Jika masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya perlu mencetak ulang tulisannya yang terbit pada 1962: “Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya.... Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah.”
Demokrasi dapat berjalan baik, menurut Hatta, jika ada rasa tanggung jawab dan toleransi di kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, kata dia, “Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya: diktator.”
Kisah Mohammad Hatta adalah satu dari empat cerita tentang pendiri republik: Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo sepanjang 2001–2009, serial buku ini mereportase ulang kehidupan keempatnya, mulai dari pergolakan pemikiran, petualangan, ketakutan, hingga kisah cinta dan cerita kamar tidur mereka.
I decide to give this book a go since I barely know anything about him. Yes, I learned history but I only knew him bare minimum as the father of Koperasi and the proclamator with Ir. Soekarno. I grateful to the TEMPO team that made this book about him. Reading this book feeling like reading into Hatta's personal journal. This book focusing on his personal view about this country, his ideology and perspective conflict with Soekarno that finally made him stepdown as vice president, his Hattanomics, his "socialism" view perspective and how could it "might" successfull if it's implemented in Indonesia, including his alienation/isolation journey in Digul and Banda Neira. This book also tells you about how Hatta was raised and grew up. The book might will make you cry a bit since the book also revealed how Hatta spending his old days in inadequacy of economic level. But sadly, most of people knew him as the "complement" of Ir. Soekarno during independence days, the fact is Hatta is "MORE" than that.
One quote that stricken me from Hatta that reflect and fit with our modern day of Indonesia right now:
"Di mana mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan dengan semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita cita, sedangkan nilai uang makin merosot. Perkembangan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai"
akhir na membaca tentang hatta. cukuplah sebagai pengantar membaca kisah hidup na dan mengintip cara berpikir na sebelum melangkah lebih lanjut untuk mengetahui tulisan-tulisan na, penyambung pikiran-pikiran yang ada di kepala na. memang bapak satu ini adalah orang yang teratur. sangat teratur malah. namun ntah mengapa tidak ada yang membosankan dari keteraturan na itu.
sekolah di kampung halaman, hijrah ke jakarta, beasiswa ke belanda. belajar, menuntut ilmu dan merangkai ide dari mengamati fakta untuk digabungkan dengan teori. bersama yang lain membuat konsep pergerakan untuk kemerdekaan indonesia.
yang menarik dari buku ini, selain gaya penulisan na yang dibuat seperti reportase, dilengkapi dengan kolom-kolom dan juga foto. dan dari salah sekian foto yang ada, satu foto yang menarik saat hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. di usia emas sebagai politikus, beliau lebih memilih untuk mundur karena tidak sejalan lagi dengan sistem demokrasi terpimpin na soekarno. dan itu tampak sangat nyata dalam foto perpisahan ini, dimana hatta memegang buku sedangkan soekarno memegang tongkat kekuasaan. yang lebih menarik lagi adalah cara mereka bersalaman. hatta yang menjabat tangan soekarno dengan memposisikan mereka pada derajat yang sama, sedangkan soekarno merasa diri na lebih tinggi saat berjabat tangan dengan hatta. memang, setiap foto hatta yang ada memerlukan penjelasan.
bapak bertampang cool dalam setiap foto na. rapi. bahkan mendaki dan bermain tenis pun tetap dengan setelan rapi. hihihi... geli melihat na.
namun setelah semua pemikiran na, konsep dan pengamatan na, pensiunan wakil presiden tidaklah membuat hidup keluarga na kecukupan. apakah sampai sini sajakah kepedulian indonesia, kepedulian kita juga, kepada salah satu bapak pendiri bangsa?
Kali ini saya sangat puas dengan ulasan Tim Buku TEMPO. Dengan bahasa yang semi puitis, sosok Hatta yang "reserved" ditampilkan secara adil dan sangat manusiawi. Apalagi penceritaan mengenai potret-potret Hatta, dengan gamblang menggambarkan negarawan yang tidak suka pencitraan. Sangat kontras dengan Bung Karno, yang bahkan mengulangi adegan berpelukan dengan Jend. Soedirman, sebab belum sempat difoto oleh wartawan.
Jika sblmnya aku sdh pernah membaca Memoir yg ditulis sendiri oleh beliau, maka buku ini memberi kesempatan yg berbeda untuk mengenal lebih dekat sosok proklamator ini. Dalam Memoir ada Hatta yg bercerita tentang Hatta secara runut dari masa kanak-kanak hingga kedewasaan berpolitiknya, maka dalam Laporan Khusus Tim Tempo ini melengkapinya dengan menuturkan pandangan dunia terhadap tokoh 'om kacamata' - demikian ia dipanggil akrab oleh anak-anak angkatnya di Bandanaera.
Berkebalikan dengan Hatta yg menuliskan dirinya dengan kesan sederhana dan 'begitulah adanya', kesan orang-orang yg pernah dekat dengannya justru sangat elok dan penuh kekaguman. Kedisiplinan, keteguhan hati -beberapa kali pula ia disebut puritan -, kejernihan buah pikirannya serta kedalaman wawasannya digali kembali. Dilengkapi pula dengan beberapa penelusuran sejarah ke tempat-tempat yg pernah berarti bagi Hatta.
Dari semua artikel di buku ini, kolom tulisan Ignas Kleden dan Franz Magnis-Suseno terasa paling dalam dan gurih menurutku. Kleden membedah sosok Hatta dlm kapasitasnya sebagai seorang intelektual dan scholar, sedangkan Magnis-Suseno merenungkan kembali konsep Demokrasi secara Ekonomi dan Politik, dari sudut pandang Hatta. Satu hal yg mendefinisikan Hatta sebagai Bapak Bangsa.
Akhirnya penasaran saya tertuntaskan perihal mengapa buku tentang Hatta lebih tebal daripada tentang Soekarno. Ternyata, selain karena gaya bahasanya lebih puitis dan (mengutip dari puisi seorang penyair dari Padang) Hatta adalah orang besar yang hidupnya seperti buku yang tak akan pernah tamat dibaca.
Sebelum membaca ini, pengetahuan saya tentang Hatta tak lebih hanya sebatas tahu bahwa beliau proklamator, "bayang-bayang" Soekarno dan bapak koperasi. Setelah membaca ini, saya kagum dengan prinsip beliau dalam menghargai waktu, kedekatannya dengan buku, pemikiran-pemikirannya yang rasional serta konsistensinya dalam "menegur" pemimpin lewat surat-surat yang beliau kirimkan.
Uniknya, saya tidak melihat ada cela dalam pribadi Hatta. Berbeda sekali dengan buku sejenis ini yang membahas tentang Soekarno.
Setelah melahap buku ini, saya memutuskan untuk menjadi fans Bung Hatta garis kerassss! :D
Dari buku biografi ini, saya jadi tau kalau Bung Hatta memberikan maskawin berupa buku berjudul "Alam Pikiran Yunani" untuk Rahmi, gadis berusia 19 tahun. Buku itu juga ditulis sendiri oleh beliau. Kebayang gak sih, gadis 19 tahun dinikahin bapak-bapak 43 tahun trus maskawinnya buku? Buku filsafat pula! Haha apakah saat itu si ibu seneng atau malah linglung nih. Buku filsafat banget nih Mas? Tapi ya diterima kok maskawinnya, karna kadung udah sayang sama si bapak. Atau mungkin memang Bu Rahmi pun menggemari filsafat juga. Yang justru marah dgn maskawin itu malah ibunya Bung Hatta, Bu Siti Saleha, yang gak habis pikir kenapa bisa-bisanya anaknya ngasih maskawin berupa buku buat nikahin anak orang😂
Kisah lucu dan tidak populer lainnya adalah sosok Bung Hatta yang teramat serius justru malah membuat ia jadi sosok yang lucu. Bayangin, satu waktu Des Alwi, anak angkat Sjahrir ngajak Bung Hatta berenang, bukannya ganti celana renang, beliau malah gulung celana panjangnya doang selutut lalu nyebur dengan masih menggunakan sepatu tenis!😂😂
Lalu ada lagi kisah di Banda Neira tentang bagaimana para petani kebun menganggap Bung Hatta adalah jam. Kenapa? Karena saking disiplinnya beliau melakukan rutinitas setiap hari, semua orang jadi paham kalau tiap jam 4 sore beliau akan jalan-jalan menyusuri kebun dan pantai, lalu balik lagi. Jadi ibaratnya, ketika Bung Hatta lewat perkebunan, petani bisa info teman petani lainnya, "Mentemen, Bung Hatta lewat ni, udah jam 4, yuk beres-beres yuuuk"😂😂
Segelintir kisah jenaka itu, saya yakin jadi harta karun buat para pembaca. Bung Hatta memang sebenarnya sosok pendiam, religius, dan disiplin. Kata ajudan beliau yang mengabdi selama 20 tahun, setiap hari Bung Hatta selalu tepat waktu masuk ke ruang kerja pukul 7.30. Waktu di tempat pembuanganpun masih sangat teratur kehidupannya. Plus ia juga sosok muslim yang taat. Sejak muda, ia aktif di organisasi tapi gak pernah sekalipun terjebak pergaulan bebas sana sini. Apalagi waktu kuliah di Belanda, ia sempat ditertawakan temannya karena suka pesan air es di kafe, bukan bir, padahal harga air es lebih mahal dibanding bir. Satu waktu juga beliau pernah dipaksa teman2nya untuk menemui gadis Polandia yang cantiknya udah terkenal seantero kampus. Si gadis yang merasa ahli menaklukan pria pun mundur, karena Bung Hatta datar-datar aja, gak menunjukkan ketertarikan haha malah si gadis bilang Bung Hatta itu adalah pendeta, bukan laki-laki, karena gak tertarik sama dia😂
Pribadinya yang matang paripurna tentunya terbentuk berkat asuhan ibu, kakek, nenek, dan paman asuhnya. Sejak kecil beliau selalu dekat dengan agama dan ilmu pengetahuan. Sekolah-main bola-mengaji adalah rutinitasnya. Kedisiplinannya terbentuk pula dari kakeknya yang seorang ulama besar yang mengajarkan pentingnya menghargai waktu. Hatta kecil juga sebenarnya ingin bercita-cita menjadi ulama besar seperti kakeknya, namun ternyata Sang Maha Pemilik Semesta memberikan ia peran yang juga tak kalah penting bagi hidupnya.
Sosok Bapak Negara satu ini memang cukup berbeda dengan sosok sahabat karibnya, Presiden Soekarno. Namun keduanya adalah orator andal, bedanya, Bung Hatta berorasi menggunakan pena dengan menuliskan kata-kata tajam dari pikirannya yang bernas. Ya, beliau adalah negarawan yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, karenanya ia selalu membaca dan menulis. Kedua hal itu, ia lakukan sepanjang hayat.
Sejak kecil, Bung Hatta juga seorang kutubuku. Hingga saat tak punya uang di Belanda pun, ia terus berusaha membeli buku dengan cara mencicilnya. Bahkan ketika ia dibuang ke Digul dan Banda Neira, Hatta membawa 16 peti berisi buku-buku kesayangannya. Di tempat pengasingan pun, Hatta tetap membeli buku dari Batavia atau Belanda dgn honor yg ia dapat sebagai penulis kolom di surat kabar. Banyak yang bilang bahwa buku adalah kekasih pertamanya. Gak heran ketika beliau wafat, warisan berharganya adalah 30.000 judul buku yang ia miliki sepanjang hidupnya. Lagi-lagi saya ingat kalimat ordinary people have big TVs, extraordinary people have big libraries. Lebih gilanya lagi, beliau gak punya deposit ternyata, karena kebanyakan uangnya ia belanjakan untuk membeli buku. Mungkin kalau zaman sekarang, sikap seperti itu bisa dikritik para ahli finansial ya😂 Namun buku-buku yang ia miliki terbukti mampu membantu ketiga putrinya menyelesaikan studi. Istilahnya, ilmu apapun yang sedang dipelajari anak-anaknya, bisa dicari di koleksi buku ayahnya. Bahkan sang ayah ikut memberi kuliah kecil2an kalau anaknya ada yang gak paham.
Hal menarik lainnya selain kegilaannya terhadap buku, kisah jenaka tersembunyi, dan sepak terjang politiknya, adalah love hate relationshipnya dengan Bung Karno. Dwitunggal ini memang unik. Bung Hatta adalah pengritik paling pedas sekaligus sahabat paling karib bagi Bung Karno. Kritikan Bung Hatta pada gaya Bung Karno yang makin diktator selalu muncul di surat kabar, yang berujung pada pembredelan surat kabar itu sendiri. Salah satu tulisan yang cukup nyelekit seperti ini misalnya "Dalam jangka waktu cukup lama, Indonesia hidup dalam bayangan feodalisme, namun neo-feodalisme Soekarno lebih jahat dan ganas." Tapi hebatnya, hal tersebut sama sekali gak merusak kehidupan pribadi keduanya. Mereka tetap saling sapa, bahkan sampai hari-hari terakhir Bung Karno.
Bung Hatta, seperti diketahui banyak orang, adalah seorang federalis. Ia ingin otonomi daerah diperkuat. Jangan melulu pemerintah pusat yang kuat, setiap daerah berhak menentukan nasibnya masing-masing. Ia ingin seluruh daerah di Indonesia maju, tanpa membeda-bedakan suku atau rasnya. Sayangnya, Bung Karno adalah seorang unitaris. Ia ingin ada pemerintahan pusat yang mengatur sepenuhnya. Bung Hatta juga mundur dari jabatan sebagai wakil karena merasa pemerintahan pada saat itu sudah seperti sirkus; pejabat-pejabat kerjanya bolak balik ke luar negeri terus tanpa ada hasil untuk rakyat, apalagi untuk negara. Korupsi melanda, pemangku jabatan semakin rakus (eh kok seperti familiar ya kondisinya ehehe), dan Bung Hatta mundur karena ia enggan jadi bagian sirkus pemerintahan. Beliau menulis kritik dengan mengutip penyair Jerman, Schiller: "Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil."
Sebagai orang yang memilih hidup dengan ilmu pengetahuan alam, aku menempuh pendidikan IPA semenjak SMA dan kemudian melanjutkan dengan kuliah teknik, yang juga masih sangat kental dengan ilmu-ilmu eksak, dengan minim sekali ilmu sosial yang aku dapatkan di bangku persekolahan dan perkuliahan. Kapan terakhir kalinya aku belajar sejarah? Mungkin terakhir kalinya sewaktu SMA, sekitar 5 tahun yang lalu. Itupun dengan guru yang mendiktekan jawaban-jawaban LKS sehingga kami muridnya bisa menghafal jawaban untuk ujian, yang literaly memang soal-soalnya persis seperti yang di LKS.
Paling-paling apa sih yang aku tahu mengenai Mohammad Hatta? Ya aku tahu dia merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, dan ia juga yang menjadi wakil presiden yang mendampingi Soekarno setelah Indonesia merdeka. Di sela-sela kotak ingatanku, Mohammad Hatta juga merupakan seorang Bapak Koperasi. Selesai, sejarah selalu hanya selesai di batas hafalanku sewaktu sekolah dahulu. Aku jadi orang yang sama sekali tidak kritis mempertanyakan mengapa terjadi ini dan itu.
Kemudian setelah kuliah aku punya pacar yang kuliah di Hubungan Internasional yang cinta sejarah dan akhirnya tertarik juga membaca buku-buku yang ia baca dan akhirnya aku membaca buku ini.
Lewat tulisan-tulisan singkat dari buku ini kemudian aku dapat mengenal sosok Bung Hatta dengan pengertian yang lebih baik. Aku baru tahu bahwa ternyata beliau merupakan seorang yang sedari kecil sudah cinta pada ilmu pengetahuan dan belajar agama di tanah Minang. Aku juga baru tahu ia menempuh pendidikan tingginya hingga mencapai negeri kincir angin yang waktu itu menjajah Indonesia.
Aku baru tahu ia meupakan sosok yang sangat disiplin, rajin membaca dan menulis, sampai-sampai ke pengasingan pun ia bawa serta 16 peti buku-bukunya. Sampai-sampai untuk mahar pernikahannya, dia berikan buku filsafat hasil tulisannya untuk sang istri, Rahmi Hatta. Di tengah-tengah kesibukannya ia juga sangat banyak menulis artikel dan buku-buku hasil pemikirannya, yang beberapa juga sempat membuat dirinya ditahan atau diasingkan.
Dari buku ini juga aku akhirnya tahu pemikiran-pemikiran sosialisnya. “Pemikiran sosialis sebenarnya merupakan gugatan terhadap perekonomian liberal yang dianggap sebagai wajah kapitalisme. Dengan semangat kapitalis, upah atas modal jauh melampaui upah atas tanah dan tenaga. Akibatnya, terjadi pengisapan kekayaan sumber alan dan ketimpangan kemakmuran. .... Ketidakadilan ini, menurut Hatta, bisa dibendung dengan tiga jurus : penguasaan aset oleh negara, kontrol terhadap usaha swasta, dan tumbuhnya perekonomuan rakyat yang mandiri.” (halaman 155)
Sebuah buku yang sangat menarik untuk menapaki jejak-jejak hidup Mohammad Hatta dan memahami pemikiran sang Bapak Bangsa yang sangat patut dicontoh dalam sikap-sikapnya.
Mulai dari perjalanan hidup dari Bung Hatta, sosok Paman yang membantu dia berniaga dan mengatur uang hingga akhirnya bisa belajar ke Belanda dan bisa berbicara 5 bahasa; Tidak lupa juga bahwa Hatta merupakan sosok religius, teratur, dan sederhana.
Highlight saja: Pada buku ini dicantumkan juga tentang pengasingan Hatta dan Sjahrir di Banda, interaksi yang menarik dan pengasingannya yang ternyata membuat mereka berdua makin dekat dengan Indonesia. Terutama pada Hatta sendiri, ia lebih sadar mengenai posisinya dibandingkan sebelumnya.
Di semua tulisan tempo, aku paling suka jikalau karakter pada bukunya menyinggung tentang kegiatan lucu yang dilakukan oleh mereka yang ternyata membuatnya makin harmonis — di samping seriusnya mereka, tentu ada juga sisi konyolnya, seperti koin yang dengan dua sisi yang berlawanan.
Membayangkan sosok Bung Hatta yang katanya selalu dengan ekspresi datarnya muncul dan ternyata perjalanan hidupnya cukup mengguncang bak rollercoaster, seperti perpisahan beliau dengan anak angkatnya dan bertemu kembali, kritikan pedas yang diberikan kepada sahabat lamanya, Soekarno, hingga menjadi perwakilan Ayah untuk Guntur, hingga menemani pernapasan terakhir dari Soekarno.
Terima kasih banyak, Tempo sudah merilis buku ini, sungguh, keelokan kalian dalam mencari informasi dan bisa dikemas menjadi sebuah buku yang mudah untuk dibaca oleh masyarakat Indonesia sangat patut diapresiasi (jempol)
Setelah baca buku ini, saya jadi ingin membaca buku tentang Hatta yang lain. Ternyata saya ngga punya pengetahuan apapun tentang wakil presiden RI pertama ini, kecuali di pikiran saya selama ini adalah dia tokoh yang selalu menjadi 'bayang' Sukarno. Tapi toh, ternyata Hatta dan Sukarno ini menurut saya bagai dua sisi koin yang berbeda, walau sejarah yang sempat saya pelajari di sekolah seolah menggambarkan mereka selalu dalam satu 'kata'.
Kurikulum pelajaran sejarah di negara ini benar-benar harus dirombak total menurut saya.
Bisa dibilang, Hatta kini menjadi tokoh favorit saya. Dari sekilas kisah tentang bagaimana dia berpikir, membikin saya sangat kagum. Rasanya buku ini benar-benar berhasil memantilk rasa ingin tahu saya tentang Hatta lebih jauh.
Dalam beberapa pemikiran Hatta yang tertuang di buku ini, dia terkesan bagai seorang cenayang. Tapi saya tahu, pemikirannya dan kekhawatirannya tentang negara yang saat itu sedang berusaha ia kokohkan berasal dari buku-buku yang dibacanya.
Ada banyak sekali tulisannya tentang kekhawatiran terhadap negara ini dan kekhawatiran itu tengah terjadi saat ini. Kedaulatan ekonomi rakyat yang dirampas, bangsa yang menjajah negaranya sendiri, hingga pengerdilan partai politik. Pemikiran Hatta memang sangat melampaui jaman.
Benar-benar cerita Hatta yg berbeda dari yg aku baca dalam buku-buku pelajaran sekolah. Meskipun sosoknya gk ada lagi, sifat-sifat beliau yang mencerminkan Bapak Bangsa sangat berkesan, berbanding terbalik dengan pasangan dwitunggalnya. Kalau dilihat2 lagi, sekarang nama Hatta hanya sekedar wakil presiden pertama oleh orang² awam maupun kaum elit politik. Padahal kontribusinya yang besar serta pemikirannya yang cemerlang seharusnya lebih layak untuk ditiru.
"Hanya satu tanah air yang dapat disebut Tanah Airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku." -Hatta-
Ia lahir pada 12 Agustus 1902 di Desa Aur Tajungkang, Bukittinggi, dari pasangan Mohammad Djamil dan Saleha Djamil. Orang-orang tua di Bukittinggi menyebutnya 'anak cie pamaenan mato'--anak yang pada dirinya terpendam kebaikan dan perangainya mengundang rasa sayang.
Dialah Mohammad Hatta. Lelaki dengan senyum ikhlas, wajah teduh, rambut dan pakaian rapi, serta pribadi yang kalem, praktis, dan taat beragama. Bung Hatta adalah sosok bersahaja, tenang, dan penuh wibawa.
Hatta adalah negarawan yang langka, sebab ia menulis. Hatta mulai menulis saat umurnya 18 tahun, sebelum masuk universitas. Tulisannya menunjukkan luasnya bacaan dan minatnya pada sastra Ia menguasai sekurangnya bahasa Melayu, Belanda, Inggris, Jerman, serta Prancis. Saat dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul, ia membawa 16 peti buku.
Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo sepanjang 2001-2009, serial buku ini mereportasi kehidupan keempat pemimpin republik--Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir. Mulai dari pergolakan pemikiran, petualangan, ketakutan, hingga kisah cinta, dan cerita kamar tidur mereka.
Seri kali ini mengangkat kisah Mohammad Hatta, mantan wakil presiden Republik Indonesia. Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Dibuka oleh surat dari Goenawan Muhammad kepada Bung Hatta. Selanjutnya menampilkan kisah-kisah yang ditulis berdasarkan hasil penelusuran para wartawan Tempo. Beberapa diceritakan dari sudut pandang orang-orang yang dekat dengan Hatta, orang-orang yang pernah 'bersentuhan' langsung dengan beliau, serta dari investigasi ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi sang Bapak Koperasi kita.
Saya suka sekali dengan gaya penuturan Tempo. Detil dan membuat emosional. Banyak hal yang saya pelajari dari membaca penggalan-penggalan kisah. Menyenangkan sekali 'belajar sejarah' dengan cara seperti ini. Membaca kolom-kolom, melihat galeri foto-foto yang dipajang, membuat saya seolah hadir di tempat serta kejadian yang disebutkan.
Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat Sukarno hingga akhir hayat Sukarno.
Kisah yang sedikit menggelitik adalah tentang Bung Hatta yang sangat mencintai buku itu menikahi Rahmi pada tahun 1945 yang saat itu masih berumur 19 tahun (beda usia mereka 24 tahun) dengan mas kawin berupa buku berjudul 'Alam Pemikiran Yunani' karangannya sendiri.
Istri pertama Hatta adalah buku. Pada tanggal 14 Maret 1980 ia wafat dengan meninggalkan 30 ribu buku koleksinya.
Indonesia memerlukan banyak Hatta. Bukan hanya pemikiran dan sikap politiknya, tetapi juga moral dan akhlaknya.
Muhammad Hatta adalah tokoh bangsa yang terkenal sangat mencintai buku. Rumahnya penuh buku, bahkan pada masa pembuangannya di Banda, Hatta membawa bukunya yang belasan peti besar. Hatta memiliki koleksi buku setidaknya 30.000 buku.
MENABUNG DEMI BUKU Sejak kecil, Hatta suka menabung. Uang sakunya sebesar 25 sen disimpan untuk kemudian dibelikan buku. Setelah berkeluarga pun, Hatta tak pernah memiliki deposito karena semua tabungannya dibelanjakan untuk buku.
MERAWAT BUKU Suatu kali Hatta meminjamkan buku kepada keponakannya. Setelah beberapa waktu, Hatta mengecek sampai sejauh mana buku itu dibaca sang keponakan. Setelah melihat buku itu, Hatta menjadi marah karena beberapa halamannya dilipat oleh sang keponakan. Keponakannya itu disuruh mengganti buku yang beberapa halamannya telah dilipat itu.
Sang keponakan pun berkeliling Jakarta untuk mencarinya, namun usahanya sia-sia karena buku itu dibeli Hatta saat di Eropa. Saat pulang dengan tangan kosong, Hatta tersenyum kepada sang keponakan. Itulah pelajaran dari Hatta untuk mencintai dan merawat buku.
MENOLAK AJAKAN DANSA DEMI MEMBACA BUKU Saat menjadi mahasiswa di Amsterdam, kamar Hatta adalah ruangan yang penuh buku. Konon ia pernah dengan sengaja membercaki (mengotori) tangannya dengan tinta agar punya alasan untuk menolak ajakan dansa. Saat itu merupakan jam membacanya sehingga Hatta memilih membaca buku daripada berdansa.
BUKU SEBAGAI MAHAR Hadiah pengantin Hatta kepada Rahmi Rachim adalah sebuah buku. Pada hari bahagia itu, di vila Megamendubg, kepada calon istrinya --yang masih berusia 19 tahun itu-- Hatta menghadiahkan bukunya tang baru selesai dikerjakan: Alam Pikiran Yunani.
BUKU ADALAH KEKASIH UTAMANYA Saking cintanya Hatta terhadap buku, muncullah anekdot: istri utama Hatta sesungguhnya adalah buku, istri kedua Hatta adalah buku, dan istrinya yang ketiga adalah Rahmi Hatta.
Buku ini bukan buku yang menjelaskan secara detail bagaimana pola pikir, ideologi, perjalanan politik, dan gaya bertindak Bung Hatta. Namun, buku ini memberikan gambaran umum yang jelas dan baik tentang bagaimana sosok beliau. Dengan disebutkannya beberapa kutipan dan tulisan dari buku-buku tentang Hatta dan buku tulisan Hatta sendiri, saya justru semakin tertarik untuk membaca tentang Beliau. Selain menyajikan kisah Hatta dalam bentuk jurnalistik yang ber-alur, Tim Tempo justru memberikan banyak referensi untuk mempelajari tentang Mohammad Hatta. Di sini lah saya malah berterima kasih kepada tim Tempo atas berbagai referensinya. Isi dari buku ini pun sangat enak untuk dibaca. Tim Tempo memang memilih konten-konten yang diminati oleh orang-orang yang bisa dibilang cukup awam mengenai sejarah. Saya cukup merekomendasikan buku seri tempo edisi Bapak Bangsa ini. Jadi, selamat berburu seri buku ini kawan-kawan
Buku ini saya baca sebagai pelengkap setelah menyelesaikan memoar Hatta tahun lalu. Integritas, kesederhanaan serta kecintaannya terhadap buku-buku membuat saya semakin kagum dengan Bapak Bangsa yang satu ini.
Tempo dengan ciamik menggali sosok Hatta dengan pergi ke tempat-tempat yang pernah ia tinggali bahkan ke pembuangannya di ujung tanah Papua, Boven Digul. Tempo mengutip pula pandangan orang-orang terdekatnya dan teman-teman seperjuangannya, serta berkisah tentang hal-hal unik dan jenaka yang tak disebutkan dalam memoarnya. Saya terkesan pada bagian yang menyatakan bahwa Hatta bukan orang yang gemar difoto. Foto-foto Hatta cenderung mengandung konteks sejarah yang terjadi pada masa itu. Ia bukan orang yang mengutamakan citra. Secara keseluruhan, ini adalah buku pengantar yang bagus untuk mengenal sosok Mohammad Hatta lebih dekat.
Jelas, Bung Hatta bukan orator handal layaknya Bung Karno. Dalam berbagai foto dan catatan sejarah, seringkali beliau berada disisi atau dibelakang Presiden pertama RI. Tapi memang begitu, sosoknya semacam penyeimbang Bung Karno. Beliau, yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, menggugah bangsa melalui gagasan-gagasan yang tertuang dalam bentuk literatur, pemikiran-pemikiran yang dikemas dalam bentuk buku, catatan, hingga sebentuk kritikan.
Cerdas, disiplin, penulis sejati, pecinta buku, demikianlah sekelumit deskripsi tentang Bung Hatta. Beliau bukan sekedar Bapak Koperasi, bukan pula sekedar tokoh proklamator. Dan buku ini menjelaskan bahwa Bung Hatta adalah bapak bangsa yang lebih dari itu.
The greatest man I ever know. Seorang puritan, bapak bangsa, pemimpin yang anggun, alim perilakunya , cerdas akal, kutu buku, bapak serta suami yang bijak.
Siapa sih Bung Hatta? Kebanyakan generasi muda hanya mengenal beliau sebagai wakil presiden pertama Indonesia dan Bapak Koperasi. Padahal ia layak dikenal lebih daripada itu. Mari membaca bacaan yang lebih bermanfaat, dan belajar sejarah Indonesia adalah sesuatu yang menyenangkan. Belajar sejarah perlu untuk melawan lupa dan menghargai apa yang telah dicapai oleh pahlawan-pahlawan kita.
Berbeda dengan buku biografinya, dalam seri ini sosok Bung Hatta diceritakan oleh penutur; redaksi tempo. Yang mengharukan adalah cerita mengenai pejuang Kemerdekaan yang begitu dicintai oleh rakyat. Saat Bung Hatta diasingkan ke Muntok, kini menjadi Ibu Kota Kabupaten Bangka Tengah. Bung Hatta dan beberapa pejuang yang diasingkan ke daerah tersebut begitu dielu-elukan. Bahkan saat mereka membeli bahan makanan di pasar, para pedagang dengan takzim menolak pembayaran yang diberikan oleh para perintis kemerdekaan tersebut.
Hal lain yang mengerikan adalah pembahasan mengenai Digul. Tempat yang ditahbiskan sebagai "Gulag"nya Indonesia ini, tak ubahnya tempat menyeramkan sekaligus mematikan. Siapa saja yang didigulkan dianggap sudah menandatangani surat kematian. Bagaimana tidak, tempat itu begitu terpencil. Jauh dari peradaban. Disekelilingnya adalah hutan luas yang liar dan sungai-sungai yang dipenuhi dengan buaya.
Berdasarkan Guru Besar Universitas Kyoto, Takashi Shiraishi, dari 17 percobaan pelarian yang dilarikan oleh Digulis, hanya 1 percobaan yang berhasil yakni kelompok Digulis dengan pimpinan bernama Sanjoyo. Mereka berhasil melarikan diri ke Australia dan berhasil menjalani kehidupan baru dengan menjadi tukang cukur. Tak heran jika publik Belanda menyebut daerah Digul sebagai kuburan, mengingat lokasinya yang begitu terpencil dan sulit dijangkau.
Namun berbeda halnya dengan Gulag, para tawanan di Digul tidak ditawan dalam ruangan yang sempit. Melainkan mereka dibebaskan untuk hidup di kawasan tersebut selama tidak lebih dari raduis 30km. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja. Tidak ada kerja paksa, tidak ada tanam paksa, tidak ada kekangan. Namun ya itu tadi, kekangan mereka adalah suasana yang membosankan, terisolir dan keterasingan.
Beberapa tawanan ditawari menjadi pekerja proyek pemerintah Belanda. Ada yang membangun rumah sakit, gereja, menjadi pegawai kantor telegraf, kantor listri atau pekerjaan lainnya. Mereka menerima upah sebagai penghasilan yang dapat digunakan untuk berkorespondensi dengan istri dan keluarga mereka. Atau bahkan sekedar untuk membeli bahan makanan lain selain yang diberikan oleh pemerintah Belanda.
Bagian menarik lainnya dalam buku ini adalah ulasan mengenai foto-foto Bung Hatta yang belum dipublikasikan. Salah satu foto yang menarik anak Bung Hatta, Ibu Meutia Hatta, adalah sebuah foto milik Ryacudu, seorang tentara yang berdinas di Aceh. Ryacudu tak lain adalah Ayah dari Jenderal Ryamizar Ryacudu (mantan Menteri Pertahanan Republik Indonesia kabinet kerja Presiden Joko Widodo, 2014-2019). Dalam foto tersebut, Bung Hatta sedang melakukan tarik tambang bersama beberapa orang lainnya. Sayangnya tidak ada penjelasan tentang siapa saja orang-orang dalam foto tersebut.
Terkahir, sebagai bagian tak terpisahkan dari kisah Bung Hatta adalah hubungannya dengan Bung Karno. Jamak kita ketahui bahwa keduanya adalah Dwitunggal, duo proklamator yang tidak terpisahkan. Dua orang dengan kepribadian berbeda namun memiliki cita-cita yang sama, Indonesia Merdeka. Dua orang yang memiliki kepribadian bagai bumi dan langit. Dua orang sejiwa dalam dua tubuh yang berbeda. Yang tak lantas membuat keduanya saling ragu untuk melempar kritik satu sama lain.
Menjelang dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, yang bagi Bung Hatta adalah tak lain dari bentuk Neofeodalisme Soekarno, dengan menyampaikan sepucuk surat kepada DPR, Bung Hatta menyatakan pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Bung Hatta kecewa, karena baginya, Demokrasi Terpimpin melalui pengukuhan Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup berarti mencoreng perkembangan demokrasi di Indonesia. Baginya pengukuhan tersebut tak ubahnya menyatekan (sate) di mana masing-masing daging seperti sapi, ayam, kebo digabungkan menjadi satu dan menafikan perbedaan antara satu dengan lainnya.
HATTA JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN merupakan salah satu seri buku Tempo yang membahas biografi Mohammad Hatta yang merupakan salah satu founding father Indonesia. Alasan saya membeli buku ini dibandingkan buku biografi Hatta lainnya karena di buku terbitan Tempo ini, sebagaimana kita ketahui, Tempo memiliki gaya penulisan yang mudah dicerna, singkat, padat dan jelas. Isi buku yang tidak terlalu tebal, sekitar 172 halaman, sudah membuat saya mengetahui kehidupan Hatta secara mendalam.
Dari buku biografi Hatta ini ada beberapa catatan menarik yang perlu saya garis bawahi. Pertama, Hatta adalah seorang pemimpin yang memiliki kecintaan begitu tinggi terhadap buku. Sejak kecil Hatta rajin membaca buku dan hingga akhir hayat terbukti jumlah koleksi bukunya sebanyak 30.000 buku. Buku-bukunya banyak ia beli saat 11 tahun tinggal di Belanda. Buku-buku berkualitas baik tentu harganya tidaklah murah, namun Hatta tetap dapat memiliki buku tersebut dengan menggunakan mekanisme pembayaran cicilan perbulan tidak lebih dari 10 f. Mekanisme pembayaran cicilan ini ditawarkan langsung oleh pemilik toko karena mengetahui bahwa Hatta adalah mahasiswa yang miskin.
Hatta pernah diasingkan ke Digul, Irian, karena tulisan-tulisannya yang menentang imperialisme Belanda. Saat diasingkan tersebut Hatta tidak lupa membawa 16 peti bukunya di lokasi pengasingan. Sungguh, 16 peti buku itu adalah jumlah yang banyak sekali untuk ia bopong ke lokasi pengasingan. Kecintaannya terhadap buku membuat Ia mendapatkan sindirian, istri pertama Hatta adalah buku, istri kedua Hatta adalah buku, dan istri ketiga Hatta adalah Rahmi Rachim. Bahkan saat Hatta menikahi Rahmi Rachim, maskawin yang diberikan adalah buku karangannya berjudul “Alam Pikiran Yunani”. Buku tersebut berisi pemikiran Yunani kuno seperti Pythagoras, Plato, Aristoteles, dan Sokrates.
Kedua, Hatta adalah pemimpin yang memiliki bakat menulis luar biasa, hal tersebut dikarenakan timbunan bacaannya yang kian meluap. Hatta tau bahwa Ia adalah pria dengan tubuh yang kecil, wajah yang dingin dan berkacamata tebal, serta gaya bicara yang membosankan. Namun Hatta mengkompensasi itu semua dengan kekuatan menulisnya. Penyebab Hatta di penjara dan diasingkan oleh pemerintah Belanda adalah karena tulisannya yang tajam mengenai imperialisme. Saat Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Hatta kemudian memilih mundur sebagai Wakil Presiden, selama pensiun itu Hatta tetap aktif memberi masukan kepada pemerintah melalui tulisannya di media massa yang hingga akhirnya membuat media tersebut di bredel. Tidak berhenti disitu, Hatta mengubah cara memberikan masukan/kritikannya itu dengan cara rutin menulis surat langsung kepada Soekarno. Soekarno tau kedalaman pemikiran Hatta, dari masukan/kritikan yang diberikan tidak pernah sekalipun Soekarno menolak kritikan Hatta, Soekarno selalu membalasnya dengan ucapan terima kasih atau bahkan mengundang Hatta untuk berdiskusi langsung. Ya, Hatta adalah orator besar seperti halnya Soekarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan.
Ketiga, bagaimana seseorang menjadi pemimpin besar memang tidak terlepas dari keluarga yang mendidiknya dan dengan siapa ia belajar saat kecil. Hatta lahir di Bukittinggi, pada 12 Agustus 1902, dari dua perpaduan keluarga terkemuka yakni pemuka agama dan saudagar. Kakek Hatta memang seorang ulama besar dari pemuka agama ternama di Sumatera Barat pada masa itu: Syekh Abdurrachman, yang juga dikenal sebagai Syekh Batu Hampar. Hatta bukanlah sosok pemimpin yang berkoar-koar tentang kejayaan islam. Namun seluruh perilaku kesehariannya, pandangan ekonomi, politik, dan budayanya selalu selaras dengan value islam. Walau ia belajar di negeri Belanda, namun yang ia ambil adalah budaya disiplin, hal yang terkait budaya tarian, wine, atau kebarat-baratan tidak ia terapkan mentah-mentah. Penampilan Hatta memang layaknya seorang muslim yang lurus, mendekati wanita saja sangat kaku dan menjaga jarak. Hatta memang layaknya sufi yang menjaga pandangan dan perilakunya, menjaga ketulusan, keikhlasan, kesederhanaa, kerendahan hati, dan kedalaman pikiran. Hal ini karena sejak kecil ia telah belajar agama dengan begitu kuat dari Syeikh Muhammad Djamil Djambek, salah seorang pembaru Islam di Minangkabau, dan Haji Abdullah Ahmad, juga seorang pelopor pembaru Islam di daerah tersebut. Sejak kecil pemahaman agama Hatta telah kuat.
Sebenarnya banyak sekali hal yang menarik dari sosok Hatta seperti ia baru menikah pada 1945 setelah Indonesia merdeka, Hatta memang berjanji baru akan menikah setelah Indonesia merdeka. Ia pun akhirnya menikah di usia 43 tahun dengan Rahmi Rachim, 19 tahun, yang menerima pinangan Hatta melalui Soekarno. Hal menarik lain pun seperti Hatta memiliki pandangan cukup sosialis namun ia sangat menolak komunis. Dari sini kita dapat melihat bahwa Hatta sangat rasional sekali dalam memandang ideologi, tidak semuanya ia telan bulat-bulat, hanya yang membawa keadilan dan kesejahteraan rakyatlah yang ia ambil. Dari sekian banyak hal yang menarik, tiga poin penjabaran diataslah yang bagi saya pribadi benar-benar berkesan mengenai pribadi Hatta. Selamat menjadi Hatta-Hatta lainnya, semoga review ini bermanfaat.
Sejak duduk di bangku SD, Mohammad Hatta diperkenalkan kepada saya sebagai salah satu tokoh yang memegang peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi rasanya, sejauh saya menempuh pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga pertengahan tahun di SMA, hanya sebutan “Bapak Koperasi” yang saya kenali dari sesosok Hatta—sebuah citra sempit yang mengerdilkan keluasan pikirannya. Fakta-fakta dan kisah hidup beliau seperti hanya angin lalu yang sebentar-sebentar saya hafalkan untuk ujian, lalu setelah tuntas, lupa sudah. Pandangan saya, dan mungkin kebanyakan pelajar Indonesia memang begitu sempit. Pendidikan kami, kebanyakan hanya didikte, disuapi, dan bersifat non-kritis. Kemudian entah keajaiban dari mana, saya mulai penasaran dan mencoba untuk menelisik lebih dalam. Mengenal lebih banyak tentang beliau. Pencarian seorang diri dan atas inisiatif sendiri ini, tanpa diduga justru jauh lebih menyenangkan sekaligus menggairahkan.
Lewat narasi Tempo yang sangat memikat, saya seperti menjejaki kembali satu demi satu babak kehidupan Hatta: masa pengasingannya di Digul, lalu Banda Neira sebagai tempat pengasingan yang lain, pertemuan Hatta dengan Semaun, serta serentetan foto Hatta yang kebanyakan di antaranya hanya memasang wajah datar, tanpa senyuman—suatu kekhasan yang tidak bisa dilepaskan darinya. Dari sekian banyak foto yang ditampilkan, yang paling menjadi pusat perhatian saya adalah gambar Hatta di antara rak-rak bukunya. Bergerumul di tengah rak-rak BESARnya. Wah. Betul-betul impian saya.
Banyak sekali bagian-bagian menarik lain yang tidak bisa saya sampaikan di sini. Saking banyaknya, saya jadi dibuat agak kewalahan dan terbata-bata selama nulis reviu yang amburadul ini (bukan reviu, lebih tepatnya curahan hati, wehehe). Tentu, bagian paling menonjol dari diri Hatta, satu hal yang membuat saya dengan bangga akan menyebut nama beliau sebagai tokoh pejuang bangsa favorit saya adalah keteguhan hati dan akalnya. Keteguhan tak tergoyahkan yang hingga akhir hayat menyelamatkannya dari gonjang-ganjing politik pada masa itu.
Sayang sekali, kontribusi besar Hatta dalam bidang ekonomi, tulisan-tulisan tajamnya yang masih relevan hingga masa kini, serta perjalanan panjangnya dalam memperjuangkan nama Indonesia, kebanyakan dari mereka seperti hilang ditelan bumi. Tergerus dan tersingkirkan, khususnya pada era Orde Baru. Sekalipun ada yang masih bertahan hingga sekarang, orang-orang daerah seperti saya, tak banyak yang bisa menjangkaunya dan mendapat aksesnya dengan mudah. Selain itu, sekalian akan saya selipkan salah satu kutipan yang sangat saya sukai dari buku ini.
“Seakan diatur oleh tangan yang lebih kuasa, masa hidupnya bagaikan satu kali putaran matahari. Ayah (Hatta) dilahirkan menjelang fajar menyingsing di kala panggilan sembahyang Subuh sedang berkumandang di surau-surau Kora Bukittinggi dan wafat setelah tenggelamnya matahari, menjelang berakhirnya waktu Maghrib…” (Halaman 118)
Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa HATTA: Jejak yang Melampaui Zaman
⭐5 Monograf yang mengulas mengenai kehidupan dan pemikiran salah satu Bapak Proklamator, Hatta. Membaca Seri Buku Tempo Hatta, cukup untuk menjadi permulaan untuk mengenai sosok Hatta. 172 halaman yang mengulas secara baik dan dapat menjadi jendela untuk mengenal Hatta lebih dalam.
Bagaimana sosoknya yang amat disiplin, mencintai buku dan ilmu pengetahuan dituliskan secara baik. Perjalanan hidupnya, kisah penahannya di Digul dan Banda Neira, pun kisah asmaranya dengan Ibu Rahmi Hatta, dimuat dalam bahasa yang mudah dipahami dan sedap dibaca.
Pemikirannya akan konsep Demokrasi yang diusungnya dengan mengutamakan dan memperhatikan 'rakyat kecil' masih begitu relevan hingga keadaan saat ini, aku rasa. Kritiknya terhadap pemerintahan Soekarno maupun Soeharto yang gagal pun juga masih relevan dengan pemerintahan saat ini.
Kekhawatiran Hatta mengenai Negara Kekuasaan begitu lekat ku rasakan saat ini. Salah satu pernyataan beliau yang tertuang dalam bukunya berbunyi: "Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya..., ketika rakyat disuruh dengan diam menerima penyelenggaraan kesejahteraannya oleh elit dari atas yang tanpa mengenal malu memanfaatkan ketidakberdayaan rakyat untuk mengalihkan semakin banyak kerja sosial ke dalam kantong mereka sendiri.".
Pernyataan² Hatta yang tertuang dalam buku ini benar², menunjukkan kapabilitas Hatta dalam berpolitik yang jujur dan teguh pendirian. Selain itu, pandangan mengenai Ilmu Pengetahuannya tidak perlu diragukan. Salah satu kutipannya mengenai ilmu pengetahuan yang aku suka yaitu: "Teori ilmu pengetahuan tidak lain dari suatu 'stenogram (yang) terambil dari suatu pengalaman' dan 'alat untuk mencari suatu kebenaran bukan kebenaran itu sendiri'..., Teori haruslah dipandang sebagai peralatan yang dapat digunakan dan harus diperbaiki secara terus menerus..., Ilmu bukan hanya jalan atau cara untuk menemukan,, melainkan juga jalan dan cara untuk memeriksa dan menguji apa yang telah ditemukan."
Selain itu, karakternya yang sangat bermoral/memegang tata krama, dan sifatnya yang menghargai (cenderung menjauhi) perempuan juga cukup menarik.
Buku yang cukup jadi pengantar untuk menelusuri buku-buku mengenai Muhammad Hatta yang lain. Sebab "adakah cara yang lebih baik untuk memperingati Hatta kecuali dengan membacakembali buku-bukunya? Mengikuti tamasya sejarahnya?".
Memulai baca buku selepas sahur (Ramadhan), tanpa disadari buku ini tak bisa lepas menemani saya dalam luang waktu di kantor hingga menunggu berbuka (3 hari ini).
Kita dibawa pada sudut pandang baru merenungi kehidupan dan pemikiran sang proklamator ini, tidak terlalu dalam namun cukup mumpuni untuk menggambarkan seorang Hatta. Diuraikan dengan sederhana dan gampang untuk dipahami sehingga cocok dibaca bagi kita pemula yang ingin tahu tantang Hatta dan seluk beluk pemikiran serta perjuangan hidupnya.
"Integritas dan Teladan", mungkin itu dua kata yang dapat diberikan tentang jalan tulisan mengenai perjalanan salah satu putra terbaik Minang ini. Mengapa tidak, hingga akhir hayatnya-pun masih keras memegang prinsip yang Ia perjuangkan walau harus didera kesulitan ekonomi yang semestinya dibantu oleh negara yang tempat Ia mengabdikan seluruh pemikiran dan kehidupannya. Maka pantaslah disampaikan oleh Deliar Noer (Penulis Biografi Politik Mohammad Hatta), "Hatta adalah seorang pemimpin langka, yang senantiasa memperlihatkan moral tinggi dalam bergerak, baik secara pribadi maupun dalam masyarakat dan dalam berpolitik. Ia dikenal sebagai pemimpin yang bersih dan tak pernah berupaya memperkaya diri dan keluarga. Ia juga bersih dalam menilai kekuasaan yang sebenarnya dapat Ia permainkan untuk menjaga kedudukan.
Hal lain yang tak bisa lepas dari pahlawan dengan bawaan selalu tenang ini adalah disiplin dalam berbagai hal, mengajarkan kita bahwa sebelum mengubah lingkungan dan orang lain, belajarlah untuk keras terhadap diri sendiri terlebih dahulu (disiplin). Hingga sikap diri itu akan memancar keluar dari diri dan mempengaruhi rakyat banyak, seperti yang pernah ditulisnya di Lereng Gunung Menumbing semasa Ia menjalani hukum pembuangan ke Bangka "Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya".
Sebagai penutup, Hatta sebagai seorang muslim yang taat (Bapaknya keturunan salah satu ulama Minangkabau) beliau mampu memainkan peran seorang Individu islam, dan juga sebagai seorang pemikir sosialis, dalam kehidupan pribadi dan politik tanpa harus menabrakan pemikiran dan kepentingan. Hatta dapat mengambil jalan tengah dalam setiap keputusan dan tindakannya tanpa harus melanggar aturan Agama.
“Di mana-mana orang tidak merasa puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana mestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot. Perkembangan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai” Penggalan paragaraf tersebut merupakan bagian dari tulisan seorang Bapak Proklamator, Hatta. Hatta menuliskan Demokrasi Kita, sebuah karya yang menawarkan keseimbangan menghadapi situasi resah di awal kemerdekaan. Di dalam buku ini Hatta ini diceritakan bagaimana Bung Hatta mengkritik para politisi di masanya yang tersesat. Bagi dia, partai adalah wujud kedaulatan rakyat, tapi dia mengecam para politisi yang menjadikan “partai sebagai tujuan dan negara seagai alatnya”. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Desa Aur Tajungkang- yang kini menjadi salah satu pusat Kota Bukittinggi. Lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 dari seorang Ibu bernama Saleha Djamil. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Djamil, meninggal ketika ia bayi berusia 8 bulan. Meskipun demikian, ia tak pernah kehilangan kasih sayang, karena tumbuh dalam buaian ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Neneknya, Aminah, selalu mengajarkan keteguhan hati, sedangkan Kakek Ilyas Baginda Marah mendidik Hatta prinsip-prinsip dasar perniagaan. Hatta berkembang menjadi sebuah pribadi yang sepenuhnya modern sekaligus pekat dengan perilaku keagamaan yang saleh. Dasar pendidikan agama ia terima dari lingkungan keluarga di Bukiittinggi. Ia sering mengikuti ceramah dan pertemuan politik yang diadakan tokoh politik local seperti Sultan Ali Said. Ia juga selalu hadir bila ada tokoh politik dari Jakarta yang berkunjung ke Minangkabau, seperti Abdoel Moeis dari Sarekat Islam, kala itu. Kesukaanya pada membaca, politik, ilmu agama, ia bawa jauh hingga bersekola di Belanda sejak tahun 1921. Hatta bergulat dengan berbagai aktivitas pergerakan di Negeri Belanda hingga 11 tahun, termasuk memimpin organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia.
Ini buku biografi pertama bung Hatta yang kubaca, pemahamanku sebelumnya sesedikit beliau adalah bapak koperasi, proklamator, dan wakil presiden. disini aku mencoba merangkum apa yang kudapat dan kupahami dari buku seri tempo Hatta ini.
Bung Hatta besar di Bukittinggi beliau adalah seorang anak ulama yang hidupnya dekat dengan ilmu pengetahuan, orang yang taat beragama, disiplin, seorang marxis, sosialis dari kaum terpelajar, anti kolonial, anti kapitalis, sering mengikuti pertemuan internasional, negarawan yang sederhana dan tidak suka pencitraan, dia juga pernah dipenjara dan diasingkan lama saat masa pemerintahan hindia belanda bersama sutan sjahrir yang juga sahabatnya.
Bung Hatta adalah seorang yang banyak membaca, dialah yang paling banyak menumpahkan pemikiran-pemikiran kedalam koran perjuangan dan buku-buku, beliau dengan cermat membahasakan ilmu-ilmu luar kedalam Bahasa Indonesia. Yang lebih mindblowing, Sebab kecintaannya terhadap buku bahkan menjadikannya sebagai hadiah perkawinan dengan istrinya.
Beliau lama sekolah di Belanda mempelajari berbagai paham, walapun terpapar berbagai ideologi, dia tetap menjaga prinsip dengan ketauhidan sebagai benteng untuk tidak menelan mentah-mentah dan tetap kritis dengan apa yang dipelajari.
Bung Hatta memiliki hubungan love & Hate relationship dengan Bung Karno karena dia sering mengkritik sikap pemerintahan Soekarno, termasuk saat Soekarno akan dijadikan Presiden seumur hidup yang mulai terlihat menuju kediktatoran, pemahaman mereka berdua memang sering berseberangan, namun bung Karno tetap menghormati bung Hatta sebagai sahabat lama, klimaksnya saat bung Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden karena merasa sudah tidak sepandangan lagi dengan presiden. Di zaman Soeharto pun beliau tetap mengirimkan kritik, namun tidak terlalu di hiraukan.
Sebagai pejuang kemerdekaan, gaya perlawanan beliau berbentuk tulisan, memang cocok disandingakn dengan bung Karno sebagai orator ulung yang selalu tampil gagah & necis menggerakkan masyarakat, Bung Hatta memang tidak semenggebu-gebu orasi Soekarno, tetapi dia lah yang menancapkan dasar-dasar kuat demokrasi di Indonesia.
Saya sengaja kejar tayang membaca buku ini dan buku sejenis begitu ingat bahwa 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Buku ini menyegarkan ingatan betapa para pendiri bangsa telah melakukan tugasnya dengan baik dalam mempersiapkan, memerdekakan dan mengisi kemerdekaan sesuai kemampuan. Betapa seorang Hatta muda menyebrangi lautan guna belajar ke Rotterdam saat usianya belum genap dua puluh tahun.
Disana dirinya tenggelam dalam kesibukan belajar dan belajar. Dunianya hanya buku dan buku. Negeri Belanda yang gemerlap tak menyilaukan matanya. Budaya setempat yang serba bebas tak menjadikannya lupa. Malahan membuatnya makin matang dan dewasa. Selain belajar, kehidupan berorganisasinya pada Indonesische Vereiniging pun makin membentuk sikapnya sehingga membuatnya di penjara beberapa bulan.
Setelah tiga belas tahun di negeri seberang, aktivitas sosial politiknya di tanah air membuat Pemerintah Kolonial Belanda mengasingkannya di Digul dan Banda (1936-1941). Usai kemerdekaan bukan berarti tanpa tantangan. Belanda membuangnya ke Bangka selama enam bulan.
Salah satu episode menarik adalah hubungannya dengan Bung Karno, orang nomor satu, yang keduanya pernah dijuluki sebagai Dwi-Tunggal. Sejarah membuktikan bahwa dirinya akhirnya memilih mengundurkan diri sebagai wapres pada tahun 1956. Meski kerap tajam mengkritik Bung Karno melalui tulisannya di media massa, namun hubungan pribadi kedua proklamator ini tetap hangat tanpa jarak.
Bung Hatta menyulitkan generasi sesudahnya karena sungguh banyak sisi kehidupannya yang perlu diteladani. Kecintaannya kepada negara, kesederhanaannya, disiplinnya dan kedalaman ilmunya termasuk penguasaan berbagai bahasa asing. Itu semua membuat segan semua termasuk kawan dan lawan sebagaimana tulisannya pada sebuah kertas di sebuah bingkai kayu di Bangka yang berbunyi ‘Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya...’.
Napak tilas keberadaan Hatta lewat reportase Majalah Tempo.
Sosok Hatta yang berjuang sejak muda. Memiliki kedekatan dengan buku. Mengajari orang-orang di sekitar kala ditaruh di pengasingan sungguh menyentuh hati. Pengalaman membaca "Pangeran dari Timur yang begitu memukau lantaran seorang tokohnya dibuang di Digul membuat saya melirik buku ini. Memang ia hanya beberapa saat dibuang ke Tanah Merah. Banda menjadi destinasi berikutnya. Di sana juga banyak cerita. Banyak kejadian yang bisa diceritakan buku ini. Soal kedisiplinan waktu beliau. Pula ia dan Syahrir mengangkat anak orang Banda. Menjadi sumber kegembiraan dan hidup yang tak terkira. Di masa sepi menggigit. Nama Des Alwi, sejarawan adalah salah satunya.
Menghabiskan buku ini di 2020 setelah begitu lama menghabiskan seri pendiri republik terbitan KPG dan Tempo yang pertama bab Pak Karno Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia. Diakui dan disegani karena laku dan integritas mutlak menjadi sebuah sumber pengalaman tak terkira. Sejarah hidup Bung Hatta dikisahkan dengan sederhana dan menggugah di buku ini. Hingga di akhir acara. Seesuatu yang baru saya temukan lewat buku ini. Meski berseberangan tetap jua dwitunggal Sukarno dan Hatta tidak menyimpan dendam. Kawan seperjuangan. Kawan seperhidupan.
Setelah ini saya berencana melanjutkannya dengan membaca Sjahrir. Peran besang bung kecil. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil Begitu tajuk Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa, yang baru saja kubeli sore tadi.
Awal mula liat buku ini di rak Perpusda, aku langsung inget, ah Hatta, inspirator literasi bangsa. tokoh yang sepanjang hidupnya tak pernah lepas dari buku, bahkan mas kawinnya pun buku karangannya sendiri yang baru rampung ditulis dan merupakan buku berat dengan bahasan filsafat yunani.
Sampai akhirnya kuputuskan membaca buku ini, adalah dengan tujuan mengenal sedikit lebih banyak tentang Hatta dan belajar tentang semangat literasi dari tokoh dwi tunggal ini. Butuh rentang waktu seminggu dari kunjungan pertama ke perpusda Sampai akhirnya memutuskan pinjam bukunya. Merealisasikan keinginan hati yang terus tertunda sejak duduk di bangku kuliah untuk mengenal Hatta lebih banyak. Baru sekarang tertunaikan.
Salah satu insight penting tentang buju ini adalah, kendati merupakan buku biografi, tapi rasanya seperri sedang membaca Buku sastra. Bahasanha yang gurih melebihi rengginang, dan tak terlalu berat meski di bagian kolom terdapat bahasan tentang filsafat dan Hatta dalam kaitannya dengan topik-topik penting, seperri agama, politik, ekonomi, dan kepemimpinan. Salah satu baris paragraf kental sastra ini dapat kita liat di bawah ini.
" 5 SEPTEMBER 1921. Daun-daun kuning kecokelatan ber serakan di jalan-jalan. Temperatur menukik turun ke kisaran belasan derajat Celsius saja. Di atas kepala, langit seperti jubah berwana kelabu yang menyelimuti sekujur negeri Belanda. Meriahnya warna-warni bunga daffodil dan tulip yang mekar tiap April dan Mei hanya tinggal kenangan. Gi liran musim gugur yang meraja saat ini." (hlm. 38)
Aku menemukan apa yang kucari dari buku ini, suntikan semangat dan kesadaran akan pentingnya peran literasi dalam memajukan bangsa. Bagi Hatta, buku adalah istri pertama dan keduanya kedudukan ibu dalam hadis Nabi saw.
Bagi teman-teman yang ingin terus menghidupkan api semangat membaca, buku ini wajib kamu baca.
Secara garis besar buku ini terdiri dari 2 pembahasan, yaitu tentang hasil penelusuran tim Tempo dalam menapaki jejak-jejak Bung Hatta dan yang kedua adalah tulisan dari para ahli disertai penjelasan dan analisa tentang sosok maupun pemikiran Bung Hatta.
Yang saya sukai dari buku ini adalah penggambaran atmosphere yg sangat detail mengenai tempat-tempat yang pernah disinggahi Bung Hatta. Rasanya seperti dibawa ke tempat tersebut secara langsung melalui deskripsi tulisannya. Meskipun saya tidak hidup sezaman dengan Bung Hatta, namun saya masih bisa merasakan perjuangan beliau terhadap bangsa Indonesia.
Namun di satu sisi buku ini tidak ditulis runut sesuai timeline sejarah, melainkan ditulis sesuai peristiwa-peristiwa menarik selama Bung Hatta hidup. Jadi ketika baca buku ini harus fokus dengan tahun yang sedang dibahas untuk bisa menahami konteks sejarah secara holistik.
Saya percaya bahwa sosok Bung Hatta tidak hanya menjadi "Bapak Koperasi Indonesia" dan memang lebih dari itu. Ide-ide beliau tentang kebangsaan, ekonomi sosialis, keberanian menentang kediktatoran namun tetap tahu adab ini patut diteladani. Kepribadiannya yang disiplin dan sederhana juga patut dijadikan contoh oleh generasi sekarang. Bagaimana beliau sangat mencintai buku, bahkan di akhir hidupnya beliau meninggalkan warisan sebanyak tiga puluh ribu buku. Sangat inspiratif dan hangat!
Salah satu yang menarik dari semua buku seri tokoh tempo adalah tentang bagaimana hampir semuanya diceritakan seolah seperti sebuah fiksi. Kisah-kisah dalam sejarah yang tampak tak terbayangkan menjadi seolah begitu jelas dan dekat pada pembaca. Di sinilah mengapa saya begitu menikmati mengoleksi buku-buku seri tokoh Tempo. Di samping semua fakta sejarah yang diungkap, ada juga berbagai kisah unik dan bisa jadi belum pernah kita jumpai dalam buku-buku sejarah. Pengambilan sosok sejarah secara khusus membuat pembaca bisa melihat lebih dekat tokoh yang diangkat. Dalam buku ini sosok Hatta juga tak selalu digambarkan sebagai seorang pahlawan. tetapi juga sebagai manusia biasa, yang pernah susah, bahkan dipenjara, diasingkan dan kekurangan uang dalam rumah tangganya. Pada akhir buku kita akhirnya bisa menyimpulkan betapa Indonesia saat ini begitu membutuhkan sosok politik panutan seperti beliau yang tetap menjaga moral dalam setiap sendi kehidupannya. Membuatnya tidak hanya dicintai sebagai seorang pahlawan dan proklamator tetapi juga sebagai pribadi.
"Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya." adalah kalimat yang pernah ditulis Bung Hatta di tempat perasingannya. Menurutku, beliau adalah seorang tokoh besar dari negara ini yang paling cocok disandingan dengan kalimat itu.
Sebagai salah satu bapak pendiri bangsa yang sempat menempati beberapa jabatan penting pasca kemerdekaan Indonesia, nggak berarti membuat beliau berani melakukan hal yang bertolak belakang dengan hati nuraninya. Dia rela melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden ketika dirasa sistem pemerintahan Indonesia udah nggak sejalan lagi dengan nilai-nilai moral yang diyakininya. Bahkan, setelah pensiun beliau bisa dibilang hidup jauh dari kata enak, nggak seperti mantan pejabat publik lainnya. Semua dilakukan karena nggak mau mengkhianati rakyat.
Bung Hatta bukan hanya sekadar Bapak Koperasi seperti yang selalu dikenalkan buku-buku sejarah yang kubaca dulu di sekolah. Menurutku, beliau adalah bentuk ideal seorang pemimpin. Berpendidikan, cerdas, penuh taktik, dan yang paling penting: berbudi luhur. Hidupnya lurus, nggak banyak gimmick. Si kutu buku yang selalu pro rakyat, bahkan sampai akhir hayatnya. Semoga semua anak-anak muda Indonesia bisa selalu mencontoh sikap beliau, supaya suatu saat kita bisa mendapatkan lagi sosok pemimpin seperti beliau.
Melihat kondisi negara yang lagi carut-marut kayak sekarang, buat aku bertanya-tanya, kalau beliau masih hidup kira-kira apa tanggapannya tentang kondisi bangsa yang udah mati-matian diperjuangkan dulu ini?