BACAAN LIAR (Budaya dan Politik pada Masa Pergerakan karya Razif, sejarawan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Istilah “bacaan liar” pertama kali ditulis oleh DA Rinkes ‘kepala Komisi Bacaan Rakyat’. Ia menuduh isi produk bacaan kaum pergerakan itu, di antaranya yang berupa novel, cerita, surat kabar, buku, sampai teks syair lagu, seringkali provokatif, mengejek aturan dan menyerang pemerintah kolonial. Bacaan tersebut lalu otomatis dinilai telah melanggar kekuasaan kolonial dan mengganggu ketertiban.
Di sisi lain, kaum pergerakan justru menganggap produk bacaan adalah bagian tak terpisah dari praksis perjuangan melawan kolonialisme. Marco Kartodikromo, Semaoen, Raden Darsono, Rangsang, Tirto Adhi Soerjo, Axan Zein, Aliarcham, untuk menyebut beberapa tokoh, tercatat sebagai jagoan tempur di medan perang tulisan melawan pihak pemerintah kolonial dan sekondannya.
Semua persoalan “bacaan liar” secara komprehensif dikupas tuntas oleh Razif di buku ini. Ia menilik “bacaan liar” dari berbagai perspektif: ekonomi, sosial, politik, hingga sejarah. Lebih mendalam, ia juga merunut hingga proses distribusi, hubungan percetakan dengan bacaan tersebut, pendapat kaum pergerakan baik yang terlibat langsung ataupun tidak, seberapa jauh tindakan pemerintah kolonial dalam mengantisipasi derasnya bacaan tersebut, serta menjawab dengan jeli pertanyaan mengapa “bacaan liar” seringkali dihasilkan di penjara.
Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, ataupun Azab dan Sengsara mungkin akan menjadi 'top mind' bagi kita ketika berpikir mengenai karya sastra 'klasik' Indonesia. Namun jarang yang mengetahui bahwa pada masa lahirnya, karya-karya tersebut adalah produk propaganda pemerintah kolonial Belanda yang ingin mengendalikan wacana sastra di Hindia Belanda lewat penerbit Balai Pustaka.
Pemerintah kolonial ingin menghentikan laju bacaan-bacaan karya kaum pergerakan (seperti Mata Gelap dan Student Hidjo karya Mas Marco) yang dianggap membahayakan status quo Belanda dengan narasi kaum pergerakan yang membawa realitas sosial di Hindia yang pahit dan nantinya akan menimbulkan gejolak perlawanan, mulai dari aksi pemogokan buruh, hingga pemberontakan. Kendati dibekali modal berupa fasilitas dan pasar yang dimonopoli, Balai Pustaka gagal menggeser popularitas bacaan-bacaan kaum pergerakan karena narasi mereka yang kurang menyentuh realitas masyarakat tanah jajahan secara umum, utamanya kalangan menengah ke bawah.
Sadar kalah bersaing, rezim kolonial memberi cap "Bacaan Liar" pada bacaan-bacaan kaum pergerakan. Rezim kolonial juga mempekerjakan intelektual untuk membuat propaganda bahwa bacaan kaum pergerakan kurang mengandung estetika dan tak layak dibaca.
Tak sampai di situ, api revolusi yang menyala karena bacaan-bacaan 'liar' tersebut menjadi legitimasi penguasa kolonial untuk memberangus bacaan-bacaan pergerakan dengan pelarangan pengedaran dan pembakaran yang semena-mena.
This entire review has been hidden because of spoilers.