Setelah 107 tahun lamanya, untuk kali pertama novel atau "surat tjerita" berjudul "Mata Gelap" besutan Marco Kartodikromo berhasil diterbitkan ulang dalam versi lengkap. Sebuah karya dari aktivis antikolonial dan nasionalis Jawa paling cemerlang awal abad XX yang jarang mendapat sorotan pembicaraan oleh kalangan kritikus dan akademisi. Dilabeli bacaan liar oleh kolonial Belanda, novel ini mengangkat kisah empat pemuda yang tengah didera asmara di antara gejala modernitas yang tengah bergejolak.
Kali pertama diterbitkan oleh Drukkerij Insulinde Bandoeng, 1914.
Marco Kartodikromo was a journalist and also Indonesia independent activist, who makes him several times detained in the colonial era. All his works were created in prison, such as Student Hijo.
He also founder of Inlandsche Journalisten Bond, a journalist group on 1914. He became a student of Tirto Adhi Soerjo, another avant-garda journalist in that era.
He died in exile at Boven Digoel on 1935.
Bibliography: * Mata Gelap (1914) * Student Hidjo (1918) * Matahariah (1919) * Rasa Mardika (1918) and reprinted 1931 * Sair Rempah-rempah (1918) * Sair Sama Rasa Sama Rata (1917) * Babad Tanah Djawi (1924-1925)
Karangan “Mata Gelap” ditulis Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, lima tahun sebelum terbitanya Hikayat Kadiroen dikarang (1919) oleh Semaoen. Dalam cerita debut ini, Mas Marco ingin menunjukkan kepada pembaca bagaimana kehidupan tokoh-tokohnya di Semarang pada waktu itu.
Tokoh-tokoh dalam cerita ini digambarkan dengan sangat gamblang. Terlihat kecenderungan Mas Marco mengolok-olok kelakuan priyayi lewat tokoh Amce. Amce ini priyayi kecil miskin yang suka membual akan kebesarannya yang tidak besar itu. Hal-hal yang dia bualkan tidak ia sadari telah menjadi bahan olokan juga bagi teman-temannya. Misalnya saja bagaimana ia menyombongkan diri telah mengenal Retna Permata, nyai dari Bandung yang kaya atas pemberian tuannya orang Belanda, di hadapan teman-temannya. Ia juga berkelakar dengan percaya diri bahwa Retna Permata pasti menyukainya.
Priyayi yang tidak memiliki keunggulan memang seringkali menyombongkan diri demi mempertahankan anggapan kehormatan dari orang lain. Setidaknya ada dua hal penting yang selalu dijunjung orang-orang semacam ini: status sosial dan harta. Sayangnya di sini Amce digambarkan tidak terlalu punya duit banyak. Kepandaian juga tidak begitu mumpuni. Maka dengan berkelakar soal status itulah yang bisa ia junjung tinggi-tinggi.
Cukup menarik bagaimana Mas Marco mengolok-olok cara pikiran Amce. Di hadapan Retno Permatasari yang sudah punya harta dan adab, Amce merasa status, kepandaian, dan hartanya tidak sebanding. Maka dengan apa orang begini harus menuruti kelakarnya. Di sinilah yang menarik. Amce bertemu dengan Truno, seorang gembel tukang mancing, di sebuah bantaran kali. Amce menanyakan perihal dukun yang bisa memberi pengasih. Dia sendiri tidak mengamati bagaimana Truno sendiri juga orang gagal. Tapi karena Truno cukup oportunis melihat keadaan Amce, dijeratlah ia dengan dalil dia bisa memberikan ilmu pengasihan agar Retno Permatasari menyukainya. Di sini ada satu garis penting, bahwa saat priyayi kalah dalam pengetahuan dan harta, ada kecenderungan menapaki jalan mistis sebagai cara paling ampuh mempertahankan harga dirinya. Mungkin cara pandangan begini umum kita dapati dalam masyarakat feodal atau masyarakat dalam sistem kerajaan. Ada anak seorang priyayi yang tidak kompeten memaksa diri menciptakan narasi mistis untuk menempatkan dia dalam titik pandangan yang sakral. Menyedihkan, tapi kemungkinan tetap berlangsung hingga kini.
Tokoh lain yang tak kalah penting adalah Retna Permata. Mas Marco sepertinya telah berhasil menciptakan benih-benih perhatian pada Nyai atau gundik. Kita mungkin tidak asing dengan Nyai Ontosoroh karya Pramoedya Ananta Toer. Sebelum Ontosoroh, Retno Permatasari sudah hadir. Di sini Mas Marco menunjukkan bahwa perempuan seperti Retna Permatasari adalah paket komplit. Dia tidak hanya cantik, sampai diambil nyai Belanda, tapi dia juga pintar beradab serta berharta. Di sini nampak samar ada konsep yang ingin diajukan oleh Marco bahwa perempuan akan sukar ditaklukkan oleh para laki-laki bajingan saat dia memiliki pengetahuan, adab, dan harta meski tidak banyak (lebih tepatnya kecukupan hidup mandiri). Maka lelaki apa yang diharapkan perempuan seperti ini, tentu lekaki beradab. Maka dari itu Retno Permatasari menyukai Subriga. Dialah teman Amce yang kerjanya pas-pasan sebagai penjaga toko.
Pada tokoh lain, Marco memiliki kecenderungan beragam. Ia menempatkan perempuan Sunda sebagai perempuan yang memang menarik dari parasnya. Di sini ada Emmace yang pertama kali hendak ingin ditikun Amce. Lalu Retna Permatasari sebagaimana diuraikan di depan. Lalu Retna Purnamasari adik Retna Permatasari. Ketiganya digambarkan memiliki paras menawan sampai menjadi standar kecantikan lelaki Jawa di daerah Semarang.
Pada bagian konflik, sebagaimana judul, Mas Marco belum keluar dari apa yang menjadi masalah kita hari ini: kehendak nafsu berahi. Ini yang sebenarnya disayangkan dengan penokohan yang cukup menarik. Dari awal, kisah dimulai dari bagaimana cara Amce agar menikung istri saudaranya yang bernama Emmace. Lalu di lain tempat, Amce teralihkan okeh Retna Permatasari. Namun Retno ternyata menyukai kawan Amce bernama Subriga. Lantas Subriga diajak ke rumahnya untuk dikenalkan kepada keluarganya di Pasundan. Di sana Subriga bertemu dengan Retna Purnamasari. Lalu keduanya menjalin asmara di belakang Retno Permatasari. Apa yang digambarkan di sini sama persis dengan film Indoneisa berjudul Ipar Adalah Maut (2024). Lantas ketahuanlah hubungan mereka, yang mengakibatkan Purnamasari minggat ke Semarang. Di sana ia bertemu Sucina, teman Amce dan Subriga. Di sinilah ada kepasrahan Purnamasari sebagai perempuan lemah. Ia berpikir tidak masalah menjual diri asal hidup bisa enak, toh paras juga cantik. Mas Marco hanya menunjukkan kecenderungan tokoh yang begitu mudah takluk akan nafsu berahi. Di sini bisa dibilang ia belum menunjukkan kecenderungan apapun tentang keadaan zaman itu. Hanya saja, ada satu detil menarik. Pada cerita ini digambarkan bahwa Semarang dipenuhi orang dari beragam bangsa. Mungkin kalau sekarang struktur masyarakat kita dipenuhi oleh orang dalam beragam ormas. Sehingga identitas mereka cukup pada pakaian dan perkumpulan saja.
Cerita ini patut diapresiasi sebagai pembuka perhatian atas fenomena pergundikan pada zaman itu dan bagaimana kemunafikan priyayi. Meski secara konflik dan gaya bahasa tidak begitu bagus, tetap saja cerita ini berpengaruh untuk keberlangsungan perkembangan sastra di tahun selanjutnya.
Mata gelap, sebuah tulisan roman yang terbit di masa kolonial. Tentunya saat itu, tulisan tersebut dianggap sebagian orang sebagai tulisan sampah yang tidak ada maknanya. Namun pada saat ini, secara langsung tulisan tersebut memberikan gambaran mengenai adanya pergundikan pada masa kolonial Belanda serta akibatnya terhadap masyarakat menengah Mas Marco sebagai penulis memang terkenal dengan tulisan yang kontroversial pada masanya. Ada student hidjo, serta tulisan menarik lainnya
DNF - bingung, kebanyakan bahasa belanda yang tidak diterjemahkan. Padahal ringkasan belakangnya menjajikan, potret bisnis prostitusi perempuan pribumi oleh orang belanda jaman penjajahan..