Ilmu Antropologi Ragawi dibutuhkan keberadaannya di Indonesia, tapi ahli-ahlinya sangat sedikit. Antropologi Ragawi bukan hanya mempelajari fosil jutaan tahun lalu, tetapi juga untuk mengidentifikasi jenazah korban kecelakaan penumpang kapal atau pesawat terbang. Melalui tulang-belulang yang ditemukan dapat diketahui riwayat para korban.
Antropologi Ragawi di Universitas Airlangga identik dengan Prof. Josef Glinka SVD. Prof. Glinka seorang ilmuwan sekaligus biarawan asal Polandia, juga seorang pendidik yang telah berkarya di Seminari Ritapiret dan Ledalero di Flores. Prof. Glinka selama ini telah mengabdikan hidupnya untuk Indonesia. Dialah seorang perintis antropologi ragawi di Indonesia.
Saya baru kali ini menemukan sistematika buku biografi yang menarik seperti buku ini. Kalo biasanya susunan buku biografi hanya terdiri dari pembahasan subjeknya beserta kesan pesan orang-orang terdekat dan tokoh-tokoh terhadap subjek, ada penambahan tentang bahasan keilmuan yang menjadi keahlian subjek, yang dalam hal ini ilmu antropologi ragawi, terutama etnogenesis, beserta ilmu-ilmu terapannya seperti antropologi forensik, antropologi dental, paleoantropologi, dan antropologi olahraga.
Kisah kehidupan Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD terbilang unik, seorang pastor asal Polandia yang oleh Provisial ditugaskan bukan untuk membimbing umat di paroki, tetapi untuk melanjutkan studi biologi dan kimia guna menjadi pengajar di seminari tengah dan tinggi. Tidak menyerah untuk mengambil peran sebagai pembimbing umat, beliau langsung melamar ketika mendengar kabar kalau seorang lutusan pater dari Flores datang ke Polandia, negara asal beliau, untuk mencari pastor sukarelawan. Beliau memilih Indonesia sebagai tempat yang diminati untuk kerja pastoral karena terkagum-kagum dengan kisah heroisme seorang misionaris di daerah miskin Flores waktu kecil dari paman beliau yang dulu bertugas di sana. Namun, Tuhan memang mengarahkan beliau untuk berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Setibanya di Flores, ia kembali ditugaskan menjadi pengajar, tepatnya di Seminari Ledalero.
Kontribusi terbesarnya terhadap ilmu antropologi ragawi di Indonesia didapatkan dari rasa penasarannya akan morfologi tubuh orang Pulau Palue yang ia amati berbeda dengan orang Flores pada umumnya. Hasil penelitiannya ini, yang merupakan karya doktoral beliau, yang kemudian setelah dikembangkan lebih jauh menjadi studi etnogenesis, tentang pembagian ras penduduk Indonesia berdasarkan afiliasinya dengan populasi lain yang pernah ada. Pentingnya studi etnogenesis ini juga berkaitan manfaatnya dalam pemetaan tren penyakit-penyakit tertentu, yang pada akhirnya bisa membantu perumusan pencegahan penyakit-penyakit tersebut. Hasil penelitian beliau tentang studi etnogenesis populasi penduduk Indonesia ini, yang dikembangkan dari penelitian doktoral tentang etnogenesis penduduk Pulau Palue yang mengantarkan beliau meraih gelar doctor habilitatus (Guru Besar) di Polandia.
Jalan beliau menuju Universitas Airlangga (UNAIR) juga unik. Ketika sedang mengolah data antropometris penduduk Indonesia di Jerman, beliau bertemu dengan Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR, yang menawarkan beliau untuk mengajar di sana. Beliau menerima tawaran tersebut dan tetap mengabdi di sana, bahkan turut berkontribusi dalam pengembangan program studi antropologi di sana, hingga akhir hayatnya. Beliau juga berhasil meneruskan keilmuannya kepada tiga asistennya yang telah menjadi ahli di masing-masing bidang pula.
Sebelum saya membaca buku ini, saya termasuk orang yang baru mendengar ilmu antropologi ragawi. Buku ini menunjukkan dengan jelas kegunaan antropologi ragawi yang sangat luas dan tentunya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, yang sayangnya ahli di bidang ini bisa dikatakan masih dalam hitungan jari. Tidak jarang seorang ahli di bidang paleoantropologi harus mengambil peran ketika diminta menangani masalah antropologi forensik ketika melakukan investigasi terhadap suatu kasus kecelakaan. Mudah-mudahan ke depannya studi antropologi ragawi di Indonesia semakin diminati dan lebih lanjut akan lebih berkembang.
Cukup lama menghabiskan buku ini; karena kendalanya waktu. Membaca buku ini membuatku rindu akan Prof. Glinka 🥺 Terdapat hal-hal kecil yang sebelumnya aku tidak tahu menjadi tahu. Buku ini begitu berbobot, selain bercerita tentang beliau—terdapat pula tulisan-tulisan ilmiah yang belum pernah terbit kemudian beliau bagikan dalam buku ini. Mengutip apa yang beliau katakan: "Jangan peneliti asing lebih berminat dengan Indonesia daripada orang Indonesia sendiri." Kalimat ini menjadi pendorong bagiku, untuk Antropologi Ragawi yang dengan susah payah beliau bangun untuk diteruskan. Terima kasih Prof! ✨