Emha Ainun Nadjib tergolong manusia multidimensi. Awalnya dikenal sebagai penyair, kemudian menulis naskah drama, novel, cerpen, dan esai-esai berbagai tema sosial budaya.
Kumpulan cerita pendek BH ini merupakan buah kreativitas Emha dalam berbagai persoalan kehidupan manusia, misalnya cerpen Lelaki ke-1.000 di Ranjangku, Pesta, Seorang Gelandangan, Jimat. Semua disajikan dengan sangat apik, menggelitik, dan apa adanya.
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Dalam dunia penulisan cerita pendek, nama Emha Ainun Nadjib memang jarang terdengar. Tidak seperti dalam bidang teatrikal, kepenulisan esai, maupun spiritual. Emha memang kurang produktif untuk menulis cerpen. Namun, justru dalam ketidakproduktifan seperti itu Emha mampu menyajikan cerpen-cerpen yang segar dan berbeda tanpa harus kehilangan ciri khas seorang Emha.
Ada 23 cerpen dalam kumpulan ini. Sepintas, kisah-kisah kehidupan yang diangkat oleh Emha ada miripnya dengan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma (SGA). Entah karena keduanya sama-sama berlatar belakang Yogyakarta. Atau mungkin, keduanya berangkat dari tema dan sudut pandang yang sama untuk menuliskan kembali realita kehidupan dalam sebuah cerita pendek. Judul cerpen yang berani seperti Lelaki Ke-1000 di Ranjangku terdengar frontal seperti judul cerpen SGA, Matinya Seorang Penari Telanjang.
Emha, mengangkat isu-isu kehidupan sebagai tema untuk kebanyakan cerpennya. Beberapa malah menampilkan hal-hal yang masih tabu untuk ukuran masyarakat kita yang ketimuran ini. Ada yang berupa pengalaman tokoh-tokoh cerita dalam hubungannya dengan sesama manusia hingga hubungan dengan Tuhan. Bahkan, Emha mengangkat kembali fragmen dari kisah epik pewayangan dalam cerpennya yang berjudul Padang Kurusetra.
Membaca Emha tidak lengkap tanpa membaca sedikit jejak rekam kiprahnya sebagai sebagai budayawan. Semua cerpen di dalam buku ini hadir sebagai aktualisasi dan representasi wujud pesan yang ingin disampaikan oleh Emha kepada pembacanya. Bahwa, untuk memahami Tuhan, kita harus mampu membaca tanda-tanda yang diberikanNya melalui kehidupan ini. Suatu bentuk medium spiritualitas yang dikemas dengan cara yang berbeda.
Cerpen-cerpen yang terbit sejak tahun 1977 hingga 1982 ini tidak berhenti sampai disitu. Kesemuanya memiliki dimensi yang lebih luas bila dikaitkan dengan karya-karya Emha lainnya. Maka, jangan heran bila kisah-kisah yang dituturkan Emha memiliki hubungan dengan isi dan pesan dari kumpulan-kumpulan esainya. Sebut saja, Slilit Sang Kiai; Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki; Jejak Tinju Pak Kiai; dan Demokrasi La Roiba Fih.
Sangat sulit untuk mendeskripsikan Emha Ainun Nadjib yang lebih dahulu dikenal sebagai penyair, penulis naskah drama, dan penulis novel. Melalui kumpulan cerpen ini, pembaca diajak menyelami lebih dalam tentang sosok dan karakter Emha. Emha membawa kita pada suatu pengembaraan imajinasi untuk menggapai Tuhan justru dalam realitas kehidupan yang sering kita jumpai sehari-hari.
Pernah baca, seorang manipulatif tak punya cukup daya juang menyabari jalan panjang meraih impian, jiwanya dangkal tak muat menampung luka-luka dan kekecewaannya saat gagal. Untuk melindungi diri dari rasa sakit kegagalan, sering memilih memalsukan reaksi lingkungan. Karena impian menjadi orang kaya terlalu sulit, mereka memilih memalsukan kemiskinannya, menjual kepalsuan, dan sebagai gantinya mereka terpuaskan dengan reaksi lingkungan yang percaya mereka seperti yg dicitrakan. Begitulah Gondo sang supir truk pasir. Kalau kita memakai ukuran orang waras untuk menilainya, pasti kita berpikir dia sangat bodoh, unrealistic, dan konyol. Tapi Emha berhasil sedemikian rupa men-deliver kepedihan dan kesesakan jiwa Gondo yang sudah putus asa 24 karat, ia seperti sudah tinggal sedetik lagi terjun ke bibir jurang, tapi ia melawan, menciptakan kepalsuan tempatnya berpegang terakhir kali dari jatuh. Sakitnya, sempitnya, terasa sekali.
Sembilan putra-putri anugerah terindahku Tuhanku
Ini favorit untuk alasan yang sangat personal. Orang-orang tulus seperti si "aku" ini sering saya temui. Saya akan memandang mereka dengan heran, ingin masuk ke dalam kepalanya dan melihat cara berpikirnya. Jujur buat saya "Aku" ini orang bodoh, orang malas, orang egois, seperti dikatakan kakaknya. Berlindung di balik "nrimo" padahal yang sebenarnya ia malas menjalani beratnya memperbaiki nasib. Tapi sekali lagi, Emha sangat berhasil menjelma menjadi si "aku" dan memetakan jalan pikiran dan perasaan-perasaannya dengan sangat akurat. Emha berhasil membawa saya masuk ke alam pikiran orang-orang sejenis "aku". Saya paham, tercerahkan, dan terjawab.
Saya menikmati semua cerpen di buku ini. Emha membuat alam pikiran tokoh-tokohnya sangat mudah dimasuki.
Ini buku pertama Emha yg saya baca dan saya pun bukan penggemar cerpen. Namun membaca tulisan Emha enak sekali karena terlihat kemahiran tata bahasa, cerita, dan khazanah yang memang menunjukkan bahwa dia adalah seorang penyair dan seorang Emha. Di luar dugaan gaya bahasa beliau tidak lah penuh dengan dekorasi berlebihan sehingga memang lebih lugas ditangkap. Ceritanya sendiri sangat bervariatif namun utamanya perihal kemasyarakatan, orang kecil, romansa dsb. Ada beberapa selipan tema LGBT yang saya rasa tidak mungkin ditulis hanya dengan bekal fantasi seseorang.
Sayangnya, ini mungkin satu-satunya kumpulan cerpen Emha yang ditemukan di pasaran atau pernah dibukukan (menurut kata pengantar).
Jujur membaca buku ini karena judul dan covernya yang nyentrik, yang ternyata berhasil jadi salah satu kumcer yang disuka. Pembahasannya seputaran soal yang tabu, misalnya tentang golongan seksualitas yang minoritas dan dikucilkan, pergolakan dalam prostitusi, dan lain yang sekiranya ada hubungan dengan BH. Yaaa, kebanyakan pembahasan soal cinta, dosa, dan ranjang yang dikemas dalam bahasa yang agak berat dan kadang tidak bisa dipahami dalam sekali baca. Salah satu karya Cak Nun yang saya suka!!
Karya cak nun tentang cerpen yang dirangkum menjadi buku, apabila dilihat dari isi cerpen ada beberapa memang pengalaman pribadi atau mungkin beberapa pengalaman pribadi temanya. Banyak joke-joke khas Cak Nun di dalam cerpen, buku ini tidak terasa kalau untuk membacanya, bisa dikatakan ringan dan memiliki makna yang luas.
Saya membaca kumpulan cerpen BH oleh Cak Nun seolah- olah ditampar dan kembali dipertayangkan sebuah potret kultur sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia. Macam- macam cerita dengan sudut pandang orang pertama dan penokohan yang unik membuat cerpen- cerpen tersebut sangat kaya makna. Saya belajar banyak tentang sebuah humanisasi, toleransi dan lain- lain.
Jenius! Rasanya kata itu cukup mewakili kelihaian Cak Nun, sapaan akrab Emha Ainun Nadjib, dalam mengisahkan adegan singkat dalam satu rangkaian cerita pendek yang menggugah: bernuansa fiksi tapi menyentil banyak kultur sosial di masing-masing premisnya. Dengan kebanyakan menggunakan sudut pandang pertama, kita juga jadi lebih mudah terhanyut ke dalam setiap adegannya.
Ini dia kumpulan cerpen yang saya cari-cari. Genrenya masalah sosial dan dihubungkan dengan religiositas di Indonesia. Sebuah kritik sosial sekaligus tamparan kelas bagi orang-orang kalangan atas. Jos Gandos! :)
Kumpulan cerpen tahun 70-80an yang masih relate dengan kondisi sekarang. Rasanya seperti menyelami mindset ortu kita yang lahir usia segitu kenapa bisa begitu.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Bacanya blencak-blencak sesuka saya, tanpa urutan. Cerpen terakhir judulnya LUBER, yang saya baca. Terkesan banget setelah LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU, AMBANG, lalu LUBER. Sudut pandangnya bikin saya jadi nambah berfikir untuk tak egois, tapi juga memikirkan tentang apa yang orang lain akan rasakan.
Ternyata benar, pelacur tak selamanya menikmati kepelacurannya, bahkan sang pelacur itu menjerit sedih dalam keremangan dunianya. Terlihat terhibur dengan berbagai macam laki-laki, namun sebenarnya apa arti hiburan bagi sang pelacur? “Dan besok, kukira aku akan berpesta diam-dia dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu bagaimana, ini semua tak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan, kejenuhan dan rasa perih lahir batin...” (BH, hal. 4) Membaca kumpulan cerpen “BH”nya Emha bagaikan diajak menelusuri dunia yang tak asing bagi kita namun seakan asing dan cepat-cepat kita menutup mata dengan jari yang terbuka: mau tapi malu. Emha mengajak pembaca memahami dimensi lain dengan sudut lain. dunia yang selalu dicap neraka, namun kita jarang mendengar teriakan manusianya.
Berhubung buku ini adalah buku kumpulan cerpen alias bukan novel, jadi saya tidak bisa mencantumkan sinopsis. Saya sudah penasaran setengah mati untuk membaca tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib sejak SMA. Buku BH baru terbit saat saya masih kelas XI. Saya penasaran karena judul buku ini amat blak-blakan dan vulgar, dan waktu itu saya merasa masih belum cukup umur untuk membaca buku ini (karena dari judulnya saya menyimpulkan buku ini termasuk kategori dewasa). Akhirnya, saya berhasil membeli buku ini waktu Harbolnas 2017 di website Gramedia dan baru selesai membacanya seminggu yang lalu.
Terlalu banyak jika saya harus mengupas semua cerpen di buku ini satu persatu (ada total 23 cerpen dalam buku ini). Jadi saya akan membahas dua cerpen saja yaitu cerpen yang jadi favorit saya dan cerpen yang jadi judul utama buku ini: Ambang dan BH. Selengkapnya cek https://www.raditapeketo.com/2018/05/...
Ini termasuk dari buku yang berisi tentang kompilasi cerpen-cerpen Cak Nun pada medio sekira tahun 80-90an. beliau memang terbilang tidak terlalu banyak memproduksi cerpen. tetapi sekalinya bikin, menggambarkan gejolak pemikiran sosial beliau. buku ini menjadi bukti nyata betapa pemikiran Cak Nun dan apa yang beliau gelisahkan atas gejala sosial yang ia tangkap, bisa menjadi sebuah cerita pendek yang menarik.
Tidak perlu lama, saya melahap buku ini kurang dari 24 jam. dan termasuk buku yang menarik. :)
bukunya ringan. enjoy baca cerpennya. beberapa ada yang bikin tertohok dan mikir. cuma ada juga yang ceritanya ambigu aka susah-bener-ini-ogut-dapet-benang-merah-ceritanya, mungkin karena ga fokus pasan atau yaaa....simply ga satu pemikiran sama Cak Nun. But so far so good. definitely will buy another books of him laaa
Saya bisa melihat jelas ke-Cak-Nun-an Emha Ainun Nadjib di dalam cerpen-cerpennya. Ditulis dengan kebanyakan sudut pandang orang pertama, pembaca dapat langsung memasuki alam pikir tokoh-tokoh yang ada di tiap kisah. Salut dengan imajinasi Cak Nun.
Cerpen yang sangat mendidik dan menghibur. Pesan moral yang cukup mengena: bagi pembaca pria supaya lebih memahami, mengayomi, dan menghargai wanita; bagi pembaca wanita supaya lebih memahami, menghormati, dan mewaspadai pria!
Awalnya naksir buku ini karena cover-nya artistik, tanpa berharap banyak sama Cak Nun yang saya tahu populernya di ranah non fiksi, ternyata kumcernya apik. Sederhana namun memikat.