Sepintar apa pun seseorang, namun ia tidak memiliki adab, gugurlah nilai semua pengetahuannya; tak dapat dijadikan rujukan, takkan pula memproduksi kebaikan-kebaikan. Bahkan amal-amal ibadahnya pun tak bernilai apa-apa bila tidak dihiasi dengan adab. Hal ini karena adab merupakan pondasi agama. Aku diutus hanya untuk memperbaiki adab-adab (yang baik), sabda Kanjeng Nabi Saw. Tentang pentingnya adab sebelum ilmu, Abdurrahman bin al-Qasim sampai-sampai 18 tahun mempelajari masalah-masalah adab, dan hanya 2 tahun mempelajari ilmu lainnya. Ibnu al-Mubarak merelakan waktunya 30 tahun untuk mendalami adab-adab. Dan demikianlah ulama-ulama terdahulu lainnya, lebih mendahulukan adab daripada ilmu. Buku ini merupakan salah satu karya terbaik Imam Nawawi yang menjadi rujukan utama tentang pentingnya mendahulukan adab daripada ilmu pengetahuan lainnya. Tidak hanya bagi peserta didik, namun juga bagi tenaga pendidik sekaligus. Tentu saja, keberadaan buku semacam ini teramat penting di zaman sekarang, di mana banyak orang telah meninggalkan proses belajar dari dada ke dada, dan beralih ke proses belajar dari kuota data ke kuota data lainnya.
Islam sangat mengatur adab dalam berkehidupan. Hal tersebut tidak terlepas dari tugas Rasulullah SAW yang diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak, yang salah satu cakupan mengenai adab dalam menuntut dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Dalam buku Adab di atas Ilmu: Tuntunan Belajar Mengajar yang Barakah dijelaskan bagaimana etika sebagai murid dan guru yang merujuk pada tauladan Rasulullah SAW. Buku tersebut disusun oleh Imam Nawawi, seorang Imam tersohor yang memiliki kerendahan hati dan dijuluki “Yang Menghidupkan Agama”, banyak memasukan referensi dari sejumlah Imam Besar , salah satunya adalah Imam Syafi’i.
Ada tiga pembahasan penting yang menjadi catatan bagi saya dalam buku ini. Pertama, tentang niat dalam melakukan aktivitas belajar dan mengajar. Hampir semua, bahkan mungkin semua kita yang menuliskan tentang adab, selalu memulai bukunya dengan hadis yang membunyikan tentang niat. Niat sangat menentukan terhadap apa yang akan kita lakukan. Diperlukan keikhlasan dan kejujuran dalam sebuah niat sehingga amat ditekankan makna keikhlasan dan kejujuran dalam buku ini. Satu kutipan yang menarik dari buku ini adalah sebagai berikut: “Keikhlasan adalah tentang menjauhi pengakuan manusia, dan kejujuran adalah tentang memurnikan keangkuhan jiwa.” (Abu Ali al-Daqaq) Apabila dikaitkan dengan proses belajar dan mengajar, kutipan tersebut dapat dimaknai sebagai nasihat untuk mengurungkan rasa pamer dan sombong dalam menuntut dan menyebarkan ilmu.
Kedua, tentang adab sebagai murid dan guru. Buku ini mengupas secara jelas penjabaran bagaimana seorang guru bertindak selama mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Sangat banyak poin yang diuraikan dalam buku ini sehingga membuat kita sangat kagum betapa Islam mengatur perkara tersebut dengan rinci. Hal tersebut juga menyadarkan kita bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat beserta Imam Besar telah menjalankan semua adab tersebut. Poin besar yang perlu digaris bawahi adalah untuk menjadi guru harus selalu mau untuk belajar dan bersikap terbuka dan berhati luas. Tidak merasa marah ketika muridnya ada yang tertinggal dalam menangkap pelajaran. Tidak juga merasa tersaingi apabila muridnya ada yang cerdas bahkan mungkin melampaui dirinya. Tidak pula tergesa-gesa untuk menjawab pertanyaan murid apabila memang tidak ada pengetahuan atas itu, maka lebih baik menunda menjawab sambal mencari jawaban sebenarnya. Sebaliknya, adab terpenting sebagai seorang murid adalah menghargai guru. Murid harus selalu memperhatikan guru ketika mengajar dan jangan pernah meremehkan seorang guru. Dalam buku ini dicontohkan bagaimana Imam Syafi’i tidak pernah mengalihkan pandangannya dari sang guru. Bahkan beliau membuka lembar per lembar hapalannya dengan sangat hati-hati untuk menghormati gurunya.
Ketiga, tentang adab pemberi fatwa dan penanya fatwa. Dalam buku ini dijabarkan satu per satu hal yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang pemberi fatwa. Di antara kriteria yang harus dimiliki pemberi fatwa adalah berakhlak mulia, berpengtahuan, dan jauh dari tindakan syubhat. Hal-hal yang harus dilakukan pemberi fatwa, di antaranya adalah mempunyai rujukan yang jelas dan tepat serta berasal dari banyak sumber Imam Besar terdahulu dan terpercaya. Sama seperti guru, seorang pemberi fatwa juga tidak boleh asal menjawab apabila ia tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan orang-orang yang meminta fatwa. Sebaliknya, seorang penanya fatwa juga tidak diperbolehkan memaksa untuk seorang pemberi fatwa segera memberikan fatwa. Mereka juga tidak diperkenankan memojokkan atau menjatuhkan seorang pemberi fatwa apabila jawabannya berbeda dengan pmeberi fatwa lainnya. Hal tersebut merupakan bagian dari adab penanya fatwa.
Adab di atas ilmu. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya pada bab musnad Abi Hurairah yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.”
Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At-Tamhid menjelaskan bahwa maksud “صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “ dalam makna Hadis ini adalah seluruh kebaikan yang ada, seperti kehormatan diri, adil, dll.
Masya Allah, buku ini menhelaskan bagaimana adab yg perlu di terapkan oleh murid dan bahkan pengajarnya juga.
Setelah membaca buku ini jadi makin paham beberapa perkara yg selama ini hanya aku ketahui sepintas saja. Seperti perkara mahdzab, bagaimana posisi ilmu dalam agama, dll. Bahasanya mudah sekali untuk dicerna orang awam seperti aku. Baca buku ini sebagai referensi untukku menjadi guru bagi anak2ku. Memang benar, segala sesuatunya sudah diatur dalam agama kita. Semua itu untuk memudahkan kita, bukan untuk mempersulit. Rasanya buku ini akan aku baca lagi secara berkala agar selalu ingat akan poin2 pentingnya
Selesai baca buku ke-5 Adab di Atas Ilmu: Tuntunan Belajar Mengajar yang Barakah – Imam Nawawi DIVA Press, Yogyakarta (2021) 200 halaman Lama baca: 2 Juli - 6 Agustus 2023
Aku membaca buku ini sebagai peringatan terhadap purna studi satu tahun yang lalu. Buku ini diberikan oleh senior — yang kutafsiri bukan hanya sebatas hadiah, melainkan reminder untuk mengikat ilmu dan etika secara lebih dalam. Biasanya yang ku resensi merupakan buku fiksi, beda dengan buku ini yang merupakan buku non fiksi.
Buku cetakan Diva Press ini merupakan terjemahan dari karya Imam Nawawi. Buku ini menerangkan secara lengkap yang memiliki kaitan antara otoritas keilmuan dengan etika keilmuan. Sebagai contohnya membicarakan hal yang seharusnya dilakukan oleh murid maupun guru.
Banyak hal yang diungkapkan Imam Nawawi hidup dalam kultur belajar pondok pesantren. Hal ini memang didasari perspektif yang digunakan oleh Imam Nawawi adalah hasanah keislaman. Adab-adab yang ditegaskan merupakan sarana agar ilmu yang dipelajari dapat bermanfaat untuk diamalkan.
Ulasan lebih lengkapnya bisa dilihat di s.id/elsuyuthi