"Dalam bulan Februari 1967 kami ditahan. Saya disiksa begitu hebat hingga gigi-gigi saya rontok. Saya tak sadarkan diri selama tiga hari. Kemudia mereka menggali liang kubur dan akan menguburkan saya jika saya tidak mau menyebutkan nama dan alamat anggota lainnya."Sepeninggal pengakuan Sujinah, mantan pemimpin Gerwani ini hanyalah sekuku hitam dari kejinya penderitaan yang dialami oleh jutaan trapol perempuan korban tragedi G30S.
Kudeta berdarah itu menjadi bagian sejarah kelam perjuangan kemerdekaan kaum perempuan Indonesia. Pasca-G30S, para mantan anggota Gerwani, sebagian perempuan berhaluan nasionalis dan tak sedikit para loyalis Sukarno disiksa luar-dalam hingga merengang nyawa. Selebihnya, banyak di antara mereka tertatih-tatih bertahan hidup di balik tembok penjara.
Semangat perempuan revolusioner yang didengung-dengungkan semasa Orde Lama, mendadak dimusnahkan manakala kekuasaan negara Orde Bar mencengkeram. Selama 32 tahun, ruang gerak perempuan dalam bersuara dan berpolitik dibungkam. Gerakan perempuan hanya sebatas gerakan pelengkap suami yang tercitrakan lewat Dharma Wanita. Aktivasi perempuan revolusioner dianggap sebagai ancaman. Untuk meredamnya, penguasa Orde Baru menyebarluaskan narasi sejarah fiksi tentang sepak terjang Gerwani yang digambarkan ganas dan tega membunuh para jendral.
Buku yang merupakan thesis untuk memperoleh gelar doktor di Universitas Amsterdam ini berkontribusi besar dalam menguak sisi gelap dan digelapkan atas peristiwa kudeta militer 1965. Akibat tragedi itu terjadilah pembunuhan massal masyarakat sipil tak bersalah serta upaya demonisasi salah satu organisasi perempuan terkuat pada zamannya sebagai dasar untuk melakukan pembungkaman bahkan upaya penghancuran gerakan perempuan di Indonesia. Buku ini layak menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah untuk menumbuhkan kesadaran baru atas kebenaran sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Buku ini layak menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah untuk menumbuhkan kesadaran baru atas kebenaran sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Catatan sejarah yang pedih yang merupakan tragedi kemanusiaan terbesar Abad XX yang tak boleh diingkari dan dilupakan. Nursyahbani Katjasungkana, SH -Koordinator Kartini Asia Network
Mempelajari kembali sejarah G30S versi Orde Baru, kita akan menemukan benang merah bagaimana rezim Orde Baru menguasai media massa dan menggunakannya untuk melakukan kampanye hitam. Cerita tentang kekejian Gerwani menjadi salah satu landasan untuk membangun Rezim Orde Baru dan mendongkel Rezim Sukarno. Seluruh fakta dan fiksi yang tumpang-tindih itu anti-ketertiban, penuh dengan revolusi, pengkhianatan, pembunuhan, dan sebagainya. Melalui buku ini, Saskia berhasil membongkar sebuah babak penting dalam sejarah Indonesia modern di mana unsur pidana kejahatan terhadap kemanusiaan begitu lengkap terjadi. Yosep Adi Prasetyo, - Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Saskia Eleonora Wieringa is a Dutch sociologist. She is a professor of Gender and Women's Same-Sex Relations Crossculturally at the Faculty of Social and Behavioural Sciences at the University of Amsterdam. The area of study was established by the Foundation for Lesbian and Gay Studies and sponsored by Hivos. From 1 April 2005 to 19 April 2012, she served as the director of Aletta, Institute for Women's History (currently Atria Institute on gender equality and women's history) in Amsterdam.
Mengapa perempuan? Mengapa bukan wanita? Mengapa Gerwani dikatakan sebagai 'geng pelacur'? Perempuan semakin 'nista' semenjak zaman orde baru; tugas perempuan yang utama ialah mendampingi suami. Apakah kemudian perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri mereka sendiri? Lantas, apa kaitannya orde baru dengan Gerwani? Benarkah Gerwani menyiksa para pahlawan revolusi, seperti yang dikatakan oleh sejarah dan museum; menyayat-nyayat selangkangan para lelaki pejuang, memaksa meniduri mereka, serta melacurkan diri? Buku yang ditulis dengan sangat apik oleh Ibu Saskia sangat menjelaskan arti hadir perempuan dalam masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Distorsi peran Kartini, pengecilan dan penyempitan peran perempuan,serta kebijakan-kebijakan Presiden Yang Tersenyum dibahas di buku ini. Saya sangat menganjurkan agar para perempuan membaca buku ini, agar mereka mengerti bahwa peran mereka sama besarnya dengan peran laki-laki; bahwa mereka juga tak kalah pentingnya. Buku ini juga patut dibaca dalam rangka pelurusan kejadian sejarah yang telah mengalami 'pembelokan'.
saya rasa penulis buku ini independen ada pro kontra didalamnya dibahas dan menyajikan peran gerwani yang akan diceritakan lebih dalam terhadap buku ini . “Perempuan unggul sebagai moral. Sebagai akibatnya, menanggung kebusukan manusia.” . "Perempuan masih ditampilkan pasif, dan bertindak sesuai tekanan laki laki" . "Sejarah selalu diperlihatkan untuk lelaki, peran perempuan hampir tidak ada" . “Dilema sejarah perempuan di satu pihak yang mengungkapkan kebenaran yang hingga sekarang diingkari, disembunyikan, diputar balik, dan dibusukkan sedangkan pihak lain menolak kemungkinan objektivitas dan menerima fungsi humanistik dan penutusan kisah dari sejarah (perempuan).” . “Sebelum meneliti gerwani, penulis yakni Saskia Wieiringa berusaha mendapatkan untuk bukti penelitian terkait keberadaan gerwani. Pada saat itu, menghubungi pastor supaya mengetahui ini ternyata koneksi menghubungkan ke Kolonel dan memanggilnya. Dihadapkan kolonel, penulis khawatir akan ancaman pada diri sendiri. Kolonel memarahi dengan nada kasar, "mengapa dan ada dengan organisasi pengkhianat komunis ini". Penulis berusaha menenangkan keadaan sambil menjelaskan dalam rangka penelitian gerwani. Kemudian dibawa ke keberadaan tempat tersebut yaitu diantarkan.” . “Munculnya atau dan Berdirinya Komunis atau Sosialis. “Pada 1912, Sarikat Islam diketuai oleh Cokroaminoto menyuarakan melalui pidato terhadap kalangan petani dan buruh yang mana nanti menjadi gerakan sosialis tangguh yakni melahirkan PKI. Gerakan ini melawan diskriminasi terhadap diri (kaum petani dan buruh jawa) serta melawan atau protes eksploitasi kolonial dan tuan tanah feodal Tionghoa maupun Belanda.” . Soekarno, "Dalam revolusi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, laki laki tidak akan berhasil tanpa perempuan" . “Gerwani juga melawan hukum yang mana isi struktur hukum menindas perempuan.” . “Sebelum 1950, Soekarno memperjuangkan perempuan. Sebaliknya pasca 1950, Perwari memprotes keras terhadap Soekarno memperlihatkan moral buruk pada dirinya dan mengkhianati perjuangan perempuan bahkan soekarno adalah vrouwengek (Gila Perempuan) ketika main kawin dengan Hartini. Fatmawati bercerai darinya.” . “1948 PKI membentuk WanKom (Wanita Komunis) yang berguna memasuki organisasi perempuan manapun termasuk gerwis.” . “PKI menentang terhadap laki laki selaku suami berbuat semena mena didalamnya bermain perempuan lain (mengakhiri feodalisme)” . “Ada alasan perempuan masuk gerwani kebanyakan perempuan menyaksikan laki laki bermain wanita termasuk tokoh masyumi cerai - kawin berulang kali dan bermain wanita” . “Sebelum gerwani, organisasi ini pada awalnya bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Perubahan ini pada tahun 1954 dan ditekan oleh PKI menyusupi pada organisasi. Pada masa gerwis melakukan secara independen tanpa memihak, pasca dari itu PKI menyusupi gerwis sehingga berubah menjadi gerwani untuk haluan politik” . “Mengapa garis hubungan PKI dan Gerwani, pada masa itu banyak atau mayoritas perempuan organisasi gerwani itu bekerja sebagai buruh dan memiliki koneksi dengan PKI. Pada hakikatnya gerwani bukanlah kaki tangan PKI. Organisasi ini nama lain KPAI jika diistilahkan zaman sekarang dan gerwani menerjunkan memberantas buta huruf, memberikan pendidikan pada masyarakat, mengajarkan bekerja, menyelamatkan anak dan istri dari kekerasan suami atau dan lelaki lain.” . Bagi mereka (non komunis) memandang gerwani adalah kaki tangan. Buku ini mengungkapkan perbedaan hakikat gerwani - PKI. Gerwani bukanlah kaki tangan PKI. Kebanyakan gerwani simbol PKI memang iya karena banyak perempuan bekerja sebagai buruh untuk memenuhi hidup sehingga diperlihatkan mereka non komunis adalah PKI karena PKI erat citra dengan buruh . “Gerwani mengecam perkawinan tidak setara seperti seorang Kyai sudah beranak 12 dari tiga istrinya dan menikah paksa lagi dengan gadis kecil” . “Gerwani memprotes terhadap film imperialis AS yakni film cabul karena tidak sesuai dengan sopan santun dalam bermasyarakat demikian ini didukung oleh perempuan muslimat NU. Gerwani dan perempuan muslimat NU juga memprotes adanya mahasiswi indonesia yang sedang menari di kapal AS bersama marinir AS.” . “Gerwani juga menggalakkan melarang pelacuran, sebagai akibat dari maraknya imperialis AS film cabul sehingga gerwani harus bertindak melarang feodali terhadap perempuan pada umumnya tidak sesuai dan mendapat diskriminasi dalam derajat.” . Saya menyimpulkan, gerwani pada hakikatnya adalah organisasi perempuan merupakan nama istilah zaman sekarang adalah Komnas perempuan dan KPAI. Pada masa itu, bukan kaki tangan PKI karena pada prinsipnya, sangat banyak perempuan masuk kesana karena menyaksikan penindasan terhadap perempuan seperti banyak tokoh melakukan perkawinan paksa dan bermain perempuan dan mengapa dianggap PKI oleh nonkomunis terhadap gerwani? Jawabannya adalah sangat banyak perempuan bekerja sebagai buruh. Selebihnya dibaca di buku sendiri hehe……
Buku ini sudah lama sekali berada dalam wish list saya, namun justru baru bisa saya dapatkan ketika saya belajar di Australia. Rasa-rasanya lumayan susah menemukan copy buku ini di Banjarmasin, kota tempat asal saya. Sebelum membaca buku ini, saya sudah sempat "berkenalan" dengan keberadaan Gerwani melalui beberapa kali diskusi dan public talk yang saya hadiri. Perkenalan saya dengan Gerwani tersebut masih terus membuat saya diliputi pertanyaan: jika program-program yang dijalankan Gerwani berdampak positif, mengapa kemudian mereka dihancurkan dengan sedemikian rupa?; bagaimana Gerwani bisa bertumbuh dengan sangat masif pada awalnya?; bagaimana hubungan Gerwani dengan berbagai organisasi lain yang ada di Indonesia pada waktu itu, baik yang memiliki persamaan maupun perbedaan ideologi?
Wieringa kemudian menjawab pertanyaan saya satu per satu dengan detail. Ia memulai buku ini dengan menunjukkan ketertarikan serta rasa penasarannya akan Gerwani. Ia kemudian memulai penelusarannya terhadap Gerwani melalui orang-orang dan di lokasi-lokasi yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya, seperti menemui pastor atau di sela-sela menjadi pasien seorang tukang pijat yang ternyata pernah aktif sebagai anggota Gerwani.
Dari pertemuan-pertemuan dan cerita-cerita yang dirangkai Wierenga itu lah, saya kemudian mengenal Gerwani dengan lebih dalam. Hal-hal yang mereka perjuangkan dan mereka pertentangkan; bagaimana mereka memandang suatu isu ketika isu tersebut berkaitan dengan tokoh-tokoh penting yang dekat dengan mereka, misalnya terkait dengan keputusan Presiden Sukarno untuk melakukan poligami; bagaimana kerjasama-kersajasama yang Gerwani lakukan dan dengan organisasi mana saja yang memiliki gesekan/tensi dengan Gerwani, juga menjawab bagaimana kedekatan dan relasi antara Gerwani dan PKI sebenarnya.
Pemberangusan Gerwani yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru merupakan aksi yang disengaja dan masif dengan menggunakan misinformasi dan disinformasi. Motifnya sepertinya untuk menghancurkan ideologi komunis itu sendiri sekaligus mengontrol gerakan-gerakan masyarakat termasuk gerakan perempuan. Narasi terkait perempuan ideal pun diciptakan melalui rezim gender baru yang sangat kontras dengan Gerwani. Setelah membaca ini, saya jadi sangat tertarik untuk membaca tulisannya Julia Suryakusuma mengenai ibuisme negara.
Buku "Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI" karya Saskia Eleonora Wieringa merupakan kajian mendalam tentang bagaimana gerakan perempuan revolusioner di Indonesia mengalami pembungkaman dan penghancuran setelah peristiwa G30S. Buku ini mengungkap penderitaan perempuan anggota Gerwani yang disiksa, dibui, dan dimarginalkan oleh rezim Orde Baru yang memusuhi aktivisme perempuan yang dianggap mengancam kekuasaan.
Wieringa membongkar narasi palsu dan kampanye demonisasi yang dijalankan rezim Orde Baru terhadap gerakan perempuan yang sebelumnya kuat dan progresif, menggantinya dengan citra perempuan ideal yang pasif dan mendukung suami, seperti yang diwujudkan lewat organisasi seperti Dharma Wanita. Buku ini juga mengungkap bagaimana ruang politik perempuan dibatasi selama puluhan tahun, sehingga gerakan perempuan kehilangan suara dan kekuatannya.
Sebagai tesis doktoralnya di Universitas Amsterdam, buku ini memberikan perspektif kritis dan historis tentang pembungkaman ideologi dan aktivisme perempuan yang menyatu dengan politik kekuasaan di Indonesia. Buku ini penting untuk memahami dinamika penindasan terhadap perempuan dalam konteks politik dan sejarah nasional, serta membuka kesadaran baru tentang pentingnya membangun kembali gerakan perempuan yang bebas dari rekayasa politik dan diskriminasi sejarah.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kadang yang membungkam perempuan bukan senjata, tapi kata-kata. Bukan peluru, tapi stigma. Buku ini ngingetin: yang licik itu bukan musuh di luar, tapi sistem yang berpura-pura “melindungi.”