Penasaran apa yang sebenarnya sedang terjadi, saya melihat bocah itu. Dia hanya senyum.
"Cerita hidup kalian memang berasal dari buku ini," katanya santai, "duduklah. Mau es krim? Ini enak lho"
- Pertemuan dan Perpisahan Terbaik
***
Pendengar, berikut ini kesaksian nyata pengguna terapi jasa Terapi Ijazah, yang terbukti manjur mengobati penyakit menganggur. Baik penyakit menganggur yang masih baru lulus, maupun yang sudah menahun. Tiga kali konsutasi langsung kerja. Dijamin tidak akan malu lagi.
Bahasa Ibu merasa keberatan, meski hanya ditahan dalam hati, “Aku mengandungnya. Membesarkannya, menimang, dan mengajarkannya cara bicara dengan bahasa yang kini dia anggap ketinggalan zaman.” (Bahasa Ibu, halaman 3)
Saya berdecak kagum dengan cerita pertama dalam kumpulan cerpen Berapa Harga Nyawa Hari Ini? yang berjudul Bahasa Ibu. Cerita ini mengisahkan tentang anak yang kini lebih senang menggunakan Bahasa Nasional ketimbang Bahasa Ibu maupun Bahasa Ayah. Zaman sekarang, makin ke sini, perlahan bahasa lokal atau bahasa daerah atau bahasa ibu itu kian terkikis dan orang-orang lebih senang memakai bahasa Indonesia (lebih-lebih bahasa gaul). Bukan begitu?
Itu baru satu cerita, masih ada dua puluh dua cerita pendek lainnya karya Eko Triono yang menarik dan menyenangkan untuk dibaca.
Berapa Harga Nyawa Hari Ini? berisi dua puluh tiga cerita pendek yang terlalu dekat, bahkan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tidak melulu membahas perkara sosial, lingkungan, pendidikan, kesehatan, bahkan lika-liku kehidupan personal antara dua insan manusia serta tingkah polah anak-anak pun tidak luput dari jangkauan. Meski sarat akan nilai-nilai humanis, sebagian besar cerita-cerita di dalamnya cenderung tragis dan ironis. Namun, penulis lihai mengemasnya menjadi kumpulan kisah yang ceria, penuh canda, meski ada pula yang telak sindirannya dan ada juga yang bikin mengelus dada.
Tulisan-tulisan Eko Triono dalam buku ini dibuat dalam rentang waktu antara 2019-2021. Ada kisah yang cuma satu setengah halaman, ada pula sampai lima halaman. Jadi pembaca tidak akan jenuh dengan lembar-lembarnya. Diksi yang digunakan penulis pun sederhana dan mudah dipahami bahkan oleh pembaca yang ingin melahapnya sambil rebahan lagi selonjoran.