Majnun adalah kisah tentang cinta dan persahabatan, sekaligus semacam catatan kaki atas sejarah yang dilupakan. Selain itu, pembelaan atas kebebasan dan gugatan terhadap ketidakadilan adalah pokok novel ini. Cerita mengalir dalam bayang-bayang ingatan dan luka masa lalu tokoh-tokohnya, berkelindan dengan riwayat sebuah negeri yang pernah dikoyak oleh kolonialisme, represi politik, dan konflik agama.
Endorsements : “Novel Majnun karya Anton Kurnia adalah undangan untuk merasuki tubuh para pencinta dengan segala disorientasi kemabukan dan kegilaan. Diselubungi oleh Carmina Burana—simfoni yang senapas menuturkan tragedi kemanusiaan: sejarah kekerasan, kekuasaan, kepasrahan—novel ini membawa pembaca ke dalam kataklisme cinta.” —Saras Dewi, pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
“Dalam Majnun, dengan luwes Anton Kurnia menghadirkan kembali dua kisah cinta termasyhur Laila-Majnun dan Yusuf-Zulaikha di dunia kita hari ini. Namun, membaca Majnun tak cuma kita temukan tema asmara, Anton juga menyaling-silangkannya dengan mitos dalam budaya Sunda-Jawa serta ragam persoalan sosial-politik sembari dengan nakal menyisipkan elemen biografis. Sebuah permainan interteks yang menarik.” —Sunlie Thomas Alexander, sastrawan dan kritikus sastra
Anton Kurnia (lahir di Bandung, Jawa Barat, 9 Agustus 1974; umur 35 tahun) adalah seorang cerpenis, esais, penerjemah, dan editor. Ia pernah kuliah di jurusan Teknik Geologi ITB dan Ilmu Jurnalistik IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia tinggal di Jakarta, selain menulis, ia bekerja sebagai Chief Editor di penerbit Serambi, Jakarta.
Karya-karyanya, berupa cerpen, esai, dan terjemahan karya sastra, dimuat oleh berbagai koran, majalah, dan jurnal, termasuk majalah sastra Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Kompas, Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, The Jakarta Post, dan Asia Literary Review. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, antara lain dipublikasikan dalam antologi Menagerie 5 (editor John H. McGlynn—Lontar Foundation, 2003).
Bukunya tipis, pas di awal udah dibikin penasaran, gaya berceritanya enak banget, bikin pengen terus baca. Tapi kaya terlalu banyak hal yang ingin disampaikan oleh penulisnya, ceritanya jadi kerasa ke sanaa kemari.
Jujur saja, nama tokoh-tokohnya indah: Yusuf Bratalegawa, Dian Ratri, Zulaikha Prajna Paramita, Maung Lodra, Kaisar Sembiring, dan lain-lain (tapi setidaknya merekalah yang berperan penting dalam cerita di novel Majnun ini.
Premis novel ini sebetulnya sederhana: Yusuf kesepian sejak istrinya, Zulaikha, tiba-tiba pergi, menghilang dari rumah karena mimpi berjumpa seekor kucing belang telon (tiga warna) bermata tajam sehingga membuatnya mengingat-ingat kesalahannya pada masa lalu. Beranjak dari premis itu, cerita mengalir lancar, sedikit tegang, mengundang tanya, dan menyingkap rahasia kelam yang disimpan setiap tokoh cerita. Teramat banyak yang diceritakan: mulai dari sejarah Nusantara era Kerajaan Hindu-Buddha, masuknya Islam di Nusantara, perjalanan dagang orang-orang Barat ke Kepulauan Rempah, Perang Dunia I, revolusi kemerdekaan Indonesia, G30S, bangkit-jatuhnya rezim Orde Baru, sampai eksistensi manusia di dunia dan isu lingkungan di akhir cerita.
Membaca Majnun adalah membaca kali pertama karya Anton Kurnia. Dengan kata lain, saya belum membaca karya Anton Kurnia yang lain, utama cerpen-cerpennya karena ia memang dikenal sebagai cerpenis Indonesia. Dan, novel pertamanya adalah Majnun—seperti yang dituliskannya melalui “Sebuah Catatan”. Sehabis menandaskan buku ini dengan cepat, saya menyimpulkan ada dua ciri utama dalam novel ini: informatif bak tulisan ilmiah, estetis sebagaimana karya sastra pada umumnya. Namun, yang saya mesti tekankan adalah bagian informatif.
Begini, karya sastra menyenangkan serta berguna—dulce et utile. Namun, jangan sampai kegunaan (baca: informasi) yang dituturkan merusak ceritanya. Majnun, bagi saya, bernilai baik karena dengan sabar bercerita, misal, tentang masa lalu Yusuf, Zulaikha, atau Maung Lodra. Tapi, penceritaan panjang itu justru berakibat cerita ke sana-kemari, ngalor ngidul. Dan itu membuat pembaca tidak menangkap esensi setiap babnya, karena barangkali sekadar menceritakan masa lalu tokohnya secara menyeluruh, tanpa memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Hal itulah yang membuat saya merasa novel ini kurang mengesankan, tidak bisa beri bintang empat secara utuh, 3.5 bintang. Apalagi, pada beberapa bagian, penulis menulis, misalnya, soal isu lingkungan hidup yang sangat bersifat menggurui pembaca. Atau, pembaca jangan sampai melakukan tindakan tak bermoral dan tetek-bengek moralitas lainnya. (Oh ya, saya bukan orang yang antimoral, ya).
Di sisi lain, gaya bercerita Anton Kurnia sungguh-amat-jelas-pasti menakjubkan. Penulis menunjukkan kepiawaian gaya menulisnya dalam format novel, bukan cerita pendek. Dari gaya penceritaannya yang mengalir lancar itu, saya mendapat banyak kosakata baru. Sering saya buka KBBI Daring ketika membaca novel ini, sering pula mata saya berbinar sewaktu membaca narasi-narasi yang indah serta gairah saya bergelora sewaktu membaca narasi-narasi yang menggoda. Pun, novel Majnun mengevaluasi saya: pengetahuan sejarah saya masih kurang, maka saya harus membaca referensi sejarah untuk memahami konteks sejarah yang ada dalam novel ini.
Saya mungkin akan membuka-buka lagi novel ini untuk membaca bagian sejarah Nusantara itu. Tentunya, sesudah baca referensi lain tentang sejarah Nusantara.
Sesuai judulnya, Majnun artinya gila. Buku ini menceritakan orang-orang yang melakukan hal-hal gila diluar nalar atas dasar yang katanya cinta, padahal menurut saya sih nafsu doang.
Zulaikha Zulaikha menceraikan suaminya dan meninggalkan anaknya demi Yusuf. Pria kurus biasa-biasa saja yang membuatnya jatuh cinta pandangan pertama.
Setelah beberapa tahun, ia pun dengan entengnya minggat meninggalkan Yusuf hanya gara-gara mimpi didatangin kucing telon selama 3 hari berturut-turut. Gila ga tuh?
Yusuf Sejak ia lahir, Yusuf selalu merasa ada keris dalam tubuhnya. Namun keris itu baru muncul saat ia membutuhkannya di waktu dan tempat yang tepat,
Menurutnya, Kaisar, sahabat yang dikenalnya sejak kuliah, memang perlu dibunuh. Yusuf tidak terima dengan perlakuan brutalnya pada Ratri, istrinya yang merupakan mantan pacar Yusuf.
Kaisar Kaisar, kegilaannya mendadak muncul saat Ratri, istrinya minta cerai saat perayaan ulang tahun pernikahan mereka. Dengan gelap mata, ia memperkosa istrinya sendiri, namun ketidak-perkasaannya membuat ia kesal lalu membunuh istrinya.
Ratri Ketidak-puasan hasratnya dan mengganggap Kaisar melempem saat bercinta, membuat Ratri melakukan tindakan gila bercinta dengan Ferdi, pemuda gila yang sering lewat depan rumahnya.
Ferdi Pemuda yang menjadi gila semenjak jatuh ke sumur saat masih kanak-kanak.
Namun dalam buku ini menunjukkan bahwa diantara semua tokoh, sesungguhnya Ferdi adalah orang yang paling waras.
“Orang disebut sinting karena dianggap sinting oleh masyarakat sekitarnya. Tetapi, orang sinting justru menganggap masyarakatnya sinting.” - hlm 104
***
Oh ya, buku ini sepintas mengingatkan saya dengan film Indonesia yang berjudul Beth. Walaupun ceritanya tidak sama, namun intinya kurang lebih sama. Di dalam Rumah Sakit Jiwa, kita pikir orang-orangnya gila, namun justru merekalah yang paling waras daripada orang-orang di luar sana.
Secara keseluruhan, ide cerita novel ini cukup menarik dan membuat saya merenung seusai baca.
Dalam buku ini juga diselipkan informasi aneka pengetahuan umum. Cuma karena kurang smooth dan sedikit maksa, membuat saya terganggu saat baca. Kesannya jadi ngelantur kemana-mana.
Oh ya, cover bukunya kureng. Seandainya bisa menggambarkan kegilaan tokoh-tokoh didalamnya, mungkin lebih oke.
Daftar lagu di halaman belakang? Entahlah, saya lebih suka baca dalam suasana sunyi, jadi saya abaikan.
Majnun merupakan novel karya Anton Kurnia yang tidak hanya mengisahkan tentang kehidupan penuh misteri para tokoh, namun juga dibarengi dengan serangkaian hal-hal ganjil yang menjadikan kisah mereka menarik untuk diikuti. Pria bernama Yusuf yang lahir dengan keris yang bersemayam di tubuhnya yang diketahui kemudian hari keris itu sudah ada didalam tubuhnya bahkan sejak ia masih berada di rahim ibunya . Lalu takdir dengan tanpa aba-aba mempertemukannya dengan Zulaikha, seorang wanita bersuami yang kemudian dijadikannya istri tidak lama setelah ia resmi menjanda. Pada situasi yang berbeda, seorang perempuan bernama Ratri (cinta pertama Yusuf) yang juga istri dari Kaisar (kawan Yusuf) dibunuh oleh suaminya sendiri dikarenakan Ratri meminta cerai sehabis mereka menikmati makan malam dalam rangka perayaan ulang tahun pernikahan. Hal menarik lainnya yang dilekatkan pada cerita yaitu kisah sejarah benda pusaka dari tanah jawa dan tanah sunda yang kemudian juga dipadu padankan oleh penulis dengan kisah percintaan yang fenomenal yaitu Qais & Laila namun direpresentasikan dengan kisah muda-mudi saat ini supaya lebih relevan.
Menurut saya, perpaduan tema yang kompleks tersebut memberikan pengalaman membaca yang tidak biasa. Pembaca disuguhi cerita yang dengan caranya sendiri menahan dan menuntut pembaca untuk terus melanjutkan proses bacanya tersebab penasaran. Penggalan-penggalan cerita yang tidak terlalu panjang pada setiap bab-nya juga memberikan kemudahan tersendiri kepada pembaca untuk kembali mengingat jalannya cerita dengan mudah.
Iya, deh, bang Anton, ente emang banyak tau soal apa pun. Tapi, ya, jangan semua-muanya ente masukin ke buku ente ini. Iya, ane tau ente pengen bikin pembaca merasa kagum sama novel ini, tapi jatuhnya malah menghamburkan kertas aja. Ceritanya? Duh, biasa banget. Malah, Anton kayak males mikir cerita tapi kesenengan menyisipkan sejarah Nusantara sejak zaman kerajaan hingga reformasi 98. Tak lupa Anton juga nulis soal fakta sains yang berulang kali disiarkan oleh media: kematian paus karena banyak makan plastik.
Boleh jadi, novel ini akan kusebut novel: gini lagi, gini terus, gini aja. Ga ada yang menarik. Kalau gitu mah lebih baik Anton bikin trivia aja. "Fakta-fakta mengejutkan dunia yang tak pernah terungkap". Begitu tawaran dariku. Atau nulis buku sejarah yang berpihak kepada rakyat marjinal. Ente jabarin tuh dari kerajaan sampe hari ini dah. Gitu aja sih. Hehe.
Ada banyak hal di alam semesta ini yang tak terpahami oleh manusia. Akal mereka yang sederhana tak mampu menjangkau seluruh rahasia. -Majnun, hal 139-
Hem..., Setelah membaca buku ini, saya jadi berpikir. Apakah pada dasarnya dalam diri kita ada secuil bibit kegilaan? Seiring waktu, bibit itu tumbuh subur, atau malah layu tergantung pada banyak hal, salah satunya rasa cinta.
Sungguh, saya sangat ingin merekomendasikan semua orang untuk membaca buku ini. Namun, berdasarkan pengalaman pribadi, jika teman-teman sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja, atau merasa sedang drop, sangat tidak disarankan untuk membaca. Efeknya luar biasa!