Kartini (diam-diam) sudah melakukan pemberontakan atas nilai-nilai kebudayaan Jawa yang feodalistik. Tentu saja ini simpulan yang mengagetkan. Bukan apa-apa, masalahnya pemahaman kita terhadap Kartini memang amat terbatas, jika tidak disebut dangkal, atau bahkan reduksionistik: Kartini adalah pelopor emansipasi perempuan. Titik. Simak pula ritus yang diadakan tiap 21 April sebagai selebrasi kelahirannya: lomba masak-memasak atau rias-merias, sedang Ibu-ibu Dharma Wanita atau PKK mendadak pakai kebaya.
Sedemikian lama pemahaman sempit tentang Kartini itu bertahan. Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah modern Indonesia”. Panggil Aku Kartini Saja adalah biografi yang mencoba menelusuri riwayat Kartini selengkap-lengkapnya, termasuk peran-peran yang selama ini terlampau disempitkan dan disederhanakan, berikut segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia.
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.
Bibliography: * Kranji-Bekasi Jatuh (1947) * Perburuan (The Fugitive) (1950) * Keluarga Gerilya (1950) * Bukan Pasarmalam (1951) * Cerita dari Blora (1952) * Gulat di Jakarta (1953) * Korupsi (Corruption) (1954) * Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954) * Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957) * Hoakiau di Indonesia (1960) * Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962) * The Buru Quartet o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980) o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980) o Jejak Langkah (Footsteps) (1985) o Rumah Kaca (House of Glass) (1988) * Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982) * Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995) * Arus Balik (1995) * Arok Dedes (1999) * Mangir (1999) * Larasati (2000)
Buku ini merupakan telaah psikologis Kartini melalui surat-suratnya.
Sejarah kelahiran Kartini nyaris bersamaan dengan berakhirnya politik Tanam Paksa di Hindia Belanda, termasuk Jepara. Menjelang dihapuskannya Tanam Paksa, seorang Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara, bersua dengan seorang gadis desa dari kalangan rakyat jelata. Gadis itu bernama Ngasirah, anak dari Modirono, seorang buruh pabrik gula Mayong. Sang Asisten Wedana jatuh cinta pada si gadis walaupun saat itu ia telah berbini dan beranak empat. Ngasirah, tanpa kuasa menolak, lalu dijadikan selir. Asisten Wedana ini adalah R.M. Adipati Sosroningrat yang kelak menjadi bupati Jepara dan ayahanda R.A. Kartini. Dalam catatan sejarah, nama Ngasirah nyaris tidak pernah disebut. Mungkin karena statusnya sebagai istri kedua dan asal-usulnya yang hanya rakyat jelata.
Sebagai peranakan berdarah separuh rakyat jelata dan separuh bangsawan, Kartini bukan tergolong wanita berparas cantik. Ini bisa dilihat dari foto-foto peninggalannya. Oleh Pram dideskripsikan sebagai berikut: Mula-mula orang akan terkesan pada wajahnya yang bundar–wajah kakeknya. Kemudian matanya, yang juga tidak terlalu dalam terpasang pada rongganya, bahkan boleh dikata agak keluar. Bentuk muka dan mata ini adalah warisan kakeknya, dan terutama mata itu, tidak meninggalkan ciri kebangsawanan Pribumi. Tetapi kalau orang sampai pada hidungnya, sekaligus orang telah bisa mendapat gambaran lain. Hidung itu tidak biasa ada pada golongan bangsawan, tapi lebih umum pada rakyat jelata. Baik kemancungannya, ketinggiannya, maupun ketipisannya bukan lagi hidung Tjondronegoro ataupun Sosroningrat. Itulah hidung warisan seseorang yang gambarnya tidak pernah diterbitkan orang sampai dewasa ini, hidung ibu kandung Kartini, seorang wanita yang berasal dari rakyat jelata (hlm.28)
Nama Kartini diduga diberikan oleh ibu kandungnya. Sesuai adat Jawa tradisional, ayah hanya memberi nama bagi anak-anak lelakinya saja. Tak ada nama ditinggalkan untuk anak perempuan. Namun, bukan berarti anak perempuan itu tidak dekat dengan ayahnya. Hubungan mereka berdua justru sangat dekat. Kartini sangat mencintai sekaligus menghormati ayahnya. Kartini adalah anak sang bapak. Tatkala ia tak mampu menolak perjodohannya di usia 24, itu pun karena tak ingin menyakiti hati Sosroningrat, kendati dalam hati yang paling dalam ia mengutuki nasibnya yang harus mengalami poligami, mengulang sejarah hidup Ngasirah.
Benar kiranya apa yang dikatakan oleh Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam sebuah wawancara dengan saya beberapa waktu lalu, bahwa persoalan perempuan Indonesia yang paling mendasar adalah kultur. Dan agaknya itu telah berlangsung sejak dulu. Kultur yang di dalamnya termasuk adat, tradisi, dan agama telah mengekalkan penindasan terhadap perempuan. Umpamanya soal “kawin paksa” dan permaduan (poligami) yang harus dijalani Kartini, itu pun berangkat dari kultur Jawa tradisional yang telah ada jauh sebelum masuknya Islam.
Poligami merupakan salah satu mata rantai penderitaan kaum perempuan, dari dulu hingga kini. Di lingkungannya Kartini saban hari menyaksikan praktik-praktik permaduan yang dilakukan oleh ayah dan suaminya sendiri. Ketidakberdayaan Kartini menolak nasib yang disodorkan kepadanya kerap dianggap oleh para sahabat penanya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan perjuangannya sendiri. Mereka tidak paham, situasinya saat itu sangat sulit bagi Kartini untuk melawan.
Satu-satunya perlawanan yang masih sanggup ia berikan adalah dengan menulis surat dan menerbangkannya keluar, jauh melintasi dinding-dinding tebal yang mengungkungnya, menemui para sahabat sepikiran di Eropa untuk kemudian menggema ke seluruh dunia. Kepada para sahabatnya, wanita yang tak berumur panjang ini mengemukakan gagasan-gagasannya, mengabarkan kegalauan hatinya, keprihatinannya, bukan saja perihal nasib dirinya semata tetapi juga bangsanya, terutama kaum perempuan. Tembok-tembok tinggi rumah besar Bupati Sosroningrat tak mampu menahan kebebasan berpikir Kartini.
Pada umur 12 tahun, Kartini kecil harus masuk pingitan. Lagi-lagi karena mematuhi adat yang berlaku bagi gadis-gadis bangsawan. Kartini mesti melupakan hasratnya untuk terus bersekolah, baik ke Batavia dan apalagi ke Nederland. Namun, semangat belajarnya yang berkobar-kobar terus mencari jalan keluar. Kelak, Kartini menemukan jalan itu lewat surat-menyurat dengan para sahabatnya yang lalu mengiriminya buku-buku, majalah, dan berbagai jurnal. Tak pelak lagi semua itu menambah kesadaran Kartini, membukakan mata hati serta benak mungilnya dalam melihat dunia dan sekitarnya. Semua pengetahuan yang direguknya dengan kerakusan seorang musafir yang dahaga menanamkan sebentuk keberanian dalam jiwanya untuk berbicara kepada dunia luar tentang bangsanya.
Sungguh mengagumkan. Seorang perempuan Jawa, masih sangat belia, hanya keluaran sekolah rendah, memiliki keberanian, pengetahuan, serta pikiran yang maju jauh melampaui zamannya. Ironis rasanya jika setiap peringatan mengenang kebesarannya, memuliakannya hanya dimaknai dengan lomba kebaya , konde, dan masak-memasak.
Seratus tahun lebih sudah berlalu sejak wafatnya Kartini, sang inspirator. Kaum perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan. Bisa sekolah tinggi, bekerja, dan berorganisasi. Namun, bukan berarti masalah perempuan telah selesai. Faktanya, hingga hari ini masih banyak terjadi tindak kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Masih banyak TKW yang dianiaya, praktik trafficking masih terus berlangsung, angka kematian ibu karena melahirkan masih tinggi, upah buruh perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki; perkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi kasus lainnya. Tentu kita tidak akan cuma duduk berdiam diri menanti Kartini bangkit kembali dari kuburnya untuk menyelesaikan ini semua, bukan?***
Naskhah biografi yang tertumpu kepada pengkisahan peribadi dan fikiran Kartini dalam memperjuangkan nasib Pribumi terutamanya golongan wanita sewaktu penjajahan Belanda di Indonesia. Sedikit berat gaya penulisan Pram bagi aku, tak biasa baca naskhah bukan fiksyen sebenarnya tapi tertarik nak tahu pasal Kartini.
Naskhah ini sepatutnya terdiri daripada 4 jilid namun hanya 2 jilid yang selamat dipublikasikan sebagai satu tulang buku. Menurut kata pengantar, Kartini adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang berani bersuara tentang sistem feudal dan kemelaratan Pribumi di zaman penjajahan. Beliau sering menekankan permasalahan adat yang dibias sebagai satu hukum yang wajib diikuti semua, juga selalu mengutarakan pendapat tentang perlunya kesamaan taraf (emansipasi wanita) dan kepentingan pendidikan tanpa mengira status, gender atau ras.
Suka beberapa bahagian tentang sastera dan seni, juga penjelajahan kejiwaan Kartini pada bahagian akhir. Sangat inspiratif dan terperinci. Beberapa pandangan Pram juga turut diselit antara sela cerita, sedikit rasa seperti membaca naskhah esei sebenarnya. Fikiran dan penjelajahan kehidupan Kartini banyak dikutip dan dirujuk dari surat-surat beliau kepada sahabat pena dan kenalan.
Biografi yang bukan saja sarat dengan ceritera Kartini namun turut menekankan perjalanan sejarah Indonesia, tata hidup, kritik sosial dan sudut spiritual masyarakat Indonesia di zaman penjajahan. Kartini mungkin mati di usia muda namun sosoknya terpelihara sebagai tokoh yang memberi kesedaran kepada masyarakat dalam usaha memperjuang identiti bangsa Indonesia.
Kalau kita belajar memahami pada masa apa Kartini dibesarkan, maka kita sudah bisa menghargai apa yang dilakukannya adalah apa yang maksimal dia bisa kerjakan saat itu.
Saya mendengar beberapa orang memaki nperempuan ini dan bilang: kenapa kita harus mengaguminya? gerakannya kan "cuma" segitu saja!
Well, orang ini cuma menuntut, dan tidak mencoba berempati pada tokoh perempuan terkurung yang mencoba berlari dan terbang itu..
Sebelum membaca buku ini, saya tidak pernah setuju dengan Kartini yang selalu diagung-agungkan sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia, bahkan sampai dibikin lagu Ibu Kita Kartini. Memangnya apa sih yang diperbuat Kartini selain menulis surat dalam bahasa Belanda yang dibukukan? Toh Kartini tidak sempat berbuat hal yang nyata untuk menolong rakyatnya karena keburu dipaksa kawin dengan Bupati Rembang beristri banyak. Sempat berpikir ini adalah bentuk Jawasentris karena Kartini kebetulan anak Bupati Jepara, sebuah privilese yang memungkinkan Kartini untuk berpikir jauh melampaui jamannya. Tapi setelah baca buku ini, saya mengakui saya salah.
Meskipun genre buku ini adalah biografi, Pram membagi buku ini berdasarkan fragmen pemikiran Kartini di dalam surat-suratnya, bukan berdasarkan kronologi. Pram menonjolkan nilai sejarah dan kemanusiaan yang dilalui Kartini selama menulis surat, mulai dari kelahirannya, keprihatinannya kepada rakyatnya, rasa jijik sekaligus kagumnya kepada dunia Barat, kecintaannya pada seni dan kondisi keimanannya. Semasa hidupnya, Kartini dikuasai oleh dua kekuasaan: feodalisme dan kolonialisme. Ironisnya, feodalisme ini justru dirasakannya dari ayahnya yang sangat dicintainya.
Saya sempat menangkap kesan bahwa Kartini memiliki daddy issue karena penggambaran kecintaan dan rasa hormat terhadap ayahnya kadang berlebihan, seperti di suratnya kepada Estelle Zeehandelaar di halaman 57 yang menggambarkan konflik jiwa Kartini yang tidak mau menyakiti ayahnya namun menentang nilai feodalisme yang dijunjung ayahnya sebagai Bupati Jepara. Setelah saya baca lebih jauh, pertentangan ini wajar saja karena Kartini tumbuh besar bersama ayahnya tanpa mengenal ibu kandungnya. Ayahnya sangat mencintai Kartini dan menggunakan kedudukannya untuk memastikan Kartini dapat memenuhi hasratnya untuk belajar. Terbukti dengan diperbolehkannya Kartini, seorang wanita pribumi, untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda, suatu hal yang sangat jarang ditemui saat itu. Meskipun sesudahnya Kartini tetap harus menjalani pingitan sebagaimana wanita Jawa pada umumnya, Kartini tidak pernah membenci ayahnya yang selalu menolak Kartini untuk mempublikasikan tulisannya atau melanjutkan sekolah. Ah, mungkin inilah pengorbanan yang harus dilakukan ayah Kartini mengingat posisinya sebagai Bupati Jepara yang tentu terikat pada nilai patriarki dan feodalisme.
Ngomong-ngomong patriarki, sangat dipahami mengapa Kartini sangat menentangnya; dia perempuan. Suratnya kepada Estelle Zeehandeelar, seorang feminis-sosialis Belanda, tentang kehidupannya sebagai gadis pingitan keras menyuarakan pendapatnya soal betapa susahnya menjadi perempuan Jawa yang ingin melanjutkan sekolah. Setiap kali ia bertanya, "Jadi apakah aku kelak?", ayahnya hanya tertawa dan kakaknya menjawab, "Tentu jadi Raden Ayu!". Peran perempuan saat itu direduksi hanya sampai menjadi Raden Ayu, istri dari suaminya dan ibu dari anaknya, tidak lebih dari itu. Kartini tahu diri posisinya sebagai perempuan akan selalu kalah dari lelaki dalam berbagai bidang. Ia menyadari satu-satunya cara untuk menyamakan derajat perempuan dan lelaki adalah melalui ilmu pengetahuan.
Kartini yang sedang dipingit tidak mengurangi semangatnya untuk mengabdi kepada rakyatnya. Saya benar-benar salut saat mengetahui bahwa Kartini melakukan upaya promosi kerajinan ukir Jepara melalui prosa yang ditulisnya dan pemberian hadiah ulang tahun kepada Baginda Ratu Belanda. Motivasi Kartini sederhana; ia prihatin melihat rakyatnya yang punya bakat begitu hebat namun hidup miskin karena tidak dihargai. Di sinilah saya merasa kontribusi di zaman penjajahan tidak melulu soal ikut perang, bisa juga melalui diplomasi dan sastra seperti yang Kartini lakukan. Di dalam pingitannya pun Kartini terus aktif berkorespondensi dan membaca buku untuk memperluas pikirannya dan memperhalus perasaannya. Mengagumkan memang meskipun ia hidup terbatas dikelilingi tembok tebal selama bertahun-tahun, pemikiran Kartini bisa terus maju dan menyesuaikan dengan kondisi sosial rakyatnya. Hal ini sejalan dengan ucapan Multatuli dalam Max Havelaar, or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, "Tugas manusia adalah menjadi manusia", sebuah filsafat humanisme yang terus dipegang teguh Kartini.
Akhir kata, mungkin penyebab saya sempat suudzon pada Kartini adalah pelajaran sejarah yang saya dapat dari SD hanya sebatas "Kartini sebagai penulis surat". Lebih dari itu, saya sadar Kartini menunjukkan bahwa perjuangan yang dilandasi niat untuk memajukan rakyat bisa dilakukan dengan cara apapun. Kumpulan surat dalam bahasa Belanda yang ditulis Kartini sesungguhnya merupakan bukti kemajuan pikirannya yang memang menargetkan pembaca dari kaum penjajah agar bisa tergerak melihat realita rakyat negeri jajahan. Sayang sekali buku ini tidak lengkap, jilid sisanya lenyap karena peristiwa 1965. Namun setidaknya generasi sekarang tetap bisa memahami Kartini dari sudut pandang sebagai "manusia biasa yang ingin berjuang untuk rakyatnya", bukan hanya sebagai "perempuan Jawa yang kelahirannya diperingati setiap tahun dengan memakai kebaya dan lomba Kartini-Kartono".
Setelah membaca buku ini saya jadi bingung, siapakah yang patut lebih saya sukai: Pram atau kartini? Tapi saya pun suka dengan biografi Kartini yang ditulis Asma Karimah dan beberapa fakta yang disembunyikan tentang Kartini dalam buku Api Sejarah 1.
Raden Ajeng Kartini. Kita pasti mengenalnya sebagai seorang tokoh pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Mulai dari anak SD sampai rata-rata orang usia dewasa pasti mengenal Kartini pada batas itu. Saya pun tidak lepas dari mindset tersebut hingga saya membaca karya Pram yang sangat luar biasa ini. Karyanya ini benar-benar membuat pandangan saya terhadap Kartini berubah total. Sekarang saya menjadi lebih kagum kepada Kartini karena dia bukan hanya pemikir yang luar biasa cerdas, tapi sekaligus pejuang yang sangat gigih dan seorang seniman yang luar biasa.
Buku yang membahas Kartini sangat jarang kita temui. Dan dari buku-buku yang ada itu saja hampir bisa dipastikan sangat jarang ada yang membacanya. Mungkin karena inilah kebanyakan dari kita tidak mengenal dengan baik siapa sosok Kartini sebenarnya. Nah, karya Pram ini adalah salah satu buku dari sekian buku yang membahas Kartini itu. Karena buku ini ditulis oleh Pram—yang kita tahu bahwa dia antifeodalisme—maka kita akan diajak mengenal Kartini sebagai sosok yang (juga) antifeodalisme. Dari membaca judul buku ini saja kita akan langsung merasakan hal tersebut. Panggil Aku Kartini Saja bukanlah sebuah kalimat rekaan Pram, melainkan sebuah kalimat dari Kartini sendiri yang diambil dari penggalan suratnya kepada Estelle Zeehandelaar (sahabat penanya) pada tanggal 25 Mei 1899. Menurut Pram kalimat tersebut adalah sebuah bentuk penolakan Kartini terhadap feodalisme pribumi yang di waktu itu merupakan hal yang sangat lumrah.
Kartini hidup di zaman di mana feodalisme masih begitu diagungkan di negeri ini, terutama di tanah Jawa. Apalagi kebudayaan Jawa yang sejak lama turun-temurun (hampir) selalu pro pada praktik feodalisme. Malah menurut Pram sendiri tingkatan/susunan pada bahasa Jawa saja merupakan bentuk feodalisme karena itu adalah warisan sistem pengkastaan Hinduisme. Yah, wajar juga Pram berpendapat seperti itu karena Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa juga menyebutkan huruf Jawa berasal dari huruf Sansekerta Dewanagari dari India Selatan—tempat di mana Hinduisme berasal. Praktik feodalisme inilah yang sangat ditentang Kartini dan hal inilah yang menjadi tonggak perjuangannya. Bukan hanya karena feodalisme di zaman tersebut sangat membatasi hak kaum wanita, tapi sistem tersebut menurutnya juga memberikan jarak yang sangat jauh antara pembesar (bangsawan) dengan rakyat. Jangankan antara pembesar dan rakyatnya, di dalam keluarga Kartini sendiri—yang merupakan keluarga bangsawan—sistem tersebut juga “sukses” memberikan jarak yang sangat terasa antara yang tua dengan yang muda. Hal-hal inilah yang ingin dirombak oleh Kartini karena menurutnya derajat/kedudukan seseorang bukanlah dilihat dari jabatan atau kebangsawanannya, melainkan dari tingkat kecerdasan, pengetahuan, dan kemampuannya.
Dan bagaimana mungkin hal itu tercapai jika masyarakat pribumi saja tidak mendapatkan pendidikan yang memadai? Apalagi bagi para wanita pribumi. Jangankan untuk pergi sekolah, untuk pergi keluar rumah saja dilarang oleh adat! Tapi, Kartini mendobrak itu semua dan berhasil mengenyam bangku sekolah—meski hanya sebuah sekolah rendah Belanda. Namun, ada satu hal yang tidak bisa didobrak oleh Kartini, yaitu menjalani pingitan yang harus dijalaninya pada tahun 1892. Jika kita selama ini mengira hubungan Kartini dengan ayahnya sangat renggang karena masalah pingitan ini, hal itu salah besar! Justru Kartini sangat mencintai dan sangat dekat dengan ayahnya. Kartini tidak pernah menyalahkan ayahnya yang telah membuatnya hidup dalam pingitan selama empat tahun. Hal itu tampak dalam surat-surat yang ditulis Kartini karena di sanalah Kartini juga menumpahkan perasaan cinta dan hormatnya kepada ayahnya.
Menurut Pram pingitan itu justru membuat Kartini semakin matang karena selama itu Kartini mengalami pendalaman. Setelah bebas dari pingitan inilah Kartini mulai menampakkan perjuangannya. Dari awal Kartini sudah menampakkan minat yang sangat besar pada bidang sastra. Hal itulah yang membuat Kartini memutuskan memperjuangkan idealismenya lewat dunia sastra. Sebab Kartini menyadari dia tidak akan mampu berjuang secara fisik karena dalam hal itu dia memiliki banyak keterbatasan. Karena itu Kartini kemudian mempelajari bahasa Belanda hingga dia sangat fasih menggunakan bahasa tersebut. Kemampuannya berbahasa Belanda inilah yang mengenalkannya pada bermacam-macam karya sastra Barat dan demokrasi Barat. Dan beberapa karya sastra yang benar-benar mempengaruhinya adalah karya-karya Multatuli dan roman Hilda van Suylenburg karya Cecile Goekoop de Jong. Karya-karya Multatuli itu menginspirasi Kartini untuk mengentaskan kemelaratan yang melanda kaum pribumi, sementara Hilda van Suylenburg adalah sebuah roman bertendensi emansipasi wanita yang menginspirasinya untuk mengemansipasi wanita pribumi. Perjuangan Kartini dalam mengemansipasi wanita pribumi juga terinspirasi dari aksi Pandita Ramabai di India. Pandita Ramabai adalah wanita Hindu yang memelopori perlawanan terhadap nasib buruk wanita Hindu yang diakibatkan oleh adat dan agama. Ditambah lagi Estelle Zeehandelaar—sahabat yang menjadi tempatnya bertukar pikiran—adalah seorang feminis-sosialis.
Sepak terjang Kartini tidak hanya dalam hal emansipasi wanita yang seperti selama ini kita kenal. Dia juga adalah sosok yang memperjuangkan “kemerdekaan” dan kesejahteraan rakyatnya serta merupakan seniman yang handal di berbagai bidang. Semua perjuangannya itu terutama dia lakukan lewat seni sastra/kepengarangan. Semua pemikiran-pemikirannya dia tuangkan lewat tulisan, terutama melalui surat-suratnya. Salah satu yang diakui dunia internasional adalah perannya dalam mengenalkan batik pada dunia. Di masa itu batik merupakan seni yang secara khas dilakukan oleh wanita. Kartini juga merupakan seorang pembatik dan ahli batik. Dari pengalamannya tersebut dia menyusun sebuah karangan tentang batik karena batik adalah salah satu seni rakyat kebanggaannya. Dan tak disangka-sangka karangannya tersebut—yang berjudul Handchrift Japara—menarik perhatian ibu suri kerajaan Belanda di Pameran Nasional untuk Karya Wanita pada tahun 1898 di Den Haag karena naskah tersebut ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna. Hal yang patut digarisbawahi dari tulisan-tulisan Kartini adalah semuanya ditulis dalam bahasa Belanda. Bukannya Kartini tidak berjiwa nasionalis, sebab bahasa itulah yang paling dikuasai Kartini selain bahasa Jawa. Kartini juga tidak begitu bagus berbahasa Melayu—yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Karena itulah Kartini memutuskan menulis menggunakan bahasa Belanda karena dia menyasar pembaca dari Eropa, khususnya Belanda. Sebab jika dia menulis dalam bahasa Jawa sudah dipastikan tidak akan ada yang menangkap esensi pemikiran-pemikirannya.
Selain itu Kartini juga memperjuangkan perbaikan ekonomi para seniman ukir kayu dengan menghentikan eksploitasi yang dilakukan orang Belanda pada mereka. Kartini jugalah yang mempromosikan kerajinan ukir kayu ini kepada bangsawan/pembesar-pembesar di Jawa dan keluarga-keluarga Eropa. Bahkan Kartini sendiri juga ikut membikin pola ukiran untuk memperkaya variasi pola ukiran yang sudah ada. Prosanya yang berjudul Van een Vergeten Uithoekje yang memperkenalkan keadaan sosial-ekonomi para seniman miskin itu juga menawan hati para pembaca sehingga banyak yang ikut bersimpati pada Kartini dan seniman-seniman tersebut. Tidak mengherankan jika Pram menyebut Kartini adalah seorang Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara karena usaha-usahanya tersebut.
Di samping itu semua Kartini juga seorang pelukis yang cukup bagus. Fakta ini ternyata jarang diketahui oleh banyak orang sebab Kartini lebih menonjol di dunia sastra. Dia pun memiliki minat pada seni musik, terutama musik tradisional gamelan. Sedang di dalam seni menulis/kepengarangan kemampuannya sudah tidak diragukan lagi karena sudah diakui secara internasional—contohnya adalah beberapa karyanya yang saya sebut sebelumnya. Dan dengan segala keterbatasan yang dimilki Kartini pada zaman itu, Kartini adalah wanita yang sangat lengkap. Seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini, dia adalah seorang pemikir yang luar biasa cerdas, pejuang yang gigih, dan seniman yang luar biasa. Apalagi semua itu direngkuhnya pada usia yang masih muda, dua puluhan tahun!
Karya Pram ini benar-benar menginspirasi kita semua—tidak hanya kaum wanita saja—bahwa dengan segala keterbatasan Kartini mampu melakukan hal-hal yang saat itu mustahil. Kartini sangat mencintai sastra. Dia tahu jika dia mengandalkan kemampuan bahasa lokal, pilihan bacaannya akan sangat terbatas. Karena itu dia belajar bahasa Belanda hingga fasih sehingga dia mampu mengenal dunia Barat lewat kemampuannya ini. Dia juga mempelajari bahasa Prancis dan Inggris meski sedikit. Kecintaannya pada sastra itu jugalah yang membuatnya cinta membaca. Patut diketahui bahwa pada saat itu di Jepara tidak ada toko buku. Tidak heran jika Kartini harus sampai memesan buku yang ingin dibaca hingga ke negeri Belanda dan menunggunya berbulan-bulan. Kecintaannya dalam membaca juga yang membuatnya sangat mengenal dunia Barat dengan baik meski dia belum pernah ke sana. Itu semua yang menyebabkan kenapa pemikiran-pemikirannya begitu cerdas dan sangat maju. Dan berkat pemikiran-pemikirannya itu dia mampu mendobrak hubungan feodal antara dirinya dan rakyatnya. Dan kecintaannya pada rakyatnya ini juga yang membuatnya begitu mencintai kesenian-kesenian yang dikembangkan oleh rakyatnya. Itulah yang dilakukan Kartini agar mendapatkan tingkat peradaban yang layak menurut tradisi Eropa: belajar, pendidikan, seni, dan sastra. Sebab bagaimanapun tinggi pendidikan seseorang, tanpa sastra atau seni orang itu masih dianggap belum beradab, meskipun tidak biadab.
Sayang sekali Panggil Aku Kartini Saja ini bukanlah sebuah karya yang utuh. Buku ini hanya memuat jilid pertama dan kedua saja dari keseluruhan empat jilid. Jilid ketiga dan keempat lenyap tak berbekas akibat vandalisme tentara pada huru-hara 1965. Hanya dua jilid pertama yang selamat. Meski sedikit “nanggung”, setidaknya kita mampu mengenal lebih jauh siapa sosok Kartini sehingga kita lebih bisa merenungi perjuangan-perjuangannya—tidak hanya melalui penghormatan simbolis setiap setahun sekali.
Panggil Aku Kartini saja menceritakan hidup Kartini dari sudut pandang Pram melalui surat-suratnya. Kartini merupakan keturunan bangsawan, sehingga namanya bergelar Raden Ajeng. Buku ini berisi perjuangan Kartini melepas "gelar" dengan cara "bekerja" untuk rakyat.
Saat sekolah SD hingga SMA, kita hanya diberikan pengetahuan bahwa Kartini itu pejuang emansipasi wanita. Ternyata, beliau juga memperjuangkan seni rakyat dan memperkenalkannya terhadap dunia Barat. Surat-suratnya berbahasa Belanda dan akhirnya diterbitkan dengan judul buku "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Jujur, saya termasuk orang yang mempertanyakan mengapa Kartini diangkat sebagai pahlawan? Buku ini menjelaskan tentang tujuan politik Belanda, yaitu "memperkenalkan" bahwa ada wanita di Hindia Belanda yang progresif, seperti halnya Pandita Rambani di India. Belanda ingin menggambarkan bahwa walaupun dia penjajah, dia bisa bersikap "baik" seperti Inggris kepada India.
Buku ini cukup menggambarkan Kartini secara pribadi dan hubungannya dengan orang sekitar. Tidak banyak yang diceritakan tentang kehidupannya setelah ia menikah dan bagaimana ia meninggal. Mungkin ini akibat karena tidak lengkapnya seri ke-3 dan 4 yang hilang dan tidak diterbitkan ya.
Walaupun buku ini tentang Kartini, saya jadi bisa memahami kondisi suku Jawa saat ini, budaya feodal yang turun temurun sejak jaman Kerajaan Hindu, hingga mengapa sistem pemerintahan Indonesia yang sangat Jawasentris mengedepankan "asal atasan senang".
Ada bagian tentang hubungan Kartini dan ayahnya yang membuat saya berasumsi bahwa hubungan ini bukan karena rasa cinta, tapi dihubungkan dengan kewajiban menghormati feodal ala Jawa. Mungkin kalau hubungan ini ada di jaman sekarang, saya bisa bilang bahwa hubungannya cenderung abusive.
Yang saya suka dari buku ini adalah 1. Interpretasi Pram terhadap Kartini masih relevan hingga saat ini 2. Penggabungan beberapa sumber yang komprehensif
Yang saya kurang suka dari buku ini adalah 1. Kurang lengkap :(
Kesimpulan: Salah satu biografi yang membuat saya tercengang dengan kondisi awal abad ke-19
Antara buku biografi terbaik yang pernah dibaca tentang sosok tokoh seorang perempuan.
Buku ini punya dua kekuatan yang tidak ada dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dalam Habis Gelap Terbitlah Terang kita hanya boleh menemui kekuatan karakter seorang Kartini melalui surat-suratnya, tetapi melalui buku ini kita bakal menemukan kekuatan seorang lagi karektor yang sangat hebat iaitu Pramoedya sendiri.
Kartini sendiri sudah jelas kekuatan pemikiran dan aspirasinya melalui surat-surat beliau, namun ditambah dengan analisis kritis pula oleh Pramoedya menjadikan buku ini berganda kenikmatannya bagi yang mahu merasai tenggelam dalam jiwa perjuangan seorang perempuan dan seorang lelaki yang dengan jujur dan adil menilai seorang pejuang perempuan.
Saya merasa rugi membacanya tatkala usia telah mencecah 30 tahun, alangkah baik jika lebih awal saya membacanya. Bagaimanapun, semua telah tertulis, pasti penuh hikmah.
Sangat dianjurkan buat para perempuan, yang mahu mencari dan memberi makna kepada sebuah kehidupan, melebihi daripada sekadar kepentingan peribadi sendiri.
Buku ini masih kubaca, sisa seperempat lagi. Aku sungguh menyayangkan konsep Kartini yang diadopsi publik hanya sebatas pada emansi. Kupikir itu reduksi bagi keseluruhan konsep pemikirannya.
...Tapi, coba katakan, Ni, kau tak pernah ceritakan padaku, kau mau jadi apa kelak?" (ditanyakan oleh Letsy, teman Kartini) -page 42-
setelah Kartini ditanyakan tentang hal tersebut, ia berpikir mengenai pentingnya bermimpi untuk menjadi 'seseorang', yang saat itu sangat tidak dimiliki oleh perempuan Jawa.
based on that question, Kartini became one of Indonesian history maker.
look how the power of dreams has made people to become...
(updated on February 14th 2008)
Buku ini bercerita mengenai seorang Kartini, yang disusun berdasarkan surat-surat Kartini yang dikemas dengan cukup menarik oleh seorang Pramoedya Ananta Toer. Menarik mungkin karena memang Pramoedya memiliki gaya tulis yang cukup berbeda dengan kebanyakan penulis. Namun, terus terang aja, buku yang satu ini tidak lain adalah sebuah sejarah yang dianalisa oleh seorang sastrawan.
Gue sebenarnya nggak terlalu suka dengan buku ini, karena menurut gue, gue terlalu banyak lewat-nya dan banyak bosennya. Yang menarik dari buku ini adalah gue jadi tau tentang perasaan seorang Kartini di masa itu. Seorang Kartini yang sangat mencintai ayahnya, ternyata harus menghadapi satu kenyataan bahwa ayahnya adalah salah seorang penganut feodalisme, dimana Kartini sangat menentangnya. Dan yang sangat menarik adalah bagaimana Kartini menjabarkan mengenai kehidupan seorang wanita (Jawa) terutama.
Beberapa segmen membuat gue sangat tertarik dalam membacanya. Terutama segmen dimana kondisi kejiwaan Kartini dijabarkan. Kartini adalah seorang yang sehat jasmani dan rohani.
Beberapa hal dalam kehidupan seorang Kartini membuat gue bingung atau mungkin karena kurang detail dalam menerangkan kondisi dan situasinya saat itu yah? Yang gue nggak ngerti adalah kenapa Kartini dengan mudahnya melepaskan mimpi untuk pergi ke Belanda guna bersekolah melainkan tetap di Indonesia, termakan oleh ‘janji-janji’ Abendanon (or whoever he is).
Well anyway, mungkin karena buku ini sejarah sekali, dan sejarah yang perangnya rada aneh, gue jadi nggak suka dengan buku ini. Walaupun tentu saja, gue jadi berpikir bahwa harusnya, di jaman seperti sekarang ini, kita bersyukur dan harus bisa memanfaatkan semua fasilitas yang kita miliki. Seperti perpustakaan dan teman-teman (buat minjem maksudnya). Kartini adalah orang yang haus akan pengetahuan. Jepara saat itu nggak punya toko buku dan juga perpustakaan. Tapi, sehubungan dengan kedudukan ayahnya, ia mendapatkan kehormatan untuk bisa menerima buku-buku atau bahan bacaan apaapun hingga membuatnya menjadi cerdas.
Dari buku ini gue belajar tentang pentingnya bermimpi dan indahnya bergaul di masyarakat. Seorang Raden Ajeng seperti dirinya, memiliki rindu untuk bisa bergaul dengan masyarakat. Well, sama seperti yang gue rasa’in, kadang masyarakat kecil itu justru bisa memberikan pada kita pelajaran apapun, ketimbang kuliah kita sendiri.
Eniwei, I like the philosophy inside, but I don’t really like the book as a whole. It was OK, though. So, two stars?
Buku pertama saya yang berkisar tentang Raden Adjeng Kartini. Menghayati sosok wanita ini, kita akan sedar bahawa bukan mudah untuk menjadi wanita di zamannya. Lingkungan adat yang ketat serta struktur sosiobudaya zaman feudal hanya akan memungkinkan hidup Kartini akan menjadi lebih mudah sekiranya dia diam dan menjadi wanita biasa, menjalani hari-hari seperti yang lain. Namun Kartini tetap Kartini, disuarakan bentak hatinya dalam tulisan supaya dapat memugar pemikiran insan-insan selepasnya. Tulisan Pram sangat mengasyikkan, di awalnya saya dikenalkan dengan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang begitu memberi kesan kepada masyarakat ketika itu, agar dapat memahami bagaimana suasana yang mencorakkan seorang Kartini.
Seperti kata pengantar di awal buku ini, "mari kita mengingat Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan lalu mati. Coba singkirkan sejenak kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, melawan kesepian kerana pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyengkapnya bertahun-tahun.
Kartini tidak punya massa, apatah lagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba deperti Kartini. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu."
panggil aku kartini saja-itulah namaku .... (surat 25 mei 1899 kpd estelle zeehandelaar). tanpa gelar, tanpa panggilan kebesaran suatu hal yang sangat luar biasa dikalangan kaum feodal ...(PAT).
sebelum membaca buku ini, saya hanya tau hari kartini 21 april. apa yang diperbuatnya dan dengan cara apa pernah juga terpikir tapi segera saja lupa karena dipelajaran sekolahpun tidak dijelaskan secara detail dan menarik hati selain hanya tentang surat-suratnya saja (yang ternyata indah luar biasa). sungguh tak terpikir ia adalah wanita yang luar biasa cerdas, seorang seniman, seorang pemikir yang berjuang dengan pena tanpa kekerasan ...dan ternyata kartini seorang pengarang?, adakah anak-anak sekolah kita juga tau hal ini? peringatan2 kartini setiap tahun adakah dikabarkan sejarah hebat wanita ini. jiwa patriotisme yang dimilikinya ... bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawanya, mengenalnya, mengenal perjuanganya maka mengenalkan kita pada negeri tercinta. begitulah kartini mengenal bangsanya, dan apa-apa yang dibutuhkan negerinya dia tau dengan sangat baik.
Buku ini berisi surat-surat yang ditulis Kartini—sebagian besar kepada sahabat pena kartini, Estelle Zehandeelar—serta elaborasi dari Pram sendiri. Membaca Panggil Aku Kartini Saja bagaikan mendengar suara perjuangan Kartini begitu lantang di telinga saya. Dalam hidupnya, tujuan Kartini adalah rakyat, melawan kolonialisme dan feodalisme. Pram menekankan bahwa Kartini terinspirasi oleh Multatuli dalam bukunya, Max Havelaar, terdapat kutipan "Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia." Buku yang wajib dibaca oleh feminis dan pembela kesetaraan hak.
Merupakan sebuah ucapan yang menandakan Kartini akan ditanggalkannya Foedalisme yang ditentangnya. Menolak gelar "Raden Ayu" - nya dan memilih untuk bersama rakyat, menjadi rakyat, dan bercita-cita untuk membawa rakyat ke masa depan tanpa Foedalisme maupun Kolonialisme yang mengungkung Hindia Belanda saat itu.
Kartini merupakan sosok yang terlalu besar untuk sekedar diperingati sekali dalam setahun. Membaca buku ini menyingkap kehidupan Kartini, lingkungan, zaman, sosial, sahabat, politik, pendidikan, dan pemerintahan kala itu yang melingkupi dunia Kartini.
Kartini bukan sekedar wanita Jawa, yang "kebetulan" atau "ditakdirkan" sebagai Raden Ayu yang mempunyai hak sebagai bangsawan. Tidak, itu terlalu kecil bagi Kartini. Sungguh. Dia pun menolaknya. Namun dia merupakan anak bangsa, yang memikirkan rakyat merasakan perih dan tertindasnya rakyat kala itu.
Sebagai perempuan yang dipingit dan tidak boleh melanjutkan pendidikannya yang buntu di Sekolah Rendah dia merupakan keluarbiasaan yang mengagumkan. Selama dipingit ia atau masa kelamnya, ia lewati itu dengan membaca bacaan berbahasa Belanda yang ia pelajari sebelum dipingit. Apapun dibacanya, koran, majalah, buku. Apapun yang dapat diraihnya dan dibaca, ia baca! Melalui bacaannya ia mengalami benturan Barat dan Timur. Ia mencintai rakyatnya namun ia juga mendambakan kemajuan. Kemajuan yang akan membawa kebaikan bagi rakyatnya. Dari bacaan ia pahami bagaimana Eropa, kehidupan, sosial, politik, seni dan budayanya.
Kartini tidak sekedar menulis! Dia menyebarkan bibit-bibit modernisasi melalui kata-katanya dalam surat dan tulisan yang diumumkannya. Ia juga membantu pengembangan seni rakyat, menuliskan cerita rakyat serta membantu menaikkan taraf kehidupan para seniman ukir di Jepara pada zamannya agar lebih layak kehidupannya dengan mengenalkan, menyalurkan, dan memamerkan hasil ukiran itu ke orang Eropa. Di seni membatik pun juga sama. Tak sepeser pun Kartini memungut keuntungan daripada itu. Semua demi rakyatnya.
Kartini seorang seniman. Pengarang, pelukis, dan pembatik. Walaupun sering ia katakan sendiri bahwa ia sangat mencintai sastra, dan apa yang ditulisnya belum lah "sastra", apa yang ia sebut sastra adalah yang akan ditulisnya saat dia bebas. Dan bebas itu sendiri pada masa itu, bagi wantia, adalah ketika wanita menikah dan menjadi janda. Bebaslah ia. Namun semua itu hanya berakhir menjadi cita-cita. Karena betapa singkat umurnya. Namun umur yang singkat itu, dua puluhan, sungguh sangat berarti dan begitu banyak jasa yang ia persembahkan.
Kartini bagi saya adalah Pahlawan yang memulai, meminjam kata Pram yang ada di buku ini, Kartini adalah obor yang menerangi jalan menuju kemajuan. Sosoknya terlalu kecil untuk sekedar diperingati setahun sekali, di 21 April. Dia adalah Pahlawan bangsa. Dan buku ini, saya berpendapat semua orang setidaknya harus membaca sekali dalam hidupnya, terutama orang Indonesia, dan bagi Wanita saya pikir mereka wajib membaca buku ini.
Saat membaca buku ini saya begitu terkesan dengan Pram yang mempelajari dengan begitu mendetail sosok Kartini - kehidupan, pemikiran, impian, dan perjuangan-perjuangannya. Awalnya sempat terlintas juga, apa yang membuat Pram begitu tertarik pada sosok Kartini. Nampaknya saya pun setuju dengan pernyataan pada Epilog dari Ruth Indiah Rahayu, bahwa keduanya sama-sama emoh terhadap feodalisme. Ke-emohan terhadap feodalisme itupun sudah tergambar jelas dari judul buku ini: Panggil Aku Kartini Saja.
Tentu adanya buku ini juga sebuah upaya untuk semakin membuka mata publik terhadap sosok Kartini lebih mendalam, lebih dari apa yang ada dalam buku Door Duisternis tot Licht - yang dalam perjalanannya nampaknya ada campur tangan pemerintah kolonial untuk mereduksi pemikiran-pemikiran dan isi hati Kartini itu sendiri.
Dari sini saya pun juga jadi tertampar, bahwa saya termasuk orang-orang yang belum pernah membaca dan belum pernah berupaya mencari Door Dusiternis tot Licht. Dan sekalipun aku belum membacanya, melalui buku ini, aku berharap bahwa ke depan banyak yang mengenal Kartini lebih mendalam, tidak sebatas pada seremonial dan busana.
Sungguh buku yang menceritakan bagaimana Kartini dapat memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan yang maju di masa yang samasekali tidak mendukung untuk kemajuan Pribumi. Kutipan2 surat dari Kartini yang bahasanya mampu menggores jiwa dan semangat untuk meningkatkan emansipasi dan jua meraih cita.. serasa tertampar membaca teringat diri dengan segala ilmu yang ada di masa kini masih sering tidur dalam kenyenyakan tanpa haus layaknya Kartini. Must Read !!!!
Buku paling lengkap dengan analisis yang begitu mendalam tentang Kartini dan ini baru 2 bagian aja. Ada 2 bagian lagi yang dinyatakan hilang. AH bayangkan kalo bagian yang hilang itu masih ada ;’)))) Baca buku ini enaknya dibaca bersamaan dengan buku kumpulan tulisannya Kartini. Kalau ada waktu dan kesempatan, mau baca ulang buku-buku tersebut. The best lah
Sebuah biografi tentang wanita pembawa perubahan di Indonesia. Wanita yang mengangkat emansipasi dan kesetaraan lelaki dan wanita di Indonesia. Beliau adalah Raden Ajeng Kartini, anak dari bupati Jepara di kala itu, hasil perkawinannya dengan seorang wanita yang bisa disebut sebagai selirnya. Biografi ini ditulis oleh Pramodya Ananta Toer, berdasarkan surat-surat Kartini kepada beberapa orang sahabat penanya yang kebanyakan berasal dari negara Belanda.
Sejarah hidup Kartini secara lengkap dan gamblang diceritakan di buku ini. Tentunya dengan kutipan-kutipan dari surat yang Kartini tulis tersebut. Banyak hal menarik yang terungkap dari tulisan-tulisan Kartini ini, mulai dari masa kecilnya, kehidupan seninya, hingga pandangan-pandangannya terhadap bangsa pribumi dan bangsa luar negeri. Semua disajikan secara berurutan oleh Pram.
Ada beberapa hal menarik yang juga terungkap di biografi ini. Kita umumnya mengenal Kartini sebagai pahlawan Indonesia, namun tahukah bahwa sebenarnya bahasa Indonesia (dahulu Melayu) Kartini tidak begitu bagus? Bahkan, di dalam kesehariannya menulis dan “berjuang” untuk rakyat pribumi, beliau menggunakan bahasa Belanda sebagai senjatanya. Ya, beliau lebih fasih dan lancar dalam berkata-kata dan mengolah kata menggunakan bahasa Belanda. Tentunya ada alasan dibalik penggunaan bahasa Belanda ini. Beliau ingin perjuangan yang beliau lakukan lebih didengar dan diperhatikan secara langsung oleh penjajah Indonesia, yaitu bangsa Belanda. Dengan tulisan-tulisannya ini beliau ingin menegaskan, bahwa selama ini pribumi telah begitu ditindas oleh Belanda, dan beliau berharap, ada orang-orang Belanda yang tergugah dengan hal ini, serta mengikuti jejak Multatuli (yang juga penulis favorit beliau) untuk turut serta berjuang bersama pribumi dalam hal meluruskan kesalahan dan kekejaman bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Bagian menarik lain dari biografi ini ialah bagaimana Pram menceritakan bahwa Kartini merupakan seorang kutu buku yang sehari-harinya tak jauh dari buku dan bacaan-bacaan yang pada saat zaman dahulu sangat sulit untuk ditemukan. Bahkan Kartini harus rela menunggu hingga berbulan-bulan agar kiriman bukunya dari Belanda sampai ke tangannya. Untuk bacaan favorit, tentu saja sastra Belanda yang paling beliau sukai, terutama Max Havelaar karangan Multatuli. Buku ini seolah menjadi inspirasinya dalam turut menggugah rasa nasionalismenya. Ada pula bacaan di luar karya sastra Belanda yang jadi favoritnya dan sering disebut-sebut di buku ini ialah “Quo Vadis?” Karangan Henryk Sienkiewicz. Bacaan-bacaan dari luar Belanda yang beliau baca ini tentu saja buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Perlu diketahui sebagai selingan, dua buku ini termasuk dalam daftar buku 1001 yang harus dibaca sebelum mati. Jadi dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa Kartini mempunyai cita rasa dan selera yang lumayan tinggi terhadap karya sastra dunia.
Ada satu hal yang agak menggelitik bagi saya mengenai kehidupan Kartini. Hal tersebut adalah mengenai agama. Secara “KTP”, agama Kartini ialah islam, namun beliau sendiri menegaskan bahwa agama yang beliau kenal secara turun-temurun dari keluarganya ini kurang sreg di dalam hatinya. Beliau beranggapan bahwa agama ini hanya ia jalani sebagai suatu kebiasaan saja, tanpa mengetahui apa hakikat dan makna dari agama tersebut bagi dirinya. Hal ini mungkin dapat agak dipahami mengingat di kala itu kurangnya ilmu yang beliau dapatkan tentang keagamaan (terutama islam) ini. Hal ini dapat dilihat dari tak adanya bahasan di buku ini mengenai beliau yang belajar atau diajari tentang islam. Malahan, Kartini lebih dekat dengan agama Nasrani bahkan Buddha dalam hal pergaulannya sehari-hari, walaupun beliau menegaskan, bahwa yang paling penting ialah mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari agama-agama tersebut di dalam kehidupan, karena pada dasarnya, semua agama mengajarkan kebaikan. Hal ini sedikit banyak membuat saya teringat kepada Pi Patel dalam Life of Pi dan sedikit membayangkan, apakah Yann Martel terinspirasi dari Kartini. Siapa yang tahu.
Terakhir, di dalam catatan penulis di bagian awal buku ini, Pram berharap bahwa buku ini dapat menjadi buku pelengkap bagi pelajaran-pelajaran di sekolah-sekolah lanjutan. Saya berpendapat, hal ini sangat baik apabila dapat dilaksanakan. Agar siswa dan generasi penerus bangsa ini tidak hanya mengenal Kartini hanya dari satu sisi saja dan dari sisi yang itu-itu saja, tetapi dapat pula melihat dari sisi lain yang tidak semuanya terungkap dalam pelajaran-pelajaran yang didapatkan di sekolah-sekolah.
Menamatkan “Panggil Aku Kartini Saja” pada Hari Kartini, sebuah biografi yang bertumpu pada telaah pribadi dan pemikiran Kartini. Selama ini, aku hanya mengenal Kartini sebatas pada emansipasi perempuan yang melekat padanya. Lewat buku ini kita diajak untuk mengenal gerakan Kartini lebih jauh dengan melihat kondisi dan proses yang harus dilaluinya pula, dia yang harus berhenti sekolah dan dipingit di usia yang sangat muda, keterbatasan sumber pengetahuan di lingkungannya, serta budaya feodal Jawa yang masih kental di dalam keluarganya.
Rasa-rasanya buku sekolah yang selama ini aku pelajari seperti mengkerdilkan gerakan Kartini, padahal gerakan yang dia bawa tidak sebatas pada emansipasi perempuan semata. Mirisnya lagi, kini peringatan Hari Kartini hanya terasa seperti simbolisme belaka, tanpa benar-benar kembali mengamalkan pemikiran dan gerakan yang dia bawa.
Buku ini aku pinjam dari temanku . Merupakan kajian PRAM tentang kartini melalui surat-surat kartini . Antara buku yang lama untuk dihabiskan , kurang lebih satu purnama ,kerana tahulah sendiri bagimana PRAM menulis begitu terperinci .
Perasaan bercampur baur , antara kasihan dan kekaguman , kagum kepada beliau walau terpenjara oleh adat dan peraturan nenek moyang tapi fikiran beliau bebas merdeka . Inilah gagasan kartini membebaskan pikiran dari terbelenggu oleh perhambaan jantina , adat , penjajahan dan feudalism . Beliau menentang feudalalism dalam masyarakatnya , tapi beliau sendiri hidup dalam tingkat feudal yang beliau sendiri tentang , beliau menentang Patriaki dalam contoh hal poligami misalnya , tetapi beliau sendiri lahir dari keluarga poligami , perkahwinan beliau sendiri melalui jalan itu malah .
Paling senang tentang kartini tentulah bagaimana kartini memihak kepada kemanusiaan dan kebenaran tanpa nilai kemanusiaan dan kebenaran itu disandarkan kepada hal hal yang lain seperti keturunan , bangsa , warna kulit .Kemanusiaan itu adalah kemanusiaan itu sendiri , begitulah keadilan adalah keadilan itu sendiri .Beliau walaupun tidak setuju dengan amalan feudal masyarakat jawa tidak bermakna beliau memihak kepada Belanda malah beliau sangat keras menentang kolonisma yang menjarah tanah air .
Cuba fikir apa jadinya jika Kartini tidak menulis , tentulah gagasan pikiran kartini tidak bisa kita gali dan mungkin juga buku ini sukar untuk wujud dan dibaca , nama kartini pasti hilang di telan masa , begitu juga jika kartini tidak membaca pastilah surat-surat tidak punya makna dan gagasan . Seorang Raden kartini bukan sahaja mendorong kita untuk berdiri untuk kemanusiaan juga mendorong kita membebaskan pikiran melalui jalan baca dan jalan tulis .Surat surat kartini membuktikan tulisan akan kekal abadi walau jasad ditelan bumi .
Adat menjadi punca utama keterbatasan perjuangan kaum hawa pada suatu zaman yang lalu. Dalam segala segi, wanita dirantai daripada mengorak langkah ke arah kemajuan. Begitu juga nasibnya Kartini. Biarpun dilahirkan dalam kasta bangsawan, dia tidak terlepas dari perkara itu.
Atas dasar rasa tanggungjawab, dia terpanggil untuk bangkit memperjuang hidup masyarakat jati dari serakah penjajah serta membela ketidakadilan terhadap kaum wanita seluruhnya. Namun sebagai anak yang terlalu kasihkan bapanya yang berkedudukan tinggi, perjuangan itu nyata terbahagi antara membela nasib pribumi atau menjaga nama baik bapanya di mata penjajah.
Kartini sedar jalan terbaik untuk memecahkan tembok feudal adatnya adalah melalui pendidikan dan seni. Hanya dengan cara itu penindasan mampu ditentang sekaligus mengubah persepsi penjajah Belanda terhadap masyarakat. Semangatnya yang marak menjulang tidak malap walau sedikit biarpun dipenjara dari dunia luar selepas tamat pendidikan rendah. Setelah mendapat kembali kebebasannya, dia kian giat mendalami pelbagai cabang seni. Baginya seni merupakan satu tugas sosial untuk membawa darjat masyarakatnya ke tahap yang lebih tinggi. Dalam semua ilmu yang dipelajari, sastera merupakan bidang yang paling mengangkat namanya hingga Kartini tidak asing lagi oleh masyarakat tempatan mahupun golongan penjajah.
Biografi ini membawa pembaca untuk melihat sisi perjuangan hebat seorang wanita yang kesannya dinikmati oleh masyarakat hingga ke hari ini. Juga pastinya agar 21 April diraikan dalam erti sebenar ketokohan Kartini.
Buku ini kereen banget! ini salah satu yang terlintas setelah selesai baca buku ini! buku ini menceritakan kisah tentang kartini yang mencoba melawan kekuasaan penjajahan dari tebalnya tembok pingitan rumahnya, pergulatan batin dimana beliau menyayangi ayahnya sekaligus menyesalkan keadaan yg tidak bisa membantu pribumi semaksimal mungkin..
Berdasarkan surat-suratnya itu dapat kita mengetahui segala pemikiran, keprihatinan, kehampaan dan kesedihan yang dirasakan Kartini terhadap bangsanya.. Beliau adalah seorang inspirasi bagi wanita indonesia yang berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan.. itulah esensinya mengapa 21 April selalu diperingati hari kartini.. bukan sekedar memakai sanggul dan kebaya semata..
saya berikan 4 dari 5 bintang!
horee Mei 2014 ini berasal menyelesaikan 40 buku! *__*
Kartini di mata Pram. Pembahasan menyeluruh soal latar belakang sejarah ketika Kartini dilahirkan, feodalisme yang dialami Pribumi, kegelisahan-kegelisahan Kartini, surat dan karya sastra Kartini, lengkap dengan lukisan-lukisan Kartini, sampai kondisi mental dan percintaan Kartini. Pram mengupasnya dengan teliti. Buku yang perlu dibaca perempuan-perempuan Indonesia masa kini untuk memahami bahwa meski hanya bersekolah rendah, berkat rajin membaca, Kartini bisa menulis hal yang melangkah jauh dari masanya. Di usia yang masih sangat muda Kartini punya jiwa kritis yang melampaui kepolosan usianya.
Biografi Kartini yang paling kontekstual. Pram, mengajak pembaca untuk 'membaca' Kartini lebih dalam: bagaimana lingkungan dia ketika hidup, apa saja yang mempengaruhi pemikiran dan aksi dia, bagaimana cara dia memperoleh pengetahuan untuk digunakan sebagai alat kemajuan, serta pandangan dia tentang masyarakat dan zaman yang menjeratnya.
Dulu saya hanya tahu kartini adalah salah satu pahlawan Indonesia yang memperjuangkan wanita dan setelah membaca buku ini, aku baru sadar ternyata perempuan indonesia harus tahu siapa dia dan harus membaca buku ini.tengky ibu kita kartini....
PAT luar biasa.. Saya terbawa ke masa lalu. Kartini seolah menjelma hidup dalam benak saya, kesedihannya, penderitaannya, dilemanya, sesaknya jiwa yang penuh cita-cita tinggi dan mulia namun mustahil tergapai pada jamannya, seolah saya ikut merasakan semua itu.
“Di manakah aku dapatkan hiburan, dan dapatkan tenagaku? Dengan jalan sesedikit mungkin memikirkan diriku sendiri, dan yang terbanyak dan terutama memikirkan orang-orang lain.” -- H. 271
Sebelumnya, saya belum pernah membaca buku tentang Kartini. Apa yang saya ketahui tentang Kartini hanya berasal dari buku sejarah, pemberitaan media, dan perayaan seremonial tahunan Hari Kartini di bulan April. Keinginan untuk menonton film Kartini (2017), membuat saya merasa ada kewajiban untuk membekali diri dengan membaca buku tentang Kartini sebelum melihat kisahnya diangkat ke layar lebar. Buku biografi ‘Panggil Saya Kartini Saja’ karangan Pramoedya Ananta Toer ini menjadi pilihan saya dan merupakan pilihan yang tepat. Dalam buku ini, penulis menyusun catatan sejarah dengan sangat mendetail dan disertai dengan pemikiran-pemikirannya yang tajam yang sangat mengagumkan. Sayangnya, buku ini adalah edisi revisi dengan beberapa bagian akhir telah hilang di masa 1965.
Bagian awal buku ini dimulai dari peristiwa sejarah yang terjadi hampir setengah abad sebelum Kartini lahir, yaitu jatuhnya Perang Diponegoro yang memicu kebijakan Tanam Paksa pada tahun 1830. Hal ini bukan tanpa alasan. Penulis ingin menunjukkan bahwa sosok Kartini yang lahir dan tumbuh di tanah Jawa tidak lepas dari akibat kebijakan Tanam Paksa tersebut. Kapitalisme dan Liberalisme untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia karena Tanam Paksa. Bibit Kapitalisme tumbuh ketika Tanam Paksa mulai jatuh. Banyak perkebunan yang awalnya ada di tangan Hindia Belanda menjadi jatuh di tangan partikelir pemilik modal. Rakyat yang dulunya memiliki tanah untuk digarap secara tradisional menjadi harus menjual tenaga semata karena adanya pergeseran kepemilikan dari individu ke negara lalu kembali ke tangan pemilik modal dan juga modernisme pertanian. Rakyat ini menjadi bagian dari kaum proletar dan salah satunya adalah Kakek Kartini dari pihak Ibunya, Modirono, seorang mandor Pabrik Gula. Sedangkan Liberalisme masuk ke Hindia Belanda dipicu oleh peristiwa bencana kelaparan di Demak dan Grobogan pada 1848. Paham ini dibawa dari Belanda ke Hindia Belanda oleh Edward Douwes Decker (bidang Sastra, pengarang Max Havelaar), Roorda van Eisinga (bidang jurnalistik, namanya sering disebut-sebut di buku Tetralogi Buru), dan Baron van Hoevell (bidang politik). Kaum liberal mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan pendidikan yang saat itu sangat minim bagi penduduk Eropa dan juga Pribumi. Kakek Kartini dari pihak Ayahnya, Ario Tjondronegoro yang ditunjuk sebagai bupati Demak, mendapatkan keistimewaan tersebut. Dari beliau mengalir suatu pemikiran maju yang melampui batas pemikiran para bangsawan kala itu di Jawa, yaitu pendidikan.
Kisah hidup Kartini tidak lepas dari cengkraman Feodalisme. Pembahasan ini disampaikan dalam buku ini setelah latar belakang sejarah yang panjang tadi. Cengkraman feodalisme yang memberikan keistimewaan untuk memperoleh pendidikan namun melenggangkan tata hidup yang tidak demokratis dan egaliter inilah yang menciptakan dilema dalam hidup Kartini. Dalam buku ini, Penulis menuturkan bahwa feodalisme Jawa dipengaruhi oleh sistem Kasta Hindu yang disebut Bung Karno ‘feodalisme pesakitan’ (H. 113). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya Brahmana sebagai pusat dari sistem atau sebagai konseptor untuk diwujudkan Satria, yaitu bidang kepangrehprajaan. Oleh pemerintah Hindia Belanda, feodalisme yang sebenarnya sudah mati bersamaan runtuhnya Majapahit dihidupkan kembali dan dipertahankan untuk membatasi rakyat untuk maju (H.92). Lebih lanjut, Penulis menambahkan bentuk permaduan raja-raja merupakan mata rantai tata hidup ini (H.92). Permaduan di masa itu (dan mungkin juga yang terjadi di masa kini?) menurut Penulis bukan berasal dari agama Islam, tetapi dari tata hidup feodalisme itu sendiri. Selain fakta sejarah di masa lampau karena sebenarnya esensi Islam hanya sedikit mempengaruhi tanah Jawa, ini bisa jadi menunjukkan juga bahwa penulis mengetahui praktek poligami yang ada pada agama Islam sangat berbeda dengan permaduan dari tata hidup feodalisme. Kaitannya dengan permaduan ini tentu saja karena Ibu Kartini, Ngasirah, yang ‘hanya’ anak mandor pabrik gula dan merupakan rakyat biasa, bersedia dimadu oleh Asisten Wedana kabupaten Jepara, Ario Sosroningrat, Ayah Kartini.
Kemajuan berpikir yang dimulai dari Kakek Kartini, Ario Tjondronegoro, dengan memberikan pendidikan kepada putra-putranya juga menurun kepada Kartini walau hanya pada sebagian hidupnya yang pendek. Tentu ini tidak lepas dari cengkraman feodalisme tadi. Kartini mendapatkan pendidikan dasar bersama dengan anak-anak Eropa lalu dipingit di usia 12 tahun selama empat tahun lamanya. Ketika Kartini menanyakan, “Jadi apa aku kelak?” oleh Kakaknya dijawab, “Jadi apa gadis-gadis kelak? Menjadi Raden Ayu tentu!”(H. 64) Masa pendidikannya memang sangat singkat, namun Kartini telah menguasai Bahasa Belanda sejak kecil. Dari pengusaan bahasa inilah Kartini memiliki pemikiran yang sangat maju di masa itu. Pengusaan Bahasa Belanda bukanlah tujuan, melainkan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, modalnya untuk bisa sama kuat dengan orang Barat (H. 118). Ilmu pengetahuan ini banyak ia peroleh dari buku-buku, hampir semua buku tidak memandang jenis melainkan isi dan hakikatnya. Oleh karena kekayaan ilmu yang ia peroleh dari belajar sendiri di rumah, Kartini mengetahui kelebihan serta kekurangan Eropa begitu juga bangsanya sendiri sehingga teguh pada jalannya untuk memperjuangkan nasib rakyatnya yang tertindas. Ia tahu segi-segi positif kaum terpelajar semasanya, tapi ia pun tahu segi-segi negatif yang banyak menenggelamkan mereka: karena hanya melihat kelemahan bangsanya, lantas meninggalkannya, dan menggabungkan diri dengan Belanda (H. 130-131). Selain itu, Penulis juga menuturkan bahwa Kartini sebagai seorang penulis yang sangat produktif dari Pribumi dan perempuan di masanya membuat ia unggul. Tulisan-tulisannya yang ia pilih tulis dalam Bahasa Belanda karena berbagai alasan (H. 204) membuat pemikirannya terus hidup bagai obor, baik di lintas geografis maupun lintas generasi.
Kartini seakan dianggap hanya dikenal luas sebagai tokoh emansipasi wanita melalui buku kumpulan suratnya pada Ny. Abendanon. Tetapi melalui buku ini, Kartini tidak dipandang sempit hanya sebagai tokoh perempuan yang memberdayakan perempuan saja melainkan lebih luas dari itu. Kartini seorang pendidik yang tahu betul pentingnya pendidikan dan budaya literasi bagi rakyatnya. Ia juga tokoh seni daerah dengan mengorganisasikan suatu system uang muka sedemikian rupa sehingga para seniman daerah tidak perlu lagi tergantung kerja dan keuangannya pada pedagang-pedagang barang seni dan hidupnya lebih sejahtera (H. 192). Kartini adalah seorang Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara (H. 193). Kartini seorang religius, vegetarian, yang kritis dan mengutamakan pentingnya mengamalkan kebajikan kepada sesama adalah tujuannya sebagai umat beragama (H. 262). “Aku tak mau lagi melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa mengetahui mengapa, buat apa, dan dengan tujuan apa” (H. 270) adalah salah satu buah pikirannya karena lingkungan di sekitarnya mendalami agama Islam tanpa mengetahui maknanya melainkan hanya seremoni. Dalam epilog buku ini, ditulis oleh Ruth Indiah Rahayu, Kartini oleh bangsa ini dipuja-puja berulang-ulang dirinya sebagai pendekar, pelopor, perintis emansipasi dan berkat cita-citanya kaum perempuan sekarang bisa sampai ke sekolah tinggi, bukankah itu memberi beban kepadanya dengan penilaian yang melebihi kapasitasnya? (H. 300) Menurut pendapat saya setelah membaca buku ini, Kartini adalah pemikir dan penggerak bangsa ini yang seharusnya menjadi inspirator tidak hanya bagi perempuan melainkan laki-laki untuk terus memajukan bangsa Indonesia dan bahkan dunia.