Jump to ratings and reviews
Rate this book

Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati

Rate this book
Putu si anak semata wayang itu tumbuh di suatu pedusunan Bali hanya bersama neneknya, tanpa mengenal kedua orangtuanya. Lewat pertemuannya dengan para maestro seni tradisi tari dan gamelan, Putu seakan diberkati karunia keindahan sepanjang hidupnya—sampai suatu kenangan masa silam tiba-tiba mendatangi dan mengingatkan akan siapa dirinya yang sebenarnya.

Inilah kisah seputar Bali periode 1970-an, ketika pulau ini berhadapan dengan suatu peralihan zaman nan lekas, antara pelupaan tragedi 1965 dan penerimaan turisme modern, antara pertanyaan seputar akar budaya dan keterbukaan era kosmpolitanisme hari ini. Dalam silang zaman itulah kesenian menjadi titik pusat segala peristiwa. Apakah Putu yang serba gamang terselamatkan hidupnya, ataukah sebaliknya, justru luka-luka lamanya tiada tersembuhkan?

172 pages, ebook

Published November 9, 2022

8 people are currently reading
74 people want to read

About the author

Ni Made Purnama Sari

9 books4 followers
Karya Ni Made Purnama Sari dimuat di sejumlah media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Bali Post, Indopos, Jurnal Nasional, dan majalah Femina. Dia juga pernah meraih juara di beberapa lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Denpasar (2003), Pusat Bahasa Jakarta (2005), Selsun Golden Award (2006), dan lain-lain. Sebelumnya dia memenangkan kompetisi pembacaan cerpen di Denpasar, yang diraihnya saat masih duduk di bangku SMP dan SMA.

Belakangan, dia lebih kerap menulis puisi. Kumpulan puisinya, Kawitan, menjadi Pemenang II Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Setahun sebelumnya, 2014, antologi puisi pertamanya, Bali-Borneo, meraih Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia dari Yayasan Sagang dan Indopos.

Made pernah diundang mengikuti Temu Sastra Mitra Praja Utama (Lampung, 2010), Ubud Writers and Readers Festival (Bali, 2010), Temu Sastrawan Indonesia IV (Ternate, 2011), Padang Literary Biennale (Padang, 2014), Emerging Writers Festival (Melbourne, 2015), Salihara International Literary Biennale (Jakarta, 2015), dan Pasar Malam Literary Festival (Paris, 2016).

Wanita kelahiran Klungkung, 22 Maret 1989, ini pernah bergiat di Bentara Budaya Bali, Tempo Institute, dan sebagai kurator fiksi dan budaya di blog publik Indonesiana Tempo.co. Dia juga kontributor media dan asisten editor beberapa buku memoar dan budaya.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1 (2%)
4 stars
25 (50%)
3 stars
20 (40%)
2 stars
4 (8%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 14 of 14 reviews
Profile Image for arneta.
166 reviews
January 19, 2023
Bukunya cantik. Membahas Putu, penari Bali yang dihantui oleh masa lalu sehingga ia kesulitan untuk melanjutkan apa yang disukainya. It’s sad to see how your past leaves shadows long enough to actually cripple you in the present. Bagian favoritku adalah penggambaran hubungan Putu dan Ninik; pahit tapi manis, hasil dari masa lalu tersebut.

Satu hal yang membuat agak nggak nyaman adalah… narasinya terlalu purple-prose, bercampur dengan banyak istilah kebudayaan Bali, dan ditambah alur yang maju mundur membuat beberapa bagian agak sulit diikuti.
Profile Image for dyta suwahjo.
7 reviews6 followers
July 16, 2023
ga ada subtitel pas bagian bahasa bali 🥲 ritualnya jg g dijelasin ini buat apa yg itu gunanya apa jd menurutku kurang ramah buat pembaca nonbali
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for fara.
280 reviews42 followers
March 13, 2023
Satu hal yang membuat saya tertarik pada buku ini dan mengambilnya dari deretan rak di toko buku adalah sampulnya yang menarik hati (bonus kartu pos sebanyak tiga lembar pula) dengan ilustrasi dari seniman bernama Erica Hestu Wahyuni. Rampung dalam sekali duduk, novela atau roman (anggap saja meski tipis tapi mampu membungkus cerita tokoh dari masa kecilnya hingga dewasa) ini mengisahkan seorang anak bernama Putu dengan masa lalu yang kelam dan hidupnya dianggap sebagai aib dan ia diasuh oleh neneknya yang kerap dipanggil dengan Ninik.

Ada begitu banyak kosa kata dan istilah dalam bahasa Bali yang membuat saya berhenti sejenak untuk mencari artinya, sekadar ingin tahu apa yang disebutkan penulis, juga menyambungkan maknanya dengan tulisan berikutnya meski beberapa kali penulis menegaskan kembali. Sebagai pembaca yang bukan berasal dari Bali dan mengenal budaya Bali hanya melalui internet dan buku-buku, dengan tidak adanya catatan kaki, saya jelas sedikit kewalahan dalam memahami. Rasanya sama saja seperti pergi ke hutan tanpa membawa kompas. Terlebih ketika sampai pada dialog penuh yang tidak ditegaskan ulang oleh penulis sebagaimana beberapa kasus.

Berangkat dari Ni Made Purnama Sari yang lebih dikenal piawai dalam merajah kata dalam puisi dan sajak-sajaknya, nggak heran kalau ia menguntai kalimat dengan apik dan mendayu-dayu (juga super detail). Walau butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan ritme narasinya (yang dari sudut pandang orang kedua pula), pada akhirnya saya bisa menikmati novela ini sampai selesai. Bahkan sesekali terpukau karena beberapa kali diksi dan permainan kata yang luwes terasa sangat pas menyesuaikan momentum yang ada dalam cerita. Seperti misalnya nukilan di bawah ini.

Dalam kepalanya, Putu teringat pada sekeping pelajaran di kelasnya: lumut yang perlahan mengikis bebatuan itu kelak bakal melahirkan kehidupan baru dan menjadi rumah bagi sekuntum bunga atau pakis. Dulunya dia membayangkan metafor kikisnya bebatuan sebagai sesuatu yang menakjubkan, dan imajinasi Putu yang cilik beralih pada kehidupan yang keras—bahwa dalam padasnya masa kecil, dia percaya suatu saat nanti kehidupan yang didambanya bakal sampai pada genggaman. Pengetahuan sederhana itu, dengan caranya sendiri, menjadi penyemangatnya buat terus menekuni tari, suatu dunia yang dia percayai akan menyelamatkannya dari segala mala dan luka. (halaman 55)

Sementara itu, dalam menyingkap bab demi bab saya seakan diajak berkeliling bersama Putu kecil dan Pak Wayan Kaler dalam mengunjungi tiap-tiap pertunjukan di desa-desa, menyelami dunia seni tari Bali yang sejak 1970-an mulai bergeser dari sekadar peribadatan menjadi pertunjukan yang bersifat komersial. Juga memahami pahit-manis kehidupan Putu kecil yang hanya tinggal bersama Ninik-nya dengan kesejahteraan yang nggak seberapa. Pun, pada stigma-stigma yang dipanggul di kedua bahunya sejak masih kanak-kanak. Diskriminasi yang membuat pribadi Putu nggak bisa melakukan sesuatu secara leluasa membuat saya turut prihatin akan identitas yang dibawanya.

Pernahkah dia merasa terasingkan di rumahnya sendiri, dikutuk masa lalu yang membayanginya tanpa dapat dielak? Pernahkah dia dihakimi karena cinta kasih yang murni bertumbuh dalam hati, namun ditolak hanya lantaran dirinya anak siapa, dari keluarga macam apa? Menjalani takdir yang bahkan dirinya tak mengerti mengapa mesti itu dijalaninya? Lihatlah pria ini, yang matanya menyiratkan kerinduan teramat sendu, dihinggapi perasaan romantik sebagai pengembara yang yakin telah menemukan tempat sepenuhnya menetap. Kau ingin membangunkannya, berkata kepadanya betapa bahayanya ilusi itu. Lihatlah lebih dalam: tidak ada kedamaian abadi di pulau ini. (halaman 116)

Saya suka dengan segala istilah kesenian mulai dari tari, lukisan, hingga puisi dan nilai-nilai filosofisnya. Ni Made Purnama Sari berhasil menuangkan buah pikirnya dengan apik, yakni dengan nggak menggurui atau menempelkannya sebagai tambahan dalam cerita. Meskipun dengan berat hati saya akui jika latar belakang sejarahnya (yang menyinggung soal Gestok 1965) kurang dibeberkan dengan matang. Pada dasarnya, potensi latar sejarah yang disorot sangat menjanjikan, terlebih karena itu menjadi alasan mengapa sepanjang hidup Putu harus dilalui di bawah penghakiman masyarakat. Dalam situasi apapun, selalu ada garis batas yang membedakannya dengan masyarakat lain. Bahkan tidak luput dari perlakuan keluarga bangsawan yang banyak diceritakan suka bersikap semena-mena.

Pengungkapan identitas dengan fakta asli dari narasumber dan juga cara mengakhiri cerita dengan narasi penuh kegetiran saya rasa kurang cukup memberikan rasa 'menggugah' pembaca. Hanya sekadar menutup babakan episode penuh luka dengan luka lainnya. Luka yang bertumpuk. Yang kemudian bisa saya simpulkan sebagai bagian dari trauma sejarah juga. Adapun dari novela ini saya juga belajar bahwa betapapun seni nggak akan bisa dipisahkan dari politik. Sementara itu, saya merasa klimaks cerita ini juga bagus. Terkait konsep hidup yang diambil dari gagasan Ida Pedanda Made Sidemen dalam puisi (geguritan)-nya yang berjudul Selampah Laku.

"Putu, saya sangat suka puisi yang diciptakan seorang pujangga Bali," kau mengenang ucapan Rambu waktu itu. "Yening ten ngelah karang tanah, tandurin karang awak. Kalau tak punya sebidang tanah ladang, maka tanami dan tumbuhkanlah tubuhmu sendiri." (halaman 188)

Bagaimanapun, kehidupan kita hanya ada di tangan kita sendiri.

Jika dibandingkan dengan Kalamata —salah satu karya Ni Made Purnama Sari sebelumnya yang pernah saya baca, Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati was better than I expected. Beberapa kali saya temukan salah ketik, kata yang nggak sesuai kaidah, juga kalimat tanpa spasi. Nggak begitu mengganggu tapi cukup fatal untuk seukuran buku terbitan KPG. Semoga di cetakan berikutnya dapat diperbaiki.
Profile Image for wrtnbytata.
204 reviews3 followers
April 10, 2023
“[...] Bagaimana dia sebatang kara mengikat diri pada inangnya yang rapuh, sebongkah arang dan sabut kelapa, yang kelak bakal terurai oleh waktu?”

How does it feel to dance with the ghost of your past? Every step you take, he follows. The burden, grief, and trauma of the past are heavily depicted through the story of Putu on his journey to find his way back home.

“Kau pulang, tapi adakah kau kembali? Kau tiba, namun sungguhkah kau telah sampai?”

This book has 3 chapters that happened in a different timeline to show Putu’s life in becoming a Balinese professional dancer and then his running away journey from his life until his homecoming to Bali –“[...] pulang ke kampung halaman, tak peduli jika itu membuatmu menyelam jauh ke masa silam dan membuka lagi luka-luka lama.”

Society's prejudice against communists and people related to them is the main issue that is portrayed through Putu. Being abandoned by his parents and living with his grandmother, little Putu had to face the mockery of his surroundings who assumed his parents left him to follow their political party. Poverty and mockery pressured Putu, the only thing that could help him have breath was to learn traditional dance. His passion for Balinese dance started to bloom–and later on turned into his ambition–after he joined his teacher, Wayan Kaler. Still with the same prejudice from his society that became the obstacle in his journey to achieve his ambition.

Taking a place in the 1970s, the story gives a portrayal of the tourism industry development in Bali. Also, in how local artists adapt to this fast development of the modern era that might threaten their tradition, for example, dancers started to shift their performance focus to the entertainment industry instead of the spiritual agenda. It mentions the development of traditional dance in different parts of Bali, how each region has its own specialty of movement in the same dance, especially the development of ‘Tari Topeng’ since it’s the main interest of Putu: ”Dalam Topeng, kamu mesti menjadikan sesuatu yang mati menjadi hidup.”

This book strikes home for me, not only it gives the familiar daily activities of the locals, but it also shows how the society viewed anomalies in their beliefs and the human aspect of traditions. One that leave a big impression to me is how society view a divorced as a failure and refuse to accept them normally into the community, which depicted in Putu’s grandmother’s character: “Ni Mudung diterima kembali sebagai anak hubungan darah, namun selebihnya, pada tataran sosial, budaya, maupun keagamaan, dia sungguh-sungguh terbuang.”

As a Balinese myself, this book gave me a glimpse of the life of the old generation, like how they spent their time with their families or communities, folktales that are often told by parents to their child before sleep (some that are familiar to me, like “Rare Angon”), and also the development of industries in Bali–especially in tourism and art. Generally, this book conveys the consequences of the current dispute on children and the risk of giving them trauma that might affect their future.

“Terlalu banyak memori yang menghantuimu saat ini. Masing-masing secara ajaib saling menjalin, terus menyusun diri seiring berjalannya waktu–hingga mereka membaur, bahkan tumpang-tindih. Menaut kusut.”

“Lekas tanggalkan topengmu dan tatap segalanya dengan wajahmu yang sebenar-benarnya…”
Profile Image for Sunarko KasmiRa.
293 reviews6 followers
November 14, 2022
Kembali mengakrabi cerita tentang Bali melalui potret kisah Putu seorang penari tradisional Bali yang memiliki asal usul dan masa lalu yang rumit. Ia tidak sempat mengenal kedua orang tuanya, satu-satunya keluarga yang ia tahu hanyalah Ni Mundung (seorang nenek yang dalam keseharian ia panggil dengan sebutan Ninik). Berkat kepiawaiannya dalam menari dan dorongan dari Ninik-nya (terlepas dari apapun motivasi sang nenek yang terus mendorong Putu untuk menari) Putu banyak bertemu guru yang hebat yang kemudian mengantarkannya menjadi penari tersohor. Namun dibalik semua pencapaiannya tersebut, hidup Putu selalu saja diliputi kegelisahan bayang-bayang dan kerumitan masa lalunya yang selamanya tak akan mampu ia hapuskan.

Cerita dalam Novel Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati berlatarkan waktu era tahun 1970-an dimana diceritakan pada tahun-tahun tersebut Bali sedang mengalami transisi yang cukup siginifikan terutama dalam bidang pariwisata dan juga politik. Dalam hal pariwisata, ditandai dengan mulai dibangunnya hotel, turis asing yang mulai berdatangan. Selain itu, fungsi tarian-tarian tradisional Bali-pun mulai menjadi majemuk. Tarian tradisional tidak hanya menjadi bagian dari suatu prosesi keagamaan, namun juga menjadi suatu media pertunjukkan yang dapat dinikmati oleh banyak pihak termasuk turis asing. Beberapa isu politik juga dimasukkan dalam cerita meskipun tidak sepesifik, contohnya isu-isu terkait dengan 1965.

Novel ini menjadi semakin cantik karena dilengkapi juga dengan ilustrasi lukisan karya Erica Hestu Wahyuni yang sangat menggemaskan tetapi juga berkarakter pada saat yang bersamaan. Setiap fase hidup dari tokoh Putu dibuatkan ilustrasi yang semakin menambah semaraknya buku ini. Diketahui Ni Made Purnama Sari merupakan penulis yang sebelumnya banyak menerbitkan karya puisi. Tidaklah heran jika pada novelnya ini banyak sekali memasukkan metafora dan diksi-diksi yang puitis. Sebagai pembaca awam, saya perlu waktu ekstra karena perlu mengulang dan fokus dengan apa yang ingin disampaikan penulis. Namun,setelahnya cerita mengalir dengan luwes dengan nuansa Bali sangat kental.
Profile Image for Anton.
157 reviews10 followers
January 28, 2024
Membeli buku karena berteman dengan penulisnya sejak dia masih SMA, Purnama. Sampai sekarang juga masih sering ketemu dia dalam beberapa acara sastra. Alasan kedua, karena buku ini bertema tentang Bali, lokus dan identitas yang semakin melekat padaku.

Meskipun demikian, dua alasan tersebut ternyata tak cukup membuatku menikmati buku ini.

Gaya bercerita buku dengan sudut pandang orang kedua membuat cerita dalam buku ini lebih susah diikuti dan dipahami. Sudut pandang ini, menurutku, pilihan yang berani oleh Purnama. Sebagai nama relatif baru, dia berani mengambil gaya yang memang tidak biasa ini. Angkat topi buat gaya bercerita ini.

Tema buku yang spesifik, dengan setting industri pariwisata di Bali dan sedikit bumbu tentang tragedi 1965, seharusnya juga keren untuk dibahas. Cuma, rasanya kok susah mengikuti apa sebenarnya cerita utama buku ini.

Maaf, ya, Purnama.. Aku tunggu karya-karyamu selanjutnya.

Salam dari pembaca buku yang masih bermimpi kapan bisa membuat buku sendiri sepertimu. :)
Profile Image for Amel.
205 reviews4 followers
December 1, 2023
3/5 🌟

Kurang 'sampai' poin apa yang mau diceritakan. Cukup bisa dimengerti, tapi untuk dinikmati, kurasa kurang. Sayang banget padahal kisah yang diangkat cukup menarik dan bahasanya pun indah. Tapi kurasa perlu ditambah detail-detailnya biar bisa lebih sempurna. Seperti penambahan tahun kejadian, dan juga sesederhana terjemahan dari kalimat berbahasa daerah.

Aku baru tahu setelah baca beberapa bab, kalau buku ini juga menyangkut sedikit tentang sejarah. Baca buku ini mengingatkanku sama novel Perempuan Bersampur Merah, ide dan tema ceritanya mirip.

Oiya, kurasa yang bikin agak aneh di aku, juga karena pov nya pakai orang kedua. Aku jarang banget baca buku pov orang kedua.
Profile Image for Kaytalist.
348 reviews26 followers
December 18, 2022
Ditulis dengan second pov, buku ini mengajak kita berkenalan dengan Putu, sosok penari lelaki yang hidupnya dihantui tentang asal usul masa lalunya, tentang siapa sosok ayah dan ibunya. Melalui kisahnya, kita diajak melintas ke Bali tahun 1970an di mana kita bisa menemui isu politik, agama, budaya dan seni yang terjalin padu, menyajikan kisah hidup Putu. Ilustrasi cantik menambah kesan magis dari novella ini

Ps : Kalaupun ada hal yang membuat saya tidak nyaman ialah kentalnya male gaze di beberapa part buku ini
Profile Image for Indah Purwanti.
124 reviews1 follower
January 2, 2023
Kultur Bali sangat kental dalam buku ini. Penulis menyelipkan bahasa Bali, mendeskripsikan benda-benda yang dipergunakan dalam masyarakat Bali, dan menceritakan setiap karakter tokoh Bali dengan sangat indah.

Novel ini mengunakan alur maju mundur, dalam perjalanan Putu (sang tokoh utama) mulih, pulang kembali ke tanah kelahiran setelah beberapa waktu mengembara.

Nilai yang digambarkan di sini adalah kehampaan. Sampai akhir cerita pun pembaca dapat merasakan kehampaan dari sosok Putu.
Profile Image for Hanyiezd.
136 reviews
August 14, 2023
Penuh dengan prosa ungu dan majas lainnya. Halamannya keliatan tipis, padahal isi per lembarnya padat sekali.

Awalnya aku gagal fokus sama Putu itu sebenarnya cewek apa cowok. Ketika aku baca dari awal namanya penari, kirain cewek. Ternyata pas sampe pertengahan baru tahu kalau Putu ternyata lakik!

Baca novel ini berasa lagi diajak keliling Bali tahun 70-an. Ditambah mengetahui asal muasal tarian dan daerahnya. Seru pokoknya.
Profile Image for vee.
8 reviews
April 8, 2023
buatku yang baru pertama kali membaca buku dengan sudut pandang orang kedua agak susah untuk dicerna. harus sabar dan baca berulang baru paham. BUT, aku suka sama diksi-diksinya. Plus bikin nambah wawasan mengenai kehidupan penari dan orang bali yang masih kental dengan adat.
Profile Image for Dinda Mahadewi.
69 reviews2 followers
May 4, 2024
Gestok di Bali yang menelan sejumlah 80.000 nyawa menyisakan pilu bagi mereka yang ditinggalkan. Mereka yang menjadi keluarga dari korban harus hidup dalam bayang-bayang kenangan mereka yang meninggalkan.
Profile Image for Cynthia.
8 reviews
March 31, 2025
kartu pos freebies jadi alasan beli. kebetulan budaya bali itu akan selamanya menarik, cuma lebih apresiasi kalau beberapa memang dijelaskan, termasuk bahasa juga di artikan. Karena kebetulan hal tersebut sangatlah menganggu
Displaying 1 - 14 of 14 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.