Sesudah peristiwa penemuan tengkorak di padang ilalang, Nirwan, aktivis desa yang pernah memimpin usaha perebutan lahan dengan perusahaan sawit, berupaya membuktikan bahwa tengkorak itu bukanlah milik adiknya. Sementara itu, sejak ia bebas dari penjara, situasi di dusunnya telah berubah. Orang-orang dusun tenggelam dalam pikiran-pikiran kolot mereka. Tak ada yang curiga sama sekali dengan semua kejadian ganjil yang terus terjadi di Lubuk Tebing. Bisakah Nirwan mengungkap rahasia di balik tengkorak di padang ilalang itu?
Apa yang terjadi di Lubuk Tebing, akan tetap tinggal di Lubuk Tebing. Bukan apa-apa, sebab tempat ini terpencil, nyaris tak tersentuh berita. Jauh dan terselubung seperti Macondo atau Comala. Secara geografis letaknya mungkin lebih dekat dengan Halimunda atau Rumbuk Randu. Dan mirip seperti keempat tempat itu, di Lubuk Tebing para wong cilik hidup berkelindan dengan panorama alam, politik kekuasaan, sifat-sifat buruk manusia, serta muslihat klenik.
Seorang tetua sudah meramalkan tiga tanda malapetaka di Lubuk Tebing: Padang ilalang dikotori darah, lelaki mati di Sungai Muaras, serta kelahiran orok perempuan bergigi. Ketika semua pertanda itu terwujud dalam rentang waktu yang berdekatan, maka kengerian pun melanda seluruh warga Lubuk Tebing, apalagi setelah ditemukan tengkorak tak dikenal di padang ilalang─padang yang dikeramatkan, yang sekaligus jadi pusat konflik perebutan lahan antara warga desa dan sebuah perusahaan sawit multinasional.
Lubuk Tebing beruntung masih punya Nirwan, seorang aktivis lokal yang bersedia mati-matian mempertahankan aset berharga milik kampungnya itu, yang bahkan sampai membuatnya harus dikurung 8 bulan penjara. Sayangnya, begitu ia menghirup udara bebas ia justru dihadapkan pada situasi yang semakin pelik. Selain karena adik perempuannya hilang misterius, Nirwan dihadapkan pada rasa bahwa musuhnya bukan lagi orang-orang luar tapi justru warga desanya sendiri yang diam-diam diikat komitmen oleh antek-antek perusahaan. Alhasil, tak banyak yang bisa dilakukan Nirwan berikutnya selain mencari bukti bahwa tengkorak di padang ilalang itu bukanlah milik adik semata wayangnya.
Lebih jauh lagi, tidak banyak pula yang bisa dilakukan oleh pembaca selain semakin menghanyutkan diri dalam derasnya aliran narasi novel ini menuju titik yang sulit diterka apakah akan menyingkap, menyimpulkan, atau malah merobohkan sesuatu.
Sesuai judulnya, Kepada Siapa Ilalang Bercerita lebih tepat diperlakukan sebagai kisah yang “dituturkan” oleh padang ilalang Lubuk Tebing itu sendiri, sebagai personifikasi dari saksi bisu atas laku tokoh-tokoh yang berurusan dengannya. Nirwan memang bukan satu-satunya cerita karena setiap bab di sini menyingkap konflik pribadi yang cukup berlapis-lapis dari tokoh-tokoh penting lainnya seperti kepala desa, hansip, buruh, jongos, pelacur, pengacara, sampai guru tari yang mendadak gila. Semuanya hidup dalam keabu-abuan, baik dalam hal sikap maupun garis nasibnya masing-masing.
Bukan hanya konflik yang pandai diramu oleh Eki Saputra, ia juga terampil menyusun diksi dalam kalimat dan paragraf sehingga sanggup menyetir imajinasi menuju realitas Lubuk Tebing yang sebenarnya asing tapi akrab secara bersamaan. Tak ada penggunaan kata yang sia-sia, semuanya masak dan siap disantap dengan lahap. Sama halnya tidak ada karakter yang sia-sia, semuanya jalin-menjalin dalam lingkaran kehancuran yang mungkin puing-puingnya akan terus berjatuhan turun-temurun.
Perebutan lahan antara perusahaan dengan warga lokal memang topik yang sangat familier terjadi di Indonesia. Yang menarik dalam novel ini adalah tentang bagaimana konflik kedua belah pihak itu dikaburkan batasnya lewat peran “tangan-tangan tak terlihat”. Orang-orang perusahaan itu hanya sebentar saja muncul dalam cerita, mentransfer mandat dan kepentingan mereka dari kejauhan, sehingga selebihnya konflik justru berpusat pada sesama warga Lubuk Tebing sendiri. Pertarungan yang kemudian terjadi adalah antarmereka yang berasal dari kelas sosial yang sama, di mana yang satu meneriakkan harga diri sementara lainnya berteriak demi harga yang diterima sendiri.
Pada akhirnya, novel ini seperti menguji pegangan para pembaca sekalian perihal hukum seperti apa yang berlaku dalam kehidupan sekarang─atau setidaknya, kehidupan di Lubuk Tebing. Apakah kita masih percaya pada hukum Ilahi bahwa yang benar yang akan menang, atau hukum rimba di mana yang kuatlah yang menang? Atau justru kita dibuat percaya kepada cinta sebagai dirigen utama dari setiap tindakan manusia, baik yang mulia ataupun yang hina? Entahlah, yang jelas bagi saya urusan manusia memang selalu berujung celaka karena kita dikutuk untuk tidak pernah puas menerima.
Pokoknya, selamat kepada Eki Saputra. Novel debutmu ini memukau!