Setelah tiga belas tahun menjadi tahanan politik Orde Baru, Mia Bustam kembali ke keluarga besarnya, ke masyarakat. Mia diterima dan bebas bertemu teman-teman sesama tapol dan siapa saja. Tiga anaknya sudah menikah saat dia ditahan, kemudian Mia menikahkan lima anaknya yang lain.
Mia bisa membangun rumah yang layak dan sesuai dengan keinginannya dari hasil penjualan tanahnya di Yogyakarta.
Kecuali dibantu anak-anaknya, Mia menerjemahkan buku-buku dari bahasa Belanda dan Inggris serta menerima royalti dari dua bukunya yang sudah diterbitkan untuk menopang kehidupannya dengan layak.
Namun, tidak semua keinginan dan harapannya tercapai, Kelindan Asa dan Kenyataan…. Mia Bustam sudah tahu, bahwa waktunya telah tiba untuk pulang. Terlihat dari kesimpulan yang ditulisnya dalam memoar ketiga ini.
Hidup akhir-akhir ini rasanya seperti mengumpulkan kekalahan. Namun saat membaca buku ini dan mengetahui perjalanan hidup seorang Mia Bustam, rasanya semua persoalan menjadi kecil. Mungkin memang benar bahwa hidup itu harus merasakan berbagai macam rasa, mulai dari manis, pahit, bahagia, sedih, kesepian, dan kebersamaan. Bu Mia menceritakan kesehariannya dengan baik sekali, ada hari-hari yang ramai bersama kerabat, ada pula hari-hari sunyi bersama buku, tulisan, tanaman, dan anjing yang loyal. Buku ini sangat menghibur, banyak cerita yang membuat saya cengengesan, namun ada juga cerita yang membuat geram pada ketidakadilan dan kesialan yang menimpa bu Mia. Setelah membacanya, saya pikir sepertinya menjadi tua, tetap produktif, dan berbuat baik pada orang terdekat dan sesama bisa dijadikan sebuah gol. No regrets, she said, I hope by end of my life, I can say that too. C'est la vie !