Ibu Kota/Air Mata adalah antologi berisi 50 puisi yang ditulis sepanjang tahun 2019-2022. Lebih kurang menceritakan tentang kesedihan selama mengarungi rimba Jakarta.
Bagaimana rasanya mengabadikan kepahitan dan kesedihan sendiri lewat puisi? Ibu Kota/Air Mata menjawabnya. Di dalamnya, Bardjan ceritakan banyak sisi Jakarta dengan ragam rasa.
Tentang hubungan ayah & anak, kisah cinta anak muda, jadi pekerja muda di kerasnya ibu kota, meratapi hidup berulang kali, kesepian, tentang kucing-kucing Benhil, juga tentang sanggama yang sembrono. Seperti gak ada yang ditutup-tutupi.
Ibu Kota/Air Mata bahkan sudah menarik sejak halaman persembahan. Buku ini didedikasikan untuk Tunggara, Malia, dan Mariam, yang kehadiran mereka dalam puisi begitu nyata. Ketika membaca puisi “Tunggara”, aku menerka-nerka, siapakah dia? Seusainya, sedih tinggal di dada.
Rasanya, agak sulit memilih 1-2 puisi paling spesial karena masing-masing punya cerita dan istimewanya sendiri. Namun, di tengah ratapan karya ini, ada hal manis dalam “Bintang di Atas Halte Bus” yang melukiskan sekilas senyum.
Memang, sebagian puisi miliknya punya akhir eksplisit. Menurutku (kamu boleh gak setuju), jika pembaca diberi kebebasan untuk menginterpretasikan makna dan membubuhi persepsi, mungkin akan lebih menarik (sekaligus menantang?).
Kendati begitu, menariknya Ibu Kota/Air Mata berhasil membuatku berkelana di mesin pencari Google, lewat istilah-istilah asing yang gak pernah kubaca sebelumnya. Suka!
Ya, membaca puisi-puisi Bardjan membuatku membayangkan dirinya sedang tampil di slam poetry. Bukan cuma merayakan kesedihan dengan tulisan, kepada pembaca ada energi yang ia salurkan.
Aku berharap, semoga buku ini bikin kita percaya bahwa “No storm lasts forever. After the storm the sun will shine again.”
Di kota yang ramai dengan kesepian, di tempat yang ternama dengan keterasingan, lantunan puisi-puisi pahit dari buku ini menjadi kenyataan. Penuh keterhimpitan, penuh kekosongan, tapi yang terutama, penuh penerimaan.
To be frankly honest, this could definitely be that kind of one-sitting book because it was only 70-ish pages. I liked the way the author chose her words and dictions—they were so bold.
Most of the poems vibes felt really 'peculiar' tho (but not in a bad way!). Some of them were so straightforward and realistic at the same time.
Must be 5 star. Terakhir baca buku yg bikin ga berhenti kek gini udah berbulan-bulan lalu and im so desperate to have that experience again and finally today is the day!
Gue bukan penikmat puisi sebenarnya. Kadang kumpulan puisi begini sering lewat-lewat saya di mata, sesuai sifat dari puisi itu sendiri yang konon lebih untuk dirasakan ketimbang dibaca sebagai cerita.
Tapi Ibu Kota/Air Mata ini kena banget di gue. Personal tapi gak berasa too much, beberapa hal-hal yang mungkin terjadi pada penulis bisa jadi hal yang gue simak secara serius walaupun tentu saja hal-hal ini tidak terkait ke gue secara langsung (termasuk ada satu puisi yang dibuat dalam tiga bagian). Gue suka baca terbitan dari penerbit yang lebih populer, tapi isinya malah seperti tidak terkontrol. Anyway..
Romantis, tapi juga terasa sangat getir. Rangkaian puisinya juga terasa diatur sedemikian rupa. Di awal langsung diajak menghentak.
ga jarang aku ngambil bacaan random dari rak buku bagian koleksi suami, eh malah sukaaa. buku ini adalah salah satunya. baca buku ini tuh bikin aku selain merasa dekat dengan tulisan puisi-puisinya juga merasa dekat dengan penulisnya. maksud aku, kalian seneng ga sih kalo ada orang yang kesukaannya sama? di buku ini aku ngerasa kayak "wooyy penulisnya nonton "in the mood for love? wong kar-wai? abbas kiarostami? omayygaaat dia juga nonton karya-karyanya"
yang aku suka adalah puisinya yang berjudul "apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di pemakamanku" dan "ibu melipat ayah" "randezvous in senayan" aahhh banyak laagii... hampir semuanyaa!
Lupakan soal ulasan, soalnya saya lebih kepikiran buat menggugat penulis ulasan di Goodreads itu yang bilang kalau Ibu Kota/Air Mata mungkin-mungkin saja dihabiskan dalam sekali duduk.
Sebentar, mungkin malah saya seharusnya berguru saja, karena, nona, bagaimana Anda bisa selamat dengan mulus, sedangkan saya mengalami episode sesak berulang tiap dua/tiga/empat puisi?
Ah, mungkin kisah kasih saya saja yang kelewat sering berakhir pahit, sehingga terlalu gampang terhubung dengan bagian-bagian itu.
Saya bukan sastrawan. Saya bukan pula penikmat puisi. Saya memutuskan untuk membeli buku ini karena melihat tweet yang cukup menarik lewat di feed saya. Apakah saya kecewa? Tidak juga. Beberapa puisi sangat mengena. Tapi kadang ada puisi yang, gimana ya, pemilihan kata2nya kurang enak. Misal nih, padahal awal2 puisinya bagus, tapi entah kenapa harus dikasih kata ng*ntot yg out of place bgt gitu. Cringe sendiri pas baca.
buku puisi ini sangat personal oleh bardjan. banyak membicarakan tentang hal-hal kehilangan keluarga, kekerasan domestik, kematian, dan seks secara langsung.
rasa kemarahan dan kesakitan disampaikan secara lugas. tidak akan dijumpai atmosfir angin sejuk atau ikut hanyut tenang arus sungai. kata-kata yang langsung meninju dan menampar.
bardjan, aku akan menanam pohon sawo di makam mu.
This entire review has been hidden because of spoilers.
pwsie-pwsie di buku ini rasanya "hit close to home". pemilihan kata atau bahasa kali ya yang digunakan di setiap pwsie-nya juga menarik, bikin terasa cukup personal karena bahasa yang digunakan pun selayaknya bahasa sehari-hari. beberapa puisi "keresahan masa muda" sebagai tema tapi gak sedikitpun berasa klise, malahan bisa terasa begitu dekat bagi gw