pangkal dan ujung cerita ini dapat digagas. Persepsi saya mengenai buku ini mirip seperti ketika membaca antalogi cerpen Maggie Tiojakin, “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa”, yang mana tidak ada tema yang konkret yang menjadi landasan sebuah cerita dapat dibangun. Tokoh-tokohnya muncul secara acak, begitu juga konfliknya yang muncul tanpa sebuah latar belakang yang jelas.

Baca selengkapnya di: https://janebookienary.wordpress.com/...
Profile Image for Uci .
617 reviews123 followers
May 14, 2013
Bayangan punya banyak kawan yang menelepon hanya untuk mengobrol membuatku meneteskan keringat dingin. (hal.87)

Mana mungkin kita nggak jatuh hati sama tokoh utama yang bicara seperti itu? Gadis aneh dengan pikiran-pikiran nyeleneh yang seolah tak punya tempat di dunia, bahkan tak yakin harus berbuat apa dengan dirinya sendiri.

Saya suka sindiran-sindiran yang muncul di sana-sini, seperti: Kukira alasan pertama, dan utama, anak-anak wajib menghormati orangtuanya, adalah karena orangtualah yang membayar internet mereka. Atau bapak-bapak dari komisi perlindungan anak yang memaksa dipanggil Kak padahal sudah tua dan beruban.

Saya kurang suka 'pengetahuan' yang diumbar penulis dengan fakta-fakta tentang musik dan buku yang disukai si tokoh, dan para filsuf yang 'dikenal' si tokoh. Saya jadi merasa kayak digurui.

Saya suka orang-orang misterius di sekeliling si tokoh, seperti ibu dan ayahnya sendiri. Tapi sampai buku selesai saya merasa belum mengenal mereka. Atau memang seharusnya begitu ya?

Saya juga suka cara penulis bertutur dan bercerita, tidak banyak kata-kata terbuang tanpa makna. Kecuali ya pas bagian 'menggurui' tadi.

Jadi, saya suka buku ini, tapi ternyata tidak sebegitu sukanya seperti perkiraan awal saya saat membaca pujian dari orang-orang yang sudah membaca buku ini. Tapi saya senang karena sudah memilih untuk tidak melewatkannya.
Profile Image for LostaMasta.
3 reviews
April 27, 2013
Selesai membaca dlm waktu yg tidak terlalu lama. Dan sekarang saya masih mencari dimana sih letak keunggulan ini buku sampe jadi juara satu sayembara novel DKJ?

“...ditulis dengan teknik penceritaan yang intens, serius, eksploratif, dan mencekam.”
Dewan Juri Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012

kok malah menurut saya penceritaannya kemana-mana, dan menyajikan teori2 yang terkesan dangkal, sekilas, tempelan, dan gak nyambung. (atau justru ketidaknyambungan ini adalah tema utamanya? karena memang akhirnya... *spoiler*)

Satu lagi, sebagai seorang coffee enthusiast, pemaparan tentang Muara yang sedang membuat kopi dari french press terasa sangat salah, sepertinya penulis perlu kenalan lebih dekat dengan alat2 kopi.

Hal 77, "... Pertama2 Muara merebus air dg teko yg mengeluarkan siulan bila sudah mendidih. Lalu ia menakar dua sendok makan bubuk kopi, dan menekannya dg tongkat berujung bulat pipih. Air naik, bubuk kopi perlhan tercampur, dan proses ini diulang beberapa kali..."

Wah, make french press kayak pompa angin manual saja. Hehehe... yg dibilang bukan begitu cara menggunakan french press yg benar. Coba browsing lagi deh...

Overall, tidak terlalu menghibur, boro-boro menginspirasi...
Profile Image for ndari.
100 reviews
April 30, 2013

Ketika saya menemukan buku ini di toko buku, saya menganggap semua hal yang terlihat dalam tampak luar buku ini adalah kontradiktif. Absurd. Bagaimana tidak? Kita lihat saja kavernya. Apa coba, hubungan musim dengan ikan mas koki? Gimana pula ceritanya ikan mas koki bisa duduk dengan santainya?

Ketika saya membalikkan buku ini untuk mencari sinopsis yang umumnya mudah ditemukan, lagi-lagi saya bingung. Saya tidak menemukan sepatah kata pun yang bisa menjelaskan plot buku ini. Malah, saya menemukan kata-kata Seno Gumira Ajidarma dan puisi Sitor Situmorang.

Baiklah, saya pikir. Lebih baik saya langsung membaca saja buku ini, daripada sibuk menerka-nerka.

(lebih lengkap baca di sini)
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
October 18, 2015
Akhirnya selesai juga. Setelah dibawa plesiran dari Tangerang ke Solo sampai ke Tangerang lagi, baru selesai. Walaupun alurnya lambat dan paragrafnya panjang berbobot layaknya kisah klasik, aku bisa menikmati buku ini jengkal demi jengkal.

Setelah menebak-nebak bagaimana akhir kisahnya, aku seperti dibawa turun ke palung bumi lalu tiba-tiba diangkat ke langit cepat-cepat. Tebakanku sangat salah! Tak pelak menjadi pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ.

Selengkapnya: http://bibliough.blogspot.co.id/2015/...
Profile Image for Arif Abdurahman.
Author 1 book71 followers
March 24, 2018
Apa novel kontemporer harus berupa kumpulan weird fact, kutipan-kutipan filsuf, berbagai referensi ke kultur pop (usahakan yg lawas), dan selipan blasphemy? Enggak ada yg salah soal ini, banyak yg melakukan, saya suka para snob macam Murakami dan Kundera. Saya sudah lama pengen baca novel ini, dan dengan ekspektasi tinggi, ternyata enggak terlalu istimewa dan datar-datar saja. Narasinya agak terburu-buru, dalam hal ini Ziggy lebih unggul.
Profile Image for Syafiq Segaf.
95 reviews34 followers
January 4, 2014
Ini bukan buku yang nyaman dibaca. Alasannya lebih karena plot yang makin lama makin muram serta penggambaran karakter dan setting yang surreal dan intens, dan bukan karena bahasa yang buruk.

Saya bersyukur membaca buku ini karena tema yang diambil beda dari buku-buku remaja lokal lain yang kebanyakan tentang romansa, dan bahasa yang digunakan benar-benar segar (tidak secara harfiah), efisien dan efektif. Ditulis dari sudut pandang orang pertama, kalimat demi kalimat yang berisi pikiran si Aku mampu menggambarkan karakternya yang sangat sedikit mengeluarkan emosi. Emosi yang tidak berada dalam dialog, semua ditulis datar. Itu justru menambah kesan intens dan membuat karakter Aku makin terasa disturbing.

Tokoh Aku (dalam buku namanya sama sekali tidak disebutkan), seorang gadis berusia 17 tahun yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi berbagai macam masalah yang mengganggu perkembangan jiwanya sebagai remaja. Itu membuat ia dipaksa oleh situasi untuk berpikir jauh lebih dewasa daripada teman-temannya dalam banyak hal, namun ia tetap tidak bisa mengkhianati ketidakmatangan usianya dalam banyak hal lain. Dia hidup dengan ibunya yang sangat jarang berkomunikasi dengannya, sementara ayahnya meninggalkannya sejak ia bayi. Konflik utama dalam buku ini bermula saat ia menerima surat dari ayahnya yang mengajak bertemu, dan karakter Aku pun meninggalkan rumahnya untuk tinggal di rumah ayahnya di mana ia bertemu dengan karakter-karakter lain. Dari situ plot berkembang.

Banyak referensi mengenai buku, musik, dan sejarah yang mungkin tidak banyak diketahui orang yang biasanya hanya membaca cerita pop (baca: saya). Referensi-referensi tersebut tidak disajikan dalam gaya info dump yang membosankan dan justru sebaliknya: padat dan efektif, dan berguna juga dalam menceritakan minat dan cara berpikir Aku sehingga bisa sedikit demi sedikit menggambarkan karakternya.

Referensi-referensi itu jadi nilai plus sebagaimana penjelasan di atas, namun sekaligus jadi nilai minus, karena dari review-review yang saya baca, banyak yang mengira bahwa itu tidak lebih dari self expression Andina Dwifatma saja sebagai penulis. Dan mungkin mereka benar, karena memang terkesan seperti itu. Agak bikin off-guard saat sedang mengikuti alur cerita kemudian ada info random yang tiba-tiba nyelonong seolah penulisnya sedang pamer pengetahuan yang nggak nyambung dengan isi dan tone cerita.
Profile Image for Prasdenny.
26 reviews4 followers
May 4, 2018
...
SEMUSIM, DAN SEMUSIM LAGI
Andina Dwifatma

Hal yang paling menarik dari novel ini adalah gaya berceritanya yang sangat mudah dipahami. Pembaca akan terpaku sejak kalimat pertama dan terus menyusuri petualangan kata tanpa merasa jenuh. Tiba-tiba saja sudah habis satu bagian, berlanjut bagian baru, dan sampai di lembaran terakhir.

Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang anak remaja di tengah keluarga yang terpecah. Anak ini memiliki ketertarikan terhadap sejarah. Ia suka membaca banyak buku, namun bersikap pendiam.

Cerita ini diawali dengan suasana tegang, sedih, was-was, penasaran, bahagia, penuh cinta, absurd, kesedihan lagi, dan berakhir pada ujung yang haru.

Dinamika rasa itu diracik begitu simultan sehingga terasa seperti ombak yang menghantam. Perasaan pembaca tercampur aduk oleh segala nuansa dalam cerita.

Dalam cerita tersebut juga tidak luput dengan berbagai isu sejarah, pandangan filsafat, juga banyak membahas tentang buku sastra.

Novel ini bagaikan sebuah paket nasi campur dengan berbagai lauk dan bumbu. Segalanya dihidangkan dalam satu piring cerita beralur maju, dengan berbagai lauk isu dan bumbu kritik yang siap dilahap dalam telaah yang mendalam.

Itulah sebuah karya pemenang Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012 yang berjudul Semusim, dan Semusim Lagi karya Andina Dwifatma.
Profile Image for Irma Agsari.
119 reviews17 followers
August 28, 2017
Walaupun alurnya agak lambat, cara berceritanya bikin penasaran gimana akhir cerita "aku", dan ternyata emang nggak ketebak hehe. Terus jadi penasaran kota S ini mana ya maksudnya.
Profile Image for Shiracitabine.
131 reviews
November 23, 2025
I finished reading this book in one rebahan. When I started this book, I related a lot to the main character. I, too, sometimes cannot hear what people say to me even though they are speaking face to face with me, and then I will nod as if I understand and agree with what they are talking about. In the end, I realized that the main character is insane, and then I became unsure about my own sanity.

251123DPK
Profile Image for Tri Tanto.
33 reviews
September 13, 2018
Tanya: apakah ada universitas swasta yang menyelengarakan jurusan sejarah? Selain universitas pendidikan yang berubah dari IKIP sepertinya ga ada. Terlalu jauh ah dari kenyataan
Profile Image for Sads.
68 reviews6 followers
January 21, 2023
Segenre, dan Segenre lagi.

Lebih dari itu, saking totalnya perubahan tonem cerita, bila buku ini dipecah jadi dua jilid; sebelum dan sesudah pertengahan buku. Aku bakal mengira kalau isinya, yang seharusnya cerita dari sebuah buku, seperti berasal dari dua buku berbeda. Terhitung kedua kali ini aku menyebutkan genre saat menuliskan ulasan di goodreads pada bacaan tahun ini. Mungkin kalau sekali lagi masih meribetkan hal ini, aku perlu daftar jadi polisi genre. halo, dik.


Bab pertama langsung diisi latar belakang singkat, mendeskripsikan keadaannya dan secara umum latar waktu yang dilalui oleh Narrator, seorang gadis baru lulus SMA dengan keterampilan sosial hampir nol. Permulaan kisah berupa datangnya surat dari ayah yang selama ini tidak menjadi bagian di hidupnya, menawarkan sebuah petualangan agar akhirnya ayah dan anak dapat bertemu. Tawaran yang akhirnya diambil oleh Narrator.
Sebuah fiksi petualangan kontemporer menyambut datangnya umur dewasa, pada bagian ini.

Penggunaan diksi diisi oleh pilihan kata-kata umum yang dipakai sehari-hari. Efeknya langsung membuat lengket fokus, tanpa memerlukan usaha keras untuk berkonsentrasi tiap sesi baca. Tanpa sadar puluhan halaman sudah terlewati.

Narrator memiliki kebiasaan berbagi temuan acak potongan informasi yang menurutnya menarik berbagai referensi budaya populer dari berbagai media; musik, film, acara tv, buku-buku, majalah, dan internet. Mungkin di sinilah titik pembeda tulisan seorang pengarang dengan pengarang lainnya yang dapat diamati oleh pembaca. Untuk buku ini, penyelipan berbagai informasi-informasi acak belum mencapai tataran rapi, mulus.

Ketika membaca tengah terasa mengalir seperti mengikuti sebuah arus, ketika fokus sudah melaju konstan dan nyaman; bagian munculnya potongan informasi-informasi acak tersebut terasa mengganggu.


Kemudian kisah buku sampai ke bagian romantis, melabuhkan Narrator ke situasi janggal. Bukannya aku benci –isme itu. Namun cerita bocah baru gede, mengingat umur dan kedewasaan Narrator, dan hubungan keluarganya—ibu—yang digambarkan oleh Narrator sebagai dua orang asing tinggal serumah..

Karakternya, yang berkali-kali dibangun dengan deskripsi, kurang lebih; aku tidak pernah berhubungan akrab dengan siapapun sebelumnya. Lalu, saat pertama kalinya berhubungan akrab dengan lawan jenis, lima tahun lebih tua darinya. Hanya dalam hitungan beberapa minggu kenalan, laki-laki tersebut jadi pertamanya.

Aku kesulitan mengartikulasikan apa yang salah. Intuisi bersikeras mengatakan dinamis dua karakter ini merupakan hal melenceng dari petualangan si Narrator. Bisa jadi merupakan kesengajaan oleh pengarang. Karena sejak bagian ini, rasanya seperti membaca buku lain. Alur cerita mengambil jalur berbeda dari yang selama ini ditempuh, benar-benar seperti cerita lain, benar-benar segenre lain lagi.


Keakrabanku dengan realisme magis dan thriller psikologis, kemudian merunut deskripsi dan narasi oleh Narrator, menuntunku untuk lebih condong melanjutkan baca dengan anggapan bahwa kisah Narrator lebih cocok diterima sebagai narasi dari karakter yang pikirannya terganggu. Situasinya pun mendukung penuh mengarahkan keseluruhan atmosfer menjadi thriller psikologis. Gambaran atas keadaannya pada titik ini banyak sekali mengingatkanku ke film yang disutradarai Martin Scorcese, dibintangi Leonardo di Caprio dan Mark Ruffalo.

Secara keseluruhan, buku ini memberi kesan ringan saat membacanya, dengan sedikit sentakan di beberapa bagian. Mengisahkan perjalanan individu menjelajah keluar dari gelembung kehidupannya, dengan caranya berkisah yang dipenuhi oleh perspektif pemikirannya. Cukup bertolak belakang dari nuansa gaya penulisan yang sepengamatanku ingin disajikan oleh pengarang :))))


Cocok untuk pembaca; yang penasaran dengan juara-juara sayembara novel DKJ, penggemar fiksi kontemporer coming-of-age thriller psikologis.
Tidak cocok untuk pembaca; yang memerlukan kemantapan terkait kontinuitas cerita.
Profile Image for Tia Ayu Sulistyana (tiareadsbooks).
265 reviews71 followers
October 4, 2022
•recently read•
4/5⭐

❝Tetapi, senja sama belaka dengan semua hal di dunia ini: suatu ketika harus berakhir…
Kurasa itulah yang membedakan senja dengan ‘semua hal di dunia ini’. Amatlah mudah berpisah dengan sesuatu yang kautahu akan kembali lagi keesokan harinya. Tetapi di dunia nyata, setiap hal yang kaulepaskan akan pergi darimu tanpa pernah kembali lagi.❞
—Page 62

❝Jawabannya tertiup di angin. Itu bisa bermakna bahwa jawaban yang kaucari telah begitu jelas, seolah-olah ada di depan wajahmu seolah-olah ada di depan wajahmu sedari tadi, hanya kau tak menyadarinya. Kebanyakan manusia seperti itu. Karena sibuk emncari di luar, ia tidak menyadari apa yang dicarinya sudah ada dalam diri sendiri.❞
—Page 102

•••

Buku ini menceritakan kisah tokoh 'Aku', gadis berusia 17 tahun yang baru lulus SMA. 'Aku' memutuskan pergi ke Kota S yang asing setelah menerima surat dari ayah yang tak pernah ia jumpai sejak kecil. Tanpa sepengetahuan ibunya, 'Aku' pun berpetualang di Kota S dan bertemu orang-orang yang tak terbayangkan. Dari mulai J.J. Henri, Oma Jaya, Muara, Sobron si ikan raksasa, dan tentu saja sang ayah yang telah ia nantikan.

Hmmm... Jujur, aku masih kesulitan memproses cerita yang menjadi pemenang pertama Sayembara Menulis Novel DKJ 2012. Awalnya, aku kira buku ini akan bercerita tentang pencarian jati diri dari tokoh 'Aku'. Nyatanya aku salah besar! Menurutku, ceritanya begitu absurd, apalagi sejak kemunculan Sobron.

Buku dengan genre surreal fiction ini cukup membuatku kebingungan dan mempertanyakan berbagai hal. Bahkan hingga aku mencapai halaman terakhirnya, masih banyak misteri yang belum terjawab.

Buku ini sangat page-turner karena narasinya yang begitu detail, intens, dan eksploratif! Aku membaca buku ini dalam 2x rebahan—kemarin malam sebelum tidur dan tadi siang—dan tiba-tiba saja bukunya selesai! Aku dibuat penasaran untuk cepat-cepat menyelesaikan buku ini dan menebak-nebak bagaimana akhir kisah si tokoh 'Aku'. Ketika menutup buku ini, perasaan-ku pun campur aduk. Like, what the heck did I just read?😫😱

Semusim, dan Semusim Lagi merupakan buku ke-2 dari Andina Dwifatma yang aku baca. Klo boleh jujur, aku lebih suka Lebih Senyap dari Bisikan daripada buku debutan ini. Tapi, buku ini pun memiliki tema dan makna tersirat yang begitu dalam. Aku dibuat terpana dengan akhir buku ini yang jauh dari tebakanku. Absurd & weird, but heartwarming!👏🏻

•••

#tiareadsbooks #tiawritesreviews
Profile Image for Ursula.
301 reviews19 followers
May 14, 2016
Sebenarnya, sejak 2014 lalu saya sudah kepingin sekali beli buku ini. Entah mengapa setiap menemukannya di Gramedia pikiran saya berubah.

"Jangan dulu."
"Nanti saja."
"Hmmm..."

Dan akhirnya, buku itu selalu saya letakkan kembali di rak. Baru pada ALF 2016 kemarin akhirnya saya memutuskan untuk membeli.

Setelah menuntaskan Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, saya langsung menyantap Semusim.

Andina, menurut profilnya yang saya temukan di belakang novel, pernah menjadi seorang wartawan. Latar belakang ini menjelaskan teknik narasinya yang luar biasa. Ibaratnya, kalau menulis berita feature , pasti ciamik sekali.

Ia tak luput menggambarkan segala sesuatu, dan entah mengapa saya bisa memandang apa yang tengah dilihat si 'Aku' lewat tuturan kata saja. Teknik penulisan ini juga yang menjadi sorotan utama DKJ sebelum memutuskan novel Semusim menjadi pemenang sayembara tahun 2012.

Tokoh Aku menggambarkan segalanya dengan detil. Raut wajah. Suara. Bentuk tubuh. Hingga gaya bicara. Begitu detil dan tak meninggalkan lubang, meski novel ini surealis. Saya kira, cara penulisan ini yang membuat saya tak berhenti membaca. Meski saya kurang menyukai jalan kisahnya.

Mungkin otak saya yang kurang cerdas menangkap, tetapi rasanya ada loncatan terlalu jauh saat Aku bertemu Sobron. Semuanya begitu absurd, melompat-lompat. Hemat saya, ada adegan yang entah mengapa terasa kurang sesuai dengan plot. Tetapi ya sudah. Termaafkan dengan gaya tulis ciamik .

Bagaimanapun juga saya sangat menyukai latar sejarah yang sering dilontarkan oleh Aku untuk menjelaskan kehidupan sehari-harinya. Ya, menurut saya justru ini daya tariknya yang sayang menghilang setelah kedatangan ikan mas keparat itu (Sobron).

Buku ini membuat saya gamang. Saya tak suka ceritanya (pada akhirnya) namun tak bisa tidak jatuh hati pada gaya tulisnya.
38 reviews4 followers
September 24, 2025
Novel Andina yang sy baca setelah "Lebih Senyap dari Bisikan". Dan setelah rampung sy bayangin kalau di ruang kerja Andina ada tumpukan buku dari banyak penulis luar, tapi secara khusus dia menempel halaman pertama "Anna Karenina"-nya Leo Tolstoy tepat di atas meja kerja: "Keluarga bahagia mirip satu dengan lainnya, keluarga tak bahagia tidak bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri." Keluarga-keluarga Andina--khususnya para anak, tak bahagia, dan mencari jalan keluar . Anak-anak itu pergi dari orang tua mereka, menempuh perjalanan sendiri, tapi rupanya jalan itu berputar.

Tipis-tipis narator yg sekaligus jadi tokoh utama ngingetin sy sama "Kamu..."-nya Sabda Armandio. Mereka usia SMA dan pintar dan "sangat kota". Narator/tokoh yang pintar barangkali lebih mudah buat penulis ketimbang sebaliknya. Penulis, paling enggak, gak perlu keterlaluan menahan diri buat nyemburin referensi dan kosakata yg mereka pikirkan.

Kepintaran itulah yang bikin "aku" di novel ini bisa bicara ini itu dan yakin saja saya dengerinnya, kecuali buat satu hal--kalau sy gak salah ingat sih :p. Ada di satu bagian ia menggunakan tukang kredit (atau profesi semacam itu) buat menggambarkan suatu emosi, entah itu kesal, deg-degan, atau apa. Sy kira, dengan umur masih belasan, kesal/sebal yg ia rasakan enggak akan mengingatkan ia pada tukang kredit, sesuatu yang tidak dekat, buat mengatakan terlalu jauh, dari pengalaman merasa doi.

Di akhir kita bisa bergembira dengan hidup "aku"/narator. Ia jelas bahagia dan mendapatkan cita-citanya. Kita bisa lihat itu dari cara dia menyempatkan menulis catatan-catatan kaki di sekujur kisahnya.
Profile Image for Pris.
445 reviews38 followers
January 2, 2015
Gimana ya. Kesanku selama membaca: buku ini seolah ditulis keroyokan sama Colin Singleton-nya John Green dan Meursault-nya Camus. Tapi di pertengahan, Colin ngilang lalu digantiin Esther Greenwood-nya Sylvia Plath, trus doi sama Meursault lanjutin buku ini sampai tamat dengan Meursault yang lebih dominan. Bahkan sampai kalimat paling akhir pun otakku serasa masih teriak-teriak, "Meursault! Ini mah Meursault banget!"

Mungkin karena emang belum lama ini aku baru baca The Stranger dan masih kebayang-bayang ceritanya (dan masih berusaha--tapi belum sepenuhnya--paham juga), juga karena The Stranger & The Bell Jar (dan sejumlah buku & referensi lain, lupa apa aja) disebut sepintas dalam buku ini, seolah pengarang emang ngasih clue ke pembaca bahwa dua buku itu termasuk yang mempengaruhi ceritanya ini. Tapi yaa, gimana ya =)). Sebenernya aku suka plotnya, ada sentuhan filsafat absurdisme sama psikologinya. Aku pasti kasih bintang lebih andai buku ini nggak melulu malah ngingetin aku sama cerita-cerita lainnya daripada bikin terhanyut ke dalam cerita itu sendiri. Rasanya kadar orisinalitasnya jadi berkurang. Atau mungkin sebenarnya ada makna tersembunyi kenapa pengarang sengaja bikin plotnya demikian, cuma aku yang nggak paham... entahlah.
Profile Image for Hisyam.
125 reviews14 followers
December 29, 2021
Ini dia buku terakhir yang aku baca di tahun 2021.

Novel pemenang sayembara DKJ 2012 ini genrenya Magical realism kan, nah jarang-jarang penulis Indonesia yg ngehasilin karya dri aliran ini.

Jadi i'm so excited buat bacanya, yah meskipun telat tau novelnya sih:"

bisa ngerti knp buku ini digolongkan ke dalam genre coming-of-age. di bagian selanjutnya dijelasin klo kita akan menyelami pemikiran si tokoh aku dalam menjalani kehidupannya yg akan berubah dri angka belasan ke angka kepala dua

overall bagus, segala macam keanehan bermunculan dan hal tersebut unik menurutku.
aku rasa penulis banyak terpapar gaya menulisnya murakami. semua unsur keanehan murakami bisa dibilang ada dalam isi bukunya.
Profile Image for Pringadi Abdi.
Author 21 books78 followers
October 29, 2015
Kasih sempurna untuk cara menulis. Ketika membaca ini, aku teringat Norman. Oh ada juga penulis muda Indonesia lain yang bisa nulis dengan tempo dan flow kayak Norman. Dan buku ini selesai dalam sekali duduk. Sebuah cara menulis yang bisa kunikmati dan kupelajari. Dan baru-baru ini Eka Kurniawan menyebut dua nama dalam wawancaranya, Andina dan Norman.

Ceritanya apa? Justru ceritanya nggak penting. Aku suka prinsip "character is plot, plot is character."

Pantas menang, Mbak :)
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
February 5, 2025
Saat menciptakan karakter utama dalam novel ini, Andina Dwifatma mengaku kalau ia terinspirasi tokoh Mersault dari novel The Stranger-nya Albert Camus. Hal itu tergambar jelas ketika karakter "Aku" (yang tidak disebutkan namanya) dideskripsikan sebagai sosok yang tidak dekat dengan ibunya. Sejak kecil, Aku dan ibunya tinggal berdua saja dalam satu rumah, tapi anehnya mereka tak pernah benar-benar bicara satu sama lain. Begitu pun Mersault..., bahkan ketika ibunya meninggal, ia tak mau melihat jasadnya, dan lebih parah lagi: ia tidak menangis. Mersault segera pergi setelah penguburan selesai, tanpa melakukan renungan di atas makam sang ibu.

Tokoh Aku yang tanpa nama pun sejenak mengingatkan saya pada novel perdana Haruki Murakami, yang berjudul Hear the Wind Sing. Jika Aku dalam novel tersebut terobsesi dengan penulis Amerika yang mati bunuh diri, maka Aku dalam novel ini terobsesi dengan sejarah—tergambarkan lewat kutipan berikut: “Ada sesuatu tentang sejarah yang selalu menarik minatku. Ketika kecil, setiap kali berkenalan dengan benda-benda, yang pertama kali kupikirkan adalah, siapa yang menemukan benda ini? Siapa yang pertama kali memberinya nama?”

Novel ini dibuka dengan deskripsi tokoh Aku yang menerima dua lembar surat. Yang pertama, surat dari universitas swasta yang menyatakan bahwa ia diterima sebagai mahasiswa jurusan Sejarah. Sementara surat kedua berasal dari pengirim tanpa nama. Lagi-lagi, paragraf pembuka ini terpaksa mengingatkan saya pada novel lain, yakni Dunia Shopie-nya Jostein Gaarder. Sama seperti Aku, Shopie juga menerima surat dari pengirim tanpa nama. Bedanya, isi surat Shopie hanya berisi dua kata: “Siapakah kamu?” Sedangkan, isi surat yang ditujukan kepada Aku berisi tulisan yang cukup panjang. Surat itu dikirim oleh seseorang yang mengaku sebagai ayahnya, yang kemudian mengundangnya untuk berkunjung ke kota S, agar mereka dapat bertemu setelah 17 tahun berpisah.

Jadi begitulah..., selanjutnya plot novel ini mengikuti perjalanan Aku ke kota S, yang lantas membawanya bertemu dengan pengalaman dan orang-orang baru seperti J.J. Henri, Muara, Oma Jaya, dan juga Sobron—ikan mas koki kecil yang dapat menjelma jadi besar dan pandai berbicara dalam pikiran Aku. Untuk bagian ini, saya tak yakin Andina terinspirasi Gregor Samsa yang menjelma seekor kecoak raksasa dalam novel The Metamorphosis-nya Franz Kafka.

Terus terang, secara keseluruhan saya sangat menikmati novel ini. Apalagi dalam karya debutnya, Andina menulis dengan sangat menarik—kalau tak mau dibilang sangat baik, mengingat ada beberapa deskripsi naratif yang terasa kurang logis. Terlepas dari wawasan tokoh Aku yang kelihatannya intelek karena sudah mengkhatamkan banyak buku, menurut saya tak sewajarnya ia bisa menebak warna kulit (hitam) seorang penyanyi untuk lagu blues yang baru pertama kali ia dengar. Dan juga perumpamaan ganjil lainnya—kecuali, ya, itu disengaja untuk mempertegas kalau kewarasan tokoh Aku memang patut dipertanyakan. Sebagaimana Aku berujar, “Pernah kudengar, kewarasan adalah fiksi yang sempurna.”

Meskipun terpilih sebagai juara pertama sayembara DKJ 2012, novel ini jelas belum sempurna, dan memang tak ada sesuatu yang sempurna. Saya jadi teringat kembali kalimat pembuka dalam novel perdana Murakami—yang sempat saya singgung di atas—yang bunyinya begini: “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.”

Apa pun itu, saya tetap jatuh cinta dengan cara bertutur Andina Dwifatma dan akan membaca, dan membaca lagi, setiap buku yang ia tulis.
Profile Image for Nisa Rahmah.
Author 3 books105 followers
September 17, 2017
Entahlah, saya bingung mau menulis apa. Dan biasanya, kalau saya bingung dengan ulasan atau kesan terhadap sebuah buku, saya akan membaca ulasan-ulasan dari pembaca lain, lalu bisa memutuskan untuk "berdiri di mana", atau semakin menajamkan kesan saya pribadi terhadapnya. Tapi rupanya, itu tidak terjadi dengan buku ini.

Saya mengerti sekaligus tidak mengerti dalam waktu bersamaan. Paham sekaligus tidak paham. Akhirnya, kembali dengan kebingungan sendiri. Apakah level pemahaman saya masih kurang untuk mengikuti buku sejenis ini, atau bagaimana, saya pun tidak tahu.

Dan daripada mengoceh tidak jelas begini, baiklah saya akan mengulas buku ini dalam tiga bagian. Lapisan pertama adalah bagian yang menurut saya paling menyenangkan; saat si Aku menyelami pemikiran dalam dirinya dengan lugu. Saya senang berenang dalam isi kepala seorang anak perempuan beranjak dewasa, yang pengetahuan kognitifnya di atas rata-rata, rasa ingin tahu dan kecintaan akan sejarahnya begitu menggebu. Aku membaca banyak hal dibanding teman-temannya. Aku suka sejarah, aku senang mengenal benda-benda atau peristiwa-peristiwa lebih dalam dari siapa pun. Rasa ingin tahu Aku tersebut membuat saya senang. Itu seperti menonton isi kepala seseorang, yang saling berkaitan dengan satu atau banyak peristiwa, melompat dari satu topik ke topik lainnya.

Lapisan atau bagian kedua, adalah saat Aku jatuh cinta. Saya masih senang mengikutinya. Bagaimana Aku yang lugu mengenal cinta. Seperti apa ketika Aku yang tidak seperti anak-anak lain saat jatuh cinta? Apakah itu akan mengubahnya menjadi sosok filsuf dadakan yang memandang dan meletakkan cinta tidak seperti anak muda seusianya? Jawabannya bisa diketahui sendiri saat membaca buku ini.

Lapisan ketiga, adalah peristiwa setelah "itu". Saya jadi kehilangan Aku yang muncul di bagian pertama, atau (masih muncul) pada bagian kedua. Saya jadi tidak tahu, apakah Aku yang tampil di awal memang layak menjadi Aku di bagian akhir. Saya mencoba untuk memahami, dan menyelami isi kepala Aku, tapi sepertinya ada bagian yang hilang. Dan bagian hilang itu masih membuat saya bingung sampai sekarang.

Secara keseluruhan, saya senang membaca buku ini. Menurut saya, buku yang bagus adalah buku yang memberi inspirasi. Bukan hanya inspirasi tentang kehidupan, tetapi inspirasi dalam bentuk lainnya. Sentilan tentang fenomena kehidupan yang disinggung penulis masih relevan dengan kehidupan sehari-hari meskipun ada beberapa hal yang memang tidak sepemahaman. Namun, untuk bisa memahami dan mengerti satu sama lain, kita tidak perlu memiliki satu pemahaman, bukan?

3,5 🌟
Profile Image for dey♡ .
18 reviews8 followers
June 18, 2025
I've finished Semusim, dan Semusim Lagi, and I just feel so empty... not crying at all. but I just have no idea what to feel. honestly, I borrowed this book in a regional library just because of the cover. but, the whole story is not as bright as the cover🤡

buku ini mengisahkan tentang tokoh 'Aku', gadis berusia 17 tahun yang nama aslinya tidak disebutkan. sehari setelah dinyatakan lulus SMA, 'Aku' menerima dua lembar surat. yang pertama adalah surat dari universitas swasta tempat ia mendaftar sebagai mahasiswa jurusan Sejarah; sisanya amplop cokelat persegi panjang, di depannya tertulis nama dan alamat penerima, namun dikirimkan tanpa nama pengirim.

berbekal surat misterius yang ternyata dari seorang laki-laki yang mengaku sebagai ayahnya, gadis itu pergi menuju kota S yang asing demi bertemu sosok ayah yang tak pernah ia jumpai sejak kecil. selembar foto dan sebuah alamat memandunya menyusuri Kota S dan bertemu orang-orang yang tak pernah ia bayangkan: J.J. Henri, pria bertopi pet yang memberinya pelukan pertamanya; Muara, lelaki pertama yang membisikkan tentang cinta; Oma Jaya, seorang nenek tetangga yang meyakini suaminya telah bereinkarnasi sebagai ikan koki; Sobron, si ikan koki raksasa yang bisa berbicara dan senang berteka-teki—dan tentu saja, sosok ayah yang selama ini diam-diam sangat ia nantikan.

I love the writing style. the stories are like dreams, it tries to combine surreal fiction, explorative, absurd, full of love, sadness, and ends with full of emotion. the unique writing style actually got me hooked. this book was quite a slow yet intense read that really captured the loneliness of the character. but let's be honest, this book totally drained my whole energy🫠

it was easy to read at first, but after a while, it becomes quite difficult to grasp any hidden meaning of this book. such a page turner book and I enjoyed it but not for the ending tho. the way this book ended was… questionable, too many questions yet not a single answer. but on the other hand, the ending of this book makes me empathize with the main character. I think the ending is just so realistic that's why it can be hard to accept. but it's the author's way of portraying a character with mental health issues and convicing the reader the characters feelings, loneliness, confusion, rejection, and heartbreak at a young age.

I recommend this book if you like imaginative, absurd stories with a captivating writing style🐠🫧🌅🍃

my personal rate for this book:
4/5 ⭐️⭐️⭐️⭐️
Profile Image for runin.
126 reviews1 follower
August 19, 2023
Setelah sekian lama memikirkan ulasan buku ini, akhirnya ulasan ini dapat ditulis juga dalam waktu yang tenang dan stabil. Yakni kondisi yang sama persis seperti ketika memulai mebaca buku ini, karena bukunya butuh ketenangan pikiran untuk memahaminya.

Semusim, dan Semusim Lagi, tentu saja kalau harus jujur, aku tertarik membaca buku ini karena sampulnya yang unik, misterius, tidak mudah ditebak, wah, ekspektasiku kelewat tinggi pokoknya!. Ditambah kalimat tentang buku ini yang dipajang di halaman sampul, sukses menambah rasa penasaran untuk segera membukanya.

Tokoh Aku, yang bahkan sampai akhir tidak bisa diperkenalkan namanya, adalah seorang gadis dari keluarga yang cukup berantakan. Ia tidak mengenal sosok ayah sejak ia kecil hingga remaja. Namun, ia beruntung punya kehidupan yang cukup -secara materil- bersama ibunya. Dalam cerita ini, Aku digambarkan mulai mengalami masa “berantakan” akibat pola komunikasinya yang aneh bersama ibunya, dan sepucuk surat yang datang bersamaan dengan surat penerimaannya dari suatu universitas: tawaran untuk menemui ayahnya di suatu tempat.

Kota S, kota yang lagi-lagi tidak pernah dijelaskan namanya hingga akhir, adalah tempat di mana alur cerita mulai berjalan. Aku bertemu J.J.Henry, yang katanya adalah pegawai ayahnya. Teka-teki alur mulai dimunculkan ketika J.J.Henry terus menerus menunda jadwal pertemuan Aku dengan ayahnya. Dan hal ini kemudian mengundang kemunculan Muara, anak kandung J.J.Henry, yang menjadi teman Aku menjalani hidup selama di kota S.

Kehidupan Aku yang memang aneh, berbeda dari manusia normal, hingga perilaku-perilakunya yang tak terduga, mengantarkan ia berkenalan dengan Sobron, si Ikan yang terpasang pada sampul. Sobron pula lah yang kemudian mengambil alih kemudi hidup Aku, hingga menuntunnya melakukan hal tragis yang tak pernah diduga oleh kami, sebagai pembaca.

Buku ini banyak sekali menggambarkan tentang musik, tokoh, tempat, atau bahkan sejarah. Banyak, bahkan sangat banyak. Terutama pada bagian awal cerita sebelum tokoh Ikan muncul. Membuat pembaca mempertanyakan, “ini buku arahnya ke mana, ya?”. Namun, mungkin inilah memang ciri khas bukunya.

Semusim, dan Semusim Lagi. Setelah mencari di mana korelasi antara judul dan alur cerita di dalam buku ini, jawabannya ada di akhir cerita. Setidaknya, saya pribadi merasa tidak menyesal untuk tidak melewatkan buku ini: sebuah buku dengan gaya tulisan yang unik dan khas.
2 reviews
February 24, 2021
What a story!

Re-read ke dua aku di tahun 2021 (pertama baca di tahun 2019) and I'm still amazed bagaimana penulis memiliki gaya kepenulisan ala novel terjemahan—selera aku banget.

Sangat pantas memang buku ini menang sayembara novel DKJ 2012.
Profile Image for Humaira Fathiyannisa.
72 reviews3 followers
October 7, 2025
it's unputdownable and the plot is so unpredictable!! andina's way of writing is so exciting and i like the main character a lot. my only problem is with the ending — it feels so rushed and kind of forced?...

but nevertheless, i enjoyed the book. 4/5, or even more? 4.4/5
Displaying 1 - 30 of 231 reviews

Join the discussion

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.