Perjalanan evolusi manusia dari Australopithecus sp menjadi manusia modern (Homo sapiens) meninggalkan jejak perubahan pada cara-cara mereka mencari dan mengolah pangan. Perubahan revolusioner adalah saat manusia menemukan api sehingga sumber pangan yang keras seperti biji-bijian bisa dikonsumsi.
Buku Jejak Pangan, Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan melacak sedikit jejak ketika manusia berupaya men dapatkan pangan dan mengolah pangan demi mempertahankan hidup. Segala bangsa dan setiap pemimpinnya tidak pernah lelah memikirkan cara mendapatkan pangan. Berbagai strategi, politik, dan teknologi pangan dicari dan dijalankan agar pangan tetap tersedia. Pergulatan itu akan terus terjadi di tengah ancaman ledakan jumlah manusia dan sedikitnya sumber pangan. Manusia diberkahi pikiran untuk terus berinovasi agar kehidupan itu berlangsung. Inovasi untuk mendapatkan pangan tidak akan berhenti ketika manusia masih berdiri di muka bumi.
Menyelesaikan pendidikan tinggi di Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada tahun 1995. Mendapatkan beasiswa Program Pendidikan Wartawan Profesional di Lembaga Pendidikan Penelitian dan Pendidikan Pers Yogyakarta selama enam bulan. Tahun 1996 mengikuti pendidikan calon koresponden Harian Kompas, mendalami masalah pangan, pertanian, dan perdagangan internasional. Mengikuti kursus bertopik Reporting on Food and Agriculture yang diselenggarakan Ateneo de Manila University, Manila, Filipina. Saat ini sebagai wartawan Kompas, mendalami masalah pangan dan pertanian secara umum, menulis pangan dan kuliner dari aspek sejarah dan antropologi. Pada 2005 mendapat penghargaan Citra Dharma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Baca buku ini pas nemenin teman main MW di FesBuk di sebuah cafe di Royal Plaza. Jadilah kami sepasang homo autis, temenku asyik masyuk berperang ria via notebook-nya, diriku dengan book ini. Buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang wartawan Kompas sekitar periode 2005 - 2008 yang membahas soal pangan.
Orang hidup perlu makan. Kajian soal sistem politik,ekonomi,sosial,arsitektur dlsb lebih banyak menarik banyak kalangan. Akan tetapi kajian soal pangan dalam berbagai peradaban masih sangat kurang sekali. Kajian peradaban dengan pangan menjadi menarik di tengah orang membicarakan soal perbenturan peradaban, kemunculan kembali peradaban dan runtuhnya peradaban. Pangan melekat dalam setiap peradaban. Peradaban yang kuat dan berpengaruh lama akan diikuti tidak hanya hegemoni sosial,ekonomi dan politik saja, tetapi juga kehadiran makanan itu. Lihatlah sekarang, pangan asal Amerika bisa ditemui di mana-mana pada saat negara itu menjadi penguasa dunia (hal 6,7) di bahas juga soal peranan rempah-rempah yang mengubah peradaban dunia. Bagaimana perkembangan ilmu, salah satunya geografi adalah terkait proses pencarian rempah-rempah.
Akulturasi budaya terjadi pula pada makanan. Ada bika Ambon yang nyasar di kota Medan, kendati sampai sekarang belum diketahui sejarahnya. Ada kari di menu kita yang dari India, gulai yang dari Arab, Meja makan di Jawa menjadi saksi persilangan budaya. Kecenderungan intoleransi terhadap kemajemukan yang kini menjadi persoalan bangsa tidak ditemukan di meja makan di Jawa. Ratusan tahunpersinggungan berbahai budaya dunia telah menghasilkan makanan-makanan khas di Pulau Jawa yang tanpa disadari telah menjadi simbol kerukunan dalam kemajemukan (hal 43). Bagi saya pribadi persoalan bangsa yang muncul prosentase terbesarnya salah satunya adalah urusan perut, dan yang bisa mendamaikan urusan perut ini ya makanan. Jadi inget guyonan temen2 gereja yang menyitir /memplesetkan ayat di Alkitab, "jenis ini tidak dapat diselesaikan kecuali dengan makan-makan" hehehe Eh iya, ada istilah 'usdek' juga dalam hal makanan terkait demokrasi terpimpin Soekarno dulu, khususnya dalam acara pernikahan di Jawa yang menjadi semacam table manner atau urut-urutan penyajian makanan ketika acara pernikahan yakni : Unjukan (minuman), Snack (makanan ringan), Dahar (makanan besar), Es krim (penutup) dan Kondur (pulang). Soal Serat Centhini yang digambarkan penulis sebagai ensiklopedia jawa abad 19 pun banyak membahas diantaranya resep makanan
Sekapur sirih sebagai kata pengantar atau pembukaan. Dari mana datangnya itu? di hal 81-83, dijelaskan budaya makan sirih di beberapa daerah khususnya pulau Nias. Tahap pertama diterima atau tidaknya pendatang di kebudayaan itu adalah makan sirih. Setelah makan sirih, maka pendatang dianggap bukan orang asing lagi. jadi inget pipa perdamaian di wild west versi Karl May
Pemerintahan suatu negara atau kerajaan yang kuat terlihat dari kedisiplinannya dalam mengelola komoditas pangan.Kewibawaan penguasa ditentukan kemampuan mereka mengambil keputusan politik mengenai pangan. Sejarah iman kristen, berdasar kitab yang ditulis Musa mengenai exodus kaum Israel dari Mesir ke Kanaan mencatat bagaimana provisioning atau sistem ketahanan pangan ala pemerintahan teokrasi yang mencukupi kebutuhan pangan bangsa yang bergerak selama 40 tahun menuju tanah Palestina.
Pernahkah kita membayangkan kalau pekarangan rumah adalah benteng pertama ketahanan pangan suatu masyarakat?. Jadi pada mulanya ketika orang2 Jawa khususnya membangun pekarangan di sekitar rumah mereka, adalah komoditas sekunder yang dibudidayakan macam ubi, buah dan sayur. Aih jangan lupa pula soal apotek hidup. Pekarangan menjadi sumber obat/jamu. Munculnya pekarangan juga menarik. Ada anggapan pekarangan muncul ketika pasar dan negara pula kerajaan pada masa lampau tidak memikirkan pangan rakyat. Rakyat mampu secara mandiri memikirkan kemandirian pangan mereka. Hari gini ngomongi pekarangan dan apotek hidup?? kita yang kaum urban melihatnya saja sudah jarang.
Jadi memang layak mendapat perhatian penelitian soal pangan seperti penelitian 'klasik' yang lain. Orang hidup perlu makan. Kumpul ora kumpul sing penting Mangan. Minimal memenuhi unsur 3 M, murah, meriah , maregi.
Informatif. Buku-buku yang mengupas hubungan antara pangan dan budaya masih kurang ditemui jika dibandingkan dengan buku-buku sejarah. Padahal makanan adalah kebutuhan dasar manusia, seiring perkembangan hidup dan budaya manusia, tentunya sangat banyak perkembangan tentang makanan. Sangat menarik untuk mengetahui strategi-strategi pangan yang dilakukan para penjelajah samudera awal, serta kebijakan-kebijakan bidang pangan yang dilakukan berbagai negara.
Spoiler alert - informasi random yang paling saya suka - para penjelajah dari Portugis awal memberi insentif bagi awak kapal untuk menikahi gadis lokal di wilayah yang baru mereka temui, agar kemudian bercocok tanam di sana dan memasok stok pangan bagi pelayaran-pelayaran baru yang akan lewat wilayah itu.
Buku ini bisa menjadi intro untuk belajar lebih dalam mengenai sejarah pangan dan kuliner di Indonesia. Sub-bab yang singkat dan mengikuti garis waktu. Saran untuk melanjutkan dari buku ini adalah Jejak Rasa Nusantara
Buku ini berisi kumpulan artikel ringan tentang pangan yang ditulis oleh Andreas Maryoto yang merupakan jurnalis berpengalaman di bidang pangan dan pertanian.
Sebagai sebuah kebutuhan dasar, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hal yang melekat dalam proses perjalanan kehidupan manusia. Sejarah bangsa-bangsa yang melakukan perjalanan keliling dunia untuk tujuan perdagangan maupun penaklukan/penjajahan terlihat dari penyebaran komoditi pangan ataupun jenis makanan yang disebarkan oleh para penjelajah tersebut di wilayah yang mereka lalui atau mereka duduki. Demikian juga migrasi antar suku di Indonesia terkadang bisa ditelusuri dari jenis makanan yang berkembang di suatu daerah, karena suku yang berpindah juga membawa budaya makanan/kulinernya ke daerah baru.
Sejak zaman kerajaaan dulu, sektor pertanian pangan mempunyai peran yang cukup vital. Kesejahteraan suatu kerajaan diukur dari berlimpahnya produksi pangan lokal. Sebaliknya, minimnya ketersediaan pangan juga akan menjadi potensi timbulnya ketidakstabilan politik. Nusantara pernah dikenal sebagai daerah yang mempunya pengaruh besar dalam dunia pangan sewaktu Nusantara (khususnya Maluku) merajai produksi rempah-rempah. Dari sisi kesejarahan, banyak bukti bahwa Indonesia merupakan negara agraris. Hal ini ditunjukkan selain produsen rempah di Maluku , kehidupan masyarakat bebrapa kerajaan di Jawa maupun Sumatera juga sangat berorientasi pada pertanian padi. Pada jaman kemerdekaan, Jaman Suharto dengan segala kekurangan dan kelebihannya merupakan era dimana sektor pertanian relatif diberi perhatian memadai.
India merupakan suatu contoh negara yang mempunyai perhatian terhadap sektor pertanian. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar maka mereka perlu menjaga ketahanan pangan. India mempunyai 6 pilar pembangunan pertanian yakni: pengelolaan tanah, air, iklim, peralatan, petani dan benih.
Dalam buku ini juga dibahas beberapa kasus manajemen logistik pangan sejak jaman penjelajahan dunia oleh Cheng Ho, penjelajahan oleh Portugis, Strategi perang Mataram, politik pangan jaman Sukarno dan Suharto, manajemen logistik tentara amerika hingga manajemen logistik saat bencana alam dan event besar seperti Olimpiade. Manajemen logistik merupakan salah satu hal vital untuk keberhasilan pencapaian sebuah misi.
Untuk mengatasi berbagai tantangan untuk sektor pertanian pangan, di buku ini jug dibahas beberapa topik bersifat solusi sepertI 1. Kearifan masyarakat adat Badui dalam pengelolaan lumbung padi untuk menjaga ketahanan pangan mereka. 2. Kearifan masyarakat Jawa dan beberapa suku lain dalam memanfaatkan pekarangan sebagai salah satu ruang penyangga untuk tanaman pangan. 3. Kearifan masyarakat desa dalam memanfaatkan sumber pangan lokal termasuk serangga sebagai menu harian mereka sehingga mereka tidak tergantung pada sumber pangan dari luar. 4. Perlunya keberanian politik untuk melawan proses pasar bebas yang tidak adil dengan meniru keberanian Korsel menolak impor daging sapi dari amerika 5. Perlunya pengembangan etika dan pengawasan yang intensif di sektor produksi pangan dan makanan untuk melindungi publik dari bahan makanan yang berbahaya atau berkualitas rendah. 6. Perlunya pengembangan teknologi tanaman pangan untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman. 7. Perlunya pengembangan teknologi alternatif di bidang energi agar sumber pangan yang ada tidak dikonversi untuk kepentingan energi.
Secara umum buku ini enak dibaca dan relatif ringan karena tidak terlalu banyak berteori dan lebih bersifat bertutur. Meski demikian buku ini sangat bermanfaat untuk membuka mata kita bahwa kita kaya dengan sumber pangan beserta kearifan lokaldi dalamnya. Harusnya kalau kita konsisten dengan kesejarahan kita sebagai negara agraris dan maritim, dua sektor ini perlu didukung dan dikembangkan secara serius di masa depan karena itulah comparative dan competitive advantage kita....
Membaca buku ini saya jadi tahu kalau ada sejarah yang terputus tentang asal usul bika Ambon. Sampai saat ini belum diketahui kenapa bika Ambon bisa menjadi oleh-oleh khas Medan, padahal dilihat dari namanya seharusnya kue tersebut dari Ambon. Bahkan toko bika Ambon tertua di sana tidak tahu asal-usulnya.
Dari buku ini saya juga semakin sadar, betapa kaya dan indahnya nusantara. Orang-orang Eropa mulai mengenal rempah-rempah nusantara dari para pedagang Arab. Mereka menyembunyikan peta nusantara mati-matian. Bahkan menciptakan mitos bahwa kayu manis dibawa oleh burung walet.
Lalu kemudian para penjelajah Eropa mati-matian mencari lokasi nusantara, sampai banyak yang mati. Kondisi ini ironis sekali dengan keadaan bangsa kita sekarang, yg mengagung-agungkan luar negeri, terutama barat. Padahal dulu mereka setengah mati mau ke Indonesia, sampai mengorbankan nyawa, dan penuh pertumpahan darah.
Semoga kita bisa semakin menghargai sejarah, karena dari situ kita bisa semakin tahu jati diri bangsa. Dan tidak malu menjadi orang Indonesia.
Sebuah buku non fiksi yang membahas tentang pangan kaitannya dengan sejarah. Dua topik yang jika dibahas akan menjadi suatu bahasan yang menarik. Banyak sekali pengetahuan baru dari buku yang kaya akan literatur ini. Tak salah memberi bintang penuh. Tapi konon katanya buku non fiksi sebagus ini di salah satu toko buku hanya dijual 10rb. What the?