Jump to ratings and reviews
Rate this book

100 Tahun Mohammad Natsir, Berdamai Dengan Sejarah

Rate this book
Kekalahan paling dramatis bukanlah yang terjadi pada diri Natsir. "Kekalahan" paling tragis terjadi ketika "Bapak Bangsa dan Pemimpin Bangsa Revolusi", yang sejak muda telah berjuang bagi kemerdekaan bangsa, menemukan dirinya ditolak oleh bangsa yang dicintainya. "Kekalahan" tidak kurang tragisnya ialah ketika "Bapak Pembangunan", yang telah "mengubah peta Indonesia" harus menerima kenyataan bahwa kehadirannya tak diinginkan lagi dan perilakunya dijadikan sebagai contoh dari perbuatan yang tidak pantas (Taufik Abdullah)

Belum tibakah saatnya bangsa ini melupakan dendam masa lalu dan berdamai dengan sejarah?

479 pages, Paperback

First published January 1, 2008

4 people are currently reading
46 people want to read

About the author

Hidayat Nur Wahid

2 books1 follower

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
12 (42%)
4 stars
8 (28%)
3 stars
7 (25%)
2 stars
1 (3%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 5 of 5 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
March 8, 2016
MOHD. NATSIR (1)

“He was attired in one of the most mended shirts I’d seen on any official in a govermnet where simplicity of dress was the norm.” ─catatan George Mc Turnan Kahin, sosiolog Cornell University, mengenai kunjungan ke Menteri Penerangan RI tahun 1948

SEDIKIT terlupa. Mungkin terlambat mengacuhkan dia yang wafat 6 Februari 1993: enam belas tahun yang lalu, kurang lebih. Tak ada alasan pragmatis, kenapa kita merasa harus mengenangnya. Apalagi mengenang suratan kematian orang baik orde lalu yang kata seorang penyair “mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian”.

Tak mengenangnya pun sebenarnya bukan hal yang terlalu buruk. Karena kenangan kebanyakan bukan ‘desakan yang memaksa’ untuk hadir. Ia secara tak sadar seakan memercik begitu saja. Tanpa ijin dari sang pemilik ingatan. Tanpa sambutan dan gebyar kata perpisahan.

Namun, kenangan gerakan perubahan biasanya memastikan memoar untuk berpartisipasi serupa keadaan. Ia catatan-catatan pikiran di balik pikiran yang terawetkan dalam ‘ruang yang penting’ untuk peneguhan langkah hari ini. Semacam retorika deliberatif, selayak apa ‘kehadiran’ kita mendapatkan ‘tempat’ hari ini. Dan itulah, mungkin, yang kita cari.

Mohd. Natsir –begitu tertulis di pintu depan rumahnya, lahir ketika Republik ini masih dalam pencariannya akan kosakata “merdeka” dalam kamus kolonial. Ia muda saat apa yang paling mendasar yang kiranya terbaik untuk ‘calon’ bangsa yang –akhirnya bernama Indonesia sedang gencar dalam polemik. Dan, tentu kita tahu –dan mungkin setuju apa yang diperjuangkannnya: Islam sebagai dasar negara, tanpa menolak mentah-mentah Pancasila.

Bersekolah dengan latar pendidikan Barat –di HIS (Hollandsch Indlandshe School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), tak lantas membuatnya kehilangan identitas naluri perlawanan terhadap penjajah negerinya. Jiwa yang dimiliki tumbuh bersepakat dengan pekik Pramoedya: Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan, di mana pun ada yang mulia dan jahat. Dan Natsir pun –nampaknya memegang bahwa “yang kolonial selalu iblis”.

Saat kelas 5 Algemene Middelbare School –setara dengan kelas 2 SMA, timbul keberaniannya menggebrak arus imperialis. Sang guru, yang seorang Belanda lengkap dengan jubah dan segala atribut anti-gerakan kebangsaan, menantang muridnya membahas pabrik gula di Jawa. Dan Natsir bergolak: dua minggu setelah itu ia membacakan tulisannya. Empat puluh menit. Seisi kelas diam. Mimik guru Belanda itu muram menyaksikan kejujuran tak gentar seorang anak bertanah air Indonesia yang belum merdeka: mengecam pabrik gula yang menguntungkan kapitalis Belanda dan menekan rakyat dengan keji. Jelasnya, tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsa jajahannya.

Lulus AMS, gelar Mister in de Rechten (sarjana hukum) sudah tidak menarik minat. Cita-cita setelahnya tertuju pada memperjuangkan Islam dalam koridor kebangsaan. Natsir menjadi penulis di beberapa media: majalah Pembela Islam, Al Manaar, Panji Islam, dan Pedoman Masyarakat; aktif dalam Jong Islamieten Bond; dan pada tahun 1945 mendirikan Masjumi. Geraknya adalah ikhlas, nafasnya adalah kebaikan Islam. Tak seorang sejarawan pun meragukan.

Masih muda ketika ia menguasai bahasa Belanda, Prancis, Latin, dan Arab, belum genap 30 tahun. Selama tiga tahun pasca proklamasi didaulat menjadi Menteri Penerangan RI, dan melalui “mosi integral” yang memikat semua politikus republik ia menjadi sponsor utama kembalinya negara –yang pasca KMB terpecah menjadi negara-negara bagian dalam bentuk NKRI. Dan jadilah Soekarno memilihnya menjadi perdana menteri pertama NKRI. Empat puluh dua tahun usia Natsir ketika itu.

Sibuk ia memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di majelis Dewan Konstituante –tentu dengan Masjuminya. Tapi masalah dan ruang dan waktu seringkali hal yang beda. Berdebat sengit dengan Soekarno –yang nasionalis sekuler-, dan Aidit –yang komunis- dalam Majelis, tak membuatnya jauh dari ramah: sesudah berdebat ia makan sate ayam dan ngopi bersama Aidit; juga ngobrol akrab bareng Kasimo –ketua Partai Katolik yang bahu membahu bersama menentang keberadaan PKI dalam kekuasaan penyelenggaraan negara. Sebuah courtesy of the holy soul, sikap santun dari batin yang suci.

Mudah menemuinya meski saat menjabat sebagai menteri. Tak ada pengawal, tak ada protokol kenegaraan. Sejarah –yang berharap terulang seakan berkata, datang saja dan bicaralah dengannya, kau akan menemukan kecocokan ucapan Agus Salim suatu hari: “He won’t be dressed like a minister, but he is very able man, and he is absolutely honest.”

Tak usah berharap menemukan rumah megah dengan halaman yang bisa menampung berjubel mobil serta taman yang meriah untuk merebut kekaguman para tamu. Cukup dengan perabot klasik ia menyederhanakan pandangan tamu-tamu yang berkunjung. Satu rumah dengan dua ruangan saja –satu ruangan untuk tidur dan menerima tamu, satu ruangan untuk dapur- lama ditinggali berdua bersama istri tercinta.

Apa itu pantas untuk ukuran mantan seorang perdana menteri NKRI? Mungkin pertanyaan ini sendiri hanya akan dijawab Natsir dengan senyuman khas seorang guru bangsa yang menenangkan.

Sebuah hidup tak harus bergebyar materi. Tak pernah ada kemewahan, karena, ia bisa kekal. Atau mungkin, Natsir sudah cukup merasa berat dengan tanggung jawab sebagai pemimpin, usahlah menambah beban akhirat dengan harta yang bisa ‘mencincang’ pemiliknya. Saya tak tahu, tapi yakin, kedua hal tersebut masuk hitungannya jika berbincang harta dunia.

12.10, 6 Februari 1993, malaikat menegakkan titah-Nya atas seorang ‘pahlawan syari’at’ yang ideologinya tak pernah punah. Natsir sudah “tidak bisa berkata Merdeka dan angkat senjata lagi”. Langit mungkin menangisi. Hari-hari akan berbeda. Rumah sakit Cipto Mangunkusuma harusnya merasa terhormat ‘mengiringi’ sang patriot. Dan “di karet, di karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin”.

Sejarah, sedikit kenangan, berharap akan membuat kita mengamini doa Taufik Ismail dalam sebuah pengantar mengenang 100 tahun Natsir: Rabbana, jangan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk tibanya pemimpin-pemimpin bangsa, yang mencerahkan dan bercahaya kilau-kemilau, serupa beliau.
Profile Image for Isnaini Nuri.
94 reviews23 followers
February 20, 2011
Buku ini berisi pandangan tokoh-tokoh bangsa tentang Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir seorang ulama, pendidik, politikus, ilmuwan yang telah dikenal tidak hanya dalam skala nasional tapi juga dalam skala internasional. Beliau lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado seorang pegawai pemerintah dan pernah menjadi asisten demang di bonjol. Pendidilan beliau dimulai dari Sekolah Dasar Pemerintah di Maninjau kemudian dilanjutkan ke HIS mulik pemerintah di kota Solok, HIS Adabiyah di Padang, HIS Solok dan kembali ke HIS Padang. Kemudian Natsir melanjutkan pendidikan di MULO dan berlanjut ke AMS di Bandung.
Jasa beliau yang paling besar terhadap NKRI adalah ide beliau yang dikenal dengan sebutan "Mosi Integral" yang berhasil menyatukan Kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan NKRI yang utuh setelah sebelumnya negara RI terpecah-pecah menjadi beberapa negara bagian hasil bentukan Belanda yang terkenal dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat).
Satu penghalang ynag menyebabkan beliau tidak dapat menyandang gelar Pahlawan Nasional hingga sekarang ini adalah keterlibatan beliau dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Pemerintah masih menganggap bahwa PRRI adalah sebuah pemberontakan terhadap pemerintah padahal sejatinya PRRI didirikan untuk mengoreksi kesalahan yang saat itu dibuat oleh pemerintah karena telah melenceng dari Konstituante.
Karena saya tidak memiliki sendiri buku ini, saya ingin menulis bagian-bagian yang saya sukai disini biar bisa saya baca lagi ^^
Mohammad Natsir, 100 Tahun Dalam Kenangan (17 Juli 1908-6 Februari 1993)-Taufiq Ismail
Bagi sejarah, dia adalah guru bangsa, negarawan, pejuang, pemikir, penulis, cendekiawan, budayawan, pendidik, politikus, ummat, mujahida da'wah, dan tokoh internasional yang dihormati.
Bagi HIS, MULO, dan AMS, dia adalah murid dari orang tua bukan pegawai terpandang, kecil dalam pendapatab, mencari kayu untuk memasak makanan tapi cerdas, pekerja keras, dalam umur sangat muda sudah menguasai banyak bahasa yaitu belanda, inggris, prancis, latin, dan arab.
Bagi perpustakaan sekolah AMS, dia adalah pembaca buku yang sangat tekun dengan disiplin luar biasa, satu buku seminggu dia tamatkan tetap disempatkan diantara kesibukannya menekuni pelajaran rutin keseharian.
Ada seorang guru belanda yang mengejeknya karena konversasinya tidak lancar dalam bahasa Tanah Rendah itu. Natsir jengkel. Dia belajar mati-matian tapi masih makan waktu mengerjar ketinggalan. Dia ikut deklamasi, baca syair Multatuli, judulnya "De Banjir" dengan latihan habis-habisan. Sehabis deklamasi tepuk tangan riuh sekali dan Natsir juara pertama, mendapat hadiah buku Westenenk. Guruu Belanda itu juga bertepuk tangan tapi lambat dan enggan-enggan.
Di kelas 5 AMS ketemu lagi dengan guru tersebut yang mengajar ilmu bumi ekonomi. Sang guru sangat sinis pada gerakan kebangsaan. Dia menantang murid, siapa ebrani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Yang mengacungkan tangan cuma Natsir. Dia diberi waktu 2 minggu untuk menuliskannya. Dia pergi ke bibliotik Gedung Sate, cari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah-majalah kaum pergerakan, mengumpulkan statistik. Makalah dibacakannya di kelas 40 menit. Natsir membuktikan bahwa rakyat di Jatim dan Jateng tidak mendapat keuntungan dari pabrik gula. Yang untung besar adalah kapitalis belanda dan bupati-bupati yang menekan rakyat menyewakan tanah mereka dengan harga rendah menjadikan rakyat jadi buruh pabrik terikat upah rendah dan terbelit utang senantiasa. Seluruh kelas sunyi senyap ketika Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda itu suram. Dia tidak menduga sama sekali ada murid kelas 5 AMS, setara dengan siswa kelas 2 SMA kini, mampu membuat analisa semacam itu dalam bahasa belanda yang rapi.
Tapi Natsir tidak melulu menjadi kutu buku. Di Bandung itu petang Sabtu sesudah mandi sore-sore dia memakai baju bersetrika, pantolan panjang dan jas tutup jalan kaki dari Cihapit bermalam minggu. Makan sate madura di kedai Madrawi depan kantor polisi. Keliling sebentar di Pasar Baru, pulang lewat Hotel Homman. Di depan sana dia mendengar orkes hotel melantunkan lagu demi lagu. Mendengar biola digesek dia ingin latihan biola lagi tapi dia tahan hobi yang satu ini karena dia masih konsentrasi ingin mendapat angka 9 untuk Bahasa latin. Dan angka 9 itu tercapai.
Profile Image for Rendysabardi.
2 reviews
January 3, 2012
this book has give us a glance into Allahyarham M. Natsir's life that has been unknown to most of contemporary Indonesian due to long neglect of his contribution to Indonesia. by using the perspective of people close to him, it bring reader into the reality of Natsir's life, from his everyday life to his political life. for those who try to know Natsir's personality this book is a good one. But for those who want to comprehend Natsir's ideological thought this book only give a glance into it.
Profile Image for Zulhanief.
15 reviews1 follower
January 19, 2012
Buku ini memberikan gambaran, bagaimana negeri ini pernah punya negarawan-negarawan terbaik di zamannya. Natsir salah satunya, salah satu bintang paling terang di masanya. Perdana Menteri, Seorang Idealis dan Pemimpin parpol terbesar di Indonesia pada usianya yang masih muda.
1 review2 followers
Read
June 10, 2011
m. natsir tokoh penting dunia tidak ada pemimpin yang seperti dia lagi
Displaying 1 - 5 of 5 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.